(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ‘amma ba’du:
Sebelum memberikan tanggapan, alangkah baiknya jika kita merenungkan sejenak firman Allah berikut:
{وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ} [التوبة: 71]
Kaum mukminin dan mukminat satu sama lain saling menjadi
wali. Mereka ber-amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, membayar
zakat, serta menaati Allah dan RasulNya. Merekalah yang kelak akan
dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana (At
Taubah: 71).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan sejumlah karakter yang dimiliki orang-orang beriman (baik laki-laki maupun perempuan). Pertama:
bahwa mereka saling menolong, loyal, membela, dan melindungi sesama
mukmin/muslim. Itulah kira-kira makna dari ‘saling menjadi wali’.
Kedua: mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Artinya, yang mengetahui adanya suatu kema’rufan di antara kaum
mukminin, menyampaikan hal tersebut kepada saudaranya sesama mukmin,
agar lebih banyak orang yg berbuat ma’ruf. Sedangkan bila ada di antara
mereka yang mengetahui adanya perbuatan munkar yg dilakukan oleh orang
lain, maka ia mengingatkan, meluruskan, dan mencegah orang tersebut agar
menghentikan kemunkarannya.
Inilah dua pijakan utama saya dalam menulis tanggapan
berikut, yaitu sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, dan juga
pembelaan terhadap Habib Rizieq sendiri!
Lho koq bisa begitu?
Ya. Bukankah Rasulullah kekasih kita semua menyuruh kita
untuk membela saudara kita, baik ia sebagai pihak yg zhalim maupun yg
dizhalimi?! Simaklah hadits berikut:
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ
ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ
الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري (6952)
Anas bin Malik –radhiyallaahu ‘anhu- mengatkan bahwa
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda: “Tolonglah
saudaramu (seiman) saat ia berbuat zhalim maupun terzhalimi”. Beliau
lantas ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya saat ia dizhalimi.
Tapi bagaimana menurutmu jika ia yang berbuat zhalim, bagaimana aku
menolongnya?
“Cegahlah –atau laranglah- ia dari perbuatan zhalim
tersebut. Demikianlah cara menolongnya” jawab Rasulullah –shallaallaahu
‘alaihi wa sallam-.
(HR. Bukhari dlm Shahihnya, kitab al-ikraah, bab yg terakhir, hadits no 6952).
Hadits yg senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahih-nya (no 2584) dari sahabat Jabir bin Abdillah –radhiyallaahu
‘anhuma-.
Perlu diketahui, bahwa seseorang dinyatakan zhalim bila meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (وضع الشيء في غير موضعه)[1]; demikian menurut mayoritas ahli bahasa. Selain itu, seseorang dinyatakan zhalim bila ia berbuat sesuatu terhadap milik orang lain, atau bertindak yang melampaui batas[2].
Termasuk perbuatan zhalim ialah tidak menganggap kafir
orang yang mestinya dianggap kafir. Atau mengkafirkan orang yang
semestinya tidak dikafirkan. Atau bersikap lunak terhadap kelompok yang
mestinya disikapi keras. Atau sebaliknya. Karena itu semua berarti
meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan termasuk tindakan
melampaui batas, baik batas minimal maupun batas maksimal.
Nah, sebagai penutup mukaddimah ini, saya ajak pembaca
untuk merenungkan dialog singkat yang penuh makna berikut. Dialog ini
terjadi antara Abu Shalih Al Farra’ dengan Imam Yusuf bin Asbaath. Abu
Shalih Al Farra’ pernah menceritakan sejumlah hal tentang fitnah
khawarij yang ia dengar dari Wakie’ kepada Yusuf bin Asbaath. Maka Imam
Yusuf bin Asbaath berkomentar: “Orang itu (Wakie’) memang mirip dengan
gurunya –yaitu Hasan ibnu Hayy (yg terkenal berpemikiran khawarij)-!”.
“Apa kamu tidak takut jika ucapanmu ini termasuk ghibah?”, tanya Abu Shalih.
“Dasar lugu… memangnya kenapa?” sanggah Yusuf bin Asbaath.
“Justru aku lebih berbakti kepada mereka (orang-orang yang terjebak
dalam bid’ah) daripada orang tua mereka sendiri. Aku melarang
orang-orang untuk mengikuti bid’ah yang mereka ciptakan, sehingga mereka
tidak memikul dosa orang-orang tsb. Sedangkan orang yang memuji mereka
justru lebih berbahaya bagi diri mereka” lanjut Yusuf bin Asbaath.[3]
Renungilah jawaban Imam Yusuf bin Asbaath yang demikian penuh makna ini…
Yang beliau bicarakan disini bukanlah orang biasa, akan
tetapi seorang tokoh ahli hadits, ahli ibadah, ahli zuhud, dan luar
biasa dalam banyak hal; akan tetapi ia memiliki pemikiran yang
berbahaya. Ia berpendapat bolehnya memberontak dan mengangkat senjata
kepada penguasa muslim yang berbuat zhalim yang tidak sampai ke tingkat
kufur (murtad). Itulah bid’ahnya khawarij. Pemikiran tersebut cukup
berbahaya walaupun yg bersangkutan sendiri tidak pernah mengangkat
senjata secara langsung. Ia sekedar memberi dukungan dan keberpihakan
terhadap mereka yang memberontak, alias membenarkan sikap kaum khawarij.
Hal ini di mata para salaf merupakan bahaya besar, sebab seorang tokoh
semacam Hasan bin Shalih bin Hayy yang demikian dikagumi banyak orang
karena ilmu, kezuhudan, dan keshalihannya tsb akan banyak menyesatkan
manusia melalui pemikirannya yang keliru tadi, bila tidak ada yang
menjelaskan kekeliruannya tsb secara ilmiah. Yang dengan demikian, maka
yang bersangkutan akan turut memikul dosa banyak orang yang mengikuti
pemikirannya tersebut.
Apalagi bila ia kemudian dipuji-puji oleh tokoh lainnya,
maka akan semakin banyak umat yang tersesat karenanya, sehingga semakin
banyak dosa yang dipikul oleh si pencetus pemikiran tadi. Sebab
Rasulullah ‘alaihis shalaatu was salaam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم رقم 1017).
Siapa yang membikin suatu ajaran buruk dalam Islam, maka ia
akan memikul dosanya dan dosa setiap orang yang mengamalkannya setelah
itu; tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (HR. Muslim dalam
Shahihnya, no 1017).
Jadi, maksud saya menulis tanggapan ini ialah demi
mengamalkan dalil-dalil yang saya sebutkan tadi, dan demi berbakti
kepada Habib Rizieq Shihab –saddadahullaah- agar kekeliruan beliau
sebagai tokoh yang dikagumi banyak orang, jangan sampai diikuti.
Baiklah, sekarang saya akan mulai menanggapi apa yang saya
dapatkan dari statemen Habib Rizieq Shihab –yg selanjutnya saya singkat
HRS-. Berikut ini adalah copas dari blog satuislam yg
memberitakan
secara singkat ceramah HRS saat merayakan haul kematian ibundanya di
markas pusat FPI tanggal 1 Desember 2013 lalu. Dituliskan disana sbb:
Sementara itu, menanggapi tudingan sekelompok takfiri
yang mengkafirkan dirinya akhir-akhir ini hanya karena beliau tidak mau
mengkafirkan semua penganut Syi’ah, Habib Rizieq menjelaskan bahwa
dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi
dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama
artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti
ditolak.
Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
Dalam cuplikan di atas, ada beberapa poin yang perlu diperjelas agar tidak menjadi syubhat bagi orang awam.
Pertama: HRS mengatakan bahwa dirinya dikafirkan oleh kelompok takfiri karena tidak mau mengkafirkan semua penganut syi’ah.
Pertanyaannya: Siapa kelompok takfiri yang dimaksud?
Bisakah HRS menyebutkan nama mereka satu persatu, atau minimal ciri-ciri
mereka agar ucapan HRS bernilai ilmiah dan bukan sekedar melempar
tuduhan?
Perlu diketahui, bahwa takfir (menjatuhkan vonis kafir)
sesuai aturan dan secara proporsional, merupakan salah satu akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagai orang yang beriman, kita harus
mengkafirkan SEMUA yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Baik
dikafirkan dengan menyebut nama mereka, seperti kafirnya Fir’aun, Abu
Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan lain-lain. Atau
dikafirkan berdasarkan sifat-sifatnya, seperti kaum musyrikin secara
umum, kaum Yahudi, kaum Nasrani, Majusi, dll. Ini yang pertama.
Yang kedua: perlu kita ketahui bahwa penjatuhan vonis kafir –alias takfir- ada dua macam. Takfir ‘aam dan takfir khaash.
Pengkafiran secara umum dan pengkafiran secara khusus
(personal/individu). Ketika ada yang mengatakan bahwa kelompok syi’ah
itsna ‘asyariyah itu kafir karena mereka meyakini hal-hal yang
membatalkan keislaman, seperti meyakini ketidakotentikan Al Qur’an yg
ada hari ini, karena diotak-atik oleh para sahabat. Atau sikap ghuluw
mereka terhadap ahli bait Nabi hingga menyematkan sifat-sifat uluhiyyah
kepada mereka. Dan banyak hal lainnya…[5]
Nah, ketika ada yang mengatakan bahwa syi’ah adalah
kelompok kafir, tidak berarti bahwa setiap orang yang diindikasikan
syi’ah harus dikafirkan secara personal, dengan mengatakan si A, si B,
si C dst kafir. Tidak demikian. Sebab yang seperti ini adalah takfir
khaash yang hanya berhak dijatuhkan oleh para qadhi (hakim) atau ulama
yg terkenal dengan kedalaman ilmunya serta kehati-hatian mereka dalam
berfatwa, sebab menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada seseorang
memiliki konsekuensi hukum yang berat, seperti halalnya darah orang
tersebut, terputusnya hubungan suami-istri, batalnya hak waris mewarisi,
tidak halalnya sembelihan dia, dst. yang dibahas oleh para ulama dalam
bab riddah (murtad) dalam kitab-kitab fiqih.
Di samping itu, untuk menjatuhkan vonis kafir secara
tertentu kepada orang-perorang haruslah memperhatikan terpenuhinya
beberapa hal dan ternafikannya beberapa hal pula, yaitu:
- Ybs haruslah akil baligh alias bukan anak kecil dibawah usia, atau tidak waras akalnya. Karena hukum syariat baru mengikat seseorang bilamana ia tergolong mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat.
- Ybs haruslah tahu bahwa perkataan/sikap/perbuatan/keyakinan tsb hukumnya kufur akbar, alias bukan orang yg jahil terhadap hal tsb karena baru masuk islam, atau belum sempat mempelajarinya karena udzur tertentu yang bisa diterima oleh syariat. Bukan semata-mata jahil karena tidak peduli dengan ajaran agama dan tidak mau belajar. Sebab yg demikian ini namanya bukan lagi jahil (tidak tahu) tapi mu’ridh alias berpaling dari agama (tidak mau tahu).
- Bila kekafiran tersebut berupa perkataan/sikap/perbuatan, maka hal tsb dilakukannya secara suka rela atas pilihan pribadi, tanpa ada paksaan. Sebab bila ia dipaksa utk berbuat/berkata kufur sedangkan hatinya tetap beriman; maka ia tidak dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa kafir terhadap Allah setelah beriman, maka ia mendapat murka Allah, kecuali bila dirinya dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Akan tetapi bila hatinya ikut merasa tentram dengan kekafiran tersebut, maka bagi mereka murka Allah dan siksa yg pedih” (An Nahl: 107).
- Adanya kesengajaan dalam perkataan/perbuatan/sikap kufur tersebut, dan bukan dilakukan karena kelalaian atau ketidak sengajaan.
- Jika yg melakukan/mengatakan kekufuran tadi tergolong orang yang layak berijtihad, maka harus dipastikan bahwa ia tidak memiliki syubhat yang mendorongnya berbuat/berkata kufur tsb. Jika Ybs masih memiliki syubhat (ta’wil), maka syubhat ini harus dihilangkan melalui penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua pena’wilan bisa diterima dalam hal ini. Hanya pena’wilan yg memenuhi syarat saja yang bisa dianggap sebagai udzur. Yaitu pena’wilan yang bisa diterima secara bahasa walaupun maknanya lemah dalam konteks tersebut. Adapun penakwilan yg serampangan dan tidak bisa diterima secara bahasa, maka tidak dianggap sebagai udzur.
Kedua: HRS mengatakan [bahwa dalam kitab-kitab
hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan
ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan
banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.]
Pernyataan ini juga melahirkan beberapa pertanyaan:
- Berapakah jumlah perawi yg diklaim oleh HRS sebagai ulama syi’ah dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Bisakah HRS menyebutkan angkanya? Perlu diketahui, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani telah merangkum secara singkat biografi para perawi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah, yaitu dlm kitab beliau yg berjudul Taqriebut Tahdzieb yang jumlahnya mencapai 8826 perawi. Dan ini belum seluruhnya.
- Apa saja yang dimaksud dengan kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Apakah semua kitab hadits yg ditulis oleh ulama ahlussunnah harus diperlakukan sebagai kitab rujukan? Kalau ini yang dimaksud maka keliru-lah dia. Sebab tidak ada kitab selain As Shahihain yang hadits-haditsnya otomatis shahih dan menjadi pijakan dalam beragama menurut Ahlussunnah. Selain As Shahihain tetap harus melewati verifikasi sanad, karena para ulama senantiasa meriwayatkan hadits dengan sanadnya, yang dari situ bisa dikenali manakah yg sahih, mana yg hasan, mana yg dha’if, batil, palsu, dst. Artinya, kalau dalam hadits yg diriwayatkan oleh selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah rafidhah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan alasan; sebab Ahlussunnah tidak menganggap harusnya menerima setiap hadits yg ada, namun hanya yg disepakati sebagai hadits-hadits yg maqbul (shahih atau hasan) saja, dan ini hanya berlaku secara umum dalam As Shahihain, adapun selain Shahihain maka tetap melalui verifikasi sanad.
- Tahukah HRS siapa sejatinya mereka yang dianggap sebgai perawi syi’ah tersebut? Adakah diantara mereka yang keyakinannya sama dengan keyakinan syi’ah itsna asyriah (rafidhah) hari ini, yang telah keluar dari Islam?
Ataukah HRS tidak memahami hakikat istilah syi’ah/tasyayyu’
yang sering dipakai oleh para ahli hadits dalam mengritik perawi
tertentu, dan menganggap bahwa istilah tersebut sama dengan istilah
syi’ah yang populer hari ini? Kalau memang demikian menurut HRS, maka
saya bisa memaklumi kesalahan tersebut mengingat HRS bukanlah ahli
hadits, dan tidak berlatarbelakang ilmu hadits.
Oleh karenanya, saya akan menjelaskan kerancuan pemahaman ini dalam beberapa poin:
Pertama:
Istilah tasyayyu’ dan syi’ah yang digunakan oleh para ulama salaf dalam
mengritisi perawi hadits, jauh berbeda dengan istilah syi’ah hari ini
yang terkenal suka mencaci maki, melaknat dan memurtadkan sahabat Nabi…
atau mereka yang kerap menuduh istri-istri Nabi dengan tuduhan keji, dan
menisbatkan berbagaimacam kedustaan atas nama ahli bait kepada para
sahabat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi (wafat 748
H) tatkala membahas biografi salah seorang perawi syi’ah yang haditsnya
tercantum dalam Shahih Muslim. Perawi tsb bernama Aban bin Tighlab Al
Kufy[6]. Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته) artinya: Ia
seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq (jujur). Maka kita ambil
kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk bid’ahnya.
Beliau lantas menyebutkan bahwa Aban bin Tighlab ini
dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’ien dan Abu
Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy menyebutkannya dalam kitab Dhu’afa –yg
berisi para perawi lemah-, dan mengatakan (وكان غاليا في التشيع)
artinya, ia bersikap ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’). Sedangkan
As Sa’dy menyifatinya dengan ungkapan (زائغ مجاهر), artinya: orang sesat
yang menampakkan kesesatannya.
Lalu Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut faham bid’ah dianggap ‘aadil?[7]
(berikut ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛ فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء لذهب جملة من الاثار النبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya adalah bahwa bid’ah itu terbagi dua. Ada bid’ah
sughra (kecil) seperti sikap tasyayyu’ yg ekstrim, atau tasyayyu’ yg
tidak ekstrim dan tidak diiringi dengan penyimpangan keyakinan. Yang
seperti ini banyak dijumpai di kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’ien,
akan tetapi mereka juga memiliki kualitas agama yang baik, sikap wara’
(hati-hati dan takut kpd Allah), serta kejujuran. Bila hadits mereka
kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah besar hadits Nabi, dan ini
merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total (bid’ahnya syi’ah rafidhah hari ini –pentj),
rafidhah ekstrim, menghina Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-,
dan mengajak orang untuk berpemahaman demikian (alias menjadi da’i
rafidhah); maka yang seperti ini riwayatnya tidak menjadi hujjah dan
tidak ada nilainya.
Lagi pula, saat ini aku tidak mengingat ada seorang pun
dengan kriteria seperti ini (rafidhah) yang bersifat jujur dan bisa
dipercaya, namun justru mereka terkenal sebagai tukang dusta, dan ahli
bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas bagaimana mungkin orang yg spt
ini keadaannya bisa diterima riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.
Jadi, seorang syi’i ekstrim di zaman para salaf dan
menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencaci Utsman,
Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi Ali
–radhiyallaahu ‘anhum-. Sedangkan syi’i ekstrim di zaman kita dan
menurut definisi kita, ialah mereka yang mengkafirkan tokoh-tokoh
tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula terhadap Abu Bakar dan Umar.
Nah, orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir. Sedangkan Aban bin
Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar dan Umar, namun boleh jadi ia
sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia dari mereka berdua.
Sedangkan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H) mengatakan:
التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان
وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما
وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم
وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا لاسيما إن
كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض فلا تقبل
رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah tasyayyu’ dalam pengertian para ulama terdahulu
(salaf), maksudnya ialah meyakini bahwa Ali lebih afdhal dari Utsman,
atau bahwa Ali senantiasa benar dalam semua peperangannya, dan
bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru; yang disertai dengan
sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) serta lebih
memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada sebagian dari kaum syi’ah
(tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan bilamana yang
berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama,
jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang
diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tsb.
Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ menurut pengertian ulama
mutaakhkhirin (ulama setelah generasi salaf); maka maksudnya adalah
rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi ekstrem tidak bisa diterima
riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.[8]
Kedua:
Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat jarang meriwayatkan dari
orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits yang tidak menjadi
hujjah secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
البخاري يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات والتراجم
Imam Bukhari berpendapat bahwa terputusnya sanad
merupakan ‘illah (cacat yg melemahkan suatu hadits). Oleh karenanya, ia
tidak meriwayatkan hadits-hadits yang kondisinya seperti itu, kecuali
bila hadits tersebut diluar topik utama kitab beliau, seperti
hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang beliau sisipkan di
bawah judul-judul bab.[9]
Artinya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dengan
sanad bersambung dari beliau hingga Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-, yang dalam sanad tersebut terdapat perawi rafidhi; dan tidak
ada perawi lain yang menyertainya dalam riwayat tersebut; kemudian tidak
ada hadits lain dalam bab yang sama.
Namun bila hadits yg dimaksud adalah hadits-hadits
mu’allaq, atau sekedar perkataan sampingan yang beliau sisipkan di bawah
judul-judul bab; maka ini tidak mengurangi nilai shahih Bukhari sama
sekali. Sebab maksud utama penyusunan kitab ini adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yg bersambung sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau;
sebagaimana yg dapat difahami dari judul asli shahih Bukhari itu
sendiri, yaitu (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه
وأيامه).
Jadi, perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.]
adalah perkataan yang batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda
dengan syi’ah tempo dulu. Para perawi syi’ah yg tercantum dalam
shahihain adalah ‘manusia-manusia purba’ yg sudah punah sejak ratusan
tahun lalu, menurut pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan
tentunya mereka lebih paham tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan ini juga batil karena tidak ada hadits syi’ah
rafidhah -syi’ah hari ini- yang diriwayatkan secara independen oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Sama sekali tidak ada.
Saya berani mengajak HRS untuk mubahalah dalam hal ini.
Silakan buktikan jika ada perawi yang akidahnya seperti Khomeini, atau
Kang Jalal, atau dedengkot rafidhah lainnya hari ini, yang haditsnya
tercantum dalam Shahihain –dengan syarat yg telah dijelaskan oleh Adz
Dzahabi dan Ibnu Hajar tadi-!!
Ketiga: [Lebih
jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah.
Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang
mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari
Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang
menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!].
Ini sungguh aneh bin ajaib… dan ini adalah kesalahan fatal
yang dibangun diatas kesalahan pertama, yaitu tidak bisa membedakan
antara syi’ah tempo dulu (muslimin ahli bid’ah) dengan syi’ah hari ini
(musyrikin munafikin).
Kalau HRS ingin membela ahlussunnah wal jama’ah, ya
ikutilah cara-cara ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kebatilan syi’ah
dan kekufuran mereka. Bukan dengan bermanuver seperti itu… Lantas
bagaimana jika yg mengkafirkan syi’ah rafidhah adalah Imam Bukhari
sendiri? Apakah HRS akan mengatakan bahwa Imam Bukhari menyerang kitabnya sendiri dan menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah???
Padahal dalam kitab beliau yang berjudul Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40), disebutkan:
قال أبو عبد الله: ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم
صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا
يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu Abdillah berkata: “Aku tidak membedakan apakah aku
shalat bermakmum di belakang seorang Jahmi dan Rafidhi, ataukah
bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak boleh disalami,
tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi (wanitanya),
tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya”.
Abu Abdillah adalah kun-yah atau sapaan akrab dari Imam
Bukhari itu sendiri. Lihatlah bagaimana beliau menyamakan antara seorang
jahmi dan rafidhi dengan orang kafir seperti yahudi dan nasrani!!! Dan
itu beliau sebutkan dalam salah satu kitab tulisan beliau, bukan dinukil
oleh orang lain.
Bukan hanya Imam Bukhari yang menganggap kafirnya Syi’ah
Rafidhah (Syi’ah itsna ‘asyariyah/syi’ah di Iran, Irak, Lebanon,
termasuk di Indonesia hari ini). Namun juga Imam Ahmad bin Hambal, yang
dijuluki sebagai Imam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam Kitab As Sunnah (1/493-494), Abu Bakar Al Khallal meriwayatkan dengan sanadnya sbb:
عن عبدالله بن أحمد قال: سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abdullah putera Imam Ahmad, katanya: Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kata ayah: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن أبي بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abu Bakar Al Marrudzi, katanya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Kata beliau: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari Isma’il bin Ishaq, bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad)
pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga seorang rafidhi,
bolehkah ia disalami? Kata beliau: “Tidak. Dan bila si rafidhi
menyalaminya, jangan dijawab”.
Kalau yang mencaci salah seorang sahabat saja –belum sampai
melaknat dan mengkafirkan- sudah dianggap bukan muslim lagi oleh Imam
Ahmad, lantas bagaimana gerangan dengan mereka yang mengkafirkan seluruh
sahabat Nabi selain beberapa gelintir saja???
Nah, kalau Imamnya Ahlussunnah wal Jama’ah saja mengkafirkan syi’ah rafidhah; pantaskah HRS yang mengaku sedang membela ahlussunnah wal jama’ah
justru tidak mau mengkafirkan syi’ah; bahkan menganggap orang yang
mengkafirkan syi’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah??
Bukankah konsekuensinya berarti Imamnya Ahlussunnah wal jama’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah ??!!
Mohon dijelaskan Bib, jangan bikin umat pusing dengan sikap antum!!
Ditulis oleh Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
Mahasiswa Doktoral Prog. Ilmu Hadits, Univ. Islam Madinah
Madinah, 2 Shafar 1435 H
[1]
Lihat: Mu’jam Maqa-yiesul Lughah oleh Ibnu Faris (3/468), Lisaanul
‘Arab oleh Ibnu Manzhur (12/373), Al Qomus Al Muhieth oleh Al
Fairuzabadi (hal 1464), dan Taajul ‘Aruus oleh As Sayyid Murtadha Az
Zabiedi (33/33).
[2] Lihat: Lisaanul ‘Arab (12/373) dan Taajul ‘Aruus (33/32-33).
[3]
Dialog ini diriwayatkan dgn sanad yg bersambung oleh Imam Abu Ja’far Al
‘Uqaily dalam kitab Adh Dhu’afa’ Al Kabir (1/232) saat menceritakan
biografi Hasan bin Shalih bin Hayy. Disebutkan pula oleh Adz Dzahabi,
Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.
[4]
http://satuislam.wordpress.com/2013/12/02/habib-rizieq-shihab-mengkafirkan-syiah-berarti-menyerang-dan-menghancurkan-ahlussunnah/
[5]
Untuk mengetahui apa saja keyakinan syi’ah itsna ‘asyariyah (rafidhah),
yg dianut oleh mayoritas orang Iran, Hizbullah, dan sejumlah besar
orang Irak hari ini; silakan merujuk ke kitab “Ushuul Madzhab Asy
Syi’ah” oleh DR. Nashir bin Abdillah Al Qifaari. Kitab ini sarat dengan
nukilan langsung dari literatur2 syi’ah.
[6] Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.
[7]
Maksud dari ‘adaalah (عدالة) ialah suatu perangai yang mendorong
seseorang selalu bertakwa, menghindari dosa besar, dan menghindari
hal-hal yang menodai norma kesopanan (muru-ah). Sedangkan maksud dari
‘itqaan artinya jago dalam menghafal dan meriwayatkan hadits.
[8] Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar