Minggu, 27 April 2014

Pilar-Pilar Tegaknya Ibadah

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk diibadahi. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka hingga hari akhir.

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, diantara hal yang menjadi tujuan diciptakannya kita ke dunia adalah agar kita senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah hanya kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Oleh sebab itu, kita hendaknya benar-benar memperhatikan masalah ibadah dan mengetahui unsur-unsur yang menjadikan ibadah kita menjadi baik dan benar.

Definisi ibadah

Secara bahasa, ibadah adalah merendahkan diri dan tunduk (Hushulul Ma’mul, hal. 42). Adapun dari segi istilah,ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan dan perbuatan, baik yang lahir maupun yang bathin (Al ‘Ubudiyah, hal 38)
Kemudian, ibadah ini mempunyai dua syarat agar diterima oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya, ”Dua hal ini merupakan dua syarat diterimanya amal ibadah : [1] haruslah berupa ibadah yang ikhlas untuk Allah dan [2] benar yaitu sesuai syari’at yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam” (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 3/57). Dan keikhlasan itu sendiri akan terwujud dengan sempurna apabila ditopang oleh pilar-pilar ibadah.

Pilar ibadah

 

 

Ibadah seorang hamba harus dibangun oleh tiga pilar dimana ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam diri setiap muslim. Ibadah seseorang tidak akan benar dan sempurna kecuali dengan adanya pilar-pilar tersebut. Bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai ‘rukun ibadah’. Tiga hal itu adalah rasa cinta, takut dan harap. Seorang hamba harus menghadirkan ketiga pilar ini, yaitu cinta, harap, sekaligus takut, di dalam setiap ibadahnya. Jika hilang salah satunya, maka ibadahnya menjadi tidak sempurna. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (para nabi dan orang-orang shaleh) yang diseru oleh orang-orang musyrik itu, mereka sendiri mencari washilah (jalan) kepada Rabb mereka, (saling berlomba) siapa diantara mereka yang paling dekat kepada-Nya. Mereka juga mengharapkan rahmat-Nya dan mereka juga takut akan adzab-Nya. Sungguh adzab Tuhanmu memang harus ditakuti.” (QS. Al Isra’ : 57) 



Syaikh ‘Abdurrahman As Si’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Cinta, harap dan takut merupakan tiga karakter yang disifatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada diri orang-orang shaleh yang dekat dengan-Nya. Tiga hal ini merupakan pondasi sekaligus inti dalam segala kebaikan. Apabila sempurna ketiganya, maka sempurna pula kebaikannya” (Taisirul Karimir Rahman, hal.435)


[1] Cinta (Mahabbah)

 

 

 

Pilar ibadah yang pertama adalah cinta (mahabbah). Bagi seorang hamba, cinta adalah pilar ibadah yang paling penting, karena cinta adalah pokok dari ibadah. Oleh karena itu, kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat besar cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah : 165)
Kemudian cinta kita kepada Allah Ta’ala sebagai pilar ibadah haruslah kita buktikan. Bagaimana cara membuktikannya? Salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala adalah dengan meneladani ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga meneladani beliau dalam setiap perkara, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad) : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)



[2] Harap (Raja’)

 

 

 

Kemudian pilar cinta yang kedua adalah harap (raja’). Rasa harap yang dimaksud antara lain adalah harapan akan diterimanya amal kita, harapan kita agar dimasukkan ke dalam surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala, harapan agar dosa-dosa kita diampuni, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan yang berhijrah serta berjihad di jalan Allah, merekalah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah : 218)



Rasa harap ini (yakni yang bernilai ibadah-red) mengandung dua unsur, yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya) dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada objek yang diharapkan. Maka rasa harap yang mengandung dua unsur tersebut hanya boleh diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga barangsiapa yang memiliki rasa harap yang seperti ini kepada selain Allah, maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan (Hushulul Ma’mul, hal. 81)

Perbedaan harapan yang terpuji dengan harapan yang tercela

 

Selain itu, hal yang hendaknya kita perhatikan adalah rasa harap yang terpuji ini berbeda dengan angan-angan kosong yang tercela. Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ketahuilah bahwa rasa harap terdiri dari dua jenis,
  1. Rasa harap yang tepuji, semisal rasa harap terhadap pahala dari Allah ketika seseorang melaksanakan ketaatan kepada Allah di atas ilmu/cahaya Allah. Demikian juga rasa harap akan diterimanya taubat yang ada pada orang yang bertaubat dari perbuatan dosa.
  2. Rasa harap yang tercela, semisal rasa harap akan diterimanya taubat dari sebuah dosa seseorang yang senantiasa melakukan dosa tersebut. Maka rasa harap yang demikian bukanlah rasa harap melainkan sebuah ketertipuan, angan-angan kosong dan rasa harap yang palsu”
(lihat Hushulul Ma’mul, hal. 82)

[3] Takut (Khauf)

 

 

Pilar ibadah yang ketiga yang harus kita miliki adalah rasa takut (khauf). Dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Allah Ta’ala semata serta berdakwah agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (QS. Al Anbiya : 49)

Berharap surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan

 

 

Sebagian kaum muslimin memiliki keyakinan bahwa mengharap surga dan pahala serta takut akan dosa dan masuk neraka akan mengurangi keikhlasan. Bahkan di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa orang yang tidak takut akan siksa dan neraka serta tidak mengharap surga dalam setiap ibadahnya merupakan tanda semakin ikhlasnya hati dan semakin tingginya kedudukan. Keyakinan yang demikian adalah keyakinan yang tidak tepat. Hal ini bisa di tinjau dari beberapa dua sisi :
  1. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk meminta surga yang tertinggi sebagaimana dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Apabila kalian meminta (berdoa) kepada Allah, maka mintalah Firdaus yang tertinggi. Sesungguhnya ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi” (HR. Bukhari no. 7873)
  2. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan manusia paling bertaqwa, manusia yang paling tinggi tingkatannya, pun berdo’a kepada Allah dengan do’a (yang artinya), “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka” (HR. Abu Dawud) 
  3.  
Dan juga hadits (yang artinya) “Sesungguhnya do’a yang sering diucapkan Nabi adalah, Rābbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanah wa fil aakhirāti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar (Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka)” (HR. Bukhari no. 6389)




Maka yang benar adalah rasa harap akan surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan seseorang, bahkan hal itu yang merupakan perkara yang di tuntunkan oleh syari’at dan di cintai oleh Allah Ta’ala dan menjadi penyempurna dalam setiap ibadah dan do’a kita.
Demikianlah penjelasan tentang ibadah yang kita lakukan. Hendaknya ibadah kita dilandasi dengan pilar-pilar yang benar, yakni dengan rasa cinta, harap, dan takut, yang kesemuanya harus ada dalam diri setiap kita agar kita bisa menjadi seorang mukmin yang sempurna. Wallahu a’lam.

 
Penulis : Nizamul Adli Wibisono, A.Md // Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar