Permasalahan
tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah ta’ala merupakan
permasalahan yang urgent untuk dibahas. Ada di antara kaum muslimin yang
berlebih-lebihan, ada pula yang meremehkannya. Melalui artikel kecil ini, saya
akan sedikit membahas kaedah yang terkait dengan permasalahan, terutama dalam memahami
kekeliruan pemahaman golongan yang berlebih-lebihan, sehingga mereka
mengkafirkan orang secara membabi buta.
1.
Berhukum dengan
Hukum Allah ta’ala Merupakan Fardlu ‘Ain Bagi Setiap Muslim.
Ada beberapa hal
yang bisa diturunkan dari kaedah ini :
Pertama,
wajib berhukum dengan syari’at Allah ta’ala. Allah ta’ala
berfirman :
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ
ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”
[QS. Al-Maaidah : 49].
Kedua,
wajibnya berhukum kepada syari’at Allah ta’ala dengan ridlaa dan tasliim
terhadap syari’at-Nya itu. Allah ta’ala berfirman :
فَلا
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Ketiga,
terdapat ancaman bagi siapa saja yang tidak berhukum dengan syari’at Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman :
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].
NB : Inilah tiga
keadaan yang difirmankan Allah ta’ala tentang orang yang tidak berhukum
dengan syari’at yang diturunkan-Nya (kafir, dhalim, dan fasiq). Adalah satu
keanehan yang kita lihat dari orang-orang takfiriy ketika mereka
menghukumi orang yang tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah
hanya dengan satu keadaan saja, yaitu kekafiran. Dan kekafiran menurut mereka
adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam.[1]
Keempat,
terdapat peringatan bagi siapa saja yang menyelisihi perintah Allah dan
Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman
:
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Kelima,
hukum Allah ta’ala adalah yang paling baik dan bijaksana/adil. Allah ta’ala
berfirman :
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
[QS. Al-Maaidah : 50].
Keenam,
hukum Allah merupakan ruuh dan cahaya. Allah ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ
وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ
عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”
[QS. Asy-Syuuraa : 52].
2.
Asal dari Perkara
yang Menyelisihi Syari’at adalah Peniadaan Kekafiran padanya. Adapun
Penghukuman Kekafiran, Maka Ia adalah Perkara yang Keluar dari Hukum Asalnya.
Maksud kaedah ini
adalah bahwasannya seluruh perkara yang menyelisihi syari’at tidaklah
mengkafirkan pelakunya, kecuali yang ditunjukkan dalil atas kekafiran hal
tersebut.
Ada dua hal yang
dapat diturunkan dari kaedah ini, yaitu :
a.
Barangsiapa yang
hendak memindahkan perkara-perkara yang dilarang syari’at dari hukum asalnya (peniadaan
kekafiran) ke tempat yang menyelisihi hukum asalnya (menjadi kafir), wajib
baginya mendatangkan dalil. Apabila ia tidak mendatangkan dalil, maka
perkataannya itu tidak dianggap sama sekali.
b.
Sebaliknya,
barangsiapa yang menghendaki peniadaan kekafiran dari perkara-perkara yang
dilarang syari’at, maka cukup baginya untuk berdalil akan kaedah asal ini, dan
tidak adanya dalil yang memindahkan/mengeluarkan dari hukum asal tersebut.
Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أن
كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو
تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد
إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر
، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa
saja dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu
berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau
menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang
murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka
perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah
(akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang
keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau
sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Ini
semisal dengan kaedah-kaedah fiqhiyyah, sebagaimana diterangkan Ibnul-Mundzir rahimahullah
:
إذا
تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ طهارته
“Apabila
seseorang bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil
yang menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut” [Al-Ausath,
1/230].
Dari
sini dikeluarkan satu kaedah dalam permasalahan yang dibahas :
“Sesungguhnya
hukum asal permasalahan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah adalah
tidak mengkafirkan pelakunya. Barangsiapa yang menghukumi kekafiran dalam satu
atau beberapa permasalahan, maka wajib baginya mendatangkan dalil. Barangsiapa
yang tidak mendatangkan dalil, maka perkataannya itu tidaklah dianggap sama
sekali”.
Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لتنقضنَّ
عرى الإسلام عروة عروة، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضا
الحكم وآخرهن الصلاة
“Sungguh
akan dilepaskan buhulan-buhulan agama islam satu buhul demi satu buhul, setiap
satu buhul dilepaskan, para manusia akan berpegangan dengan buhul selanjutnya.
Buhul paling pertama dilepas adalah HUKUM, dan yang paling akhir adalah shalat”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibbaan, Al-Haakim, dan yang lainnya; shahih].
Sisi
pendalilannya : Buhul pertama yang lepas dalam agama Islam adalah hukum, yaitu
keadaan kaum muslimin yang tidak berhukum dengan syari’at Allah ta’ala.
Namun di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih
menisbatkan padanya Islam.
3.
Permasalahan
Berhukum dengan Hukum Allah Tidaklah Dikhususkan Hanya untuk Orang Tertentu
Saja, Tidak Bagi yang Lain.
Ini selaras dengan
kaedah yang pertama.
Oleh karena itu,
permasalahan ini tidaklah dikhususkan bagi qaadliy, amir/pemimpin, atau
hakim tinggi saja. Bahkan menyeluruh bagi setiap muslim tanpa terkecuali,
termasuk setiap orang yang memutuskan sebuah perkara/urusan antara dua orang.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata :
وكل
من حكم بين اثنين فهو قاضٍ ، سواءً كان صاحب حربٍ ، أو متولِّي دِيوان ، أو
مُنتصِباً للاحتساب بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، حتى الذي يحكم بين الصبيان
في الخطوط
“Semua orang yang
memutuskan perkara antara dua orang, maka ia dianggap sebagai qaadliy.
Sama saja, apakah ia shaahibul-harb, orang yang ditugaskan di
kantor/mahkamah, petugas yang mempertimbangkan amar ma’ruf dan nahi
munkar, hingga orang yang memutuskan perkara dua orang anak berkenaan
dengan buku mereka…” [Al-Fataawaa, 18/170].
Berhukum dengan
hukum Allah ta’ala itu wajib bagi amir (pemimpin) atau ma’muur
(yang dipimpin/rakyat). Barangsiapa yang mengkafirkan satu bentuk
permasalahan, maka itu melazimkan ia mengkafirkan setiap orang yang yang jatuh
dalam bentuk kekafiran tersebut. Sama saja, apakah ia seorang amir
ataupun ma’muur.
Nah,
setidaknya dari tiga hal di atas dapat dikatakan beberapa hal sebagai berikut :
Ø Orang
yang berbuat maksiat kepada Allah ta'ala, maka pada hakekatnya ia tidak
berhukum dengan syari'atnya dan meninggalkannya. Tidak ada bedanya, apakah
kemudian ia berhukum dengan hawa nafsunya, berhukum dengan temannya, berhukum
dengan orang tuanya, atau berhukum dengan peraturan tertulis. Barangsiapa yang
mengatakan ada bedanya, hendaknya ia mengemukakan dalil.
Jika dikatakan
bahwa seseorang itu mencuri, maka ia tidak berhukum dengan hukum Allah ta'ala.
Apakah ia dikafirkan ?. Jawabnya tidak dengan kesepakatan ulama. Inilah hukum
asalnya. Oleh karena itu Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
فإن
الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم
بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون
. فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم
يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah
telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq
; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya
mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena
setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah” [Al-Fishaal, 3/234].
Ø Tidak
ada bedanya antara menghukumi diri sendiri, atau menghukumi orang lain dalam
permasalahan berhukum dengan hukum Allah, karena berhukum dengan hukum Allah
itu fardlu 'ain bagi setiap muslim. Nash ancaman bagi orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah itu juga umum. Tidak dikhususkan bagi orang
tertentu, atau permasalahan tertentu.
Sebagaimana telah
dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwa orang yang memutuskan
setiap perkara itu disebut hakim. Tidak terikat dengan titel atau jabatan
tertentu.
Terkait dengan hal
tersebut, Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa kecurangan dalam hukum itu
termasuk dosa besar, namun tidaklah mengkafirkan secara mutlak pelakunya. Ibnu
'Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وأجمع
العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمد ذلك عالما به، رويت في ذلك
آثار شديدة عن السلف، وقال الله عز وجل: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ
اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾،﴿ الظَّالِمُونَ ﴾،﴿ الْفَاسِقُونَ ﴾
نزلت في أهل الكتاب، قال حذيفة وابن عباس: وهي عامة فينا؛ قالوا ليس بكفر ينقل عن
الملة إذا فعل ذلك رجل من أهل هذه الأمة حتى يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله
واليوم الآخر روي هذا المعنى عن جماعة من العلماء بتأويل القرآن منهم ابن عباس
وطاووس وعطاء
”Para ulama telah bersepakat
bahwa kecurangan dalam hukum termasuk dosa besar bagi yang sengaja
berbuat demikian dalam keadaan mengetahui akan hal itu. Diriwayatkan
atsar-atsar yang banyak dari salaf tentang perkara ini. Allah ta’ala berfirman
: (Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir) , (orang-orang yang
dhalim), dan (orang-orang yang fasiq); ayat ini turun kepada Ahli
Kitab. Hudzaifah dan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhumaa telah berkata :
”Ayat ini juga umum berlaku bagi kita”. Mereka berkata : ”Bukan kekafiran yang
mengeluarkan dari agama apabila seseorang dari umat ini (kaum muslimin)
melakukan hal tersebut hingga ia kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir. Diriwayatkan makna ini oleh
sejumlah ulama ahli tafsir, diantaranya : Ibnu ’Abbas, Thawus, dan ’Atha’” [At-Tamhiid,
5/74].
Kecurangan dalam hukum
itu banyak bentuknya, termasuk dalam hal ini menghukumi secara lancung
menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah dalam perkara-perkara yang diputuskan.
Jika satu bentuk
permasalahan tidak berhukum dengan hukum Allah dihukumi kafir, maka hukum kafir
itu juga berlaku pada semua keadaan orang yang terjatuh dalam bentuk
permasalahan dimaksud.
Orang yang melakukan
kecurangan hukum dengan berhukum selain yang diturunkan Allah, maka ia tidaklah
dikafirkan karena kembali ke hukum asalnya. Kecuali, jika ia menghalalkannya.
Abu Abdillah
Al-Qurthubi berkata rahimahullah berkata :
قال
ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود
والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو
من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له
"Telah berkata
Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang
yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari
kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkannya
(berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa
yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan,
maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah.
Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya”
Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an, 6/; tafsir QS. Al-Maidah : 44].
Jika
Anda memahami keterangan di atas, maka Anda – insya Allah – akan tahu kesalahan
logika dan pendalilan yang dilakukan oleh orang-orang takfiriy.
Semoga
penjelasan ringkas ini ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– jl. Arjuna 4/6, wonokarto, wonogiri, 1432].
واعلم: أن تحرير المقال في هذا البحث: أن الكفر والظلم
والفسق، كل واحد منها أطلق في الشرع مراداً به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة
أخـرى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معارضاً للرسل، وإبطالاً
لأحكام الله؛ فظلمه وفسقه وكفره كلها مخرج من الملة. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معتقداً أنه مرتكب حراماً، فاعل قبيحاً، فكفره وظلمه وفسقه غير
مخرج من الملة
“Ketahuilah,
bahwa kesimpulan dari pembahasan ini, bahwa penggunaan istilah kekufuran, kedhaliman
dan kefasikan dalam dalil-dalil syariat terkadang maksudnya adalah
kemaksiatan dan terkadang yang dimaksud adalah sesuatu yang mengeluarkan dari
Islam.
Maka
barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah karena
menentang para rasul dan membatalkan hukum Allah, maka kekufuran, kedhaliman
dan kefasikannya mengeluarkannya dari Islam. Dan barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa dia
telah melakukan keharaman dan melakukan kejelekan; maka kekufuran, kedhaliman
dan kefasikannya tidak mengeluarkan dia dari Islam” [Adwaaul-Bayaan, 2/104].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar