Shalahuddin dan Jihad
Hati Shalahuddin dipenuhi dengan cinta
kepada jihad. Semangat jihad telah menguasai seluruh anggota tubuhnya.
Sampai Simam Dzahabi berkata tentang Shalahuddin dalam kitab Siyar-nya,
“Dia memiliki cita-cita luhur dalam membangkitkan jihad dan membasmi
para penentang. Tidak terdengar seorang pun seperti dia pada masanya.”
[adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala’ 15/412]
Demi jihad ini dia rela meninggalkan
keluarga, anak dan negerinya. Dia tidak condong kecuali untuk jihad, dan
tidak cinta kecuali kepada para pecinta jihad. Qadhi Bahauddin berkata,
“Seseorang jika ingin bisa dekat dengannya, maka dia menganjurkan orang
itu untuk berjihad.” Qadhi ini juga berkata, “Jika seseorang bersumpah
bahwa Shalahuddin tidak menginfakkan dinar ataupun dirham setelah dia
keluar dari berjihad, tapi diaberinfak di saat berjihad, sunggu orang
itu benar dan baik sumpahnya.” [Bahauddin Ibn Syidad, An Nawadir as
Sulthaniyyah wa al Mahasin al Yusufiyah, hal.53-54]
Setiap orang memiliki cita-cita. Dan
cita-cita seseorang sesuai kadar yang dianggapnya penting. Seolah-olah
aku (Bahauddin) dengan Ibnul Qayyim yang member sifat Shalahuddin
ketika dia berkata, “Kebahagiaan tidak ditemukan dengan kebahagiaan,
namun dengan kesulitan yang dilalui dan kepayahan yang ditanggung.
Setelah itu akan datang kebahagiaan dan kenikmatan. Tiada kesenangan
bagi orang yang tidak memiliki cita-cita, tidak ada kelezatan bagi orang
yang tidak bersabar, tidak ada kenikmatan bagi orang yang tidak
mengalami kesulitan dan tidak ada kenyamanan bagi orang yang tidak lelah
berjuang.” [Ibn Qayyim, Miftah Dar as Saadah wa Manshur Wilayah al Ilmi
wa al Idarah 2/15]
Demikianlah, kehidupan Shalahuddin
semuanya adalah jihad. Dia kembali dari satu perang ke perang yang lain,
dan satu pertempuran ke pertempuran yang lain. Penerjemahan Ibnu Atsir
terhadap Shalahuddin dalam kitabnya, “Al Kamil Fi At Tarikh”
menghabiskan lebih dari 220 halaman yang semuanya dipenuhi dengan jihad.
Perang Hittin termasuk perang yang ditulis dengan pena dari sinar di
atas lembaran-lembaran emas. Kitab itu telah menuliskan di hadapan
sejarah kesaksian sang pahlawan terhadap makna-makna jihad dan
pengorbanan.
Perang dengan Orang-Orang Salibis
Ketika Shalahuddin al Ayyubi tengah
sibuk memperluas kekuasaannya di Syam, biasanya dia tidak membiarkan
orang-orang salibis tetap berada dalam kondisi mereka, namun selalu
berharap untuk dapat berhadapan dengan mereka. Dan biasanya, dia
memperoleh kemenangan ketika berhadapan dengan kaum salibis tersebut.
Kecuali pada peristiawa Perang Montgisard pada tahun 574H bertepatan
dengan tanggal 25 November 1177M, ketika orang-orang salib tidak
menampakkan perlawanan, maka Shalahuddin al Ayyubi melakukan kesalahan
dengan membiarkan tentaranya sibuk mengumpulkan ghanimah dalam keadaan
berpencar kemana-mana. Maka kemudian kekuatan Baldwin VI Raja
Jerussalem, Arnath dan para ksatria templar menyerang Shalahuddin dan
mengalahkannya. Namun Shalahuddin kembali lagi dan menyerang kekuatan
Eropa dari Barat, dan mengalahkan Baldwin dalam peperangan Marj Uyun
pada tahun 575 H / 1179 M. Begitu juga pada tahun berikutnya dalam
perang Khalij Ya’qub, kemudian terjadi kesepakatan gencatan senjata
antara orang-orang salib dan Shalahuddin al Ayyubi pada tahun 576 H /
1180 M.
Namun orang-orang salib kembali
melakukan penyerangan sehingga mendorong Shalahuddin membalasa serangan
itu, juga dikarenakan Arnath telah mengganggu para pedagang dan jamaah
haji kaum Muslimin melalui armada lautnya di Laut Merah. Kemudian
Shalahuddin membangun armada laut yang terdiri dari tiga puluh kapal
untuk menyerang Beirut pada tahun 577 H / 1182 M. Pada waktu yang sama
Arnath mengancam akan menyerang Makkah dan Madinah. Maka kemudian
Shalahuddin mengepung benteng al Kurk yang menjadi pertahanan Arnath
selama dua kali, yaitu pada tahun 1183 M dan 1184 M, dan Arnath membalas
serangan itu dengan menyerang kafilah Haji Muslimin pada tahun 581 H /
1185 M.
Marj Uyun, Lebanon Selatan.
Menaklukan al Quds
Pada tahun 583 H / 1187 M sebagian besar
kota dan benteng kerajaan Baitul Maqdis jatuh di tangan Shalahuddin al
Ayyubi. Setelah itu tentara Shalahuddin mengalahkan kekuatan salib dalam
Perang Hittin pada tanggal 24 Rabi’ul Akhir tahun 583 H atau bertepatan
dengan tanggal 4 juli 1187 M. Setelah peperangan dengan cepat pasukan
Shalahuddin dan saudaranya Malik Adil menguasai kota-kota pesisir yang
terletak di sebelah selatan Tharablus (Tripoli); Akan, Beirut, Shida,
Yafa, Qaisariyah[1], Asqalan (Askelon). Shalahuddin memutuskan
komunikasi kerajaan al Quds dengan Eropa. Dan pada paruh kedua bulan
September 1187 M pasukan Shalahuddin mengepung al Quds. Kemampuan
penjaganya yang sedikit tidak mampu melawan desakan enam puluh ribu
orang. Setelah enam hari pengepungan akhirnya mereka menyerah. Pada
tanggal 27 Rajab tahun 583 atau bertepatan dengan tanggal 12 Oktober
1187 M pintu-pintu al Quds dibuka dan bendera Sulthan Shalahuddin yang
berwarna kuning dikibarkan di atas al Quds.
Shalahuddin al Ayyubi memperlakukan al
Quds dan penduduknya dengan lebih baik dan ramah daripada perlakuan
tentara salib terhadap penduduknya ketika mereka merampas kota itu dari
pemerintahan Mesir kurang lebih seratus tahun yang lalu. Di sana tidak
terjadi peristiwa pembunuhan, perampasan, perusakan dan penghancuran
geraja-gereja. Jatuhnya kerajaan al Quds membuat Roma mempersiapkan
pasukan Salib yang ketiga untuk mengembalikan al Quds. Namun mereka
gagal.
Sumber: Dikutip dari ‘Para Penakluk Muslim Yang Tak Terlupakan’, Tamir Badar, Pengantar: Dr.Raghib As Sirjani, Penerbit al Kautsar
Artikel: www.KisahIslam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar