Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah Mengais Sisa-sisa Makanan Karena Lapar
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil
Hanabilah,I:298, tentang biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan.
Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya,maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.
Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemida non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengantidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”
Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at
Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.
Artikel www.KisahMuslim.com
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu Thabaqatil
Hanabilah,I:298, tentang biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan.
Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya,maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.
Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemida non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengantidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”
Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at
Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.
Artikel www.KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar