Sabtu, 26 April 2014

Kisah Kuburan Mbah Priok Membodohi Masyarakat



Kisah Kuburan Mbah Priok Membodohi Masyarakat

Sebagian masyarakat kita ada yang cenderung lebih percaya kepada cerita-cerita irasional seperti kisah Mbah Priok yang penuh mistis dan bermuatan syirik, serta lebih banyak bermuatan unsur pembodohan yang justru merugikan masyarakat.

Berdasarkan catatan berbagai sumber, Mbah Priok alias Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini Ass Syafi`i Sunni RA lahir pada tahun 1727 Masehi di Palembang (Sumatera Selatan) dan meninggal pada tahun 1756 di Batavia (Jakarta)

Artinya, ketika meninggal usianya baru 29 tahun. Masih relatif muda. Mbah Priok meninggal tak berapa lama setelah ia menginjakkan kaki di Batavia. Artinya, ia belum sempat menyebarluaskan agama Islam di Batavia dan Pulau Jawa pada umumnya, namun sudah keburu meninggal dunia.
Lalu, dari mana ia bisa dijuluki sebagai ulama besar yang berjasa menyebarkan agama Islam? Mungkin saja, kiprahnya menyebarkan agama Islam dilakukan sejak ia masih di Sumatera Selatan. Namun, mengingat usianya yang relatif masih sangat muda, apakah sudah layak ia diberi gelar sebagai ulama besar yang berjasa menyebarkan agama Islam?

Kalau Mbah Priok ini sudah belajar agama sejak kecil, katakanlah sejak ia berusia 5 tahun melalui kakek dan orangtuanya, kemudian dianggap menguasai ilmu agama dan layak menjadi juru dakwah pada usia 20 tahun, maka secara matematis ia baru berkiprah selama sembilan tahun.

Apakah selama sembilan tahun itu Mbah Priok sudah berhasil menelurkan karya besar di bidang keagamaan, sehingga layak dijuluki sebagai ulama besar yang berjasa menyebarkan agama Islam? Rasanya kalau secara perhitungan akal, kiprah Mbah Priok bila dibandingkan dengan almarhum Buya HAMKA masih teramat sangat jauh. Atau, bila dibandingkan dengan Ustadz Syamsi Ali (Ketua Masyarakat Muslim di New York), kiprah Mbah Priok belum setara.

HAMKAKepanjangan dari HAMKA adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir di desa kampung Molek, Maninjau (Sumatera Barat), pada tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Semasa hidupnya HAMKA selain dikenal sebagai ulama juga dikenal sebagai sastrawan dan aktivis politik.

Ketika HAMKA berusia 10 tahun, ayahandanya (Syeikh Abdul Karim bin Amrullah) mendirikan lembaga pendidikan keagamaan bernama Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di tempat inilah HAMKA belajar agama Islam dan mendalami bahasa Arab. Selain itu, HAMKA juga belajar agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada usia 20 tahun, HAMKA menelurkan karya sastra berjudul Si Sabariah (1928) dan pada tahun 1921 HAMKA menyusun buku tentang tokoh Islam bertajuk Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq). Di tahun yang sama (1929), selain Pembela Islam HAMKA juga menerbitkan tiga buku lainnya, masing-masing berjudul Adat Minangkabau dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, dan Kepentingan Melakukan Tabligh.

Sebagai sastrawan, HAMKA juga menelurkan karya berbobot seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937) ketika usianya belum mencapai 30 tahun. Semasa hidupnya ada sekitar 79 karya tulis yang berhasil ditulis HAMKA termasuk Tafsir Al-Azhar (Juz 01 – 30).

Di dunia pendidikan, kiprah HAMKA tertoreh dengan jelas. Misalnya, pada tahun 1927 HAMKA bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 sebagai guru agama di Padangpanjang. Pada tahun 1957-1958 HAMKA menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padangpanjang. Setelah itu, HAMKA juga diangkat sebagai rektor di Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjadi Guru Besar (Profesor) Universitas Moestopo, Jakarta.

Selain itu, HAMKA pernah menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo Mesir (1958), Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974.

Muhammad Syamsi Ali

Sosok Syamsi Ali (kelahiran 05 Oktober 1967) pernah diulas harian Republika melalui tulisan bertajuk Syamsi Ali Dai Indonesia Paling Berpengaruh di New York (Republika edisi Jumat, 08 Mei 2009). Da’i muda asal Sulawesi Selatan ini di negeri Paman Sam menjabat sebagai Ketua Masyarakat Muslim New York.Sejak 1997 ia menjadi Imam Mesjid Al-Hikmah di New York, dan memimpin Islamic Center of New York. Di sini, Syamsi membuka kelas khusus tiap pekan bagi orang-orang non-muslim yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai ajaran Islam. Di forum ini ia ditantang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis, terutama mengenai tindakan negatif dari kelompok-kelompok tertentu yang sering mengatasnamakan Islam.

Peran Syamsi Ali dalam mengembangkan Islam yang damai di AS, terasa demikian penting bagi masyarakat AS. Sehingga ia kerap mendapat berbagai penghargaan. Antara lain, pada tahun 2006 New York Magazine menobatkan Syamsi Ali –bersama enam tokoh agama lainnya– sebagai salah satu dari tujuh tokoh agama yang paling berpengaruh di New York.

Tahun 2009, Syamsi Ali kembali menerima penghargaan dari National Ethnic Coalition Organizations (Koalisi Organisasi Etnik). Setiap tahun National Ethnic Coalition Organizations memberikan penghargaan kepada individu-individu yang dianggap telah memberikan kontribusi kepada masyarakat maupun kepada kehidupan secara umum (Ellis Island Medal of Honor Award).
Nama-nama penerima Ellis Island Medal of Honor Award ini ditorehkan pada dinding di gedung museum Ellis Island, sebuah pulau bersejarah yang merupakan tempat mendaratnya para imigran pertama kali di Amerika.

Pada usia 25 tahun, sekitar tahun 1992, Syamsi Ali berhasil menyelesaikan pendidikan setingkat S-1 dalam bidang Tafsir dari The International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Sedangkan S-2 dalam bidang Perbandingan Agama diselesaikan pada tahun 1994 di Universitas yang sama, ketika Syamsi berusia 27 tahun. Dua tahun kemudian, ketika Syamsi Ali berusia 29 tahun (pada kisaran usia yang sama Mbah Priok meninggal dunia) Syamsi Ali mendapat kesempatan berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah Saudi Arabia (musim haji tahun 1996). 

Pada kesempatan itu, Syamsi Ali bertemu dengan beberapa jamaah haji luar negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang kala itu menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, AS. Pada awal 1997 Syamsi Ali berangkat ke New York. Hingga kini ia berada di sana menjalankan tugas mulia memimpin komunitas Islam di New York, sekaligus menjadi jurubicara Islam bagi masyarakat non Islam yang ingin mengenal Islam.

Mbah Priok 

Bila dibandingkan dengan sosok almarhum HAMKA dan M. Syamsi Ali yang kongkrit dan dapat ditelusuri jejak rekamnya, sosok Mbah Priok masih begitu samar dan penuh mistis. Termasuk, keterkaitannya dengan asal-usul nama Tanjung Priok.

Sebenarnya, asal-usul nama Tanjung Priok lebih dekat kepada sosok Aki Tirem, seorang kepala desa asal Tanjung, yang juga sangat terkenal karena keterampilannya membuat periuk nasi.
Kawasan Tanjung asal Aki Tirem berdomisili, kini berganti nama menjadi Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Keahlian Aki Tirem asal Tanjung membuat periuk nasi membuat masyarakat kala itu menyebut kawasan itu dengan nama Tanjung Periuk. Kemudian, nama Tanjung Periuk berubah logat menjadi Tanjung Priok.

Anehnya, media massa (pers) dan bahkan dinas pariwisata pemprov DKI sendiri lebih tertarik dengan asal-usul nama versi pengikut Mbah Priok yang mengisahkan bahwa nama Tanjung Priok diambil dari dayung sampan si Mbah yang dijadikan semacam batu nisan bagi kuburan Mbah Priok. Kemudian, dayung itu tumbuh menjadi pohon Tanjung.

Sedangkan istilah periuk diambil dari periuk nasi si Mbah yang sempat hanyut dibawa ombak untuk jangka waktu tertentu, namun kembali lagi dan terdampar di dekat kuburan si Mbah. Maka, jadilah kawasan itu diberi nama Tanjung Periuk alias Tanjung Priok.

Pers sebagai media pemberitaan yang profesional sudah tentu mempunyai fungsi mencerdaskan bangsa disamping fungsi pokoknya di bidang jurnalistik. Kecenderungan media massa memilih asal-usul nama Tanjung Priok versi pengikut Mbah Priok yang anarkis dan sesat, menunjukkan bahwa fungsi mencerdaskan bangsa yang diemban media massa belum berjalan sebagaimana mestinya.

Begitu juga dengan Pemprov DKI yang punya kecenderungan sama, menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai senior mereka sendiri. Boleh dibilang, Aki Tirem tidak sekedar senior Lurah Warakas, tidak sekedar senior Camat Tanjung Priok, tetapi ia juga senior Walikota Jakarta Utara dan bahkan Gubernur DKI Jakarta.

Aki Tirem, Kepala Desa Tanjung yang pandai membuat periuk nasi ini, lebih layak dihormati oleh para pejabat tadi (mulai dari Lurah Warakas hingga Gubernur DKI Jakarta). Selain itu, asal-muasal nama Tanjung Priok yang berkaitan dengan sosok dan kiprah Aki Tirem lebih masuk akal dibandingkan dengan sosok Mbah Priok yang penuh aroma pembodohan dan mistis serta bernuansa syirik (dosa besar).

Peranan Pers

Kecerdasan suatu bangsa juga bisa dilihat dari sikap insan pers yang berkiprah di tengah-tengah bangsa tersebut. Bila insan pers lebih gandrung pada cerita-cerita mistis bernuansa pembodohan ala Mbah Priok ketimbang sejarah Aki Tirem dalam mengungkap asal-muasal nama Tanjung Priok, maka tidak bisa dielakkan adanya kesan bahwa insan pers kita masih belum maksimal menjalankan fungsi mencerdaskan bangsa.

Hanya detik.com yang mengungkap sisi lain asal-muasal nama Tanjung Priok dengan mewawancarai JJ Rizal ahli sejarah Betawi lulusan Universitas Indonesia. Media massa lainnya, justru terlihat lebih bersemangat mensosialisasikan sisi mistis makam Mbah Priok, sehingga memberikan kesan mendalam bagi masyarakat awam yang bodoh bahwa makam tersebut punya kekuatan lain (bernuansa syirik)Disamping itu, media massa juga telah mengarahkan opini masyarakat bahwa cerita versi pengikut Mbah Priok yang sesat dan anarkis itu adalah benar berkaitan dengan asal-muasal nama Tanjung Priok, salah satu Kecamatan di wilayah Jakarta Utara.
Harian Kompas yang selama ini memberi kesan sebagai koran para intelektual, ternyata tak luput dari kesan turut membodohi masyarakat. Antara lain sebagaimana bisa dilihat dari warta berjudul Sulitnya Mempertahankan Makam Keramat “Mbah Priok” (edisi Jum’at 12 Juni 2009). Salah satu alineanya berbunyi:

Tak hanya itu, pada tahun 2004, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembongkaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Bila warta itu ditemukan pada koran kuning, barangkali masih bisa dimengerti (meski tidak bisa dibenarkan). Karena, biasanya koran kuning dalam rangka mengejar oplaag (tiras) cenderung mencari warta yang sensasional

Koran sekaliber Kompas tentunya tidak patut menurunkan warta seperti itu, karena lebih banyak bermuatan pembodohan. Sebab, boleh jadi gagalnya buldozer beroperasi akibat dari si operatornya yang sudah lebih dulu diliputi rasa takut, sehingga ia tidak bisa mengendalikan diri dan terperosok. Karena, boleh jadi operator buldozer juga orang-orang yang sepaham dengan almarhum Tajudin, angota Satpol-PP yang tewas dibantai massa pendukung Mbah Priok, padahal ia juga bagian dari komunitas Mbah Priok.

Begitu juga dengan okezone.com edisi 14 April 2010, melalui warta berjudul Sinar Makam Mbah Priok Terlihat Satelit? seolah-olah turut memberikan energi kepada orang awam yang percaya adanya kekuatan lain dari makam Mbah Priok. Selengkapnya sebagai berikut:

Sinar Makam Mbah Priok Terlihat Satelit?

JAKARTA – Kekeramatan makam wali Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi’i Sunnira atau kerap disebut Mbah Priok, dikabarkan membuat tercengang para ilmuwan luar negeri.

Pengurus makam, Habibina, saat berbincang dengan okezone menuturkan, para ilmuwan tersebut melihat sinar yang memancar dari makam hingga ke luar angkasa.
Habibina menyebutkan, pada 14 Maret 2000 lalu beberapa orang asing yang mengaku utusan dari berbagai negara, seperti Amerika, Jerman, Rusia, dan Australia, mendatangi ahli waris.
Para ilmuwan ini, kepada ahli waris menuturkan, mereka melihat dari satelit terdapat sinar yang memancar dari Indonesia. Mereka menduga sinar tersebut merupakan senjata laser.
“Kemudian orang-orang asing itu mendatangi lokasi untuk mencari sinar laser yang menurut mereka itu adalah senjata laser. Ketika dilihat ternyata berasal dari makam kramat ini,” tuturnya.
Demikian dituturkannya kepada okezone yang diajak berbincang di majelis taklim yang berada di area komplek makam.

Habibina mengungkapkan, jika makam Mbah Priok merupakan makam wali yang seharusnya dihormati. Ahli waris mempercayai, makam Mbah Priok merupakan paku bumi yang dijaga keberadaannya oleh malaikat dan Allah SWT.

Disebutnya, pihak-pihak yang bernafsu menggusur makam Mbah Priok, merupakan orang-orang yang tidak mengerti kesucian wali. “Minimal kalau mereka tidak mengerti wali, harus menghormati makam ini adalah makam sejarah, yang pertama kali menamai Tanjung Priok,” tuturnya.
Bekas penjajah bumi nusantara pun, Belanda, menghormati keberadaan makam yang berada di pinggir laut itu. Bahkan Belanda sempat berpesan, jika makam keramat ini tidak boleh diganggu, dibongkar, atau pun dipindahkan.

Bagi orang waras, warta di atas tentu sangat menggelikan, dan terasa pekat unsur pembodohannya. Namun bila dibaca oleh orang awam yang selain jahil (bodoh) juga tidak waras cara penalarannya, warta itu akan mempertebal keyakinan mereka.

Sebelumnya, 13 Januari 2010, Okezone pernah menurunkan warta berjudul SBY & Gus Dur Pernah Ziarahi Mbah Priok yang pada kalimat awalnya saja sudah menunjukkan bahwa si pewarta ikut percaya bahwa makam itu keramat (punya kekuatan), sebagai berikut:

SBY & Gus Dur Pernah Ziarahi Mbah Priok

JAKARTA – Kekeramatan dari makam Mbah Priok di Jalan Kramat, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tidak diragukan lagi.

Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karomah dari ulama bernama asli Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini Ass Syafi’i Sunni RA.

Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada okezone, Rabu (13/1/2010).
Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peringatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.
Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para peziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril. (ram)
Bila pernyataan Umar (salah satu pengurus makam Mbah Priok) benar, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Keluarga Cendana, dan Fauzi Bowo (Gubernur DKI) pernah berziarah ke makam Mbah Priok guna mendapat karomah, maka dapat disimpulkan bahwa kesesatan dan kejahilan (kebodohan) sudah terbentang sedemikian luas.

Kesesatan dan kejahilan (kebodohan) terbentang luas dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, dari orang awam hingga pejabat, dari orang miskin hingga orang terkaya, dari orang rendah pendidikan sampai tinggi pendidikan. Astaghfirullah…

Nampaknya, masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia tidak hanya korupsi, penyelewengan pajak, markus (maklar kasus) dan mafia hukum, tetapi juga berjangkitnya virus kesesatan dan kejahilan (kebodohan) dalam spektrum yang cukup luas. Bahkan menjangkiti kaum agamawan bergelar kiai dan tokoh kelompok di masyarakat berlabel Islam. Lebih ngerinya lagi, bahkan ada jum’iah tertentu yang dari gejalanya justru kemungkinan terkontaminasi kecenderungan melestarikan kajahilan dan kesesatan yang menjurus ke kemusyrikan (dosa terbesar) ini. (haji/tede)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar