Minggu, 27 April 2014

Panglima Islam: Shalahuddin al Ayyubi [Bag.03 - Tamat]

Richard ‘The Lion Heart’ (Si Hati Singa) dan Serangan Ketiga

Penaklukan al Quds mendorong keluarnya pasukan salib yang ketiga. Pasukan ini dibiayai oleh Inggris dan beberapa bagian dari Prancis dengan pajak khusus yang bagi orang barat dikenal dengan nama pajak Shalahuddin. Pasukan salib ini dipimpun oleh tiga orang yang pada waktu itu termasuk raja-raja terbesar Eropa. Mereka adalah Richard The Lion Heart Raja Inggris, Philip Agustus Raja Prancis, dan Raja Jerman Frederic Barbarossa, Kaisar Romawi yang suci. Namun yang terakhir ini mati di tengah perjalanan. Dua orang lainnya bergabung untuk mengepung Aka yang jatuh pada tahun 587 H / 1191 M. di kota ini telah dibunuh tiga ribu tawanan muslim, yang di antara mereka terdapat wanita dan anak-anak. Pada tanggal 7 September 1191 tentara Shalahuddin berjibaku dengan tentara salib yang dipimpin Richard dalam peperangan di kota Arsuf, dimana pasukan Shalahuddin dapat dikalahkan. Namun orang-orang salib tidak mampu menginvasi ke dalam dan tetap berada di pesisir. Semua percobaan mereka untuk menyerang al Quds gagal. Kemudian Richard mengadakan perjanjian Ramalah dengan Shalahuddin pada tahun 578 H / 1192 M yang berisi berdirinya Kerajaan Salibis Jerussalem di sepanjang pesisir antara Yafa dan Shuar, dan dibukanya al Quds bagi peziarah orang-orang Kristen.

Hubungan antara Shalahuddin al Ayyubi dengan Richard merupakan contoh ksatria yang saling menghormati satu sama lain meskipun ada permusuhan militer di antara mereka. Ketika Richard terserang demam, Shalahuddin mengirimkan dokter pribadinya kepada musuhnya ini. Shalahuddin juga mengirimkan buah segar dan es untuk mendinginkan minuman. Ketika Richard kehilangan kudanya di Arsuf, Shalahuddin mengirimkan dua ekor kuda kepadanya.

Sudah diketahui bahwa Shalahuddin dan Richard sama sekali belum pernah bertemu muka satu sama lain. Komunikasi antara keduanya berlangsung melalui surat dan utusan.

Wafatnya

Pada tahun 589 H / 1193 M usia Shalahuddin 57 tahun. Namun karena kelelahan dan kecapaian yang dia rasakan selama masa pertikaiannya dengan orang-orang Salib menjadikannya kesehatannya berkurang. Dia tetap menetap di Baitul Maqdis sampai dia mengetahui kepergian Richard The Lion Heart. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya untuk mengatur urusan administrasi di daerah Palestina. Namun pekerjaan ini menuntutnya untuk pergi ke Damaskus. Dan pada waktu yang sama dia juga harus segera mengunjungi Mesir karena selama empat tahun dia tinggalkan negeri ini untuk perang, banyak permasalahan adminstrasi, dan menumpuk tugas-tugas mengatur Negara, kemudian dia ingin menunaikan ibadah haji. Shalahuddin juga dituntut mencurahkan tenaga untuk mengganti semua yang dihancurkan oleh perang. Dan apabila ada waktu luang, Shalahuddin menggunakannya untuk berdiskusi dengan para ulama mengenai berbagai masalah keagamaan dan kadang dia pergi berburu, namun setiap orang yang melihatnya –diantara orang yang mengenalnya- pada akhir musim dingin mendapati bahwa kesehatannya menurun, dia sering lelah dan lupa, sehingga tidak mamppu lagi menemui rakyatnya.

Pada tanggal 16 Safar 589H bertepatan dengan tanggal 21 Februari 1193 Shalahuddin terserang penyakit yang berlangsung selama dua belas hari. Dia menanggung penyakitnya dengan sabar dan tenang karena dia tahu bahwa ajal telah dekat. Pada tanggal 24 Safar tahun 589H yaitu pada awal maret Shalahuddin mengalami koma, tidak sadarkan diri dan setelah shalat subuh pada hari Rabu, tanggal 27 Shafar bertepatan dengan tanggal 4 maret, saat itu Syaikh Abu Ja’far, Imam Kalasah, sedang membaca al Qur’an di depannya. Ketika bacaannya sampai pada firman Allah, “Dialah Allah tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al Hasyr: 22]. Shalahuddin membuka kedua matanya sambil tersenyum, wajahnya tampak gembira. Sang Imam mendengar dia berkata, “Benar.” Setelah itu dia pergi menghadap Tuhannya di benteng Damaskus. Yang mengurus jenazahnya adalah Qadhi al Fadil dan Qadhi ahli sejarah, Ibnu Siddad. Sedangkan yang memandikannya adalah Khatib Damaskus. Orang-orang berkumpul di benteng untuk menyolatinya dan kemudian menguburkannya disana. Kesedihan menyelimuti semua orang baik orang tua dan muda, besar dan kecil. San putra, Malik Afdhal Ali, menemui para pentakziah selama tiga hari. Dia mengirimkan surat kepada saudaranya, Aziz Utsman di Mesir dan kepada saudaranya Zhahir Ghazi di Halb, juga pamannya Al Adil di Kurk. Mereka semua hadir kemudian dihitung semua peninggalannya yang jumlahnya hanya satu dinar 36 dirham. Shalahuddin tidak meninggalkan harta selain itu, karena dia telah menginfakkan sebagian besar hartanya untuk disedekahkan.

Meskipun pemerintahan yang didirikan oleh Shalahuddin setelah itu tidak bertahan lama, namun Shalahuddin dianggap sebagai pencerah Islam dan pembebas al Quds. Sosoknya menjadi inspirator dalam banyak prosa dan puisi, juga dalam metode pendidikan kewarganegaraan di Negara-negara Arab, Biografinya telah ditulis dibanyak buku, dan dijadikan referensi dalam teater, sandiwara dan berbagai aktifitas drama. Shalahuddin selalu dijadikan contoh sebagai seorang panglima Islam yang ideal yang berinteraksi dan menghadapi musuh-musuhnya dengan tegas untuk membebaskan bumi-bumi kaum Muslimin, tanpa berlebihan dalam kedemawanan dan berakhlak mulia.
Sumber: Dikutip dari ‘Para Penakluk Muslim Yang Tak Terlupakan’, Tamir Badar, Pengantar: Dr.Raghib As Sirjani, Penerbit al Kautsar

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

=




Tidak ada komentar:

Posting Komentar