Kisah Kuburan Mbah Priok Membodohi Masyarakat
Sebagian masyarakat kita ada yang cenderung lebih percaya
kepada cerita-cerita irasional seperti kisah Mbah Priok yang penuh mistis dan
bermuatan syirik, serta lebih banyak bermuatan unsur pembodohan yang justru
merugikan masyarakat.
Berdasarkan catatan berbagai sumber, Mbah Priok alias Al
Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini
Ass Syafi`i Sunni RA lahir pada tahun 1727 Masehi di Palembang (Sumatera
Selatan) dan meninggal pada tahun 1756 di Batavia (Jakarta)
Artinya, ketika meninggal usianya baru 29 tahun. Masih
relatif muda. Mbah Priok meninggal tak berapa lama setelah ia menginjakkan kaki
di Batavia. Artinya, ia belum sempat menyebarluaskan agama Islam di Batavia dan
Pulau Jawa pada umumnya, namun sudah keburu meninggal dunia.
Lalu, dari mana ia bisa dijuluki sebagai ulama besar yang
berjasa menyebarkan agama Islam? Mungkin saja, kiprahnya menyebarkan agama
Islam dilakukan sejak ia masih di Sumatera Selatan. Namun, mengingat usianya
yang relatif masih sangat muda, apakah sudah layak ia diberi gelar sebagai
ulama besar yang berjasa menyebarkan agama Islam?
Kalau Mbah Priok ini sudah belajar agama sejak kecil,
katakanlah sejak ia berusia 5 tahun melalui kakek dan orangtuanya, kemudian
dianggap menguasai ilmu agama dan layak menjadi juru dakwah pada usia 20 tahun,
maka secara matematis ia baru berkiprah selama sembilan tahun.
Apakah selama sembilan tahun itu Mbah Priok sudah berhasil
menelurkan karya besar di bidang keagamaan, sehingga layak dijuluki sebagai
ulama besar yang berjasa menyebarkan agama Islam? Rasanya kalau secara
perhitungan akal, kiprah Mbah Priok bila dibandingkan dengan almarhum Buya
HAMKA masih teramat sangat jauh. Atau, bila dibandingkan dengan Ustadz Syamsi
Ali (Ketua Masyarakat Muslim di New York), kiprah Mbah Priok belum setara.
HAMKAKepanjangan dari HAMKA adalah Haji Abdul Malik
Karim Amrullah, lahir di desa kampung Molek, Maninjau (Sumatera Barat), pada
tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli
1981 dalam usia 73 tahun. Semasa hidupnya HAMKA selain dikenal sebagai ulama
juga dikenal sebagai sastrawan dan aktivis politik.
Ketika HAMKA berusia 10 tahun, ayahandanya (Syeikh Abdul
Karim bin Amrullah) mendirikan lembaga pendidikan keagamaan bernama Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di tempat inilah HAMKA belajar agama Islam dan
mendalami bahasa Arab. Selain itu, HAMKA juga belajar agama di surau dan masjid
yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada usia 20 tahun, HAMKA menelurkan karya sastra berjudul
Si Sabariah (1928) dan pada tahun 1921 HAMKA menyusun buku tentang tokoh Islam
bertajuk Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq). Di tahun yang
sama (1929), selain Pembela Islam HAMKA juga menerbitkan tiga buku
lainnya, masing-masing berjudul Adat Minangkabau dan Agama Islam, Ringkasan
Tarikh Ummat Islam, dan Kepentingan Melakukan Tabligh.
Sebagai sastrawan, HAMKA juga menelurkan karya berbobot
seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937) ketika usianya belum
mencapai 30 tahun. Semasa hidupnya ada sekitar 79 karya tulis yang berhasil
ditulis HAMKA termasuk Tafsir Al-Azhar (Juz 01 – 30).
Di dunia pendidikan, kiprah HAMKA tertoreh dengan jelas.
Misalnya, pada tahun 1927 HAMKA bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 sebagai guru agama di Padangpanjang. Pada tahun
1957-1958 HAMKA menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Padangpanjang. Setelah itu, HAMKA juga diangkat sebagai rektor di
Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjadi Guru Besar (Profesor) Universitas
Moestopo, Jakarta.
Selain itu, HAMKA pernah menerima gelar kehormatan Doctor
Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo Mesir (1958), Doktor Honoris
Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974.
Muhammad Syamsi Ali
Sosok Syamsi Ali (kelahiran 05 Oktober 1967) pernah diulas
harian Republika melalui tulisan bertajuk Syamsi Ali Dai Indonesia Paling
Berpengaruh di New York (Republika edisi Jumat, 08 Mei 2009). Da’i muda
asal Sulawesi Selatan ini di negeri Paman Sam menjabat sebagai Ketua Masyarakat
Muslim New York.Sejak 1997 ia menjadi Imam Mesjid Al-Hikmah di New York, dan
memimpin Islamic Center of New York. Di sini, Syamsi membuka kelas khusus tiap
pekan bagi orang-orang non-muslim yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai
ajaran Islam. Di forum ini ia ditantang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
kritis, terutama mengenai tindakan negatif dari kelompok-kelompok tertentu yang
sering mengatasnamakan Islam.
Peran Syamsi Ali dalam mengembangkan Islam yang damai di AS,
terasa demikian penting bagi masyarakat AS. Sehingga ia kerap mendapat berbagai
penghargaan. Antara lain, pada tahun 2006 New York Magazine menobatkan Syamsi
Ali –bersama enam tokoh agama lainnya– sebagai salah satu dari tujuh tokoh
agama yang paling berpengaruh di New York.
Tahun 2009, Syamsi Ali kembali menerima penghargaan dari
National Ethnic Coalition Organizations (Koalisi Organisasi Etnik). Setiap
tahun National Ethnic Coalition Organizations memberikan penghargaan kepada
individu-individu yang dianggap telah memberikan kontribusi kepada masyarakat
maupun kepada kehidupan secara umum (Ellis Island Medal of Honor Award).
Nama-nama penerima Ellis Island Medal of Honor Award ini
ditorehkan pada dinding di gedung museum Ellis Island, sebuah pulau bersejarah
yang merupakan tempat mendaratnya para imigran pertama kali di Amerika.
Pada usia 25 tahun, sekitar tahun 1992, Syamsi Ali berhasil
menyelesaikan pendidikan setingkat S-1 dalam bidang Tafsir dari The
International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Sedangkan S-2 dalam
bidang Perbandingan Agama diselesaikan pada tahun 1994 di Universitas yang
sama, ketika Syamsi berusia 27 tahun. Dua tahun kemudian, ketika Syamsi Ali
berusia 29 tahun (pada kisaran usia yang sama Mbah Priok meninggal dunia)
Syamsi Ali mendapat kesempatan berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah Saudi
Arabia (musim haji tahun 1996).
Pada kesempatan itu, Syamsi Ali bertemu dengan beberapa
jamaah haji luar negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang kala itu menawarkan
kepadanya untuk datang ke New York, AS. Pada awal 1997 Syamsi Ali berangkat ke
New York. Hingga kini ia berada di sana menjalankan tugas mulia memimpin
komunitas Islam di New York, sekaligus menjadi jurubicara Islam bagi masyarakat
non Islam yang ingin mengenal Islam.
Mbah Priok
Bila dibandingkan dengan sosok almarhum HAMKA dan M. Syamsi
Ali yang kongkrit dan dapat ditelusuri jejak rekamnya, sosok Mbah Priok masih
begitu samar dan penuh mistis. Termasuk, keterkaitannya dengan asal-usul nama
Tanjung Priok.
Sebenarnya, asal-usul nama Tanjung Priok lebih dekat kepada
sosok Aki Tirem, seorang kepala desa asal Tanjung, yang juga sangat terkenal
karena keterampilannya membuat periuk nasi.
Kawasan Tanjung asal Aki Tirem berdomisili, kini berganti
nama menjadi Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Keahlian Aki Tirem asal Tanjung membuat periuk nasi membuat masyarakat kala itu
menyebut kawasan itu dengan nama Tanjung Periuk. Kemudian, nama Tanjung Periuk
berubah logat menjadi Tanjung Priok.
Anehnya, media massa (pers) dan bahkan dinas pariwisata
pemprov DKI sendiri lebih tertarik dengan asal-usul nama versi pengikut Mbah
Priok yang mengisahkan bahwa nama Tanjung Priok diambil dari dayung sampan si
Mbah yang dijadikan semacam batu nisan bagi kuburan Mbah Priok. Kemudian,
dayung itu tumbuh menjadi pohon Tanjung.
Sedangkan istilah periuk diambil dari periuk nasi si Mbah
yang sempat hanyut dibawa ombak untuk jangka waktu tertentu, namun kembali lagi
dan terdampar di dekat kuburan si Mbah. Maka, jadilah kawasan itu diberi nama
Tanjung Periuk alias Tanjung Priok.
Pers sebagai media pemberitaan yang profesional sudah tentu
mempunyai fungsi mencerdaskan bangsa disamping fungsi pokoknya di bidang
jurnalistik. Kecenderungan media massa memilih asal-usul nama Tanjung Priok
versi pengikut Mbah Priok yang anarkis dan sesat, menunjukkan bahwa fungsi
mencerdaskan bangsa yang diemban media massa belum berjalan sebagaimana
mestinya.
Begitu juga dengan Pemprov DKI yang punya kecenderungan
sama, menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai senior mereka sendiri. Boleh
dibilang, Aki Tirem tidak sekedar senior Lurah Warakas, tidak sekedar senior
Camat Tanjung Priok, tetapi ia juga senior Walikota Jakarta Utara dan bahkan
Gubernur DKI Jakarta.
Aki Tirem, Kepala Desa Tanjung yang pandai membuat periuk
nasi ini, lebih layak dihormati oleh para pejabat tadi (mulai dari Lurah
Warakas hingga Gubernur DKI Jakarta). Selain itu, asal-muasal nama Tanjung
Priok yang berkaitan dengan sosok dan kiprah Aki Tirem lebih masuk akal
dibandingkan dengan sosok Mbah Priok yang penuh aroma pembodohan dan mistis
serta bernuansa syirik (dosa besar).
Peranan Pers
Kecerdasan suatu bangsa juga bisa dilihat dari sikap insan
pers yang berkiprah di tengah-tengah bangsa tersebut. Bila insan pers lebih
gandrung pada cerita-cerita mistis bernuansa pembodohan ala Mbah Priok
ketimbang sejarah Aki Tirem dalam mengungkap asal-muasal nama Tanjung Priok,
maka tidak bisa dielakkan adanya kesan bahwa insan pers kita masih belum
maksimal menjalankan fungsi mencerdaskan bangsa.
Hanya detik.com yang mengungkap sisi lain asal-muasal nama
Tanjung Priok dengan mewawancarai JJ Rizal ahli sejarah Betawi lulusan
Universitas Indonesia. Media massa lainnya, justru terlihat lebih bersemangat
mensosialisasikan sisi mistis makam Mbah Priok, sehingga memberikan kesan
mendalam bagi masyarakat awam yang bodoh bahwa makam tersebut punya kekuatan
lain (bernuansa syirik)Disamping itu, media massa juga telah mengarahkan opini
masyarakat bahwa cerita versi pengikut Mbah Priok yang sesat dan anarkis itu
adalah benar berkaitan dengan asal-muasal nama Tanjung Priok, salah satu
Kecamatan di wilayah Jakarta Utara.
Harian Kompas yang selama ini memberi kesan sebagai koran
para intelektual, ternyata tak luput dari kesan turut membodohi masyarakat.
Antara lain sebagaimana bisa dilihat dari warta berjudul Sulitnya
Mempertahankan Makam Keramat “Mbah Priok” (edisi Jum’at 12 Juni 2009).
Salah satu alineanya berbunyi:
Tak hanya itu, pada tahun 2004, pihak pengelola pelabuhan
pernah akan melakukan pembongkaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi
upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet
dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang
berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati
dalam bertindak,” kata Habib Ali.
Bila warta itu ditemukan pada koran kuning, barangkali masih
bisa dimengerti (meski tidak bisa dibenarkan). Karena, biasanya koran kuning
dalam rangka mengejar oplaag (tiras) cenderung mencari warta yang sensasional
Koran sekaliber Kompas tentunya tidak patut menurunkan warta
seperti itu, karena lebih banyak bermuatan pembodohan. Sebab, boleh jadi
gagalnya buldozer beroperasi akibat dari si operatornya yang sudah lebih dulu
diliputi rasa takut, sehingga ia tidak bisa mengendalikan diri dan terperosok.
Karena, boleh jadi operator buldozer juga orang-orang yang sepaham dengan
almarhum Tajudin, angota Satpol-PP yang tewas dibantai massa pendukung Mbah
Priok, padahal ia juga bagian dari komunitas Mbah Priok.
Begitu juga dengan okezone.com edisi 14 April 2010, melalui
warta berjudul Sinar Makam Mbah Priok Terlihat Satelit? seolah-olah
turut memberikan energi kepada orang awam yang percaya adanya kekuatan lain
dari makam Mbah Priok. Selengkapnya sebagai berikut:
Sinar Makam Mbah Priok Terlihat Satelit?
JAKARTA – Kekeramatan makam wali Al Imam Al Arif Billah
Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi’i Sunnira atau
kerap disebut Mbah Priok, dikabarkan membuat tercengang para ilmuwan luar
negeri.
Pengurus makam, Habibina, saat berbincang dengan okezone
menuturkan, para ilmuwan tersebut melihat sinar yang memancar dari makam hingga
ke luar angkasa.
Habibina menyebutkan, pada 14 Maret 2000 lalu beberapa orang
asing yang mengaku utusan dari berbagai negara, seperti Amerika, Jerman, Rusia,
dan Australia, mendatangi ahli waris.
Para ilmuwan ini, kepada ahli waris menuturkan, mereka
melihat dari satelit terdapat sinar yang memancar dari Indonesia. Mereka
menduga sinar tersebut merupakan senjata laser.
“Kemudian orang-orang asing itu mendatangi lokasi untuk mencari
sinar laser yang menurut mereka itu adalah senjata laser. Ketika dilihat
ternyata berasal dari makam kramat ini,” tuturnya.
Demikian dituturkannya kepada okezone yang diajak berbincang
di majelis taklim yang berada di area komplek makam.
Habibina mengungkapkan, jika makam Mbah Priok merupakan
makam wali yang seharusnya dihormati. Ahli waris mempercayai, makam Mbah Priok
merupakan paku bumi yang dijaga keberadaannya oleh malaikat dan Allah SWT.
Disebutnya, pihak-pihak yang bernafsu menggusur makam Mbah
Priok, merupakan orang-orang yang tidak mengerti kesucian wali. “Minimal kalau
mereka tidak mengerti wali, harus menghormati makam ini adalah makam sejarah,
yang pertama kali menamai Tanjung Priok,” tuturnya.
Bekas penjajah bumi nusantara pun, Belanda, menghormati
keberadaan makam yang berada di pinggir laut itu. Bahkan Belanda sempat
berpesan, jika makam keramat ini tidak boleh diganggu, dibongkar, atau pun
dipindahkan.
Bagi orang waras, warta di atas tentu sangat menggelikan,
dan terasa pekat unsur pembodohannya. Namun bila dibaca oleh orang awam yang
selain jahil (bodoh) juga tidak waras cara penalarannya, warta itu akan
mempertebal keyakinan mereka.
Sebelumnya, 13 Januari 2010, Okezone pernah menurunkan warta
berjudul SBY & Gus Dur Pernah Ziarahi Mbah Priok yang pada kalimat
awalnya saja sudah menunjukkan bahwa si pewarta ikut percaya bahwa makam itu
keramat (punya kekuatan), sebagai berikut:
SBY & Gus Dur Pernah Ziarahi Mbah Priok
JAKARTA – Kekeramatan dari makam Mbah Priok di Jalan Kramat,
Tanjung Priok, Jakarta Utara, tidak diragukan lagi.
Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai
daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam
datang guna mendapat karomah dari ulama bernama asli Al Imam Al Arif Billah
Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini Ass Syafi’i Sunni
RA.
Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah
bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.
Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana
pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap
Umar kepada okezone, Rabu (13/1/2010).
Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak
memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari
spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar
makam.
Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta
pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya
belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.
Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan
cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard
mengeluarkan peringatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah
satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.
Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika
Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak
aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat
makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para peziarah mau tidak mau harus masuk
area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril. (ram)
Bila pernyataan Umar (salah satu pengurus makam Mbah Priok)
benar, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Keluarga Cendana, dan Fauzi Bowo (Gubernur DKI)
pernah berziarah ke makam Mbah Priok guna mendapat karomah, maka dapat
disimpulkan bahwa kesesatan dan kejahilan (kebodohan) sudah terbentang
sedemikian luas.
Kesesatan dan kejahilan (kebodohan) terbentang luas dari
tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, dari orang awam hingga pejabat, dari
orang miskin hingga orang terkaya, dari orang rendah pendidikan sampai tinggi
pendidikan. Astaghfirullah…
Nampaknya, masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia
tidak hanya korupsi, penyelewengan pajak, markus (maklar kasus) dan mafia
hukum, tetapi juga berjangkitnya virus kesesatan dan kejahilan (kebodohan)
dalam spektrum yang cukup luas. Bahkan menjangkiti kaum agamawan bergelar kiai
dan tokoh kelompok di masyarakat berlabel Islam. Lebih ngerinya lagi, bahkan
ada jum’iah tertentu yang dari gejalanya justru kemungkinan terkontaminasi
kecenderungan melestarikan kajahilan dan kesesatan yang menjurus ke kemusyrikan
(dosa terbesar) ini. (haji/tede)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar