Wanita Korban Mut'ah Bertanya Hukum, MUI Pusat Menjawabnya
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan tentang nikah
mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami
karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang
laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak
dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang
pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang
kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya
selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah
bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda
pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan
dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa
bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke
mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak
banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah
antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa
dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai
kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa
yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera
melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas
bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Jawaban MUI Pusat
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah,
la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah
yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran,
termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran
menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran
al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan
kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh
kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui
bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah
ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama
dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan
keluarga yang langgeng (mitsaqan
ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar
kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling
kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan
untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan
ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok
sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan
kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih
dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa
ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya
sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini,
ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para
wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita
selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk
diperlakukan secara baik (mu’asyarah
bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia
juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran
Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu,
sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut
bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga
tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah
mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana
disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat
dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam
kitabnya I’anah
at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya,
nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena
tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah
tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan
tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya
pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini
pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana
dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar
dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian
diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi
kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari
ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan
untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan
melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh
dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi
pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi
wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para
sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah
mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut
telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan
dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh,
dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas
r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas
membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika
dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan
tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut.
Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak
memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang
saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam
keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika
dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang
kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah,
dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan
dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang
menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum.
Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab
dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan
bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika
perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam
Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan
bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w.
memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya
Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan
dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya
barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan
jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian
mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai,
Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat
untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat
terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena
itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap
melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana
disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama
sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka
hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w.
masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari
kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah
mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan
ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan,
saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah
yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”.
Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan
dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi,
sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga
sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang
menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan.
Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni
suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan.
Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk
menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu
tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka
waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada
lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah
istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya
tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi
istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah
tersebut.
Apabila
kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah,
jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk
dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT
adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya
sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada
ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara
bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang
diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan
hati bahwa Allah ‘azza wajalla
akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam
bi as-shawab (Oleh Drs.
H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)
Sumber: mui.or.id pada halaman konsultasi agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar