MAJLIS TA’LIM dalam pengertian sederhana adalah
tempat belajar atau mencari ilmu. Tentu yang dimaksud adalah ilmu agama Islam.
Berbeda dengan lembaga pendidikan formal yang mempunyai kurikulum baku, majelis
ta’lim jauh lebih longgar, bahkan tanpa ikatan formal sebagaimana lembaga
pendidikan pada umumnya.
Keberadaan majlis ta’lim biasanya merupakan swausaha dan
swadana masyarakat yang memang berkeinginan memperdalam ilmu agama Islamnya
tanpa jadwal dan kurikulum yang ketat, namun kekeluargaan, serta disesuaikan
dengan kebutuhan komunitasnya.
Namun belakangan, sebagian majlis ta’lim menjadi ajang pamer
kekuatan, ajang pamer banyak-banyakan jama’ah, yang konon untuk memenuhi
syahwat pimpinannya. Misalnya, pada musim pemilihan umum tingkat daerah hingga
tingkat nasional, biasanya elite parpol yang ingin partainya meraih suara
banyak, mendekati pimpinan majlis ta’lim tertentu dengan harapan jamaahnya yang
terkesan banyak itu mau memberikan suara kepada parpol yang dipimpinnya.
Diduga, mengalirlah money politic, yang susah
dibuktikan kebenarannya namun sulit ditepis begitu saja. Siapa yang paling
diuntungkan? Kemungkinan pimpinan atau elite majlis ta’lim tersebut. Siapa yang
berhasil dibodohi? Selain jama’ah yang taklid juga pimpinan dan elite parpol
tadi. Karena, siapa bisa menjamin bahwa parpolnya akan kebanjiran suara dari
jama’ah majlis ta’lim tadi?
Perkembangan selanjutnya lebih meprihatinkan, tidak sekedar
menjadikan majlis ta’lim sebagai sumber fulus, tetapi ada juga yang
menjadi sumber penyebaran paham sesat (syi’ah dan sebagainya) serta aneka
kemunkaran seperti homoseks, free sex dan pedofilia, sebagaimana terjadi
baru-baru ini.
Setidaknya, akhir-akhir ini ada dua majlis ta’lim yang
terkesan banyak jama’ahnya. Nama majlis ta’limnya pun cukup mentereng, seperti Nurul
Musthofa yang berarti cahaya pilihan. Bahkan ada majlis ta’lim yang
merupakan ‘saingan’ Nurul Musthofa, menggunakan nama tak tanggung-tanggung
yaitu Majelis Rasulullah SAW.
Kenyataannya, Nurul Musthofa (NM) pimpinan habib Hasan
Assegaf, dan Majelis Rasulullah SAW (MR) pimpinan habib Munzir Al Musawwa,
sama-sama punya kebiasaan buruk, yaitu menutup ruas jalan untuk menggelar
acaranya. Tidak hanya pada musim muludan[i] tetapi juga pada hari-hari lain. Sejumlah orang
yang disebutnya jama’ah dari berbagai tempat seperti tumplek bleg di
satu lokasi. Tidak sekedar memacetkan jalan, akan tetapi juga membuat bising
kawasan sekitar.
Aparat kelurahan dan kecamatan serta pihak RT dan RW memberi
izin kepada kerumunan ini berkiprah, karena mereka takut melihat banyaknya jama’ah
majlis tersebut. Padahal, sesungguhnya segerombolan orang yang disebut jama’ah
tadi hanyalah massa cair yang mudah diurai dengan protap (Prosedur Tetap)
yang baku. Bahkan, menurut sebuah sumber, massa cair yang dikesankan
sebagai jama’ah tadi diduga adalah massa bayaran, bukan benar-benar jama’ah
majlis bersangkutan.
Sumber fulus untuk mendanai massa bayaran tadi,
antara lain kemungkinan dari sejumlah orang kaya yang cinta habib [sic!] [ii] dan dari sumber-sumber lain yang tidak accountable.
Tujuannya jelas, dengan adanya gerombolan orang di satu titik dengan dalih
menghadiri majlis ta’lim yang dipandu seorang habib, adalah untuk unjuk
kekuatan. Serta, minim unsur ta’limnya. Misalnya, bisa dilihat banyaknya
muda-mudi berkhalwat, pacaran, mojok, saat acara berlangsung.
Gerombolan seperti ini sudah seharusnya TIDAK DIBERI IZIN
oleh pihak RT dan RW juga oleh aparat terkait (babinsa, Lurah dan Camat), karena
selain merampas hak masyarakat pengguna jalan, juga menimbulkan kebisingan,
gangguan kamtibmas, serta lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Bahkan
ada yang mencurigai, aktivitas keagamaan itu jangan-jangan menjadi cover
yang nyaris sempurna untuk sebuah transaksi narkoba dan obat-obatan telarang
lainnya.
Habib Munzir
Bila habib Hasan Assegaf yang diduga mengidap penyakit
homoseksualitas dan pedofilia –yang dugaan itu– sudah mulai terkuak keburukan
dan kebohongannya, tidak demikian halnya dengan habib Munzir. Namun, Hasan dan
Muzir sama-sama mendoktrin jama’ahnya dengan cerita-cerita yang ajaib bernuansa
khurafat bahkan berbau kemusyrikan.
Seorang jama’ah Majelis Rasulullah dengan identitas e-mail pemudasuci@yahoo.com pernah menulis
artikel di mailing list (milis) Majelis Rasulullah tentang karomah sang
habib. Mungkin saking semangatnya di dalam mengkampanyekan sang habib, artikel
bernuansa khurafat dan kebohongan tersebut di-forward (diteruskan) ke berbagai
blog pribadi. Antara lain mampir juga ke lamannya mas Yogo Saptono (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13118500).
Oleh si pemudasuci@yahoo.com
ini, habib Munzir dideskripsikan sebagai sosok yang masyhur (terkenal) dalam
dakwah syariah, namun mastur (menyembunyikan diri) dalam keluasan
haqiqah dan ma’rifahnya. Juga, dikesankan sebagai sosok yang banyak mengalami
peristiwa ghaib namun tetap rendah hati dan tetap merahasiakan peristiwa ghaib
tersebut.
Beberapa ‘karomah’ yang dimiliki habib Munzir menurut
penuturan pemudasuci@yahoo.com,
antara lain berupa dapat mengetahui ajal seseorang. Misalnya, melalui penuturan
berikut: “… ketika orang ramai minta agar habib Umar Maulakhela didoakan karena
sakit, maka beliau (maksudnya habib Munzir-red) tenang-tenang saja, dan
berkata: habib Nofel bin Jindan yang akan wafat, dan habib Umar Maulakhela
masih panjang usianya. Benar saja, keesokan harinya habib Nofel bin Jindan
wafat, dan habib Umar Maulakhela sembuh dan keluar dari opname. Itu beberapa
tahun yang lalu…”
Kemampuan habib Munzir yang dikesankan bisa mengetahui ajal
seseorang, juga bisa ditemui melalui penuturan pemudasuci@yahoo.com sebagai berikut: “…
ketika habib Anis Al-Habsyi Solo sakit keras dan dalam keadaan kritis,
orang-orang mendesak habib Munzir untuk menyambangi dan mendoakan habib Anis,
maka beliau berkata kepada orang-orang dekatnya, habib Anis akan sembuh dan
keluar dari opname, Insya Allah kira-kira masih sebulan lagi usia beliau.
Betul saja, habib sembuh, dan sebulan kemudian wafat…”
Cerita-cerita di atas tidak sekedar membohongi dan
membodohi, tetapi sudah bernuansa musyrik, karena mensejajarkan habib Munzir
dengan Allah SWT dalam hal memiliki pengetahuan tentang ajal manusia. Padahal,
dalam ajaran Islam hanya Allah yang mengetahui ajal setiap manusia. Bahkan para
Rasul pun tidak diberi kemampuan tentang itu. Apalagi hanya seorang habib
Munzir!
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ
اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ
أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ
أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ [الأنعام/50]
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan
tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS Al-An’am: 50).
Selain dikesankan punya kemampuan mengetahui ajal seseorang,
habib Munzir oleh si
pemudasuci@yahoo.com
juga dikesankan mampu meredakan aktifitas gunung berapi, sebagaimana penuturan
berikut: “… ketika gunung Papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya
dari siaga satu menjadi awas, maka habib Munzir dengan santai berangkat ke
sana, sampai ke ujung kawah, berdoa, dan melemparkan jubahnya ke kawah, kawah
itu reda hingga kini dan kejadian itu adalah 7 tahun yang lalu (VCD-nya
disimpan di markas dan dilarang disebarkan)…”
Kehebatan lainnya, sebagaimana dituturkan oleh si pemudasuci@yahoo.com adalah habib Munzir
mampu mengatasi dukun jahat: “…demikian pula ketika beliau masuk ke wilayah
Beji Depok, yang terkenal dengan sihir dan dukun-dukun jahatnya, maka selesai
acara habib Munzir malam itu, keesokan harinya seorang dukun mendatangi
panitia, ia berkata: saya ingin jumpa dengan tuan guru yang semalam buat
maulid di sini. Semua masyarakat kaget, karena dia dukun jahat dan tak
pernah shalat dan tak mau dekat dengan ulama dan sangat ditakuti. Ketika
ditanya kenapa? Ia berkata: saya mempunyai empat jin khodam, semalam mereka
lenyap, lalu subuh tadi saya lihat mereka (jin-jin khodam itu) sudah pakai baju
putih dan sorban, dan sudah masuk Islam, ketika kutanya kenapa kalian masuk
Islam, dan jadi begini? Maka jin-jin ku berkata: apakah juragan tidak tahu?
semalam ada Kanjeng Rasulullah saw hadir di acara habib Munzir, kami masuk
Islam…”
Berita itu bertentangan dengan Islam, karena tidak ada
keterangan dalam Islam bahwa orang yang sudah wafat walaupu Nabi hadir di acara
manusia yang masih hidup, apalagi acara bid’ah seperti maulidan. Yang ada justru
hadits tentang proses dicabutnya nyawa seseorang ketika mati sampai
selanjutnya, kaitannya dengan alam ghaib, bukan kembali ke dunia apalagi ke
acara yang diselenggarakan orang hidup. (lihat http://nahimunkar.com/2519/ruh-manusia-sesudah-mati-ada-di-mana/
). Jadi itu dusta atas nama agama.
Masih menurut penuturan si pemudasuci@yahoo.com pula: “… kejadian
serupa di Beji Depok seorang dukun yang mempunyai dua ekor macan jadi-jadian
yang menjaga rumahnya, malam itu macan jejadiannya hilang, ia mencarinya, ia
menemukan kedua macan jadi-jadian itu sedang duduk bersimpuh di depan pintu
masjid mendengarkan ceramah habib Munzir…”
Ini cerita berdasarkan pengakuan dukun dan mengenai macan
jadi-jadian lagi, sedangkan mempercayai dukun itu sendiri sudah dilarang dalam
Islam.
Hadis-hadis Nabi s.a.w :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.(رواه مسلم وأحمد).
“ Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal)
kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan
diterima selama 40 malam”. (Hadist Riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad
dari sebagian isteri Nabi [Hafshah]).
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُول فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ (رواه
أحمد والحاكم).
“ orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian
membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa
yang telah diturunkan kepada Muhammad saw”. (HR. Imam Ahmad dan al-
Hakim dari Abu Hurairah).
Boleh jadi, cerita-cerita pembodohan seperti inilah yang
menjadi salah satu daya tarik sekelompok orang, selain pengakuan sang habib
yang konon merupakan keturunan nabi Muhammad dari jalur Fathimah ra.
Bahkan para pengikut fanatik habib Munzir ini percaya
tentang karomah sang habib yang dapat berdaya-guna meski tanpa kehadiran habib
Munzir, sebagaimana penuturan pemudasuci@yahoo.com
berikut ini: “… maka saat mereka membaca maulid, tiba-tiba terjadi angin ribut
yang mengguncang rumah itu dengan dahsyat, lalu mereka minta kepada Allah
perlindungan, dan teringat habib Munzir dalam hatinya, tiba-tiba angin ribut
reda, dan mereka semua mencium minyak wangi habib munzir yang seakan lewat di
hadapan mereka, dan terdengarlah ledakan bola-bola api di luar rumah yang tak
bisa masuk ke rumah itu. Ketika mereka pulang mereka cerita pada habib Munzir,
beliau hanya senyum dan menunduk malu…”
Padahal seharusnya justru menjelaskan, acara maulidan itu
sendiri tidak ada landasannya yang kuat dalam Islam. Sedang reda atau tidaknya
suatu peristiwa itu hanya Allah yang menguasainya.
Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ
بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(17)وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ(18)
“ Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu,
maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia. Dan jika Dia
mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan
Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-Nya, dan Dialah Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-An-am [6] : 17-18)
Pada suatu ketika, habib Munzir diminta partisipasinya dalam
demo anti Ahmadiyah yang diprakarsai habib lainnya, namun Munzir menolak.
Sehingga, ia dituduh pro Ahmadiyah, karena dia tidak dikenal sebagai orang yang
anti demo tentang apapun.
Menurut penuturan pemudasuci@yahoo.com
diceritakan bahwa: “…demikian pula ketika habib Munzir dicaci-maki dengan
sebutan Munzir Ghulam Ahmad, karena ia tidak mau ikut demo anti Ahmadiyah,
beliau tetap senyum dan bersabar, beliau memilih jalan damai dan membenahi
ummat dengan kedamaian daripada kekerasan, dan beliau sudah memaafkan pencaci
itu sebelum orang itu minta maaf padanya, bahkan menginstruksikan agar
jamaahnya jangan ada yang mengganggu pencaci itu, kemarin beberapa minggu yang
lalu di acara Al-Makmur Tebet habib Munzir malah duduk berdampingan dengan si
pencaci itu, ia tetap ramah dan sesekali bercanda dengan Da’i yang mencacinya
sebagai murtad dan pengikut Ahmadiyah…”
Penuturan tadi mau tak mau membawa kita kepada kesimpulan,
bahwa habib Munzir ini boleh jadi termasuk yang percaya atau toleran kepada
yang meyakini ada nabi lain setelah Muhammad SAW. Kalau tidak, kenapa tidak ada
penjelasan sama sekali? Paling kurang, sikap seperti itu membingungkan bagi
orang yang mau berfikir, sedang bagi yang fanatic, maka menghargainya sebagai
sikap yang terpuji. Padahal di balik itu secara tidak langsung kalau
dihubungkan dengan sikap Abu Bakar Shiddiq khalifah pertama yang memerangi nabi
palsu Musailimah al-kaddzab dan para pengikutnya, maka lafal kekerasan sama
dengan disematkan pula kepada Abu Bakar ra dan para sahabat yang menyerang nabi
palsu.
Apakah habib Munzir lebih baik daripada Abu Bakar ra dan
para sahabat?
Habib Hasan Assegaf
Berkat keberanian seorang guru ngaji bernama Maryam (menantu
Haji Atung), maka keburukan habib Hasan Assegaf terkupas tuntas. Selain
mengidap homoseksualitas, ternyata Hasan Assegaf ini mengidap pedofilia, yaitu
penyakit kelainan orientasi seks yang cenderung melampiaskan hasrat birahinya
kepada anak lelaki muda (usia belasan tahun). Meksi Hasan Assegaf sudah
beristri sejak 2004, namun penyakitnya tetap eksis.
Menurut pemerhati yang biasa menangani kasus pedofilia dan
homoskesualitas, serta paham bahasa gaul, kosa-kata yang digunakan Hasan kepada
korbannya memang lazim digunakan kalangan pengidap kelainan seks seperti waria
atau bencong. Sebagaimana diberitakan majalah GATRA Nomor 15/18 yang
sudah beredar sejak hari Kamis tanggal 16 Februari 2012, ada beberapa istilah
yang digunakan Hasan, misalnya, spg dan vcd beef.
Menurut pemerhati bahasa gaul, vcd beef merupakan
kependekan dari video compact disc (VCD) dan beef adalah BF yang
merupakan kependekan dari Blue Film alias film biru alias film porno, atau
biasa disebut juga bokep. Sedangkan spg merupakan kependekan dari
sepong yang bermakna sederhana isep atau menghisap. Dalam konteks
ini, sepong adalah oral sex (menghisap alat kelamin atau dihisap
alat kelaminnya).
Penjelasan pemerhati bahasa gaul tadi, nampaknya mendukung
cerita jabonjaya yang mengatakan bahwa sejak 2002 Hasan tidak sekedar melakukan
pelecehan (meraba-raba), tetapi menurut bahasa jabonjaya: “…Mereka dioral dan
mengoral sang habib.” (http://nahimunkar.com/11067/fenomena-habib-diduga-cabul-dari-majlis-nm/)
Korban Hasan Assegaf tidak cuma anak lelaki belasan tahun,
tetapi ada sejumlah remaja putri. Sebagaimana diberitakan Tribunnews.com edisi
Rabu, 15 Februari 2012, seorang remaja putri korban Hasan menuturkan, mereka
disuruh foto bugil kemudian foto tersebut ditunjukkan kepada Hasan. Alasannya,
melalui foto bugil itu sang habib bisa melihat keseluruhan isi hati si
perempuan. Indera untuk membaca isi hati dari Hasan akan terhalang jika
perempuan masih mengenakan busana.
Sebagaimana Munzir, sosok Hasan Assegaf juga diselimuti
kisah-kisah fantastis yang bagi orang beriman dan berpendidikan, sulit diterima
akal sehat. Sebagaimana dapat diperiksa pada http://kisahhabib.blogspot.com/2011/03/cahaya-pilihan.html
yaitu: Di tahun 1998, sekitar enam bulan setelah Hasan Assegaf membuka
sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan di belakang rumah Habib Kramat
Empang, Bogor, ia kedatangan seorang jama’ah yang membawa seorang pria berumur
separuh baya. Pria itu minta agar habib Hasan Assegaf bersedia mengobati
kakinya.
Ketika itu, habib Hasan Assegaf sempat bingung, karena ia
belum pernah menangani hal demikian. Namun, karena tidak ingin mengecewakan
tamunya, habib Hasan Assegaf kemudian mengambil sebotol air putih dan
membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit
dengan pesan agar diminum setibanya di rumah. Dua hari kemudian orang itu
kembali lagi dalam keadaan sembuh.
Kisah ajaib bagaikan Ponari sang dukun cilik itu, ternyata
menyebar dari mulut ke mulut, dan anehnya membuat sebagian masyarakat percaya,
sehingga mereka berduyun-duyun menjadi jama’ah Hasan Assegaf.
Bila Munzir bisa melawan harimau jejadian, Hasan Assegaf
bisa mengalahkan kalajengking:
“…suatu hari, ketika Hasan Assegaf bangun tidur,
ranjangnya penuh dengan kalajengking. Maka ia pun segera bangkit dari tidur dan
berdoa. Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua…” Bahkan konon,
selain kalajengking, Hasan pernah menemukan seekor ular di kamar tidurnya.
Cerita pembodohan seperti yang melingkari sosok Munzir dan
hasan Assegaf, tentu sengaja direkayasa untuk membuat sosok keduanya menjadi
begitu bernilai di mata jama’ah yang bodoh ilmu dan lemah iman ini. Artinya,
majlis ta’lim yang mereka dirikan sudah menyimpang dari semestinya. Yaitu bukan
membuat pintar tapi membodohi.
Tidak sekedar membodohi, tetapi juga merugikan masyarakat.
Hal ini sebagaimana pernah diungkap secara terulis oleh Ahmad melalui blog
pribadinya, Minggu 19 Juni 2011, sebagai berikut:
Sabtu malam ini (18/06), lewat jam setengah dua belas malam,
saya beranjak dari kantor di Mampang Prapatan menuju rumah di Depok. Meskipun
kondisi jalanan masih cukup ramai, hal ini wajar terutama pada malam Minggu.
Namun hal yang tampak biasa dan wajar berubah menjadi luar biasa dan
menyebalkan karena adanya rombongan sebuah pengajian.
Sejak sebelum memasuki kawasan Pasar Minggu, kepadatan jalan
raya mulai terlihat dan nampak tidak biasa karena volume kendaraan lebih banyak
dari biasanya. Bunyi klakson bersahutan, baik dari pengendara mobil, sepeda
motor, maupun angkutan umum. Semua tak lebih karena “kemarahan” akibat
kemacetan yang terjadi. Dan “parade” ini terus berlangsung hingga kawasan jalan
Poltangan, tempat pengajian digelar.
Kemacetan semakin parah begitu memasuki Pasar Minggu,
terutama saat memasuki terowongan yang jalannya menyempit. Setelah masuk
terowongan, saya melihat beberapa mikrolet yang disesaki penumpang berbaju
takwa dan kopiah putih, bukan hanya bergelantungan, mereka juga memenuhi atap
mikrolet. Yang mengejutkan lagi, sebagian besar mereka adalah anak remaja yang
kelihatannya masih SD atau SMP. Di bagian belakang mikrolet dipajang spanduk
putih yang ditulis dengan spidol hitam bertuliskan, TEBET BERSOLAWAT, atau pada
mobil yang lainnya, JUANDA-DEPOK BERSOLAWAT, dan pada beberapa bagian ada juga
tulisan bahasa Arab yang bacaanya “Nurul Musthofa”, yang artinya “cahaya
pilihan”.
Perjalanan berlanjut, dan semakin rusuh saja. Selain
intensitas suara klakson yang makin tinggi, laju kendaraan pun semakin lambat.
Bukan itu saja, beberapa jamaah muda yang saya sebut di atas juga mulai turun
ke jalan, entah untuk apa. Stres melanda. Tak bisa melawan, hanya boleh
bertahan. Dan saya hanya menggeleng dan menganggukkan kepala mengikuti irama
klakson yang dibunyikan sebagai satu-satunya cara meredam stres dan kemarahan.
Di sisi jalan, tepatnya di pinggir rel kereta api yang
tanahnya lebih tinggi dari jalan raya, banyak sekali jamaah yang nongkrong
sambil menyimak pengajian dan mondar-mandir tak tentu arah. Beberapa jamaah
yang kelihatannya dari satu keluarga berjalan kaki ke arah berlawanan, bersama
anak-anak mereka yang masih kecil. Di samping itu, terlihat wajah yang pucat
pasi dan kelelahan dari beberapa pengendara mobil yang sempat saya tengok
mukanya. Agresifitas para pengendara motor pun sangat kentara. Mereka tidak
membiarkan ada ruang kosong sekecil apapun di depannya, dan tak hentinya
membunyikan klakson memerintahkan kendaraan di depannya supaya segera maju.
Laju kendaraan perlahan membaik begitu mendekati pusat
pengajian di seputar jalan Poltangan. Setengah jalur menuju Lenteng Agung yang
dijadikan majelis, dijaga ketat oleh beberapa jamaah dan sedikit polisi serta
dipagari dengan tali. Walau kendaraan mulai berjalan lancar –sekalipun
terseok-seok– beberapa pengendara masih meluapkan kekesalannya dengan
membunyikan klakson berulang kali. Kontan saja para penjaga barikade marah.
Mereka (penjaga barikade) meneriakkan ke para pengandara supaya tidak membunyikan
klakson lagi. Teriakannya begini, “Woi, klakson, woi! Pada mau ngaji apa mau
ngapain, sih!” Lho, ‘gimana sih? Yang membunyikan klakson tentu saja bukan
orang yang datang untuk mengaji, melainkan mereka yang terganggu karena
kemacetan ini. Dan tak lama setelah teriakan tersebut, ada salah seorang yang
berteriak, “b**gsat!”. Malu saya mendengarnya, ada kata makian di tengah
pengajian.
Sambil melintasi para jemaah yang sedang mengikuti
pengajian, saya mencoba untuk tetap tenang dan sesekali mencuri pandang ke arah
pengajian karena penasaran, “apa yang disampaikan oleh sang ustadz?” Anehnya, sang
ustadz tidak ada di situ, melainkan sebuah proyektor yang menayangkan
sang Ketua Majelis sedang memberikan ceramah. Rasa penasaran saya akan isi
pengajian nihil, karena saya sama sekali tidak bisa mendengar apa yang
disampaikan oleh sang Ketua majelis di layar proyektor. Suara bising kendaraan,
klakson yang masih saja “meraung”, serta teriakan orang-orang memecahkan
konsentrasi ketika menyimak tausyiah sang ustadz yang tak dapat didengar dengan
baik.
Setelah cukup sabar menanti, siksaan “efek pengajian di
jalanan” pun berakhir. Laju sepeda motor saya kembali kencang, dan tak ada lagi
klakson kemarahan. Kemacetan malam itu menyisakan kesan yang sangat mendalam
sekaligus banyak pertanyaan.
Saya sangat terkesan, mengapa orang mau berbondong-bondong
datang ke pengajian seperti itu, padahal tidak semuanya mengikuti pengajian
dengan sungguh-sungguh, apalagi melihat cukup banyak anak-anak dan ibu-ibu yang
mengajak serta anaknya yang masih kecil untuk ikut pengajian.
Saya terkesan bagaimana para jamaah dengan kompaknya bersatu
demi tertibnya pengajian tersebut (tidak berlaku untuk ketertiban di luar
pengajian). Tapi di luar itu, saya tak habis pikir, mengapa mereka memilih
mengadakan pengajian di tengah jalan raya yang jelas-jelas menganggu ketertiban
umum? Bukankah mengadakannya di tanah lapang yang luas atau masjid yang besar
adalah pilihan (lebih) bijak? Lalu, kemana aparat kepolisian yang bertugas
menertibkan lalu lintas?
Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah mereka, para petinggi
majelis sadar akan situasi ini? Kesemrawutan dan ketidaktertiban berlalu lintas
yang terjadi ketika jamaahnya mengadakan pengajin yang menyebabkan banyak pihak
(terutama pengendara) merasa tidak nyaman dan merasa terganggu? Sampai
dimanakah batas toleransi yang mereka miliki?
Sadarkah mereka kalau kemacetan menimbulkan banyak kerugian
materil maupun imateril bagi orang lain (berapa cc bahan bakar dan waktu
terbuang, berapa banyak orang yang merasa kesal dan marah). Mengingat banyak
orang yang mengeluhkan setiap diadakannya pengajian yang selalu mengganggu
ketertiban umum?
(http://dunianyajulia.blogspot.com/2011/06/cahaya-pilihan-pengajian-dan-bangsat.html)
***
Pemerintah sudah seharusnya tegas kepada kelompok-kelompok
seperti ini, yang menjadikan agama (Islam) sebagai tameng, menjadikan majlis
ta’lim sebagai kedok, untuk memenuhi syahwat duniawi pemimpinnya. Caranya,
jangan beri izin kepada majlis-majlis seperti ini yang menggelar pengajian
dengan cara menutup sebagian ruas jalan. Jalanan bukan tempat mengaji. Masjid
dan mushalla adalah tempat yang semestinya untuk itu.
Apa-apa yang mereka lakukan sama sekali jauh dari kaidah dan
etika majlis ta’lim yang semestinya mencerdaskan serta mencerahkan, justru
kontraproduktif, yaitu menstigma Islam sebagai biang kekacauan. Bahkan ketika
mereka menggelar muludan dengan nuansa yang seperti itu, apalagi diramaikan
dengan letusan puluhan petasan (mercon), maka apa-apa yang mereka lakukan sama
sekali tidak akan menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi justru
kebalikannya. Begitulah cara musuh-musuh Islam memfitnah Islam dan Nabi
Muhammad Rasulullah: mereka menggunakan atribut Islam, menyebut-nyebut cinta
Rasul, namun output yang mereka hasilkan adalah kebencian.
Kelompok-kelompok seperti ini jelas berbahaya, sama bahayana
dengan terorisme yang meledakkan sejumlah bangunan dan menewaskan sejumlah
orang seperti Bom Bali dan sebagainya. Bahkan kelompok-kelompok seperti ini
memang berbahaya. Karena kelompok-kelompok seperti ini –secara sadar atau
tidak— secara tidak langsung membenamkan citra negatif ke dalam benak sejumlah
orang terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW. Mereka –sadar atau tidak— menjalani
perbuatan yang hakekatnya sama dengan menggerogoti dan melakukan pembusukan
dari dalam.
(haji/tede/nahimunkar.com)
[i] muludan (acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Syiah Fathimiyah Mesir, jadi
bukan berasal dari Islam, lihat artikel Sejarah Peringatan Maulid Nabi
[ii] - Ungkapan sic (dibaca “sik”)
diambil dari bahasa Latin yang berarti “jadi”, “begitulah” (serupa dengan
“thus” dalam bahasa Inggris). id.wikipedia.org/wiki/Sic
Tidak ada komentar:
Posting Komentar