Keliru
memahami bahwa memberikan suara berarti mendukung demokrasi padahal
ulama yang membolehkan nyoblos tidak berpandangan seperti itu.
Tulisan kami sebelumnya di Muslim.Or.Id: http://muslim.or.id/ akhlaq-dan-nasehat/ pelajaran-dari-perdebatan-dalam -memberikan-suara-dalam-pemilu .html
Dalam tulisan kami lainnya di Muslim.Or.Id: http://muslim.or.id/manhaj/ menggunakan-hak-suara-dalam-pem ilu-beda-dengan-masuk-parlemen .html
Muslim.Or.Id sudah beberapa kali memuat fatwa ulama besar yang menunjukkan bolehnya kita menggunakan hak pilih kita dalam Pemilu. Tujuannya adalah untuk mengambil mudhorot (bahaya) yang lebih ringan. Apa yang diambil? Yaitu agar tokoh-tokoh pembawa kerusakan dapat dibendung, bukan dalam rangka mencari pemimpin yang dapat menegakkan hukum Islam di tanah air kita.
Dalam kaedah fiqhiyyah Syaik As Sa’di disebutkan,
وَضِدُّ تَزَاحُمُ المفَاسِدِ
يُرْتَكَبُ الأَدْنَى مِنَ المفَاسِدِ
Lawannya, jika bertabakan dua mafsadat,
Pilihlah mafsadat yang paling ringan.
Dan agama ini bisa jadi tegak lewat orang-orang yang fajir atau keji. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal pada saat perang Khoibar untuk menyeru manusia dengan mengatakan,
إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Sejatinya tidak ada yang dapat masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang beriman. Namun demikian kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat)” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111)
Abu Hurairah menceritakan tentang sebab munculnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Abu Hurairah berkata bahwa beliau mengikuti perang Khoibar. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang mengaku membela Islam, “Ia nantinya penghuni neraka.” Tatkala orang tadi mengikuti peperangan, ia sangat bersemangat sekali dalam berjihad sampai banyak luka di sekujur tubuhnya. Melihat pemuda tersebut, sebagian orang menjadi ragu dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata luka yang parah tadi membuatnya mengambil pedang dan membunuh dirinya sendiri. Akhirnya orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, Allah membenarkan apa yang engkau katakan.” Pemuda tadi ternyata membunuh dirinya sendiri. Rasul pun bersabda, “Berdirilah wahai fulan (yakni Bilal), serukanlah: Sejatinya tidak ada yang dapat masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang beriman. Namun demikian kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagian saudara kita memberikan tanggapan bahwa sungguh sia-sia keberadaan orang baik di Parlemen. Atau mereka katakan bahwa partai adalah hasil demokrasi yang sudah barang tentu menyimpang dari ajaran Islam. Komentar seperti ini tidak tepat sasaran.
Ingat bahwa menggunakan hak suara dalam Pemilu bukan dalam rangka mencari pemimpin yang akan menegakkan Islam, namun dalam rangka meminimalkan ruang gerak para penjahat dan musuh Islam.
Lihatlah dahulu, pada awal kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah, beliau membuat perjanjian damai atau kerjasama dengan kaum Yahudi untuk mempertahankan kota Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepenuhnya memahami bahwa Yahudi tidak akan membela Islam apalagi menegakkan syari’at Islam. Beliau melakukan hal itu untuk meminimalkan ancaman dan resiko serangan kafir Quraisy dan sekutunya. Kisah perjanjian tersebut dimuat dalam kitab-kitab sirah dan dikisahkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Demikian fatwa ulama yang membolehkan menggunakan hak suara pada Pemilu mendatang juga maksud mereka adalah seperti itu.
Fatwa ulama dalam memberikan suara dalam Pemilu:
http://muslim.or.id/manhaj/ golput-ataukah-memberikan-suara .html
http://muslim.or.id/manhaj/ fatwa-ulama-memberikan-suara-da lam-pemilu.html
http://muslim.or.id/manhaj/ fatwa-ulama-2-memberikan-suara- dalam-pemilu.html
Memilih untuk Golput ataukah tidak, bukan masuk dalam masalah manhaj, namun karena maksud menimbang maslahat dan mudarat. Silakan baca fatwa-fatwa dari para ulama tersebut.
Kami membicarakan masalah Capres kali ini, karena tuntutan maslahat. Setiap muslim bingung, manakah yang harus dipilih. Dan kecenderungan kami pada satu capres bukan berarti itu jadi pendapat Salafi secara umum, yang lain barangkali lebih senang memilih Golput dan kami pun tidak memaksa.
Masih terlalu banyak di antara kita yang tidak terbiasa dan gerah menghadapi perbedaan pendapat dalam wilayah ijtihad. Semoga Allah memberikan bashirah bagi kita semua.
Semoga Allah terus memberikan kita hidayah untuk menerima kebenaran.
Status shahih dari Muhammad Abduh Tuasikal, 22 Rajab 1435 H
Tulisan kami sebelumnya di Muslim.Or.Id: http://muslim.or.id/
Dalam tulisan kami lainnya di Muslim.Or.Id: http://muslim.or.id/manhaj/
Muslim.Or.Id sudah beberapa kali memuat fatwa ulama besar yang menunjukkan bolehnya kita menggunakan hak pilih kita dalam Pemilu. Tujuannya adalah untuk mengambil mudhorot (bahaya) yang lebih ringan. Apa yang diambil? Yaitu agar tokoh-tokoh pembawa kerusakan dapat dibendung, bukan dalam rangka mencari pemimpin yang dapat menegakkan hukum Islam di tanah air kita.
Dalam kaedah fiqhiyyah Syaik As Sa’di disebutkan,
وَضِدُّ تَزَاحُمُ المفَاسِدِ
يُرْتَكَبُ الأَدْنَى مِنَ المفَاسِدِ
Lawannya, jika bertabakan dua mafsadat,
Pilihlah mafsadat yang paling ringan.
Dan agama ini bisa jadi tegak lewat orang-orang yang fajir atau keji. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal pada saat perang Khoibar untuk menyeru manusia dengan mengatakan,
إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Sejatinya tidak ada yang dapat masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang beriman. Namun demikian kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat)” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111)
Abu Hurairah menceritakan tentang sebab munculnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Abu Hurairah berkata bahwa beliau mengikuti perang Khoibar. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang mengaku membela Islam, “Ia nantinya penghuni neraka.” Tatkala orang tadi mengikuti peperangan, ia sangat bersemangat sekali dalam berjihad sampai banyak luka di sekujur tubuhnya. Melihat pemuda tersebut, sebagian orang menjadi ragu dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata luka yang parah tadi membuatnya mengambil pedang dan membunuh dirinya sendiri. Akhirnya orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, Allah membenarkan apa yang engkau katakan.” Pemuda tadi ternyata membunuh dirinya sendiri. Rasul pun bersabda, “Berdirilah wahai fulan (yakni Bilal), serukanlah: Sejatinya tidak ada yang dapat masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang beriman. Namun demikian kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagian saudara kita memberikan tanggapan bahwa sungguh sia-sia keberadaan orang baik di Parlemen. Atau mereka katakan bahwa partai adalah hasil demokrasi yang sudah barang tentu menyimpang dari ajaran Islam. Komentar seperti ini tidak tepat sasaran.
Ingat bahwa menggunakan hak suara dalam Pemilu bukan dalam rangka mencari pemimpin yang akan menegakkan Islam, namun dalam rangka meminimalkan ruang gerak para penjahat dan musuh Islam.
Lihatlah dahulu, pada awal kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah, beliau membuat perjanjian damai atau kerjasama dengan kaum Yahudi untuk mempertahankan kota Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepenuhnya memahami bahwa Yahudi tidak akan membela Islam apalagi menegakkan syari’at Islam. Beliau melakukan hal itu untuk meminimalkan ancaman dan resiko serangan kafir Quraisy dan sekutunya. Kisah perjanjian tersebut dimuat dalam kitab-kitab sirah dan dikisahkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Demikian fatwa ulama yang membolehkan menggunakan hak suara pada Pemilu mendatang juga maksud mereka adalah seperti itu.
Fatwa ulama dalam memberikan suara dalam Pemilu:
http://muslim.or.id/manhaj/
http://muslim.or.id/manhaj/
http://muslim.or.id/manhaj/
Memilih untuk Golput ataukah tidak, bukan masuk dalam masalah manhaj, namun karena maksud menimbang maslahat dan mudarat. Silakan baca fatwa-fatwa dari para ulama tersebut.
Kami membicarakan masalah Capres kali ini, karena tuntutan maslahat. Setiap muslim bingung, manakah yang harus dipilih. Dan kecenderungan kami pada satu capres bukan berarti itu jadi pendapat Salafi secara umum, yang lain barangkali lebih senang memilih Golput dan kami pun tidak memaksa.
Masih terlalu banyak di antara kita yang tidak terbiasa dan gerah menghadapi perbedaan pendapat dalam wilayah ijtihad. Semoga Allah memberikan bashirah bagi kita semua.
Semoga Allah terus memberikan kita hidayah untuk menerima kebenaran.
Status shahih dari Muhammad Abduh Tuasikal, 22 Rajab 1435 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar