Richard ‘The Lion Heart’ (Si Hati Singa) dan Serangan Ketiga
Penaklukan al Quds mendorong keluarnya
pasukan salib yang ketiga. Pasukan ini dibiayai oleh Inggris dan
beberapa bagian dari Prancis dengan pajak khusus yang bagi orang barat
dikenal dengan nama pajak Shalahuddin. Pasukan salib ini dipimpun oleh
tiga orang yang pada waktu itu termasuk raja-raja terbesar Eropa. Mereka
adalah Richard The Lion Heart Raja Inggris, Philip Agustus Raja
Prancis, dan Raja Jerman Frederic Barbarossa, Kaisar Romawi yang suci.
Namun yang terakhir ini mati di tengah perjalanan. Dua orang lainnya
bergabung untuk mengepung Aka yang jatuh pada tahun 587 H / 1191 M. di
kota ini telah dibunuh tiga ribu tawanan muslim, yang di antara mereka
terdapat wanita dan anak-anak. Pada tanggal 7 September 1191 tentara
Shalahuddin berjibaku dengan tentara salib yang dipimpin Richard dalam
peperangan di kota Arsuf, dimana pasukan Shalahuddin dapat dikalahkan.
Namun orang-orang salib tidak mampu menginvasi ke dalam dan tetap berada
di pesisir. Semua percobaan mereka untuk menyerang al Quds gagal.
Kemudian Richard mengadakan perjanjian Ramalah dengan Shalahuddin pada
tahun 578 H / 1192 M yang berisi berdirinya Kerajaan Salibis Jerussalem
di sepanjang pesisir antara Yafa dan Shuar, dan dibukanya al Quds bagi
peziarah orang-orang Kristen.
Hubungan antara Shalahuddin al Ayyubi
dengan Richard merupakan contoh ksatria yang saling menghormati satu
sama lain meskipun ada permusuhan militer di antara mereka. Ketika
Richard terserang demam, Shalahuddin mengirimkan dokter pribadinya
kepada musuhnya ini. Shalahuddin juga mengirimkan buah segar dan es
untuk mendinginkan minuman. Ketika Richard kehilangan kudanya di Arsuf,
Shalahuddin mengirimkan dua ekor kuda kepadanya.
Sudah diketahui bahwa Shalahuddin dan
Richard sama sekali belum pernah bertemu muka satu sama lain. Komunikasi
antara keduanya berlangsung melalui surat dan utusan.
Wafatnya
Pada tahun 589 H / 1193 M usia
Shalahuddin 57 tahun. Namun karena kelelahan dan kecapaian yang dia
rasakan selama masa pertikaiannya dengan orang-orang Salib menjadikannya
kesehatannya berkurang. Dia tetap menetap di Baitul Maqdis sampai dia
mengetahui kepergian Richard The Lion Heart. Kemudian dia mengalihkan
perhatiannya untuk mengatur urusan administrasi di daerah Palestina.
Namun pekerjaan ini menuntutnya untuk pergi ke Damaskus. Dan pada waktu
yang sama dia juga harus segera mengunjungi Mesir karena selama empat
tahun dia tinggalkan negeri ini untuk perang, banyak permasalahan
adminstrasi, dan menumpuk tugas-tugas mengatur Negara, kemudian dia
ingin menunaikan ibadah haji. Shalahuddin juga dituntut mencurahkan
tenaga untuk mengganti semua yang dihancurkan oleh perang. Dan apabila
ada waktu luang, Shalahuddin menggunakannya untuk berdiskusi dengan para
ulama mengenai berbagai masalah keagamaan dan kadang dia pergi berburu,
namun setiap orang yang melihatnya –diantara orang yang mengenalnya-
pada akhir musim dingin mendapati bahwa kesehatannya menurun, dia sering
lelah dan lupa, sehingga tidak mamppu lagi menemui rakyatnya.
Pada tanggal 16 Safar 589H bertepatan
dengan tanggal 21 Februari 1193 Shalahuddin terserang penyakit yang
berlangsung selama dua belas hari. Dia menanggung penyakitnya dengan
sabar dan tenang karena dia tahu bahwa ajal telah dekat. Pada tanggal 24
Safar tahun 589H yaitu pada awal maret Shalahuddin mengalami koma,
tidak sadarkan diri dan setelah shalat subuh pada hari Rabu, tanggal 27
Shafar bertepatan dengan tanggal 4 maret, saat itu Syaikh Abu Ja’far,
Imam Kalasah, sedang membaca al Qur’an di depannya. Ketika bacaannya
sampai pada firman Allah, “Dialah Allah tiada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al Hasyr: 22]. Shalahuddin
membuka kedua matanya sambil tersenyum, wajahnya tampak gembira. Sang
Imam mendengar dia berkata, “Benar.” Setelah itu dia pergi menghadap
Tuhannya di benteng Damaskus. Yang mengurus jenazahnya adalah Qadhi al
Fadil dan Qadhi ahli sejarah, Ibnu Siddad. Sedangkan yang memandikannya
adalah Khatib Damaskus. Orang-orang berkumpul di benteng untuk
menyolatinya dan kemudian menguburkannya disana. Kesedihan menyelimuti
semua orang baik orang tua dan muda, besar dan kecil. San putra, Malik
Afdhal Ali, menemui para pentakziah selama tiga hari. Dia mengirimkan
surat kepada saudaranya, Aziz Utsman di Mesir dan kepada saudaranya
Zhahir Ghazi di Halb, juga pamannya Al Adil di Kurk. Mereka semua hadir
kemudian dihitung semua peninggalannya yang jumlahnya hanya satu dinar
36 dirham. Shalahuddin tidak meninggalkan harta selain itu, karena dia
telah menginfakkan sebagian besar hartanya untuk disedekahkan.
Meskipun pemerintahan yang didirikan
oleh Shalahuddin setelah itu tidak bertahan lama, namun Shalahuddin
dianggap sebagai pencerah Islam dan pembebas al Quds. Sosoknya menjadi
inspirator dalam banyak prosa dan puisi, juga dalam metode pendidikan
kewarganegaraan di Negara-negara Arab, Biografinya telah ditulis
dibanyak buku, dan dijadikan referensi dalam teater, sandiwara dan
berbagai aktifitas drama. Shalahuddin selalu dijadikan contoh sebagai
seorang panglima Islam yang ideal yang berinteraksi dan menghadapi
musuh-musuhnya dengan tegas untuk membebaskan bumi-bumi kaum Muslimin,
tanpa berlebihan dalam kedemawanan dan berakhlak mulia.
Sumber: Dikutip dari ‘Para Penakluk Muslim Yang Tak Terlupakan’,
Tamir Badar, Pengantar: Dr.Raghib As Sirjani, Penerbit al KautsarArtikel: www.KisahIslam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam
=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar