Dalam tulisan saya sebelumnya, telah
dijelaskan bahwa para perawi syi’ah yg ada dalam shahihain adalah
orang-orang jujur, dan kalaupun ada diantara mereka yang sampai ke
tingkat rafidhi, maka tetap saja mereka tidak sama dengan rafidhah hari
ini; dan kalaupun ada yg sampai mencaci-maki sahabat Nabi, maka riwayat
mereka dlm shahihain tidaklah berdiri sendiri, namun sekedar mutaba’at
dan penguat bagi riwayat lainnya; sehingga sebenarnya yg menjadi pijakan
adalah riwayat lain, bukan riwayat si Rafidhi tsb. Inilah yg difahami
dari penjelasan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar.
Dan saya berani mengajak Mubahalah kepada siapa saja yg bisa membuktikan bahwa dalam Shahihain terdapat hadits yg diriwayatkan oleh perawi syi’ah yg akidahnya spt syi’ah hari ini (rafidhah itsna ‘asyariyah, syi’ah khomeini, syi’ah hizbullat, syi’ah dajjaluddien laknat, dan semisalnya). Adapun dalam selain shahihain, maka tidak masuk dalam pembahasan, karena yg diterima semua haditsnya hanyalah shahihain menurut ijma’ kaum muslimin. Sedangkan yg lain bisa diterima bisa pula ditolak, tergantung keabsahan sanad dan matannya.
Kendatipun demikian, masih saja ada yg ingin membela syi’ah hari ini yg notabene adalah rafidhah alias itsna ‘Asyariyah, atau zanaadiqah (munafikin) berbaju muslim; dengan dalih bhw Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadits dr orang-orang syi’ah, bahkan yg dijuluki Rafidhi sekalipun.
Mereka lantas mencontohkan spt ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini yg haditsnya tercantum dlm Shahih Bukhari. ‘Abbad bin Ya’qub memang seorang Rafidhi, namun banyak ahli hadits yg menganggapnya jujur dalam meriwayatkan hadits. Ini adalah tolok ukur penting yg tidak akan diabaikan oleh para ulama ahli hadits dari kalangan ahlussunnah. Pun demikian, Imam Bukhari tidak menjadikan hadits si ‘Abbad ini sebagai satu-satunya pijakan beliau, hal ini bisa dilihat jelas dengan mengutip hadits tersebut lengkap dgn sanadnya dalam Shahih Bukhari, yaitu sbb:
‘Abbad bin Ya’qub Al Asadi juga mengabarkan kepada kami, katanya: ‘Abbad ibnul ‘Awwam mengabarkan kepada kami, dari Asy Syaibani, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar (inilah titik temunya), dari Abu ‘Amru Asy Syaibani, dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Amalan apakah yg paling afdhal?”
“Shalat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, kemudian Jihad fi sabilillah”, jawab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bila diperhatikan, maka dlm sanad tersebut Imam Bukhari meriwayatkan hadits pertama kali dari Sulaiman, yaitu Sulaiman bin Harb bin Bajiel Al Azdy yg merupakan salah seorang imam Ahlussunnah. Sulaiman bin Harb meriwayatkannya dari Syu’bah, yang juga meruapakan salah seorang imam Ahlussunnah. Syu’bah meriwayatkannya dari Al Walid, yaitu Al Walid ibnul ‘Aizaar bin Huraits Al ‘Abdy Al Kufy, yang tergolong tsiqah. Nah, sampai titik ini, sanadnya shahih dan perawinya tidak ada yg tersifati dengan bid’ah apa pun.
Barulah kemudian Imam Bukhari meriwayatkan hadits tsb dari jalur berbeda yg padanya terdapat Si Rafidhi ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini tsb. Artinya, keberadaan sanad yg kedua ini hanyalah sebagai mutaabi’ (pengikut) bukan sanad utama yg menjadi pijakan satu-satunya. Ini jelas sekali bagi orang yg faham musthalah hadits.
Lebih dari itu, matan hadits Ibnu Mas’ud ini sebelumnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya sebanyak dua kali, dengan sanad lain yg tidak ada padanya si perawi Rafidhi tsb.
Yang pertama ialah kitab Mawaqietus Shalah, bab yg keempat, no 527:
Sedangkan yg kedua ialah pada kitab Al Jihad was Siyar, bab yg pertama, no 2782:
Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidaklah menjadi hujjah dengan sendirinya, karena ia telah didahului oleh tiga sanad yg shahih yg semuanya tidak mengandung seorang syi’ah pun.
Bahkan dalam sanad yg kedua, guru langsung imam Bukhari adalah Al Hasan bin Shabbah, yg oleh Adz Dzahabi dinyatakan (أحد الأعلام، قال أحمد: ثقة، صاحب سنة، وقال أبو حاتم: صدوق له جلالة عجيبة ببغداد) artinya: “Salah seorang tokoh. Imam Ahmad mengatakan: Dia tsiqah dan seorang ahlussunnah. Sedangkan Abu Hatim mengatakan: Dia shaduq, dan memiliki kehormatan luar biasa di Baghdad”.[2]
Oleh karenanya, ketika membahas para perawi dlm Shahih Bukhari yg mendapat kritikan dari ulama lainnya –yg salah satunya adalah Si ‘Abbad ini-, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
Setelah menukil berbagai pendapat tadi, Ibnu Hajar lantas berkomentar: “Al Bukhari meriwayatkan sebutir hadits darinya dalam kitab at Tauhid, secara maqrun (alias dirangkai dgn perawi lainnya), yaitu hadits Ibnu Mas’ud tentang amal apakah yg paling afdhal. Dan hadits Ibnu Mas’ud ini memiliki jalur-jalur lainnya dalam Shahih Bukhari, dari riwayat selain ‘Abbad.[4]
Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidak berdiri sendiri. Dan ‘Abbad –walaupun dianggap rafidhi- tidaklah sama dengan rafidhah hari ini yg tukang dusta dan ahli taqiyyah (bermuka dua). Ia walaupun mencaci Utsman, tetap tidak keluar dari Islam, karena tidak memiliki akidah yg sama dengan syi’ah hari ini yg mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi.
Jadi, separah apa pun julukan rafidhi yg disematkan kepada para perawi hadits dalam kitab-kitab utama rujukan Ahlussunnah, spt Al Kutubut Tis’ah (Shahihain, Sunan yg empat, plus Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, dan Sunan Ad Darimi), tetap saja mrk tidak dianggap sbg orang-orang murtad karena meyakini bhw Al Qur’an yg ada tidak otentik lagi, atau meyakini kafirnya para sahabat Nabi, atau meyakini kema’shuman 12 Imam sebagaimana yg diyakini oleh Syi’ah hari ini.
Jelas ini sesuatu yg mustahil ditemukan pada para perawi yg dicap rafidhi tersebut. Sebab Imam Nasa’i adalah Imam yg paling akhir wafatnya dari para penyusun Al Kutubut Tis’ah tadi. Beliau wafat tahun 303 H. Berarti guru-gurunya adalah orang-orang yg wafat sebelum beliau. Sedangkan syi’ah yg berkembang hari ini adalah Syi’ah itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam, dan berikut ini adalah silsilah ke-12 imam Syi’ah beserta tahun kematian mereka masing-masing[5]:
Contoh lainnya ialah Sulaiman bin Qarm bin Mu’adz, Abu Dawud Adh Dhabbi yg menurut Adz Dzahabi wafat antara tahun (161-170 H).[7]
Orang ini juga dianggap syi’ah oleh sejumlah ahli hadits, seperti Abu Dawud yg mengatakan (كان يتشيع) “Dia konon berpemahaman syi’ah”. Demikian pula oleh Ibnu ‘Adiy yg mengatakan (وتدل صورة سليمان هذا على أنه مفرط فى التشيع) “Gambaran akan pribadi Sulaiman ini menunjukkan bahwa ia kebablasan dalam tasyayyu’-nya”. Sedangkan Al Hakim mengatakan bahwa (غمزوه بالغلو فى التشيع) “Mereka mengritiknya karena sikap ghuluw-nya dalam tasyayyu’”. Adapun Ibnu Hibban, maka beliau lah satu-satunya yg mencap Sulaiman bin Qarm sebagai Rafidhi ekstrim dengan mengatakan (كان رافضيا غاليا فى الرفض) “Dia adalah seorang rafidhi yg ekstrim”.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban dikenal sbg ulama yg terlalu keras dalam mengritik para perawi. Namun kalaulah Sulaiman bin Qarm ini kita anggap sebagai Rafidhi, maka tetap saja dia bukanlah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam tsb. Sebab dia sudah keburu wafat sebelum Imam yg kesembilan hingga kedua belas lahir ke dunia ini.
Lagi pula, hadits Sulaiman bin Qarm dalam Shahih Muslim juga tidak menjadi pijakan utama, namun sekedar sebagai mutabi’ saja. Berikut ini penjelasannya:
Utsman bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dari Jarir, dari Al A’masy, dari Abu Wa-il, dari Abdullah (bin Mas’ud), bahwa Nabi bersabda:… al hadits.
Sedangkan jalur kedua merupakan kumpulan dari 3 sanad, yaitu:
1> Muhammad bin Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar, dari Ibnu Abi ‘Adiy (ح)
2> Bisyir bin Khalid, dari Muhammad bin Ja’far; keduanya (yakni Ibnu Abi ‘Adiy dan Muhammad bin Ja’far) meriwayatkannya dari Syu’bah (ح)
3> Ibnu Numeir, dari Abul Jawab, dari Sulaiman bin Qarm; semuanya (artinya Syu’bah dan
Sulaiman bin Qarm) dari Sulaiman (Al A’masy), dari Abu Wa-il, dst…. sebagaimana yg sebelumnya.
Nah, jelaslah bahwa Sulaiman bin Qarm sekedar mutabi’ (pengikut) saja dan tidak menjadi pijakan Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits di atas. Sebab Imam Muslim menyandingkan riwayat Sulaiman bin Qarm tsb dengan riwayat dua perawi lainnya yg bukan syi’ah, yaitu Jarir (bin Abdul Hamid Adh Dhabbi) dan Syu’bah bin Hajjaj.
Mungkin sementara ini dulu yg bisa saya sampaikan terkait syubhat yg sering dilontarkan pihak syi’ah, bahwa orang-orang Rafidhah yg ada dlm kitab-kitab hadits Ahlussunnah adalah spt Rafidhah hari ini, sehingga bila Rafidhah hari ini dianggap kafir, maka konsekuensinya ada orang kafir dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah…
Semoga penjelasan ini dapat membuka mata mereka, dan menepis syubhat dari hati sebagian Ahlussunnah yg –mungkin- termakan syubhat murahan kaum syi’ah tsb.
Kesimpulannya:
Perawi yg sering dituding sebagai syi’ah/syi’ah ekstrim oleh sebagian ahli hadits, tidak keluar dari kondisi berikut:
Pertama: Tudingan tsb tidak benar dan tidak terbukti, sehingga otomatis kesyi’ahan si perawi tidak bisa diterima.
Kedua: Tudingan tsb benar, akan tetapi ia bukanlah syi’ah yg meyakini ke-imaman 12 orang yg ma’shum, atau meyakini kafirnya Abu Bakar dan Umar, atau meyakini ketidakotentikan Al Qur’an; sebagaimana syi’ah hari ini. Karena konsekuensi dari keyakinan tsb mereka harus dikafirkan dan tidak mungkin hadits seorang kafir bisa diterima, apa pun alasannya.
Ketiga: Tudingan tsb masih diperselisihkan kebenarannya. Alias menurut sebagian ulama si perawi memang demikian, namun menurut yg lain tidaklah demikian. Kalaulah Imam Bukhari/Muslim termasuk pihak yg meragukan keabsahan tudingan tsb, maka tidak bisa dikatakan bhw mereka meriwayatkan dari Syi’ah. Namun bila keduanya meyakini kebenaran tudingan tsb –dan ini perlu pembuktian dari ucapan mereka sendiri-, maka tetap saja ia bukanlah syi’ah yg kita kenal hari ini, dan hal tsb telah ditegaskan oleh para ulama dan terbukti secara ilmiah dlm tiga artikel sblmnya.
Ini juga berlaku bagi mereka yg dijuluki Rafidhi oleh sebagian salaf, yaitu yg sampai memaki sebagian sahabat; akan tetapi ahlussunnah tetap mensyaratkan adanya sifat jujur pada diri si perawi tsb, yg hari ini sudah tidak ada lagi. Kemudian kalaupun ada di antara para rafidhah tadi yg haditsnya termaktub dalam Shahihain, maka terbukti bahwa hadits mrk bukanlah pijakan satu-satunya, namun sekedar mutabi’ yg keberadaannya atau ketidak beradaannya tidak akan mempengaruhi keabsahan hadits tsb, menurut kaidah musthalah hadits.
Di samping itu, penting untuk kita ketahui bahwa penggunaan julukan Rafidhi oleh para salaf
memiliki makna khusus yg berbeda dengan penggunaan ulama yang datang kemudian. Hal ini bisa difahami dari penjelasan Ibnu Hajar dlm Muqaddimah Fathul Baarinya (1/459) sbb:
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa perawi yg tergolong syi’ah ada 4 macam:
Perlu diketahui pula, bahwa tidak ada satu riwayatpun dalam Shahihain dari jalur perawi yg disepakati sebagai Rafidhi, yang riwayatnya mendukung bid’ah mereka. Akan tetapi yg kita jumpai hanyalah riwayat-riwayat dalam masalah lain yg tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan akidah mereka. Dalam hal ini, Imam Adz Dzahabi menjelaskannya dengan sangat ilmiah sbb:
Jadi, sikap seluruh imam ahli hadits menunjukkan bahwa selama kebid’ahan si perawi tidak mengeluarkannya dari Islam dan tidak menghalalkan darahnya; maka riwayatnya tetap boleh diterima.
Masalah ini masih belum terbukti secara memuaskan bagiku, akan tetapi yg jelas bagiku dalam masalah ini ialah: bahwa siapa saja yg terjerumus dalam bid’ah, namun tidak dianggap sebagai tokohnya, dan tidak terlalu menggeluti bid’ahnya; maka haditsnya bisa diterima.[8]
Keempat: Boleh jadi tudingan bid’ah tersebut memang benar, akan teapi si perawi telah bertaubat darinya. Contohnya ialah cap rafidhi yg disematkan kpd perawi Shahih Muslim yg bernama Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly. Hal ini dinyatakan oleh As Saaji (w. 507 H), Ibnu Hibban (w. 354 H) dgn ungkapan: (كان يغلو في الرفض) “Dia konon bersikap ekstrim dalam kerafidhahannya”. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan (أظنه يتشيع) “Kukira dia bertasyayyu’”. Sedangkan Ibnu Ma’ien menganggapnya (كان من غلاة الشيعة) Dia termasuk syi’ah ekstrim.[9]
Akan tetapi tuduhan bahwa dia seorang rafidhi ekstrim tsb dinafikan oleh Adz Dzahabi yg mengatakan:
Adz Dzahabi lantas berkomentar: “Ia bukanlah seorang yg ekstrim dalam kerafidhahannya, sebab kaum Rafidhah justru menolak (keimaman) Zaid bin Ali, dan memisahkan diri darinya. Sedangkan orang ini haditsnya diriwayatkan oleh Muslim”.[10]
Di samping itu, kita mendapati bahwa Qutaibah (w. 276 H) -yang hidup sebelum Ibnu Hibban dan As Saaji dan lebih dekat dengan zaman si perawi, sehingga lebih mengetahui tentangnya-, telah menukil sebuah sya’ir yang disusun oleh Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly tsb, yang menunjukkan bahwa ia telah bertaubat dari kerafidhahannya, yaitu sbb:
Dan mereka semua mengatakan kemunkaran terhadap Ja’far
Ada kelompok yang menganggapnya sebagai Imam
Dan diantara mereka menyebutnya sebagai Nabi yg suci
Diantara keajaiban yg tak habis kupikirkan adalah Jilid Jafr mereka[11]
Aku berlepas diri kepada Allah dari yg meyakini Jafr tsb[12]
Aku berlepas diri kepada Allah dari setiap rafidhi
Yg buta sebelah mengenai pintu kekafiran terhadap dien.
Bait-bait ini jelas menunjukkan bahwa ia telah berlepas diri dari keyakinan kaum Rafidhah dan menyifati apa yg mereka nisbatkan kepada Ja’far As Shadiq sebagai kemunkaran. Karenanya, Ibnu Hajar mengatakan ttg Harun ini sbb: (صدوق رمي بالرفض، ويقال: رجع عنه) “Dia shaduq dan dicap sebagai rafidhi, dan dikatakan bhw ia telah rujuk darinya”.[13]
Lagi pula, Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly digolongkan oleh Adz Dzahabi kedalam mereka yg wafat antara tahun 141-150 H. Konsekuensinya, dia wafat sebelum lahirnya imam syi’ah yg ke-9, sehingga secara logika ia tidak mungkin berkeyakinan spt syi’ah imamiyah itsna ‘asyariyah hari ini, lha wong imam-imam yg ada di zamannya saja belum genap berjumlah 12!!
Di samping itu, satu-satunya hadits yg diriwayatkan oleh Imam Muslim dlm Shahihnya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dgn bid’ah syi’ah, sebab hadits tsb diriwayatkan dari jalur Humeid bin Abdurrahman, dari Hasan bin Shalih, dari Harun bin Sa’ad, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah secara marfu’ dgn lafazh:
Anehnya lagi, Ibnu Hibban yg mengatakan bhw Harun bin Sa’ad ini tidak halal riwayatnya, juga menggolongkannya sebagai perawi yg tsiqah dalam kitab Tsiqat-nya[15], dan bahkan meriwayatkan hadits ini dari jalur yg sama dalam Shahihnya (16/532-no 7487), sbb:
Pertama, beliau lupa dengan perkataannya sehingga terjadilah kontradiksi.
Kedua, beliau berubah pikiran dari yg semula menganggap riwayatnya tidak halal, lalu men-tsiqah-kannya dan meriwayatkan haditsnya dlm kitab Shahih, dan inilah yg nampaknya lebih rajih karena didukung dengan periwayatan haditsnya.
Wallaahu a’lam.
Sufyan Fuad Baswedan
Madinah, 8 Shafar 1435 H.
Dan saya berani mengajak Mubahalah kepada siapa saja yg bisa membuktikan bahwa dalam Shahihain terdapat hadits yg diriwayatkan oleh perawi syi’ah yg akidahnya spt syi’ah hari ini (rafidhah itsna ‘asyariyah, syi’ah khomeini, syi’ah hizbullat, syi’ah dajjaluddien laknat, dan semisalnya). Adapun dalam selain shahihain, maka tidak masuk dalam pembahasan, karena yg diterima semua haditsnya hanyalah shahihain menurut ijma’ kaum muslimin. Sedangkan yg lain bisa diterima bisa pula ditolak, tergantung keabsahan sanad dan matannya.
Kendatipun demikian, masih saja ada yg ingin membela syi’ah hari ini yg notabene adalah rafidhah alias itsna ‘Asyariyah, atau zanaadiqah (munafikin) berbaju muslim; dengan dalih bhw Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadits dr orang-orang syi’ah, bahkan yg dijuluki Rafidhi sekalipun.
Mereka lantas mencontohkan spt ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini yg haditsnya tercantum dlm Shahih Bukhari. ‘Abbad bin Ya’qub memang seorang Rafidhi, namun banyak ahli hadits yg menganggapnya jujur dalam meriwayatkan hadits. Ini adalah tolok ukur penting yg tidak akan diabaikan oleh para ulama ahli hadits dari kalangan ahlussunnah. Pun demikian, Imam Bukhari tidak menjadikan hadits si ‘Abbad ini sebagai satu-satunya pijakan beliau, hal ini bisa dilihat jelas dengan mengutip hadits tersebut lengkap dgn sanadnya dalam Shahih Bukhari, yaitu sbb:
صحيح البخاري- طوق النجاة (9/ 156)
7534
– حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْوَلِيدِ ح و
حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ يَعْقُوبَ الْأَسَدِيُّ أَخْبَرَنَا عَبَّادُ
بْنُ الْعَوَّامِ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ الْعَيْزَارِ
عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ
الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ
الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dalam kitab Tauhid, bab ke-48,
hadits no 7534, Imam Bukhari mengatakan: “Sulaiman mengabarkan kepadaku,
katanya: Syu’bah mengabarkan kepada kami, dari Al Walid (ح)[1]‘Abbad bin Ya’qub Al Asadi juga mengabarkan kepada kami, katanya: ‘Abbad ibnul ‘Awwam mengabarkan kepada kami, dari Asy Syaibani, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar (inilah titik temunya), dari Abu ‘Amru Asy Syaibani, dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Amalan apakah yg paling afdhal?”
“Shalat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, kemudian Jihad fi sabilillah”, jawab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bila diperhatikan, maka dlm sanad tersebut Imam Bukhari meriwayatkan hadits pertama kali dari Sulaiman, yaitu Sulaiman bin Harb bin Bajiel Al Azdy yg merupakan salah seorang imam Ahlussunnah. Sulaiman bin Harb meriwayatkannya dari Syu’bah, yang juga meruapakan salah seorang imam Ahlussunnah. Syu’bah meriwayatkannya dari Al Walid, yaitu Al Walid ibnul ‘Aizaar bin Huraits Al ‘Abdy Al Kufy, yang tergolong tsiqah. Nah, sampai titik ini, sanadnya shahih dan perawinya tidak ada yg tersifati dengan bid’ah apa pun.
Barulah kemudian Imam Bukhari meriwayatkan hadits tsb dari jalur berbeda yg padanya terdapat Si Rafidhi ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini tsb. Artinya, keberadaan sanad yg kedua ini hanyalah sebagai mutaabi’ (pengikut) bukan sanad utama yg menjadi pijakan satu-satunya. Ini jelas sekali bagi orang yg faham musthalah hadits.
Lebih dari itu, matan hadits Ibnu Mas’ud ini sebelumnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya sebanyak dua kali, dengan sanad lain yg tidak ada padanya si perawi Rafidhi tsb.
Yang pertama ialah kitab Mawaqietus Shalah, bab yg keempat, no 527:
صحيح البخاري- طوق النجاة (1/ 112)
527
– حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ أَخْبَرَنِي قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ حَدَّثَنَا صَاحِبُ
هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ
لَزَادَنِي.
Ini adalah hadits yg sama namun
dengan sanad yg berbeda, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abul Walied
Hisyam bin Abdil Malik -, dari Syu’bah, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar dst.Sedangkan yg kedua ialah pada kitab Al Jihad was Siyar, bab yg pertama, no 2782:
صحيح البخاري- طوق النجاة (4/ 14)
2782
– حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَلٍ قَالَ سَمِعْتُ الْوَلِيدَ بْنَ
الْعَيْزَارِ ذَكَرَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ قَالَ قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ
أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Ini adalah hadits yg sama namun
dengan sanad yg berbeda, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al Hasan bin
Shabbah, dari Muhammad bin Sabiq, dari Malik bin Mighwal, dari Al Walid
ibnul ‘Aizaar dst.Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidaklah menjadi hujjah dengan sendirinya, karena ia telah didahului oleh tiga sanad yg shahih yg semuanya tidak mengandung seorang syi’ah pun.
Bahkan dalam sanad yg kedua, guru langsung imam Bukhari adalah Al Hasan bin Shabbah, yg oleh Adz Dzahabi dinyatakan (أحد الأعلام، قال أحمد: ثقة، صاحب سنة، وقال أبو حاتم: صدوق له جلالة عجيبة ببغداد) artinya: “Salah seorang tokoh. Imam Ahmad mengatakan: Dia tsiqah dan seorang ahlussunnah. Sedangkan Abu Hatim mengatakan: Dia shaduq, dan memiliki kehormatan luar biasa di Baghdad”.[2]
Oleh karenanya, ketika membahas para perawi dlm Shahih Bukhari yg mendapat kritikan dari ulama lainnya –yg salah satunya adalah Si ‘Abbad ini-, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
فتح الباري – ابن حجر (1/ 412(
عباد
بن يعقوب الرواجني الكوفي أبو سعيد رافضي مشهور إلا أنه كان صدوقا وثقة
أبو حاتم وقال الحاكم كان بن خزيمة إذا حدث عنه يقول حدثنا الثقة في روايته
المتهم في رأيه عباد بن يعقوب وقال بن حبان كان رافضيا داعية وقال صالح بن
محمد كان يشتم عثمان رضي الله عنه قلت روى عنه البخاري في كتاب التوحيد
حديثا واحد مقرونا وهو حديث بن مسعود أي العمل أفضل وله عند البخاري طرق
أخرى من رواية غيره
Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini Al
Kufi, Abu Said. Dia seorang Rafidhi yg terkenal, akan tetapi ia jujur
(shaduq) dan dianggap tsiqah oleh Abu Hatim. Al Hakim mengatakan bahwa
konon Ibnu Khuzaimah bila meriwayatkan hadits darinya mengatakan:
“Seorang yg tsiqah dalam hal meriwayatkan, namun muttaham[3]
dalam pemahamannya, yaitu Abbad bin Ya’qub mengabarkan kepada kami…”.
Adapun Ibnu Hibban mengatakan: “Dia adalah seorang rafidhi yg menyerukan
ajarannya”. Sedangkan Shalih bin Muhammad mengatakan: “Dia konon
mencaci Utsman radhiyallaahu ‘anhu”.Setelah menukil berbagai pendapat tadi, Ibnu Hajar lantas berkomentar: “Al Bukhari meriwayatkan sebutir hadits darinya dalam kitab at Tauhid, secara maqrun (alias dirangkai dgn perawi lainnya), yaitu hadits Ibnu Mas’ud tentang amal apakah yg paling afdhal. Dan hadits Ibnu Mas’ud ini memiliki jalur-jalur lainnya dalam Shahih Bukhari, dari riwayat selain ‘Abbad.[4]
Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidak berdiri sendiri. Dan ‘Abbad –walaupun dianggap rafidhi- tidaklah sama dengan rafidhah hari ini yg tukang dusta dan ahli taqiyyah (bermuka dua). Ia walaupun mencaci Utsman, tetap tidak keluar dari Islam, karena tidak memiliki akidah yg sama dengan syi’ah hari ini yg mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi.
Jadi, separah apa pun julukan rafidhi yg disematkan kepada para perawi hadits dalam kitab-kitab utama rujukan Ahlussunnah, spt Al Kutubut Tis’ah (Shahihain, Sunan yg empat, plus Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, dan Sunan Ad Darimi), tetap saja mrk tidak dianggap sbg orang-orang murtad karena meyakini bhw Al Qur’an yg ada tidak otentik lagi, atau meyakini kafirnya para sahabat Nabi, atau meyakini kema’shuman 12 Imam sebagaimana yg diyakini oleh Syi’ah hari ini.
Jelas ini sesuatu yg mustahil ditemukan pada para perawi yg dicap rafidhi tersebut. Sebab Imam Nasa’i adalah Imam yg paling akhir wafatnya dari para penyusun Al Kutubut Tis’ah tadi. Beliau wafat tahun 303 H. Berarti guru-gurunya adalah orang-orang yg wafat sebelum beliau. Sedangkan syi’ah yg berkembang hari ini adalah Syi’ah itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam, dan berikut ini adalah silsilah ke-12 imam Syi’ah beserta tahun kematian mereka masing-masing[5]:
1. أميرُ المؤمنين عليُّ
بنُ أبي طالب (ت/ 40 هـ) وقبره في النجف الاَشرف . 2. الاِمامُ الحسَنُ بن
علي (المجتبى) (ت/50 هـ) وقبره في البقيع. 3. الاِمامُ الحسين بن علي سيدُ
الشهداء (ت/ 61 هـ) وقبره في كربلاء. 4. الاِمامُ عليُّ بن الحسينُ بن علي
زينُ العابدين (ت/ 94 هـ) وقبره في البقيع. 5. الاِمامُ محمدُ بن علي
باقرُ العلوم (ت/114 هـ) وقبره في البقيع. 6. الاِمامُ جعفرُ بنُ محمد
الصادقُ (ت/ 148 هـ) وقبره في البقيع. 7. الاِمامُ موسى بنُ جعفر الكاظمُ
(ت/ 183 هـ.) وقبره في الكاظمية. 8. الاِمامُ عليُّ بن موسى الرضا (ت/ 203
هـ. ق) وقبره في خراسان. 9. الاِمامُ محمدُ بن علي الجوادُ (ت /220 هـ ق)
وقبره في الكاظمية. 10. الاِمامُ عليُّ بن محمد الهادي (ت /254 هـ ق) وقبره
في سامراء. 11. الاِمامُ الحسنُ بنُ علي العسكريُ (ت/ 260 هـ. ق) وقبره في
سامراء. 12. الاِمامُ محمدُ بنُ الحسن المعروف بالمهديِّ، والحجة ـ عجَّل
الله فرجَه الشريف ـ وهو الاِمامُ الثاني عشر، وهو حيٌّ حتى يظهر بأمر الله
.
- 1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), kuburannya di Najaf.
- 2. Imam Al Hasan bin Ali (Al Mujtaba) (w. 50 H), kuburannya di Baqi’.
- 3. Imam Al Husein bin Ali, Sayyidusy Syuhada’ (w. 61 H), kuburannya di Karbala’.
- 4. Imam Ali bin Husein Zainul ‘Abidien (w. 94 H), kuburannya di Baqi’.
- 5. Imam Muhammad bin Ali (Al Baqir) (w. 114 H), kuburannya di Baqi’.
- 6. Imam Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) (w. 148 H), kuburannya di Baqi’.
- 7. Imam Musa bin Ja’far (Al Kazhim) (w. 183 H), kuburannya di Al Kazhimiyah.
- 8. Imam Ali bin Musa (Ar Ridha) (148- 203 H), kuburannya di Khurasan.
- 9. Imam Muhammad bin Ali (Al Jawwad) (195- 220 H), kuburannya di Al Kazhimiyah.
- 10. Imam Ali bin Muhammad (Al Hadi) (212- 254 H), kuburannya di Samurra’.
- 11. Imam Al Hasan bin Ali Al Askari (232- 260 H), kuburannya di Samurra’.
- 12. Imam Muhammad bin Hasan (Al Mahdi) (yg menurut Syi’ah berumur 5 tahun ketika Bapaknya meninggal, dan akan muncul di akhir zaman nanti) (255-? H).
Contoh lainnya ialah Sulaiman bin Qarm bin Mu’adz, Abu Dawud Adh Dhabbi yg menurut Adz Dzahabi wafat antara tahun (161-170 H).[7]
Orang ini juga dianggap syi’ah oleh sejumlah ahli hadits, seperti Abu Dawud yg mengatakan (كان يتشيع) “Dia konon berpemahaman syi’ah”. Demikian pula oleh Ibnu ‘Adiy yg mengatakan (وتدل صورة سليمان هذا على أنه مفرط فى التشيع) “Gambaran akan pribadi Sulaiman ini menunjukkan bahwa ia kebablasan dalam tasyayyu’-nya”. Sedangkan Al Hakim mengatakan bahwa (غمزوه بالغلو فى التشيع) “Mereka mengritiknya karena sikap ghuluw-nya dalam tasyayyu’”. Adapun Ibnu Hibban, maka beliau lah satu-satunya yg mencap Sulaiman bin Qarm sebagai Rafidhi ekstrim dengan mengatakan (كان رافضيا غاليا فى الرفض) “Dia adalah seorang rafidhi yg ekstrim”.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban dikenal sbg ulama yg terlalu keras dalam mengritik para perawi. Namun kalaulah Sulaiman bin Qarm ini kita anggap sebagai Rafidhi, maka tetap saja dia bukanlah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam tsb. Sebab dia sudah keburu wafat sebelum Imam yg kesembilan hingga kedua belas lahir ke dunia ini.
Lagi pula, hadits Sulaiman bin Qarm dalam Shahih Muslim juga tidak menjadi pijakan utama, namun sekedar sebagai mutabi’ saja. Berikut ini penjelasannya:
صحيح مسلم – عبد الباقي (4/ 2034)
# 2640 حدثنا عثمان بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم قال إسحاق
أخبرنا وقال عثمان حدثنا جرير عن الأعمش عن أبي وائل عن عبد الله قال جاء
رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال * يا رسول الله كيف ترى في رجل
أحب قوما ولما يلحق بهم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المرء مع من أحب \
1 \ # 2640 حدثنا محمد بن المثنى وبن بشار قالا: حدثنا بن أبي عدي ح وحدثنيه بشر بن خالد أخبرنا محمد يعنى بن جعفر كلاهما عن شعبة ح وحدثنا بن نمير حدثنا أبو الجواب حدثنا سليمان بن قرم جميعا عن سليمان عن أبي وائل عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم * بمثله
Dalam Shahihnya (kitab Al Birr wash
Shilah, bab ke-50, hadits no 2640), Imam Muslim meriwayatkan hadits dari
dua jalur utama. Jalur yg pertama dengan rangkaian perawi sbb:Utsman bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dari Jarir, dari Al A’masy, dari Abu Wa-il, dari Abdullah (bin Mas’ud), bahwa Nabi bersabda:… al hadits.
Sedangkan jalur kedua merupakan kumpulan dari 3 sanad, yaitu:
1> Muhammad bin Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar, dari Ibnu Abi ‘Adiy (ح)
2> Bisyir bin Khalid, dari Muhammad bin Ja’far; keduanya (yakni Ibnu Abi ‘Adiy dan Muhammad bin Ja’far) meriwayatkannya dari Syu’bah (ح)
3> Ibnu Numeir, dari Abul Jawab, dari Sulaiman bin Qarm; semuanya (artinya Syu’bah dan
Sulaiman bin Qarm) dari Sulaiman (Al A’masy), dari Abu Wa-il, dst…. sebagaimana yg sebelumnya.
Nah, jelaslah bahwa Sulaiman bin Qarm sekedar mutabi’ (pengikut) saja dan tidak menjadi pijakan Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits di atas. Sebab Imam Muslim menyandingkan riwayat Sulaiman bin Qarm tsb dengan riwayat dua perawi lainnya yg bukan syi’ah, yaitu Jarir (bin Abdul Hamid Adh Dhabbi) dan Syu’bah bin Hajjaj.
Mungkin sementara ini dulu yg bisa saya sampaikan terkait syubhat yg sering dilontarkan pihak syi’ah, bahwa orang-orang Rafidhah yg ada dlm kitab-kitab hadits Ahlussunnah adalah spt Rafidhah hari ini, sehingga bila Rafidhah hari ini dianggap kafir, maka konsekuensinya ada orang kafir dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah…
Semoga penjelasan ini dapat membuka mata mereka, dan menepis syubhat dari hati sebagian Ahlussunnah yg –mungkin- termakan syubhat murahan kaum syi’ah tsb.
Kesimpulannya:
Perawi yg sering dituding sebagai syi’ah/syi’ah ekstrim oleh sebagian ahli hadits, tidak keluar dari kondisi berikut:
Pertama: Tudingan tsb tidak benar dan tidak terbukti, sehingga otomatis kesyi’ahan si perawi tidak bisa diterima.
Kedua: Tudingan tsb benar, akan tetapi ia bukanlah syi’ah yg meyakini ke-imaman 12 orang yg ma’shum, atau meyakini kafirnya Abu Bakar dan Umar, atau meyakini ketidakotentikan Al Qur’an; sebagaimana syi’ah hari ini. Karena konsekuensi dari keyakinan tsb mereka harus dikafirkan dan tidak mungkin hadits seorang kafir bisa diterima, apa pun alasannya.
Ketiga: Tudingan tsb masih diperselisihkan kebenarannya. Alias menurut sebagian ulama si perawi memang demikian, namun menurut yg lain tidaklah demikian. Kalaulah Imam Bukhari/Muslim termasuk pihak yg meragukan keabsahan tudingan tsb, maka tidak bisa dikatakan bhw mereka meriwayatkan dari Syi’ah. Namun bila keduanya meyakini kebenaran tudingan tsb –dan ini perlu pembuktian dari ucapan mereka sendiri-, maka tetap saja ia bukanlah syi’ah yg kita kenal hari ini, dan hal tsb telah ditegaskan oleh para ulama dan terbukti secara ilmiah dlm tiga artikel sblmnya.
Ini juga berlaku bagi mereka yg dijuluki Rafidhi oleh sebagian salaf, yaitu yg sampai memaki sebagian sahabat; akan tetapi ahlussunnah tetap mensyaratkan adanya sifat jujur pada diri si perawi tsb, yg hari ini sudah tidak ada lagi. Kemudian kalaupun ada di antara para rafidhah tadi yg haditsnya termaktub dalam Shahihain, maka terbukti bahwa hadits mrk bukanlah pijakan satu-satunya, namun sekedar mutabi’ yg keberadaannya atau ketidak beradaannya tidak akan mempengaruhi keabsahan hadits tsb, menurut kaidah musthalah hadits.
Di samping itu, penting untuk kita ketahui bahwa penggunaan julukan Rafidhi oleh para salaf
memiliki makna khusus yg berbeda dengan penggunaan ulama yang datang kemudian. Hal ini bisa difahami dari penjelasan Ibnu Hajar dlm Muqaddimah Fathul Baarinya (1/459) sbb:
والتشيع محبة عليٍّ وتقديمه على الصحابة. فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه، ويطلق عليه رافضي؛ وإلا فشيعي، فإن انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض فغال في الرفض. وإن اعتقد الرجعة إلى الدنيا فأشد في الغلو.
Tasyayyu’ artinya mencintai Ali dan mendahulukannya di atas para sahabat. Barang siapa mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, maka dia ekstrim dalam tasyayyu’nya, dan disebut juga Rafidhi.
Namun bila tidak demikian, maka disebut Syi’i. Bila disamping itu dia
juga mencaci dan menyatakan kebenciannya terhadap para sahabat, maka dia
ekstrim dalam kerafidhahannya. Dan bila ia meyakini raj’ah (hidup
kembalinya para imam utk melampiaskan dendam kpd musuh2-nya), berarti ia
lebih ekstrim lagi.Dari sini bisa kita simpulkan bahwa perawi yg tergolong syi’ah ada 4 macam:
- 1. Syi’ah biasa: yaitu yg sekedar melebihkan Ali diatas para sahabat, tanpa mencaci maki seorang pun dari mereka.
- 2. Syi’ah ekstrim/Rafidhah: yaitu yg melebihkan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tanpa mencaci maki mereka berdua.
- 3. Rafidhah ekstrim: yaitu yg melebihkan Ali di atas mereka berdua dan mencaci maki para sahabat.
- 4. Rafidhah super ekstrim: yang meyakini Ali akan kembali hidup untuk melampiaskan dendam kpd musuh-musuhnya, seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan Hafshah.
Perlu diketahui pula, bahwa tidak ada satu riwayatpun dalam Shahihain dari jalur perawi yg disepakati sebagai Rafidhi, yang riwayatnya mendukung bid’ah mereka. Akan tetapi yg kita jumpai hanyalah riwayat-riwayat dalam masalah lain yg tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan akidah mereka. Dalam hal ini, Imam Adz Dzahabi menjelaskannya dengan sangat ilmiah sbb:
مسألة كبيرة،
وهي: القدري والمعتزلي والجهمي والرافضي، إذا عُلم صدقُه في الحديث
وتقواه، ولم يكن داعياً إلى بدعته، فالذي عليه أكثر العلماء قبول روايته،
والعمل بحديثه. وتردّدوا في الداعية، هل يؤخذ عنه؟ فذهب كثير من الحفاظ إلى
تجنب حديثه وهجرانه، وقال بعضهم: إذا علِمنا صدقَه وكان داعية، ووجدنا
عنده سُنَّةً تفرد بها، فكيف يسوغ لنا ترك تلك السنة؟ فجميع تصرفات أئمة
الحديث تُؤذِن بأن المبتدع إذا لم تُبِح بدعتُه خروجَه من دائرة الإسلام،
ولم تُبِح دمَه، فإن قبول ما رواه سائغ. وهذه
المسألة لم تتبرهن لي كما ينبغي، والذي اتضح لي منها أن من دخل في بدعةٍ،
ولم يُعدَّ من رؤوسها، ولا أمعن فيها، يقبل حديثه. سير أعلام النبلاء
7/154
Ada sebuah masalah besar, yaitu: Seorang penganut faham Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Rafidhah; jika ia diketahui sebagai orang yg jujur dalam berkata, dan memiliki ketakwaan; dan ia bukanlah da’i yg mengajak orang lain kepada bid’ahnya;
maka menurut mayoritas ulama riwayatnya dapat diterima dan haditsnya
boleh diamalkan. Akan tetapi mayoritas ulama tersebut ragu terhadap
mereka yg tergolong da’i-da’i ahli bid’ah, apakah boleh diambil
haditsnya? Banyak dari huffazhul hadits yang memilih untuk menjauhi dan meninggalkan riwayat mereka. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan: Bila
kami telah mengetahui kejujurannya dan ia tergolong da’i ahli bid’ah,
dan padanya terdapat suatu sunnah (hadits) yang tidak ada pada
selainnya; maka bagaimana bagaimana mungkin kita boleh menerlantarkan
sunnah tersebut?Jadi, sikap seluruh imam ahli hadits menunjukkan bahwa selama kebid’ahan si perawi tidak mengeluarkannya dari Islam dan tidak menghalalkan darahnya; maka riwayatnya tetap boleh diterima.
Masalah ini masih belum terbukti secara memuaskan bagiku, akan tetapi yg jelas bagiku dalam masalah ini ialah: bahwa siapa saja yg terjerumus dalam bid’ah, namun tidak dianggap sebagai tokohnya, dan tidak terlalu menggeluti bid’ahnya; maka haditsnya bisa diterima.[8]
Keempat: Boleh jadi tudingan bid’ah tersebut memang benar, akan teapi si perawi telah bertaubat darinya. Contohnya ialah cap rafidhi yg disematkan kpd perawi Shahih Muslim yg bernama Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly. Hal ini dinyatakan oleh As Saaji (w. 507 H), Ibnu Hibban (w. 354 H) dgn ungkapan: (كان يغلو في الرفض) “Dia konon bersikap ekstrim dalam kerafidhahannya”. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan (أظنه يتشيع) “Kukira dia bertasyayyu’”. Sedangkan Ibnu Ma’ien menganggapnya (كان من غلاة الشيعة) Dia termasuk syi’ah ekstrim.[9]
Akan tetapi tuduhan bahwa dia seorang rafidhi ekstrim tsb dinafikan oleh Adz Dzahabi yg mengatakan:
وَقَدْ شَذَّ
ابْنُ حِبَّانَ – كَعَوَائِدِهِ – فَقَالَ: لا تَحِلُّ الرِّوَايَةُ
عَنْهُ، كَانَ غَالِيًا فِي الرَّفْضِ، وَهُوَ رَأْسُ الزَّيْدِيَّةِ
مِمَّنْ كَانَ يَعْتَكِفُ عِنْدَ خَشَبَةِ زَيْدٍ الَّتِي هُوَ مَصْلُوبٌ
عَلَيْهَا وَكَانَ دَاعِيَةً إِلَى مَذْهَبِهِ.
قُلْتُ: لَمْ
يَكُنْ غَالِيًا فِي رَفْضِهِ، فَإِنَّ الرَّافِضَةَ رَفَضَتْ زَيْدَ بْنَ
عَلِيٍّ وَفَارَقَتْهُ، وَهَذَا قَدْ رَوَى لَهُ مُسْلِمٌ.
Ibnu Hibban berpendapat nyeleneh
–sebagaimana biasanya-, dengan mengatakan: “Harun ini tidak halal
riwayatnya. Dia bersikap ekstrim dalam kerafidhahannya, dan dia adalah
tokoh Zaidiyah yg kerap beri’tikaf di tiang kayu tempat penyaliban Zaid
bin Ali, dan dia tergolong da’i-nya zaidiyah”.Adz Dzahabi lantas berkomentar: “Ia bukanlah seorang yg ekstrim dalam kerafidhahannya, sebab kaum Rafidhah justru menolak (keimaman) Zaid bin Ali, dan memisahkan diri darinya. Sedangkan orang ini haditsnya diriwayatkan oleh Muslim”.[10]
Di samping itu, kita mendapati bahwa Qutaibah (w. 276 H) -yang hidup sebelum Ibnu Hibban dan As Saaji dan lebih dekat dengan zaman si perawi, sehingga lebih mengetahui tentangnya-, telah menukil sebuah sya’ir yang disusun oleh Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly tsb, yang menunjukkan bahwa ia telah bertaubat dari kerafidhahannya, yaitu sbb:
ألم تر أن الرافضين تفرقوا … فكلهم في جعفر قال منكرا
فطائفة قالوا إمام ومنهم … طوائف سمته النبي المطهرا
ومن عجب لم أقضه جلد جفرهم … برئت إلى الرحمن ممن تجفرا
برئت إلى الرحمن من كل رافض … بصير بباب الكفر في الدين أعورا
Tidakkah kau perhatikan bahwa kaum rafidhah telah berpecahDan mereka semua mengatakan kemunkaran terhadap Ja’far
Ada kelompok yang menganggapnya sebagai Imam
Dan diantara mereka menyebutnya sebagai Nabi yg suci
Diantara keajaiban yg tak habis kupikirkan adalah Jilid Jafr mereka[11]
Aku berlepas diri kepada Allah dari yg meyakini Jafr tsb[12]
Aku berlepas diri kepada Allah dari setiap rafidhi
Yg buta sebelah mengenai pintu kekafiran terhadap dien.
Bait-bait ini jelas menunjukkan bahwa ia telah berlepas diri dari keyakinan kaum Rafidhah dan menyifati apa yg mereka nisbatkan kepada Ja’far As Shadiq sebagai kemunkaran. Karenanya, Ibnu Hajar mengatakan ttg Harun ini sbb: (صدوق رمي بالرفض، ويقال: رجع عنه) “Dia shaduq dan dicap sebagai rafidhi, dan dikatakan bhw ia telah rujuk darinya”.[13]
Lagi pula, Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly digolongkan oleh Adz Dzahabi kedalam mereka yg wafat antara tahun 141-150 H. Konsekuensinya, dia wafat sebelum lahirnya imam syi’ah yg ke-9, sehingga secara logika ia tidak mungkin berkeyakinan spt syi’ah imamiyah itsna ‘asyariyah hari ini, lha wong imam-imam yg ada di zamannya saja belum genap berjumlah 12!!
Di samping itu, satu-satunya hadits yg diriwayatkan oleh Imam Muslim dlm Shahihnya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dgn bid’ah syi’ah, sebab hadits tsb diriwayatkan dari jalur Humeid bin Abdurrahman, dari Hasan bin Shalih, dari Harun bin Sa’ad, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah secara marfu’ dgn lafazh:
ضِرْسُ الْكَافِرِ، أَوْ نَابُ الْكَافِرِ، مِثْلُ أُحُدٍ وَغِلَظُ جِلْدِهِ مَسِيرَةُ ثَلَاثٍ
Geraham atau taring seorang kafir
(di Neraka) besarnya seukuran gunung Uhud, sedangkan ketebalan kulitnya
sejauh perjalanan tiga hari.[14]Anehnya lagi, Ibnu Hibban yg mengatakan bhw Harun bin Sa’ad ini tidak halal riwayatnya, juga menggolongkannya sebagai perawi yg tsiqah dalam kitab Tsiqat-nya[15], dan bahkan meriwayatkan hadits ini dari jalur yg sama dalam Shahihnya (16/532-no 7487), sbb:
7487 – أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، قال: حدثنا إسحاق بن [ص:533] إبراهيم بن أبي إسرائيل المروزي، قال: حدثنا حميد بن عبد الرحمن، عن الحسن بن صالح، عن هارون بن سعد، عن أبي حازم، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ضرس الكافر، أو ناب الكافر مثل أحد، وغلظ جلده مسيرة ثلاث»
Nah, ini menunjukkan bahwa sikap Ibnu Hibban ini memiliki dua kemungkinan:Pertama, beliau lupa dengan perkataannya sehingga terjadilah kontradiksi.
Kedua, beliau berubah pikiran dari yg semula menganggap riwayatnya tidak halal, lalu men-tsiqah-kannya dan meriwayatkan haditsnya dlm kitab Shahih, dan inilah yg nampaknya lebih rajih karena didukung dengan periwayatan haditsnya.
Wallaahu a’lam.
Sufyan Fuad Baswedan
Madinah, 8 Shafar 1435 H.
[1]Ini
adalah simbol yg digunakan oleh ahli hadits untuk pindah dari satu
sanad ke sanad berikutnya pada hadits yg sama. Setelah simbol ha’ ini,
maka perawi berikutnya adalah guru langsung dari si penulis kitab, yg
dalam hal ini adalah Imam Bukhari rahimahullah.
[5]Nama-nama beserta tahun wafat mereka saya ambil dari bbrp situs syi’ah, salah satunya adalah: http://www.imamhussain.org/howseholdd/6vie.html dan yg lainnya.
[11]Dalam kitab Al Irsyad (hal 247), Al Ihtijaj (2/372), Kasyful Ghummah (2/381), dan literature syi’ah lainnya disebutkan sbb:
Ghabir adalah ilmu tentang apa yang akan terjadi.
Mazbuur adalah ilmu tentang apa yg telah terjadi.
Naktun fil quluub adalah ilham.
Naqrun fil asmaa’ adalah pembicaraan para malaikat. Kami dapat mendengar ucapan mereka walau tidak melihat sosok mereka.
Jafr merah adalah suatu wadah yg berisi senjata Rasulullah dan ahli bait beliau.
Jafr putih adalah suatu wadah yg berisi Tauratnya Musa, Injilnya Isa, Zaburnya Dawud, dan kitab-kitab Allah yg terdahulu.
Mushaf Fatimah berisi peristiwa2 yg akan terjadi, dan nama-nama setiap orang yg akan berkuasa hingga hari kiamat.
Al Ja-mi’ah adalah sebuah kitab sepanjang 70 hasta yang didiktekan oleh Rasulullah SAW, dan ditulis oleh Ali AS. Demi Allah, padanya terdapat semua yg dibutuhkan manusia hingga hari kiamat, termasuk denda bagi yg melukai, dan bagi sekali cambukan dan setengah kali cambukan.
Dicopas dr situs syi’ah: http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-hadis/mahdi-76/fs9_2.htm
عن
الصادق عليه السلام: علمنا غابرٌ ومزبورٌ ونَكْتٌ في القلوب ونَقْرٌ في
الأسماع. وإن عندنا الجفر الأحمر والجفر الأبيض ومصحف فاطمة عليها السلام.
وإن عندنا الجامعة فيها جميع ما يحتاج الناس إليه. فسئل عن تفسير هذا
الكلام فقال: أما الغابر فالعلم بما يكون، وأما المزبور: فالعلم بما كان،
وأما النكت في القلوب فهو الإلهام والنقر في الأسماع: حديث الملائكة، نسمع
كلامهم ولا نرى أشخاصهم، وأما الجفر الأحمر: فوعاء فيه سلاح رسول الله صلى
الله عليه وآله، ولن يخرج حتى يقوم قائمنا أهل البيت، وأما الجفر الأبيض:
فوعاء فيه توراة موسى وإنجيل عيسى وزبور داود وكتب الله الأولى، وأما مصحف
فاطمة عليها السلام ففيه ما يكون من حادث، وأسماء كل من يملك إلى أن تقوم
الساعة. وأما الجامعة: فهي كتاب طوله سبعون ذراعاً أملاه رسول الله صلى
الله عليه وآله من فلق فيه وخط علي بن أبي طالب عليه السلام بيده، فيه
والله جميع ما يحتاج الناس إليه إلى يوم القيامة، حتى أن فيه أرش الخدش
والجلدة ونصف الجلدة.
Dari
Ja’far As Shadiq AS katanya: “Kami diajari Ghabir, Mazbuur, Naktun fil
quluub dan Naqrun fil asmaa’. Dan kita memiliki Jafr Merah, Jafr Putih,
dan Mushaf Fatimah. Kita juga memiliki Al Ja-mi’ah yang di dalamnya ada
semua yg dibutuhkan manusia”. Beliau ditanya ttg penafsiran dari ucapan
tsb, maka jawabnya:Ghabir adalah ilmu tentang apa yang akan terjadi.
Mazbuur adalah ilmu tentang apa yg telah terjadi.
Naktun fil quluub adalah ilham.
Naqrun fil asmaa’ adalah pembicaraan para malaikat. Kami dapat mendengar ucapan mereka walau tidak melihat sosok mereka.
Jafr merah adalah suatu wadah yg berisi senjata Rasulullah dan ahli bait beliau.
Jafr putih adalah suatu wadah yg berisi Tauratnya Musa, Injilnya Isa, Zaburnya Dawud, dan kitab-kitab Allah yg terdahulu.
Mushaf Fatimah berisi peristiwa2 yg akan terjadi, dan nama-nama setiap orang yg akan berkuasa hingga hari kiamat.
Al Ja-mi’ah adalah sebuah kitab sepanjang 70 hasta yang didiktekan oleh Rasulullah SAW, dan ditulis oleh Ali AS. Demi Allah, padanya terdapat semua yg dibutuhkan manusia hingga hari kiamat, termasuk denda bagi yg melukai, dan bagi sekali cambukan dan setengah kali cambukan.
Dicopas dr situs syi’ah: http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-hadis/mahdi-76/fs9_2.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar