Tanya : Bagaimana
sikap kita dalam menghadapi pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia
menjalankan pemerintahannya tidak sesuai tuntunan Islam dan
menyia-nyiakan hak rakyat ?
Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah
memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan)
agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya
:
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin
yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana
sabdanya :
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ
وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak
ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin
rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan
mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].
Lantas,
bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang dhalim lagi
menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal ini,
sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah,
serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena
tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
semenjak empatbelas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19
atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam.
Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه
الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من
الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف
أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di
dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada
penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka
berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar
ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh
lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala
supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak
kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah
meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
عن
علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ
عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا
تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ
بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا
حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah,
bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan
atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau
perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan
hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais
menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab :
“(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah
atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian
perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Hadits
di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah
(Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa serta tetap
mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf.[1] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ
إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ
وَلا طَاعَةَ
“Wajib
atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’)
pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu
menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat
maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]. [2]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :
وفيه
: أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : ((
يعني :سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه
أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن
لا يجوز له محاربة الإمام ))
“Dalam
hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa
jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah
atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar mengomentari
hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya
adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa
yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah
penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika
penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya
(dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh
membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
“Jika
sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di
sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi,
engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya”
[Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
ketika terjadi fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur
Mu’tazillah dan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk. Para penguasa banyak menumpahkan darah dan memenjarakan para
ulama dan kaum muslimin, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Kisah
kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa yang dhalim ini sudah
sedemikian masyhur [3]. Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan :
أجتمع
فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل
– رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار
القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para
ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad
bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena
penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka
mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu
ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk [4]
dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin).
Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau
(Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian
mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan
tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian
memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan
darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat
yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan
bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari
orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar
dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah
tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun –
termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita
miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa
kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah
terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat
rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang semisalnya. Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar)
akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin
terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk mendengar dan taat pada
perkara yang mubah dan ma’ruf
pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para
pemimpin. Apabila itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala,
diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula,
muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri
Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Ini
bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.....
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ
عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa
yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu
perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan
tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk
menyampaikan nasihat). Bila
sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik.
Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia
(si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan
kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].
Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu,
dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak
melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).
عن
أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا
أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا
أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui
‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab :
“Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku
perdengarkan di hadapanmu ? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya
dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana
aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]. [5]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه
ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة
عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل
له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا
يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم
يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على
المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة
لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa
yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian
permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di
hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah
ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya,
mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah
mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam
dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak
bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi :
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].
Mengapa
disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena ia telah berani
menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara
menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan
dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.
Kita
tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang haq itu adalah
haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa kita
menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala
Yahudi yang menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk
tidak mengatakan bahwa riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada
umat tentang hal tersebut dan memperingatkan mereka agar menjauhi riba
dengan segala macam jenis dan cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan
perkataan-perkataan yang bernada mencela pemerintah/penguasa yang
memprovokasi massa serta membakar emosi khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.
Kesimpulan : Bila
kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan
dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk
bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang
mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin,
majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya
yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus
kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata
umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti
ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin
menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum
muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah
petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak
ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa
berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin
kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya.
Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat
masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka
terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan
mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu
Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini
merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti
petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya,
maka ia akan binasa. Wallaahu a’lam.
DIALOG LANJUTAN……
Tanya : Saya
setuju dengan pernyataan taat kepada pemimpin. Namun, menurut saya,
semua itu terkait dengan pemimpin yang masih berhukum dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin yang tidak berhukum
dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang) ? Dan tolong hubungkan
dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?
Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :
إنَّهَا
سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا
رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ
تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ
لَكُمْ
“Sesungguhnya
sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari
dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang
engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau menjawab :
“Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan
mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].
Imam An-Nawawi berkata :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar
dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih
mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]
Beliau kemudian melanjutkan :
فيه
الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من
الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف
أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah)
ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun
ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya
(sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya,
dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan
oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan
diri kepada Allah ta’ala
supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya,
dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan
kedhalimannya)” [idem, 12/232].
Al-Atsarah sebagaimana
yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang
menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan
kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam
realitas kehidupan kita, maka al-atsarah
tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi,
nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe
penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang
mesti diperbuat oleh kaum muslimin ketika menemui atsarah ini ? Keluar dari ketaatan ? atau bahkan memberontak (kudeta) ? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
– dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at Islam – tetap
memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf, selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir) dan masih menegakkan shalat.
عَن
عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله
صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا
أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة
علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله
فيه برهان
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru
kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap
beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang
dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika
kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut
perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا
مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ
شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ
“Sebaik-baik
pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka
mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun
sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka
pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak,
selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian
melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah
perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur
ketaatan terhadap penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali
paling agung (setelah ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat
menjerumuskan seseorang pada kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah diberikan kecuali pada seorang muslim.
Adapun tentang firman Allah ta’ala :
وَمَن
لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ
اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS. Al-Maidah : 44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Maidah : 45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maidah : 47] [10]
maka ayat di atas juga tidak memutlakkan setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa
yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal
itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah).
Jika
ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar)
terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan
mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku
kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain.
Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :
فإن
الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم
يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك
هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.
Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap
pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku
kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]. [11]
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi
ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk
bertaubat). Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai
berikut :
Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله
تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ
بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه
الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ،
وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن
المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان
عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا
مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ،
لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ،
كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.
”Firman Allah ta’ala : Barangsiapa
yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah :
44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang
yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi
mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi
yang menyelewengkan firman Alah ta’ala,
sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah
orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang
menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah :
Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala
pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu
dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia
kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian
(tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar,
karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban
menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya.
Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah
diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya
berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah.
[Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
أن
من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت
اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم
فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛
فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq.
Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa
dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan
Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi
tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir 2/366]. Dan lain-lain [12].
Jika ada orang yang berkata :
"Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan
hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah
kafir ?". Maka kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang
dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang
membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah
hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka
bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar).
Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :
وهذا
يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن
حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران
للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil
(mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum
dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia
adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah
tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa
(3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Jika kita tidak
bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh kita
menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga
menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]
Inti
dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya seseorang dengan
satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu mengharuskan
adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan hadits :
لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة
“Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka
setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama
kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no. 22214; shahih].
Perhatikanlah ! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir)
hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa
bagiannya. Nash ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya
adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi
pemahaman bagi kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan
(yaitu QS. Aali Imran : 118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا
يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ
مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا
لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan : 118].
Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min duunikum
di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang kafir.
Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang
kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali ‘Imran : 118].
Sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah
tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka menerapkan ayat tersebut
dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap diperintahkan untuk
mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus Islam dan
menegakkan shalat.
Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :
يَكُونُ
بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ
بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ
الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ
لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya)
kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu
dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]
Wallaahu a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H].
[1] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنما الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].
[2] Sebagian
orang ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang
memerintahkan kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis
gugurlah ketaatan kepadanya secara keseluruhan berdasarkan hadits
tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak benar. Sudah menjadi
pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa yang
gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan
secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah,
barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin),
kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan
kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang
dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan
tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
[3] Misalnya dapat dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi yang tersebar dalam beberapa juznya.
[4] Perkataan ini adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.
[5] Ibnu Hajar berkata [أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة]
“Yaitu pintu mengingkari para penguasa dengan cara terang-terangan (di
hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin
akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13 penjelasan hadits nomor 6685].
[6] Pengertian atsarah
yang diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana
yang diterangkan oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan makna Atsarah :
“Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan dunia, dan
menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di
tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].
[7] Kekufuran
yang nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran
yang didasari atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari
agama Islam (kufur akbar), secara yakin tanpa adanya
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memalingkannya dari kekufuran
tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah
ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan hujjah
yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.
Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan
dengan sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah
mengatakan kafir hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at
Allah. Namun kekafiran tersebut tidaklah bisa langsung kita voniskan
secara individu kepada setiap orang yang melakukannya. Barangkali saja
orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang dicelanya tersebut adalah
syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena terpaksa/dipaksa.
Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang tersebut
tidaklah berlaku.
[8] Sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :
لو استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا
“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Maka kita jawab : Pertama, Satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz. Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah
itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang
termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang
lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam
tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang,
bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan. Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah].
Intinya, bahwa seorang pemimpin itu harus tetap didengar dan ditaati
serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika ia masih menegakkan
shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.
[9] Perhatikan hadits berikut :
عَنْ
جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].
[10] Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya
adalah “tidak berhukum”. Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari
sekedar pada orang yang memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga
kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
[11] Namun
anehnya, mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada
pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada diantara ayah-ayah
mereka yang membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at Islam
(sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak
berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah ?
[12] Apabila
tidak khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan
semua yang kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.
[13] Sesuai dengan kaidah dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar