Syaikh, Imam, Alim, ahli tafsir, Ahli fiqih, Mujtahid, al Hafidz[1], al Muhaddits, Syaikhul Islam, langka di jamannya, dan pemilik berbagai karangan yang kecerdasannya amat berkilau.
Dialah Taqiy al dîn Abu al Abbâs
Ahmad bin (anak dari seorang Mufti yang Alim) Syihab al dîn Abd al
Halîm bin Syaikh al Islâm Majd al dîn Abi al Barakât abd al Salâm
(pengarang kitab al Ahkâm) bin Abdullah bin Abi al Qâsim al Harrânî bin Taimiyah yang merupakan laqab kakeknya yang teratas.
Dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awwal
tahun 661 Hijriah di Harrân. Ia ikut serta bersama Bapak dan kerabatnya
pindah ke Damaskus tahun 667 Hijriah ketika Rezim Tartar.
Mereka keluar mengendap-endap diwaktu
malam dengan menarik sebuah kereta sapi bermuatan penuh kitab didalam
gerobak. Musuh-musuh (tartar) tidak membiarkan ada hewan berkaki empat
selain sapi untuk bertani. Sapi penarik gerobak tersebut amat lelah
karena beratnya gerobak tersebut kemudian berhenti.
Dalam keadaan khawatir tersusul oleh
Musuh, merekapun meminta pertolongan kepada Allah, kemudian sapi
tersebut kembali berjalan dan Allah melindungi serta menyelamatkan
mereka hingga perbatasan dan mereka selamat.
Beliau belajar kepada Abd al Dâim,
Ibnu Abi al Yusr, al Kamal bin Abd, Ibnu Abi al Khair, Ibnu Shoyrafî,
Syaikh Syamsuddîn, Al Qâsim al Irbilî, Ibnu Allân, dan banyak lagi.
Beliau Juga belajar berbagai kitab
secara Otodidak, melakukan penyeleksian dan menyalin beberapa bagian
sunan Abu Daud, meneliti rijal dan cacatnya hingga menjadi salah seorang
Imam dalam Naqd (kritik rijal) dan atsar dengan bekal ketaqwaan, keturunan terpandang, ingatan, dan Pemeliharan.
Kemudian beliau menjadi Ahli detil-detil
Fiqh, Ijma, dan Ikhtilaf dengan berbagai Hujjahnya; sampai-sampai
membuat orang-orang takjub ketika dia menyebutkan masalah-masalah
khilaf. Dia menyampaikan dalil kemudian melakukan tarjih dan berijtihad.
Dia memang pantas melakukan ijtihad, karena syarat-syarat untuk menjadi
seorang mujtahid telah ada bersamanya. Sesungguhnya aku belum pernah
melihat orang yang secepat dia dalam mengekstrak dalil untuk sebuah
masalah dari ayat-ayat yang membahas tentang masalah tersebut. Tidak
juga aku pernah melihat orang yang sangat hapal terhadap matan-matan
hadits melebihi dia, kemudian ia mengaitkannya kepada kitab Sohih,
Musnad, atau Sunan. Seolah-olah kitab tersebut dan juga Sunan berada
didepan mata dan ujung lisannya dengan ungkapan-ungkapan yang tajam dan
mata terbuka serta membuat penentangnya tak berkutik karena tercengang.
Dia Adalah salah satu tanda kekuasaan
Allah dalam tafsir. Pengetahuannya amat luas dalam tafsir. Satu ayat
saja membutuhkan satu atau bahkan beberapa majlis untuk membahasnya.
Dalam hal pokok-pokok agama dan
pengetahuannya tentang keadaan khawarij ,Rafidhah, muktazilah dan
berbagai ahli bid’ah; tak ada seorangpun yang mampu menandinginya.
Hal-hal diatas juga disertai dengan
kemurahan beliau yang tak dapat aku temui tandigannya, keberanian
ekstrim yang tak bisa tertandingi, meninggalkan kelezatan-kelezatan
duniawi berupa pakaian yang indah, makanan enak, dan peristirahatan.
Berbagai karangan dari banyak
disiplin ilmu telah tersebar luas. Jumlah karangan dan fatwanya dalam
disiplin ilmu Ushul, furu, zuhd, Tafsir, Tawakkal, ikhlas, dll mencapai
kira-kira 300 jilid, oh tidak… bahkan lebih.
Beliau senantiasa mengatakan
kebenaran, mencegah kemungkaran, dan tidak terpengaruh oleh celaan para
pencela. Beliau memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Orang-orang yang mengenalnya
kadang-kadang menganggapku termasuk orang yang meremehkannya, tapi yang
menentang dan menyelisihinya terkadang menganggap aku berlebih-lebihan
terhadapnya, padahal tidak demikian. Aku tidak mengi’tiqadkan kemaksuman
padanya. Tidak.. sekali-kali tidak! Sekalipun beliau memiliki keilmuan
yang luas, keberanian yang ekstrim, encer otaknya, dan mengagungkan
kehormatan agama, Beliau tetap manusia biasa, beliau bisa terpancing
ketika berdebat lalu marah dan menanamkan api permusuhan dan membuat
orang lari darinya.
Kalau sekiranya beliau mau bersikap
lemah lembut kepada lawan-lawan debatnya, niscaya akan dicapai
kesepakatan. Sebenarnya, lawan-lawan debat senior telah tunduk dengan
keilmuan dan kefaqihan beliau. Mereka mengakui unggulnya kecerdasan
beliau. Mereka Juga mengakui Minimnya kesalahan beliau.
Aku tidak peduli dengan sebagian
ulama yang syiar dan kebiasaannya adalah meremehkan, menghina kemuliaan,
dan amat membencinya sampai-sampai menganggapnya bodoh, kafir, dan
mencacinya tanpa melihat karangan-karangannya, memahami perkataannya,
dan tanpa pengetahuan yang menyeluruh dan sempurna. Namun ada juga orang
alim yang terkadang mengarang dan membantah beliau dengan ilmu.
Yang masuk akal adalah bersikap diam terhadap hal-hal yang terjadi antara dua orang yang semasa[2]-semoga Allah merahmati mereka semua-
Aku adalah orang yang paling sedikit
memperingatkan dan menjelaskan sesuai kemampuanku dalam perkataan dan
tulisan. Para Sahabat dan Musuh-musuhnya tunduk dengan keilmuannya,
mengakui kecepatan pemahamannya. Beliau adalah lautan tak bertepi,
perbendaharaan yang tak tertandingi, kemurahannya amat tinggi, dan
keberaniannya Abadi.
Hanya saja, mereka memusuhi karena
perkataan dan perbuatan beliau. Karangan mereka tentang hal tersebut
akan diberi pahala, keinginan-keinginan (buruk.red)
mereka akan dimaafkan, kedzaliman-kedzaliman mereka akan ditutup,
keekstriman mereka adalah keterpedayaan, dan segala sesuatu akan kembali
kepada Allah Subhanahu Wataala. Setiap orang dapat diambil dan
ditinggalkan perkataannya, kesempurnaan adalah milik Rasul, dan hujjah
ada pada Ijma. Semoga Allah merahmati orang-orang yang berbicara tentang
ulama dengan ilmu atau diam dengan kemurahan hati dan mempertimbangkan
dengan teliti dalam sedikitnya perkataan-perkataan mereka dengan
perlahan-lahan dan pemahaman, kemudian minta ampun untuk mereka, dan
meluaskan ikat pinggang pemaafaan, kalau tidak begitu,maka dia adalah
orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Kalau engkau memberi udzur para
pemuka Imam dalam masalah-masalah yang sulit, namun tidak memberi udzur
Ibnu Taimiyah dalam hal-hal yang beliau menyendiri, maka aku tetapkan
bahwa dirimu adalah pengikut hawa nafsu dan tidak inshaf.
Kalau engkau katakan: ”aku tidak akan
memberinya udzur, karena ia kafir, musuh Allah dan Rasulnya”!, maka
telah berkata banyak ahli ilmu dan Agama: “ kami (Wallâhi) hanya
mengetahui ibnu Taimiyah sebagai orang mukmin, memelihara sholat,
wudhu, Puasa Ramadhan, mengagungkan syariat secara zohir dan batin,
tidak membawa paham buruk, dan bahkan ia memiliki kecerdasan yang
ekstrim. Tidak sedikit ilmunya, bahkan dia adalah lautan yang meluap,
mengerti kitab dan Sunnah, dan tak memiliki tandingan dalam hal itu.
Beliau juga tidak mempermainkan agama, karena kalau demikian niscaya itu
akan membuatnya menjadi yang paling cepat menjilat musuhnya[3], bersepakat dengan mereka, dan melakukan nifak.
Beliau tidak menyendiri dalam masalah
agama karena nafsu syahwat dan juga tidak berfatwa semaunya, tapi beliau
menyendiri dalam beberapa masalah dengan hujjah al Qur’an atau hadits
atau qiyas. Kemudian beliau membuktikannya, berdebat, menukil khilaf,
memanjangkan bahasan sesuai dengan contoh dari para Imam yang
mendahuluinya dalam masalah tersebut.”
Kalaupun dia tersalah pada masalah
tersebut, maka dia berhak atas satu pahala sebagaimana mujtahid dari
kalangan ulama dan kalau ia benar,maka dia berhak atas dua pahala.
Sesungguhnya celaan dan kebencian
pantas diberikan kepada dua jenis orang: seorang yang berfatwa tentang
sebuah masalah dengan hawa nafsu dan tidak menampakkan hujjah dan
seorang yang berbicara tentang suatu masalah tanpa aroma keilmuan dan
keluasan dalil naqli. Semoga Allah menjauhkan kita dari hawa nafsu dan
kebodohan.
Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada
pelajaran yang dapat diambil dengan mencela musuh-musuh seorang alim,
sesungguhnya hawa nafsu dan kebodohan membuat mereka tidak memiliki
keinshafan dan kemauan untuk melawannya. Tidak juga ada pelajaran yang
dapat diambil dengan memuji kekayaannya dan berlebih-lebihan kepadanya.
Justeru pelajaran yang dapat diambil itu ada pada orang-orang yang wara
dan bertaqwa dari dua sisi, mereka berbicara dengan adil dan
menegakkannya untuk Allah sekalipun atas diri mereka sendiri maupun
orang tua mereka.
Aku tidak sedikitpun mengharapkan
dunia, harta, dan kehormatan dari laki-laki ini (Ibnu taimiyah, red).
Sekalipun aku memiliki pengetahuan yang sempurna tentangnya. Tetapi aku
tidak mampu menyembunyikan kebaikan-kebaikannya dalam agama dan akalku.
Aku juga tidak mampu mengubur keutamaan-keutamaannya dan menampakkan
dosa-dosanya yang telah diampuni dalam luasnya kemurahan Allah Taala dan
ampunannya. Semua kesalahannya telah tenggelam dalam lautan ilmu dan
kelemahlembutannya. Allah telah mengampuninya dan Ridha padanya, semoga
Allah merahmati kita jika kita menjadi sepertinya (Ibnu Taimiyah, red).
Sekalipun begitu, aku menyelisihinya
dalam beberapa masalah furu dan ushul, Telah aku jelaskan diatas bahwa
kesalahannya dalam hal tersebut terampuni, bahkan semoga Allah
memberinya pahala atas niatnya yang baik dan segenap tenaga yang telah
ia kerahkan. Allahlah tempat kembali. Aku juga menderita dengan
perkataanku dari sahabat-sahabatnya dan musuh-musuhnya. Cukuplah Allah.
Syaikh berkulit putih, hitam rambut
dan jenggotnya, sedikit ubannya, Rambutnya menjuntai hingga cuping
telinganya. Dua matanya seolah lisan yang berbicara, beliau lelaki yang
tegap, jauh jarak antara pundaknya, keras suaranya lagi fasih dan cepat
dalam membaca. Kata-katanya tajam kemudian ia ikuti dengan
kelemahlembutan dan mudah memaafkan. Dia memiliki keberanian, kelapangan
dada, dan kecerdasan yang ekstrim. Aku tidak pernah melihat yang sama
dengan beliau dalam hal berdoa ,beristighasah, dan banyaknya tawajjuh
kepada Allah taala. Aku dibuat lelah oleh dua kelompok. Disisi para
pecintanya aku adalah orang yang meremehkannya, namun disisi musuhnya
aku dianggap melampaui batas dalam membangga-banggakannya, Demi Allah
tidak!
Ibnu Taimiyah berpulang kerahmatullah Taala dalam keadaan terpidana dibenteng Damaskus, disebuah ruangan setelah beberapa hari menderita sakit. Pada malam senin 20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriah.
Beliau disholatkan di masjid Jami
Damaskus setelah dzuhur. Manusia memenuhi masjid tersebut layaknya hari
Jum’at, sampai-sampai manusia datang untuk melawatnya dari 4 penjuru
pintu negeri. Minimal yang datang saat itu diperkirakan berjumlah lima
puluh ribu orang, dan dikatakan lebih dari itu. Beliau kemudian dibawa
kekuburan Shufiyyah dan dimakamkan disamping saudaranya al Imam
Syarafuddin. Semoga Allah merahmati keduanya dan juga kita serta kaum
Muslimin.
[1] Yaitu istilah yang sama dengan Muhaddits
dan dimutlakkan bagi siapapun yang menghapal hadits, mengingatnya, dan
mengetahui perbendaharaannya baik secara riwayah maupun dirayah serta
mampu mengetahui cacatnya, dikatakan juga bahwa Al hafidz adalah
seorang ahli hadits yang telah menghapal 100 ribu hadits baik matan
maupun sanad. Dalam Muqaddimah Tabaqatul Huffadz, Al Imam As Suyuthi
mengatakan bahwa para Huffadz adalah orang yang memikul ilmu nabawi dan
yang ijtihadnya menjadi rujukan dalam Menstsiqahkan dan menjarh rawi
serta menghasankan dan mendhaifkan hadits. Ibnu Hajar yang masyhur
dengan gelar al hafidz menambahkan dalam Nukatnya bahwa seorang hafidz
itu telah menghapal kebanyakan matan hadits artinya dari dari seluruh
kitab-kitab hadits jumlah yang dihapal lebih banyak dari yang belum
dihapal
[2] Sepertinya beliau mengutip sebuah kaidah jarh yang mengatakan bahwa jarah antara dua orang yang sejaman itu tidak mu’tabar
[3]
Yang kita tahu (Wallahu a’lam) atas keteguhannya dalam menjaga agama
dan Aqidah yang sohihlah beliau diuji, sengsara dan dipenjara. Kalaulah
beliau mau mempermainkan agama , niscaya beliau tidak akan mau melakukan
hal tersebut dan memilih untuk menjadi penjilat agar tidak dihukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar