Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi
bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang
janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau
dilakukan oleh orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun
elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk
menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU
didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk
menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.
Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/
Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada
gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.
Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai
berikut:
Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan
penghapusan khalifah di Turki[1]
Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi
anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak
1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda,
karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.
Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski
dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbulah
mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak
jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping
pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak
dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang
saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka
yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]
Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab
Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk
Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan
Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes
terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang
membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang,
tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke
Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan
pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud
menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU
tersebut.”[4]
Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda,
ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H
Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:
“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan
di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai
reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh
Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan
mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari
Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]
Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan
diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU
bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya
di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara
eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.
Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima
asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti
meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]
Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU
memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut
mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah
Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas
Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU
yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Golkar.
Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999,
Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama
15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman
Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi
(Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]
Musykilat seputar berdirinya NU
Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat
tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis
oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan
kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang
pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat
dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari
penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat
pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite
Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua
Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam
dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan
Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres
Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin
(Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8],
sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di
Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun
1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan
pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun
ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian
mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi
dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia
untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di
Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6
Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan
pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara
organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926)
telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji
Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.
Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di
Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan
usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca
do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab,
dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah
dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab
Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite
Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan
rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga
dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan
suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah
menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.
Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]
Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru
muncul) sebagai berikut:
Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran
Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab
tarikh… Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud
sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir
menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan
sebagainya.
…Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada
mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di
situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi
kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di
mana qubur tersebut.[12]
Organisasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada
mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga
langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya
dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang
tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan
untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan
pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada
raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta
memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji
Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang
Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud
agar:
… tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan
mazhab Syafi’i.
…melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang
mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.
…menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan
ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.
…tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang
benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau
mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.
… memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang
sudah-sudah.
…jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada…dan qubahnya
aulia atau ulama…
…mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang
masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah
terus Madinah…
…melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah
Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan
kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan
tambahnya ongkos-ongkos…., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite
pengurus haji di Mekkah).[13]
Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan
perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat
berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul
Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan
tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam
undang-undang Hijaz.
Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu
Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang
dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu
tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.
Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam
bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres
Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan
kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU)
malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di
Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]
Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus
delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan
bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke
Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul
Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang
Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada
tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua
utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di
Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.
Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa
perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu.
Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini
tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas
dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang
Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan
Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang
dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]
Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU
Untuk menghindari berbagai interpretasi dari
berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari
kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh
surat resmi Raja
Saudi kepada NU:
بسم
الله الرحمن الرحيم
KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA
Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.
Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh
Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته.
Surat saudara tertanggal 5 Syawwal
1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami
dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang
menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul
Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir,
Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.
Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur
wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi
Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk
memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah
melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at
Islam.
Adapun yang berkenaan dengan kebebasan
orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan,
dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka,
kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang
menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih
dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan
tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya,
maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha
Pencipta.
Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada
apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami
lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham
ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.
Kami memohon kepada Allah semoga memberi
taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik.
Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
Tanda tangan dan stempel[16]
Demikianlah surat Raja Abdul Aziz
membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.
(Gambar surat Raja/ scan surat)
Masalah Kitab Dalail al-Khairat
Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan
kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih
mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. ”Perjuangan”
mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun
bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara
isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari
Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia
tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi
tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.
Untuk memudahkan pembaca, maka di sini
diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail
al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai
berikut:
Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:
Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan
shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan
lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail
al-Khairat?
Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan
dzikir-dzikirmasyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama
telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam
kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul
Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib,
dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan
dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.
Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah
wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan,
maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti
At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali
Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan
kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa
Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem
Limukholafati Ash-habil Jahiem,keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas
bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan
menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah
disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keempat: Adapun Kitab Dalail
al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena
di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah
dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya
darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam
Kitab Dalail Al-Khairat itu).
Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts
al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:
Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin
Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17]
Dalam Kitab Dalail al-Khairat di
antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:
اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء
وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .
“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas
Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah
Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”
Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail
Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya
merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka
itu telah terbantah oleh firman Allah:
{قُلْ
لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ
تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا} [الكهف: 109]
“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]
Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia
yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh
sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya
termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan
fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk
dilestarikan dan dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan,
karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut
syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar
sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya
seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU
itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga
surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh
ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.
Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang
ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:
“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah
mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan
dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya
memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja
bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan
oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di
Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan.[19]
Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan
bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU
di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid,
didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus
Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan
lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata
bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan
wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model
NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara
resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang
termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi
adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat
penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin
sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui
bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan
itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan
secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan
10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang.
Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk
menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]
Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula
hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan
–dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa– itu sebenarnya adalah untuk
melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu
ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya
organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama
secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para
pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan
bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan
Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan
terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri
terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa
aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin
Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI
(Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan
Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun
kelompok kiri anti Islam.
Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan,
sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti
hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh
musuh Islam untuk kepentingan mereka?
Catatan kaki:
[1] Pada
tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal
Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki,
diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan
Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan
berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan
hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan
dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus
menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki,
namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam
maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa,
Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).
[2] Muktamar
Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan
Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab
Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres
Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI
(Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas
Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang
akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal
pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon
Islam, 1, halaman 340).
[3] Karel
A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk
pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926.
Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum “modernis”, yang tidak
lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam
Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di
Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap
merupakan perguruan yang paling disukai.
[4] Steenbrink,
ibid, halaman 68.
[5] H
Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali,
Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.
[6] Leksikon
Islam, 2, halaman 520.
[7] M
Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31
Januari 2001, halaman 6.
[8] Deliar
Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut
ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar
bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain
meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan
tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di
samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.
[9] Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES,
Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.
[10] Menurut
catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang
mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang
pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri
tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah
mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini
menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II
(Kairo: Dar al-Maarif, tiada
tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail
al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.
[11] Deliar
Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I
No. I (1 Rajab
1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
[12] Deliar,
ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.
[13] Deliar,
ibid, hal 244.
[14] Deliar
Noer, ibid, halaman 245
[15] Surat
ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan
Nahdlatul
Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.
[16] Al-Arkhabil,
Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.
[17] Fatwa
Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah,
Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.
[18] Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah
al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi
Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.
[19] KH
Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.
[20] Hartono
Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah,
Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.
__________________
Dikutip dari buku: Bila Kiyai
Dipertuhankan
– Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional.
karya: Hartono Ahmad Jaiz, Terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar