Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?
Oleh: Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
PENDAHULUAN
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya
madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah
madzhab Al Kullabiyyah.
Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah
bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh
sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan
berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi berdasarkan kecocokannya
dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah.
SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H.
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H.
Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota
Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah. Dan tidak
dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan
lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari
ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i.
Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini.
Allah menghendaki keselamatan bagi
beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan
sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan
tanpa tamtsil [1]
Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul
Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun
571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al
Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita,
Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan
memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau
adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari.
Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan
setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,
”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari
kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan
dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan
mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana
yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku
ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang,
sebagaimana aku membuka bajuku ini.”
Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al
Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai
bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka.
Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus
buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau
menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti
pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]
ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu:
Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar,
Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin
‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih,
Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.
PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah:
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah:
“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama
yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah
NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat)
yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits.
Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan
pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau
dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang
menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil
(utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah
menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan
memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras)
penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas)
keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]
Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.
ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke
pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu
menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya,
dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil,
tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya
adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli
hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan
kepada madzhab Asy’ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat
bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang
Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya
tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus
menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,
atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus
Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut
Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan,
barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka
ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian
dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima
nash-nash syar’iyyah [5].
Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah adalah akal.
Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan
hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli
(wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u
Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum
yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah
(menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh
madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad:
“Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).”
Ia menjelaskan:
“Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik
dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang
termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia
seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya
dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi
peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus
diminta bertaubat.” [7]
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,
”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan
Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan
kami mengimaninya tanpa tamtsil.” [9]
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata:
“Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah,
dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka
justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al
Asy’ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan
mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari
menghadiri majelis-majelisnya.
Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap
syaikh [10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy
Syafi’i dari prinsip-prinsip Al Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu
Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku.
Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq
Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah.
Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan
perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi’i), beliau
membedakannya. Beliau berkata:
“Ini adalah pendapat sebagian rekan kami.
Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak
memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka
menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka
menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam
masalah ushuluddin.” [11]
Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ketika para tokoh dan pembesar Al
Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al
Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan
lainnya.
Jika mereka benar-benar berada di atas As
Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan
kenapa mereka keluar?
Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail
Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh
Salim ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?
Beliau menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.
_______
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar