Minggu, 27 April 2014

Agar Ibadah Diterima


ibadah
Pembaca yang dirahmati Allah, sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan diciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Namun perlu diketahui, agar ibadah kita diterima, maka harus terpenuhi syarat-syaratnya. Jangan sampai seseorang telah melakukan ibadah dengan harta dan tenaga yang besar, namun ternyata hal tersebut sia-sia karena tidak diterima disisi Allah Ta’ala, bahkan malah menjerumuskannya ke dalam neraka. Pada kesempatan ini, kami akan jelaskan sedikit mengenai syarat diterimanya ibadah.


Apa yang dimaksud dengan ibadah? 




Sebagian kaum muslimin keliru dalam mendefinisikan makna ibadah. Menurut mereka, yang namanya ibadah itu sebatas hanya yang disebutkan dalam rukun islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Namun pemahaman tersebut kurang tepat. Ibadah memiliki pengertian yang lebih luas. Definisi yang dinilai paling baik adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau mendefinisikan ibadah dengan “Suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir)”. Sehingga termasuk kedalam ibadah adalah perkataan jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturahmi, dan selainnya yang memiliki dalil bahwa amalan tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala. (Al Ubudiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).




Syarat diterimanya ibadah




Allah Ta’ala sebagai pembuat syari’at telah menetapkan jenis-jenis ibadah yang dilakukan hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun tidak semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah. Bahkan sebagian dari hamba tersebut amalannya sia-sia di sisi Allah. Hal itu terjadi karena hamba tersebut lalai untuk memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas, ittiba’ (mengikuti petunjuk rasulullah), dan beragama Islam.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi : 110)

Syaikh As Sa’di menjelaskan yang dimaksud dengan amal sholeh pada ayat ini adalah yang sesuai dengan syariat Allah (sesuai dengan petunjuk Rosulullah) baik itu amalan yang bersifat wajib atau sunnah. Dan tidak boleh riya’ dalam beramal akan tetapi harus ikhlas mengharap wajah Allah semata. Maka ayat ini mengumpulkan dua syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’.

Rasulullah juga bersabda, (yang artinya) “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan, kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya” (HR. Al-Nasaa’I, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, no. 1856). Juga sabda beliau (yang artinya) “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa agar amal seseorang diterima, maka harus terkumpul antara ikhlas dan ittiba’. Jika ikhlas saja namun menyelisihi petunjuk rasul maka amal tersebut tidak diterima, begitu pula jika mengikuti petunjuk rasul saja namun riya’ (beribadah karena ingin dipuji) juga tidak diterima.

Syarat yang ketiga agar amal ibadah seseorang diterima disisi Allah adalah harus beragama islam, Sedangkan amalan orang kafir tidak diterima, Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh” (QS Ibrahim : 18)

Ketiga syarat inilah yang harus dipenuhi oleh seseorang agar amal ibadahnya diterima. Jika hilang salah satunya maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.




Bukan sekedar niat baik




Sebagian kaum muslimin memiliki kaidah yang salah dalam beribadah. Mereka berkeyakinan “yang penting niatnya baik”.

Hal ini tidaklah benar, karena seseorang dalam beramal harus berdasarkan ilmu. Ia harus mengetahui perkara apa yang termasuk ibadah dan bukan ibadah. Islam telah mengajarkan semua perkara yang dapat mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka, yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Rasulullah bersabda (yang artinya) “Tidak ada satu amalan pun yang mendekatkan kepada syurga kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidak pula satu amalan yang mendekatkan kepada neraka kecuali aku peringatkan kalian darinya” (HR Al Hakim, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 2607)

Ajaran Islam telah sempurna dan syari’atnya terus berlaku hingga hari kiamat nanti. Maka barangsiapa berpegang teguh dengan keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah-red) disertai dengan pemahaman yang benar, niscaya ia tidak akan tersesat selamanya. Oleh karena itu, jika ada yang memiliki keyakinan terdapat amalan yang dianggap baik namun tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka secara tidak langsung ia telah mendustakan berita dari nabi tersebut. Apakah ini perbuatan orang yang mengaku mencintai nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam?!

Cukuplah kisah 3 orang sahabat nabi ini sebagai contoh bahwa niat yang baik saja tidaklah cukup. Dari Anas bin Malik, beliau berkata “Ada tiga orang yang datang ke rumah sebagian istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertujuan) menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan kepada mereka, mereka merasa ibadah beliau itu hanya sedikit, seraya berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang”

Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya akan mengerjakan sholat malam terus menerus”. Dan yang lainnya berkata:”Kalau aku, akan terus menerus berpuasa tanpa berbuka” Dan yang satu lagi berkata: ”Sedangkan aku tidak akan mendekati wanita dan tidak akan menikah untuk selamanya” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka dan berkata, “Kaliankan yang tadi mengatakan ini dan itu? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada-Nya daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, mengerjakan sholat dan juga tidur, serta menikahi wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukan termasuk golonganku” (HR. Bukhari No. 5063 dan Muslim No. 1401)
Dalam hadits ini, ketiga orang sahabat tersebut memiliki niat yang baik, yaitu ingin beribadah dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan pahala yang banyak. Diantara mereka ada yang ingin mengerjakan sholat malam terus menerus (tanpa tidur), ada yang ingin berpuasa setiap hari, dan ada yang ingin meninggalkan syahwatnya dengan tidak menikah agar lebih khusyu’ dalam beribadah. Ketiga amalan tersebut terlihat menakjubkan bahkan mungkin ada yang menilai sangat luar biasa baik. Namun Rasulullah tidak memuji perbuatan tersebut, akan tetapi justru mengingkarinya. Karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Rasulullah, bahkan Rasul mengancam dengan ancaman yang keras. Maka niat baik para sahabat tersebut semata tidaklah cukup. Melainkan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.




Kaidah dalam ibadah



Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, jika kita telaah kembali dalil-dalil diatas, maka terdapat kaidah penting dalam memahami perkara ibadah agar seseorang tidak tergelincir dalam penyimpangan. Kaidah tersebut adalah “Hukum asal perkara ibadah adalah terlarang, sampai dijumpaidalil yang memerintahkannya”. 

Oleh karena itu seseorang tidak boleh membuat-buat jenis ibadah sendiri, baik berupa jenis ibadah baru atau tata cara ibadah yang menyelisihi tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah (walaupun jenis ibadahnya berdalil). Karena tata cara ibadah telah diajarkan secara rinci dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar.

Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman dia berkata: “Ditanyakan kepadanya, ‘(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang air besar? “. ‘Abdurrahman berkata: Salman menjawab, “Ya.” (HR. Muslim no. 262)

Rasulullah telah mengajarkan kepada kita perkara yang kecil seperti tata cara buang air besar, maka tentu perkara yang lebih penting -yaitu tata cara beribadah- telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga sudah seharusnya kaum muslimin bersikap kritis terhadap ibadah yang dilakukan dengan bertanya “Adakah dalil yang memerintahkan ibadah ini?!”. Jika tidak ada dalilnya, maka tinggalkan dan jangan dilakukan.

Demikian penjelasan singkat mengenai syarat diterimanya ibadah ini, semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kepada kita jalan yang lurus, dan melapangkan hati kita untuk menerima ilmu dan mengamalkannya. [Ndaru Triutomo, S.Si*]



*Penulis adalah alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar