(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
Para musuh dakwah beliau tak lepas dari salah satu dari sifat-sifat berikut ini,
1. Al-hadatsah (kemudaan)
2. Kedangkalan ilmu
3. Bid’ah
4. Suka untuk tampil
5. Merasa sebagai syaikh
Berbagai tuduhan tak berdasar dilontarkan kepada beliau dari beraneka ragam musuh dakwahnya. Tetapi, itu adalah sebuah risiko yang mesti terjadi di saat seseorang menjalankan sunnah Nabi n. Itulah yang terjadi pada asy-Syaikh al-Albani. Kami akan buktikan, insya Allah, bahwa berbagai tuduhan dan tudingan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, saya di sini akan memfokuskan pada beberapa hal saja dan terkhusus yang tersebar di negeri kita, karena keterbatasan waktu dan ruang.
Di antara tuduhan tersebut adalah sebagai berikut.
Tuduhan Berpemahaman Murji’ah
Tak diragukan bahwa tuduhan tentulah berasal dari orang-orang yang berpemahaman takfir atau terpengaruh oleh pemahaman mereka. Akan tetapi, yang lebih menyakitkan adalah ketika tuduhan itu juga dilontarkan oleh orang yang dianggap sebagai salafi juga. Asal tuduhan ini, karena asy-Syaikh al-Albani adalah tokoh yang sangat keras menentang pemikiran takfir (mengafirkan kaum muslimin) dan gerakan kelompok takfir, sehingga beliau tentu menjadi sasaran tudingan mereka. Safar al-Hawali, seorang yang berpemahaman Ikhwanul Muslimin atau takfir, menjadi salah satu pelopor tuduhan ini dalam bukunya, Zhahiratul Irja’. Tuduhan itu pun semakin tenar sehingga tak sedkit yang membeo mengikuti jejak Safar al-Hawali.
Benarkah tuduhan itu?
Siapakah yang disebut Murji’ah? Mereka adalah yang meyakini bahwa amal bukan termasuk iman, iman tidak bertambah serta berkurang, serta perbuatan dosa tidak menurunkan iman.
Dari keterangan siapakah yang disebut Murji’ah, sama sekali syaikh al-Albani tidak masuk dalam kategori mereka. Lihatlah keyakinan beliau dalam hal iman. Amal adalah bagian penting dalam iman dan dengan hanya pelanggaran anggota badan, seseorang bisa lepas sama sekali dari iman. Dua hal ini termasuk yang sangat membedakan antara Ahlus Sunnah dengan Murji’ah dalam hal iman. Sebagai bukti dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah pada poin no. 58 dan 62.
Ketika ath-Thahawi mengatakan, “Dan kami tidak mengatakan ‘Tidak bermudarat dengan adanya iman dosa apa pun bagi orang yang melakukannya’.”
Beliau memberikan komentar, saya katakan, “Hal itu karena ucapan tersebut merupakan pendapat orang-orang Murji’ah yang mengarah kepada pendustaan terhadap ayat-ayat ancaman dan hadits-haditsnya yang datang (menerangkan) tentang para ahli maksiat dari umat ini, dan bahwa kelompok-kelompok dari mereka yang maksiat itu akan masuk ke neraka lalu keluar darinya dengan syafaat atau yang lainnya.
Juga ketika ath-Thahawi t menjelaskan tentang iman dan beliau keliru padanya yaitu, “Iman adalah ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan kalbu.”
Beliau memberikan komentar, “Ini adalah mazhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah. Berbeda dengan mazhab salaf dan mayoritas para imam seperti al-Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, dan yang lain, karena mereka menambahkan pada ikrar dengan (lisan) dan pembenaran itu dengan tambahan pengamalan dengan anggota badan.”
Kiranya dua kutipan ini saja sudah cukup sebagai bukti lepasnya beliau dari tuduhan berdosa tersebut bagi orang yang adil dan berakal.
Alhamdulillah para ulama telah bersaksi atas lurusnya akidah dan keyakinan beliau, di antaranya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau t berkata, “Barang siapa menuduh asy-Syaikh al-Albani sebagi Mur’jiah maka dia telah salah, mungkin dia tidak tahu apa itu Murji’ah atau siapa itu al-Albani.”
Tuduhan Penulis Blog Jamaah Tabligh
Dalam blog Jamaah Tabligh, dengan bahasa yang sangat merendahkan, penulis meremehkan ilmu haditsnya, dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).”
Rasanya tak perlu saya jawab panjang lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum, omongan orang yang tidak tahu ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits. Begitulah seseorang apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham ilmu hadits tidak akan meragukan keilmuannya. Bias jadi, penulis tersebut tidak pernah membaca Silsilah ash-Shahihah dan kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak bisa membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah, kesibukan Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain.
Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam
Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).
Demikian tertulis dalam blog JT tersebut. Aneh bila kerjaan yang halal itu dicela, padahal Nabi n telah menganjurkan makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal walupun tampak sepele,
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.
“Seseorang mengikat seikat kayu bakar lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak memberinya.”
(Sahih, HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya sendiri.” (Sahih. HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bagaimana dengan dua hadits di atas? Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya sebutkan bahwa yang menyatakan sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?
Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor pajak. ”Nabi Zakariya dahulu adalah seorang tukang kayu,” (Sahih, HR. Muslim)
Tidak Berguru kepada Ahli Hadits
Tentu itu hanya sebatas tuduhan. Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk diajari khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka bukan guru biasa, bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.
Beliau pun ikut serta dalam seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad Bahjat al-Baithar. Dengan demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu, beliau bukan seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat dan kunci-kunci ilmu telah beliau miliki.
Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu, asy-Syaikh Muhammad Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits sehingga memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah. Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam mengarungi lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu yang selama ini telah tertanam dalam diri beliau.
Menyerupakan Allah l dengan Makhluk
Penulis pada blog Jamaah Tabligh menuliskan, “Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.”
Dengan merujuk kepada halaman yang disebutkan, tampaknya si penuduh tidak paham sama sekali atau mungkin tidak membaca dan hanya taklid kepada pencela al-Albani yang lain, atau mungkin tidak bisa membaca Arab gundul.
Pada halaman tersebut sama sekali tidak ada pernyataan beliau yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Bisa jadi, yang dia maksud adalah ketika asy-Syaikh al-Albani menceritakan mazhab ahlul hadits dan Hanabilah dalam hal mengimani kalamullah. Mereka mengimani al-Qur’an itu kalamullah, dan kalam Allah l itu terdengar karena itu suara dan huruf. Bisa jadi, dipahami bahwa ini berarti beliau menyerupakan Allah l dengan makhluk. Dianggap olehnya bahwa suara adalah seperti suara makhluk dan huruf seperti huruf makhluk.
Ya, maaf, itu salah paham yang cukup berat. Pertama, justru pikiran Anda yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Saat Anda membaca ungkapan itu, langsung Anda hukumi menyerupakan Allah l dengan makhluk. Tidak ada dalam pikiran Anda saat orang menyatakan ‘kalam Allah l dengan suara’ selain gambaran seperti suara manusia atau makhluk lain. Jadi pikiran Andalah yang sudah terkotori oleh tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk).
Sungguh benar pernyataan ulama dahulu “Setiap orang yang menolak sifat Allah l, pastilah dia juga musyabbih (menyerupakan Allah dengan mahluk).” karena sebelum dia tolak sifat Allah l tersebut, penyerupaan tersebut telah tergambar dahulu dalam pikirannya. Setelahnya, dia menolak hal itu. Apa yang kita bahas menjadi bukti kebenaran pernyataan itu.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak tergambar hal itu karena pikiran mereka tidak kotor dengan tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk). Oleh karena itu, ketika mereka menyatakan bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, artinya suara Allah l yang sama sekali tidak serupa dengan suara makhluk dan huruf makhluk. Begitu pula saat menetapkan sifat-sifat Allah yang lain yang ada dalam al-Qur’an atau al-Hadits, seperti cinta, benci, melihat, tangan, dan lain-lain.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Adapun landasan Ahlus Sunnah bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, sangat banyak. Saya akan cukupkan dengan dua saja di sini.
Dari Jabir dari Abdullah bin Unais z, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah n bersabda,
يَحْشُرُ اللهُ الْعِبَادَ فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ
“Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, lalu Allah l memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh seperti yang didengar oleh yang dekat, ‘Akulah Sang Raja. Akulah Yang Maha Membalasi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mu’allaq dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka dengannya dia akan mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa alif lam mim satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi)
Itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah, dan itulah ijma’ mereka.
Asy-Syaikh al-Albani termasuk ulama yang sangat menentang tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini terbukti ketika ath-Thahawi menyatakan dalam kitab Aqidah-nya pada poin no. 9, “Dan para makhluk tidaklah menyerupai-Nya.” Asy-Syaikh al-Albani berkomentar, “Pada ucapannya terdapat bantahan terhadap pendapat musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan al-Khaliq dengan makhluk). Mahasuci Allah dan Mahatinggi.
Allah berfirman,
ﭡ ﭢ ﭣﭤ ﭥ ﭦ ﭧ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Beliau kemudian menukil ucapan Abu Hanifah, “Allah tidak menyerupai sedikit pun dari makhluk-Nya, dan tidak pula sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya.”
Abu Hanifah melanjutkan, “Dan semua sifat-Nya berbeda dengqn sifat-sifat makhluk. Allah Maha berilmu, namun tidak seperti ilmu kita. Allah Mahamampu, namun tidak seperti kemampuan kita. Allah Maha Melihat, namun tidak seperti penglihatan kita.” (Syarh wa Ta’liq ‘ala al-Aqidah ath-Thahawiyah)
Mengafirkan Orang-Orang yang Tawassul
Penulis blog mengatakan, “Mengafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi n dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya at-Tawassul.”
Demikian dengan ringkasnya tuduhan itu dilontarkan untuk membuat momok pada asy-Syaikh al-Albani. Sebetulnya, tuduhan itu adalah tanggung jawab penuduh, karena Allah l bakal
menanyainya. Apalagi tuduhan mengafirkan, jangan dianggap sepele! Maka dari itu, semestinya dia tunjukkan dengan jelas pada halaman mana dari kitab tersebut.
Saya dengan segala keterbatasan, mencoba melihat-lihat kembali kitab tersebut (at-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu), namun saya belum dapatkan apa yang mereka sebutkan. Yang saya dapatkan, beliau menuliskan, “Muncullah dari qiyas yang rusak dan pendapat yang tak laku ini kesesatan terbesar tersebut dan musibah terbesar, yang banyak kaum muslimin yang awam, bahkan sebagian orang khususnya, terjatuh padanya. Ketahuilah, itu adalah istighatsah, memohon pertolongan kepada para Nabi n dan orang-orang saleh selain Allah l di saat kesulitan dan musibah….” (hlm. 137)
Lalu beliau menukilkan ucapan sebagian ulama yang mencap bahwa ini perbuatan kekafiran dan kesyirikan.
Jadi, penjelasan beliau ini adalah dalam masalah istighatsah, mohon pertolongan kepada selain Allah l. Kalau tawassul ini sampai pada tingkatan tersebut, yaitu meminta dan berdoa kepada selain Allah l, tentu kafir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian sepakat dengan mereka dalam masalah ini?
Apabila kalian sepakat, mengapa kalian mencela al-Albani?
Kalau menurut kalian boleh, berarti kalian membolehkan berdoa kepada selain Allah l, yang itu adalah syirik. Sayangilah agama kalian!
Adapun tawassul dengan para nabi yang tidak sampai kepada tingkatan ini, tetapi bertawassul dengan kedudukannya, misalnya mengucapkan, “Aku mohon kepadamu, ya Allah, dengan kedudukan Nabi n Muhammad,” saya tidak mendapati beliau mengafirkannya, tetapi kata beliau, “Tidak boleh. Tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang pantas jadi landasannya.” (hlm. 46)
Beliau juga menyebutkan bahwa ini adalah bid’ah karena tidak ada satu pun dalam doa al-Qur’an dan hadits yang sahih! Jadi, ini bukan ajaran Nabi n dan amalan para sahabat. Apabila kalian menganggap sunnah sehingga senantiasa mendendangkannya, tunjukkan dalilnya yang sahih! Kami tunggu.
Adapun tawassul dengan Nabi n dan orang saleh saat masih hidup dengan doanya, asy-Syaikh al-Albani membolehkannya. Beliau mengatakan, “Tawassul yang disyariatkan dan ditunjukkan oleh nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan diamalkan oleh as-salafush shalih serta disepakati oleh muslimin yaitu:
1. Tawassul dengan salah satu nama Allah l atau salah satu sifat-Nya,
2. Tawasssul dengan amal saleh yang dilakukan orang yang berdoa,
3. Tawassul doa orang saleh.” (hlm. 46)
Inilah ucapan beliau, lantas dari mana celanya, wahai penuduh?
Tawassul itu sesuatu yang Allah l syariatkan sebagaimana dalam salah satu ayat, bagaimana kalian mengamalkan ayat itu? Dengan sesuatu yang Nabi n contohkan atau dengan karangan kalian sendiri?
Melarang Ziarah Kubur
Kata penulis blog JT, “Mengharamkan umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.”
Tuduhan ini pun tidak jauh dari yang sebelumnya, murahan dan tidak ilmiah. Mestinya, dia menukilkan sumber sekaligus kutipan yang lengkap. Ingat, kalian akan ditanya oleh Allah l nanti.
Mari kita menyimak penjelasan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani tentang ziarah dalam kitabnya Ahkamul Janaiz, “Disyariatkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan untuk mengingatkan akhirat, dengan syarat dalam ziarahnya tidak mengucapkan kata-kata yang dimurkai oleh Allah l, seperti berdoa kepada orang yang dikubur tersebut, atau memohon pertolongan kepadanya selain Allah l, atau mentazkiyah serta memastikannya masuk surga.” (hlm. 227)
Kontradiksi dalam Menghukumi Hadits
Sebagian orang mengungkapkannya dengan bahasa rendahan, seperti ucapan Abu Salafy, “Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!”
Bahkan, sebagian orang menganggap beliau tidak berhak menghukumi suatu hadits dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang ‘ngawur’).”
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah. Meskipun demikian, dia berani mentashih dan mentadh’ifkan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafizh (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).”
Inilah tuduhan penulis blog JT. Tuduhan ini berasal dari orang yang tidak tahu kapasitas dirinya. Mestinya, apabila menuduh hendaknya yang ilmiah sehingga tidak memalukan, tidak hanya asal bicara. Semestinya, mereka mempelajari ribuan hadits yang beliau hukumi, baru setelahnya mereka mengeluarkan kesimpulannya. Atau sebelum itu, mereka sudah bisa membaca Arab gundul atau belum? Ataukah mereka hanya membeo kepada orang Timur Tengah yang mengkritik beliau?
Alhamdulillah, tuduhan ini telah disanggah oleh para ulama. Di antaranya asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmul dalam kitabnya al-Intishar li Ahlil Hadits. Kesimpulan beliau, ini adalah tuduhan kebodohan atau pura-pura bodoh. Ketahuilah, yang disepakati Ahlus Sunnah—mungkin Abu Salafy tidak ikut kesepakatan ini, -red.—bahwa kemaksuman tidak tetap bagi seorang pun dari umat ini, selain Rasulullah n.
Oleh karena itu, kekeliruan adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada siapa saja. Jangankan beliau, ulama dan para hafizh pun tidak lepas darinya. Tetapi, apakah kekeliruan yang sifatnya manusiawi dalam hal yang ijtihadi dan dalam jumlah yang lumrah, menjatuhkan kapasitas ilmiahnya? Tidak seorang pun yang beranggapan demikian selain orang yang bodoh.
Perbedaan penilaian atau hukum dalam beberapa hadits yang terjadi pada beliau tidak keluar dari beberapa hal berikut ini.
1. Perubahan hukum beliau terhadap beberapa hadits disebabkan perkembangan ilmu beliau.
Misalnya, ditemukannya kitab yang baru tercetak, atau sanad lain, mutaba’ah, dan syawahid, atau tersingkapnya kelemahan hadits yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini cukup banyak, seperti yang beliau ungkapkan sendiri dalam mukadimah kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir. Alhamdulillah, sekarang telah terbit buku Taraju’at al-Albani, yang menerangkan hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani mengubah penghukuman beliau terhadap hadits tersebut dari sahih menjadi dhaif atau menjadi hukum yang lain.
2. Hadits yang dalam derajat hasan lighairihi.
Pembahasan hadits hasan lighairihi termasuk maslaah yang paling sulit dalam ilmu hadits. Oleh karena itu, kalau ijtihad ulama suatu saat berubah, itu adalah hal yang sangat wajar, baik pada al-Albani atau yang lain.
Simak penegasan adz-Dzahabi yang tak diragukan keilmuannya dalam ilmu hadits dan para rawi, “Jangan engkau harap bahwa hadits hasan memiliki kaidah yang semua hadits hasan dapat masuk ke dalamnya. Saya putus asa untuk itu. Betapa banyak hadits yang para hafizh ragu dalam hal ini, apakah itu hasan, dhaif, ataukah sahih. Bahkan, seorang hafizh terkadang berubah ijtihadnya dalam menghukumi satu hadits. Suatu hari ia menyatakan sahih, hari yang lain menyatakan hasan, atau justru menyatakannya dhaif. Dan ini benar….” (al-Muqizhah, hlm. 28—29)
3. Hadits-hadits yang beliau dianggap kontradiksi dalam menghukuminya, padahal justru si penuduhnya yang tidak bisa menilai.
4. Hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani berbeda dalam menghukuminya karena keterbatasan yang sifatnya manusiawi yang tidak ada seorang pun lepas darinya. Yang seperti itu jumlahnya sedikit sekali apabila dibanding ribuan hadits yang beliau hukumi.
Kesimpulan akhir asy-Syaikh Muhammad Bazmul, “Vonis bahwa asy-Syaikh al-Albani kontradiksi dalam menghukumi hadits, dan upaya menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu dan buku-bukunya adalah omong kosong belaka, dari orang yang dengki. Tidak ada bobotnya dalam timbangan kebenaran sedikit pun. “ (lihat hlm. 211—216 dengan sedikit penambahan dan ringkasan)
مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَى سَجَايَاهُ كُلُّهَا
كَفَى بِالْمَرْءِ نَبْلاً أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ
Siapakah yang seluruh tabiatnya diridhai
Cukuplah sebagai kemuliaan seseorang itu dapat dihitung cacatnya.
Adapun ucapan penulis dalam blog JT di atas, saya anggap itu ucapan anak ingusan yang tidak tahu ilmu musthalah sama sekali. Siapa yang mensyaratkan orang harus hafal sepuluh hadits dengan sanadnya sampai kepada Rasulullah n, apalagi sanad dari zaman sekarang sampai kepada Rasulullah n?
Siapa yang mensyaratkan untuk menghafal ratusan ribu hadits, baru boleh menghukumi suatu sanad hadits sahih dan dhaifnya?!
Datangkan satu saja pensyaratan dari ulama mutaqaddimin (terdahulu)dalam hal ini, saya tunggu.
Tuduhan Abu Salafy
Ya, Abu Salafy sebutannya, tetapi jangan Anda mengira dia salafi. Mungkin anaknya yang salafi, semoga saja….
Dia katakan, “Syeikh Albani menukil pendapat sebagin kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seraya membenarkan bahwa:
1. “Barang siapa berkata tentang Allah, ‘Dia dilihat tidak di sebuah jihah/sudut/sisi tertentu,’ hendaknya ia mengoreksi akalnya. Albani berkata, “Jika yang dimaksud dengan jihah adalah perkara ketiadaan dan dia adalah di atas alam semesta ini, di sana tidak ada selain Allah sendirian.”
Abu Salafy berkata, “Demikianlah akidah Salafi yang dibanggakan kaum Salafiyyun Wahhabiyyun yang diyakini Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!
Coba bandingkan dengan akidah ulama Islam seperti yang dirangkum oleh al-Imam ath-Thahawi dalam Aqidah-nya, “Allah tidak dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.”
Maksudnya, Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu, sebab yang demikian itu meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak, diam dll dari sifat makhluk.
Dengan omongannya itu, Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.
Bantahan
Saya merujuk pada tiga halaman yang dia tunjuk sebagai sumber tuduhannya (Mukhtashar al-‘Uluw, hlm. 7, 156, 285) dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw yang saya miliki. Kitab yang saya miliki adalah cetakan kedua, terbitan al-Maktabul Islami. Akan tetapi, di semua halaman yang disebutkan di atas, tidak ada kata-kata tersebut.
Anehnya, dalam blog JT pada bahasan yang berbeda, yaitu asy-Syaikh al-Albani menyerupakan Allah l dengan makhluk, juga persis menunjuk buku dan halaman itu. Ada kesepakatan apa antara Abu Salafy dengan penulis di blog JT tersebut? Siapa mereka?
Juga pada referensi kedua, kitab (al-Aqidah ath-Thahawiyah Syarah wa Ta’liq al-Albani, hlm. 25) juga tidak saya dapati pada buku saya, cetakan kedua terbitan al-Maktabul Islami. Entah dia merujuk ke cetakan mana? Atau ini kritik ‘ilmiah’ yang bagaimana?
Yang jelas—tanpa saya tunjukkan, biar mereka cari sendiri dan itu mudah—, nukilan itu memang ada dalam buku asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani—semoga Allah l senantiasa membelanya dari rongrongan para musuh sunnah. Yang pertama adalah ucapan Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang dianggap musyabbih oleh Abu Salafy, bukan ucapan al-Albani.
Menjawab kritikan Abu Salafy, saya katakan, maksud dari perkataan yang pertama adalah membantah mazhab Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu. Memang membingungkan, dilihat tapi tidak pada arah tertentu.
Maka dari itu, beliau katakan, “Coba koreksi akalnya.”
Mengapa mereka mengatakan demikian? Mereka mengatakan ‘dapat dilihat’ karena haditsnya banyak, tidak dapat dimungkiri. Di sisi lain, mereka mengatakan ‘tidak dari arah tertentu’ karena mereka tidak meyakini ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Padahal, dalil bahwa Allah l di atas makhluk-Nya jauh lebih banyak daripada dalil bahwa Allah l dilihat dalam surga, tetapi mengapa yang ini justru diingkari? Alhasil, paduan dari dua keyakinan tadi, “Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu.”
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) meyakini bahwa Allah l di atas makhluk-Nya sehingga Allah l akan dilihat oleh hamba-Nya di atas mereka seperti hamba melihat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang mutawatir.
Adapun ucapan kedua, tampaknya sengaja dia potong untuk membuat bingung pembacanya. Padahal ucapan selengkapnya tidak demikian. Sebelum saya nukil, sedikit akan saya terangkan duduk masalahnya.
Tentang masalah “jihah” yang artinya arah atau sisi, apakah boleh dikatakan Allah pada jihah tertentu? Sebagian kelompok menolak untuk mengatakan bahwa Allah l berada pada jihah tertentu. Tetapi, di balik penolakan itu mereka ingin mengingkari ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah pada jihah, apabila yang mengatakan demikian adalah ulama salaf, yang mereka maksud adalah jihah fauqiyah, yakni Allah l di atas makhluk-Nya.
Yang paling tepat adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, “Allah di atas makhluk-Nya sebagaimana tersebut dalam ayat dan hadits.” Adapun kata jihah, karena lafadz ini tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkait dengan sifat Allah l, kita menjauhinya.
Karena semua ini, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ringkas kata dalam hal jihah, apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang ada selain Allah l maka itu makhluk, padahal Allah l adalah di atas makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang meliputi-Nya dan membatasi-Nya, karena Dia terpisah dari makhluk sebagaimana akan disebutkan keterangannya dari sejumlah imam. Akan tetapi, apabila yang dimaksud dengan jihah itu adalah sesuatu yang tidak ada dan itu di atas alam ini, maka tidak ada di atas alam ini selain Allah l.”
Dari kutipan di atas, jelas bahwa beliau sedang mendudukkan sikap yang benar terhadap jihah.
Kembali menanggapi Abu Salafy, dari keterangan di atas, rasanya tidak tepat apabila penjelasan al-Albani diadu dengan ucapan ath-Thahawi karena beliau tidak sedang menetapkan jihah secara mutlak. Bagaimana bisa kemudian diadukan dengan pernyataan ath-Thahawi yang tidak menetapkan jihah? Paham, Abu Salafy?
Asy-Syaikh al-Albani meyakini ketinggian Allah l, Allah l di atas hamba-Nya. Ini pun diyakini oleh ath-Thahawi, seperti dalam ucapannya, “Muhiithun bi kulli syai’in wa fauqahu (Mencakup segala sesuatu dan berada di atasnya).”
Adapun ucapan beliau “tidak diliputi oleh enam arah,” maksud beliau adalah Allah l tidak diliputi oleh makhluk-makhluk-Nya. Beliau tidak meniadakan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara ucapan al-Albani dengan ath-Thahawi. Hanya saja penggunaan ath-Thahawi terhadap kata-kata tersebut yang tidak ada dalam ayat dan hadits lebih baik dihindari.
Hal ini karena bisa saja orang lain akan mengklaim beliau sebagai orang yang kontradiktif: di satu sisi mengatakan Allah l di atas segala sesuatu, di sisi lain mengatakan tidak diliputi oleh enam arah. Padahal maksud beliau dari kata yang terakhir seperti yang telah dijelaskan, bukan menafikan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Maka dari itu, semestinya ath-Thahawi mencukupkan dengan lafadz-lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abu Salafy berkata, “Dengan omongannya itu Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.
Alhamdulillah, al-Albani tidak menuduh para ulama tidak berakal. Beliau hanya meminta mereka yang mengingkari ketinggian Allah l—bukan para ulama sunnah—untuk mengecek akal mereka. Beliau tidak menyimpang dari akidah para imam Ahlus Sunnah, bahkan sejalan dengan mereka. Justru Anda, wahai Abu Salafy, yang menyimpang dari para imam Ahlus Sunnah.
Nah, sebagai bukti saya akan bertanya. Apakah Abu Salafy mengimani akan ketinggian Allah l atau tidak?
Abu Salafy mengatakan, “Maksudnya Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu.”
Menurut Anda, apakah Allah l tidak di atas makhluk-Nya?
Saya tunggu jawabannya.
(disusun dari berbagai sumber, di antaranya Muhadditsul ‘Ashr al-Albani, kaset-kaset rekaman ceramah beliau, Majalah al-Ashalah, dan buku-buku beliau yang lain)
Para musuh dakwah beliau tak lepas dari salah satu dari sifat-sifat berikut ini,
1. Al-hadatsah (kemudaan)
2. Kedangkalan ilmu
3. Bid’ah
4. Suka untuk tampil
5. Merasa sebagai syaikh
Berbagai tuduhan tak berdasar dilontarkan kepada beliau dari beraneka ragam musuh dakwahnya. Tetapi, itu adalah sebuah risiko yang mesti terjadi di saat seseorang menjalankan sunnah Nabi n. Itulah yang terjadi pada asy-Syaikh al-Albani. Kami akan buktikan, insya Allah, bahwa berbagai tuduhan dan tudingan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, saya di sini akan memfokuskan pada beberapa hal saja dan terkhusus yang tersebar di negeri kita, karena keterbatasan waktu dan ruang.
Di antara tuduhan tersebut adalah sebagai berikut.
Tuduhan Berpemahaman Murji’ah
Tak diragukan bahwa tuduhan tentulah berasal dari orang-orang yang berpemahaman takfir atau terpengaruh oleh pemahaman mereka. Akan tetapi, yang lebih menyakitkan adalah ketika tuduhan itu juga dilontarkan oleh orang yang dianggap sebagai salafi juga. Asal tuduhan ini, karena asy-Syaikh al-Albani adalah tokoh yang sangat keras menentang pemikiran takfir (mengafirkan kaum muslimin) dan gerakan kelompok takfir, sehingga beliau tentu menjadi sasaran tudingan mereka. Safar al-Hawali, seorang yang berpemahaman Ikhwanul Muslimin atau takfir, menjadi salah satu pelopor tuduhan ini dalam bukunya, Zhahiratul Irja’. Tuduhan itu pun semakin tenar sehingga tak sedkit yang membeo mengikuti jejak Safar al-Hawali.
Benarkah tuduhan itu?
Siapakah yang disebut Murji’ah? Mereka adalah yang meyakini bahwa amal bukan termasuk iman, iman tidak bertambah serta berkurang, serta perbuatan dosa tidak menurunkan iman.
Dari keterangan siapakah yang disebut Murji’ah, sama sekali syaikh al-Albani tidak masuk dalam kategori mereka. Lihatlah keyakinan beliau dalam hal iman. Amal adalah bagian penting dalam iman dan dengan hanya pelanggaran anggota badan, seseorang bisa lepas sama sekali dari iman. Dua hal ini termasuk yang sangat membedakan antara Ahlus Sunnah dengan Murji’ah dalam hal iman. Sebagai bukti dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah pada poin no. 58 dan 62.
Ketika ath-Thahawi mengatakan, “Dan kami tidak mengatakan ‘Tidak bermudarat dengan adanya iman dosa apa pun bagi orang yang melakukannya’.”
Beliau memberikan komentar, saya katakan, “Hal itu karena ucapan tersebut merupakan pendapat orang-orang Murji’ah yang mengarah kepada pendustaan terhadap ayat-ayat ancaman dan hadits-haditsnya yang datang (menerangkan) tentang para ahli maksiat dari umat ini, dan bahwa kelompok-kelompok dari mereka yang maksiat itu akan masuk ke neraka lalu keluar darinya dengan syafaat atau yang lainnya.
Juga ketika ath-Thahawi t menjelaskan tentang iman dan beliau keliru padanya yaitu, “Iman adalah ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan kalbu.”
Beliau memberikan komentar, “Ini adalah mazhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah. Berbeda dengan mazhab salaf dan mayoritas para imam seperti al-Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, dan yang lain, karena mereka menambahkan pada ikrar dengan (lisan) dan pembenaran itu dengan tambahan pengamalan dengan anggota badan.”
Kiranya dua kutipan ini saja sudah cukup sebagai bukti lepasnya beliau dari tuduhan berdosa tersebut bagi orang yang adil dan berakal.
Alhamdulillah para ulama telah bersaksi atas lurusnya akidah dan keyakinan beliau, di antaranya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau t berkata, “Barang siapa menuduh asy-Syaikh al-Albani sebagi Mur’jiah maka dia telah salah, mungkin dia tidak tahu apa itu Murji’ah atau siapa itu al-Albani.”
Tuduhan Penulis Blog Jamaah Tabligh
Dalam blog Jamaah Tabligh, dengan bahasa yang sangat merendahkan, penulis meremehkan ilmu haditsnya, dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).”
Rasanya tak perlu saya jawab panjang lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum, omongan orang yang tidak tahu ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits. Begitulah seseorang apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham ilmu hadits tidak akan meragukan keilmuannya. Bias jadi, penulis tersebut tidak pernah membaca Silsilah ash-Shahihah dan kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak bisa membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah, kesibukan Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain.
Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam
Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).
Demikian tertulis dalam blog JT tersebut. Aneh bila kerjaan yang halal itu dicela, padahal Nabi n telah menganjurkan makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal walupun tampak sepele,
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.
“Seseorang mengikat seikat kayu bakar lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak memberinya.”
(Sahih, HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya sendiri.” (Sahih. HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bagaimana dengan dua hadits di atas? Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya sebutkan bahwa yang menyatakan sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?
Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor pajak. ”Nabi Zakariya dahulu adalah seorang tukang kayu,” (Sahih, HR. Muslim)
Tidak Berguru kepada Ahli Hadits
Tentu itu hanya sebatas tuduhan. Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk diajari khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka bukan guru biasa, bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.
Beliau pun ikut serta dalam seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad Bahjat al-Baithar. Dengan demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu, beliau bukan seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat dan kunci-kunci ilmu telah beliau miliki.
Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu, asy-Syaikh Muhammad Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits sehingga memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah. Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam mengarungi lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu yang selama ini telah tertanam dalam diri beliau.
Menyerupakan Allah l dengan Makhluk
Penulis pada blog Jamaah Tabligh menuliskan, “Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.”
Dengan merujuk kepada halaman yang disebutkan, tampaknya si penuduh tidak paham sama sekali atau mungkin tidak membaca dan hanya taklid kepada pencela al-Albani yang lain, atau mungkin tidak bisa membaca Arab gundul.
Pada halaman tersebut sama sekali tidak ada pernyataan beliau yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Bisa jadi, yang dia maksud adalah ketika asy-Syaikh al-Albani menceritakan mazhab ahlul hadits dan Hanabilah dalam hal mengimani kalamullah. Mereka mengimani al-Qur’an itu kalamullah, dan kalam Allah l itu terdengar karena itu suara dan huruf. Bisa jadi, dipahami bahwa ini berarti beliau menyerupakan Allah l dengan makhluk. Dianggap olehnya bahwa suara adalah seperti suara makhluk dan huruf seperti huruf makhluk.
Ya, maaf, itu salah paham yang cukup berat. Pertama, justru pikiran Anda yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Saat Anda membaca ungkapan itu, langsung Anda hukumi menyerupakan Allah l dengan makhluk. Tidak ada dalam pikiran Anda saat orang menyatakan ‘kalam Allah l dengan suara’ selain gambaran seperti suara manusia atau makhluk lain. Jadi pikiran Andalah yang sudah terkotori oleh tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk).
Sungguh benar pernyataan ulama dahulu “Setiap orang yang menolak sifat Allah l, pastilah dia juga musyabbih (menyerupakan Allah dengan mahluk).” karena sebelum dia tolak sifat Allah l tersebut, penyerupaan tersebut telah tergambar dahulu dalam pikirannya. Setelahnya, dia menolak hal itu. Apa yang kita bahas menjadi bukti kebenaran pernyataan itu.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak tergambar hal itu karena pikiran mereka tidak kotor dengan tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk). Oleh karena itu, ketika mereka menyatakan bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, artinya suara Allah l yang sama sekali tidak serupa dengan suara makhluk dan huruf makhluk. Begitu pula saat menetapkan sifat-sifat Allah yang lain yang ada dalam al-Qur’an atau al-Hadits, seperti cinta, benci, melihat, tangan, dan lain-lain.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Adapun landasan Ahlus Sunnah bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, sangat banyak. Saya akan cukupkan dengan dua saja di sini.
Dari Jabir dari Abdullah bin Unais z, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah n bersabda,
يَحْشُرُ اللهُ الْعِبَادَ فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ
“Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, lalu Allah l memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh seperti yang didengar oleh yang dekat, ‘Akulah Sang Raja. Akulah Yang Maha Membalasi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mu’allaq dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka dengannya dia akan mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa alif lam mim satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi)
Itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah, dan itulah ijma’ mereka.
Asy-Syaikh al-Albani termasuk ulama yang sangat menentang tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini terbukti ketika ath-Thahawi menyatakan dalam kitab Aqidah-nya pada poin no. 9, “Dan para makhluk tidaklah menyerupai-Nya.” Asy-Syaikh al-Albani berkomentar, “Pada ucapannya terdapat bantahan terhadap pendapat musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan al-Khaliq dengan makhluk). Mahasuci Allah dan Mahatinggi.
Allah berfirman,
ﭡ ﭢ ﭣﭤ ﭥ ﭦ ﭧ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Beliau kemudian menukil ucapan Abu Hanifah, “Allah tidak menyerupai sedikit pun dari makhluk-Nya, dan tidak pula sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya.”
Abu Hanifah melanjutkan, “Dan semua sifat-Nya berbeda dengqn sifat-sifat makhluk. Allah Maha berilmu, namun tidak seperti ilmu kita. Allah Mahamampu, namun tidak seperti kemampuan kita. Allah Maha Melihat, namun tidak seperti penglihatan kita.” (Syarh wa Ta’liq ‘ala al-Aqidah ath-Thahawiyah)
Mengafirkan Orang-Orang yang Tawassul
Penulis blog mengatakan, “Mengafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi n dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya at-Tawassul.”
Demikian dengan ringkasnya tuduhan itu dilontarkan untuk membuat momok pada asy-Syaikh al-Albani. Sebetulnya, tuduhan itu adalah tanggung jawab penuduh, karena Allah l bakal
menanyainya. Apalagi tuduhan mengafirkan, jangan dianggap sepele! Maka dari itu, semestinya dia tunjukkan dengan jelas pada halaman mana dari kitab tersebut.
Saya dengan segala keterbatasan, mencoba melihat-lihat kembali kitab tersebut (at-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu), namun saya belum dapatkan apa yang mereka sebutkan. Yang saya dapatkan, beliau menuliskan, “Muncullah dari qiyas yang rusak dan pendapat yang tak laku ini kesesatan terbesar tersebut dan musibah terbesar, yang banyak kaum muslimin yang awam, bahkan sebagian orang khususnya, terjatuh padanya. Ketahuilah, itu adalah istighatsah, memohon pertolongan kepada para Nabi n dan orang-orang saleh selain Allah l di saat kesulitan dan musibah….” (hlm. 137)
Lalu beliau menukilkan ucapan sebagian ulama yang mencap bahwa ini perbuatan kekafiran dan kesyirikan.
Jadi, penjelasan beliau ini adalah dalam masalah istighatsah, mohon pertolongan kepada selain Allah l. Kalau tawassul ini sampai pada tingkatan tersebut, yaitu meminta dan berdoa kepada selain Allah l, tentu kafir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian sepakat dengan mereka dalam masalah ini?
Apabila kalian sepakat, mengapa kalian mencela al-Albani?
Kalau menurut kalian boleh, berarti kalian membolehkan berdoa kepada selain Allah l, yang itu adalah syirik. Sayangilah agama kalian!
Adapun tawassul dengan para nabi yang tidak sampai kepada tingkatan ini, tetapi bertawassul dengan kedudukannya, misalnya mengucapkan, “Aku mohon kepadamu, ya Allah, dengan kedudukan Nabi n Muhammad,” saya tidak mendapati beliau mengafirkannya, tetapi kata beliau, “Tidak boleh. Tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang pantas jadi landasannya.” (hlm. 46)
Beliau juga menyebutkan bahwa ini adalah bid’ah karena tidak ada satu pun dalam doa al-Qur’an dan hadits yang sahih! Jadi, ini bukan ajaran Nabi n dan amalan para sahabat. Apabila kalian menganggap sunnah sehingga senantiasa mendendangkannya, tunjukkan dalilnya yang sahih! Kami tunggu.
Adapun tawassul dengan Nabi n dan orang saleh saat masih hidup dengan doanya, asy-Syaikh al-Albani membolehkannya. Beliau mengatakan, “Tawassul yang disyariatkan dan ditunjukkan oleh nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan diamalkan oleh as-salafush shalih serta disepakati oleh muslimin yaitu:
1. Tawassul dengan salah satu nama Allah l atau salah satu sifat-Nya,
2. Tawasssul dengan amal saleh yang dilakukan orang yang berdoa,
3. Tawassul doa orang saleh.” (hlm. 46)
Inilah ucapan beliau, lantas dari mana celanya, wahai penuduh?
Tawassul itu sesuatu yang Allah l syariatkan sebagaimana dalam salah satu ayat, bagaimana kalian mengamalkan ayat itu? Dengan sesuatu yang Nabi n contohkan atau dengan karangan kalian sendiri?
Melarang Ziarah Kubur
Kata penulis blog JT, “Mengharamkan umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.”
Tuduhan ini pun tidak jauh dari yang sebelumnya, murahan dan tidak ilmiah. Mestinya, dia menukilkan sumber sekaligus kutipan yang lengkap. Ingat, kalian akan ditanya oleh Allah l nanti.
Mari kita menyimak penjelasan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani tentang ziarah dalam kitabnya Ahkamul Janaiz, “Disyariatkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan untuk mengingatkan akhirat, dengan syarat dalam ziarahnya tidak mengucapkan kata-kata yang dimurkai oleh Allah l, seperti berdoa kepada orang yang dikubur tersebut, atau memohon pertolongan kepadanya selain Allah l, atau mentazkiyah serta memastikannya masuk surga.” (hlm. 227)
Kontradiksi dalam Menghukumi Hadits
Sebagian orang mengungkapkannya dengan bahasa rendahan, seperti ucapan Abu Salafy, “Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!”
Bahkan, sebagian orang menganggap beliau tidak berhak menghukumi suatu hadits dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang ‘ngawur’).”
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah. Meskipun demikian, dia berani mentashih dan mentadh’ifkan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafizh (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).”
Inilah tuduhan penulis blog JT. Tuduhan ini berasal dari orang yang tidak tahu kapasitas dirinya. Mestinya, apabila menuduh hendaknya yang ilmiah sehingga tidak memalukan, tidak hanya asal bicara. Semestinya, mereka mempelajari ribuan hadits yang beliau hukumi, baru setelahnya mereka mengeluarkan kesimpulannya. Atau sebelum itu, mereka sudah bisa membaca Arab gundul atau belum? Ataukah mereka hanya membeo kepada orang Timur Tengah yang mengkritik beliau?
Alhamdulillah, tuduhan ini telah disanggah oleh para ulama. Di antaranya asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmul dalam kitabnya al-Intishar li Ahlil Hadits. Kesimpulan beliau, ini adalah tuduhan kebodohan atau pura-pura bodoh. Ketahuilah, yang disepakati Ahlus Sunnah—mungkin Abu Salafy tidak ikut kesepakatan ini, -red.—bahwa kemaksuman tidak tetap bagi seorang pun dari umat ini, selain Rasulullah n.
Oleh karena itu, kekeliruan adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada siapa saja. Jangankan beliau, ulama dan para hafizh pun tidak lepas darinya. Tetapi, apakah kekeliruan yang sifatnya manusiawi dalam hal yang ijtihadi dan dalam jumlah yang lumrah, menjatuhkan kapasitas ilmiahnya? Tidak seorang pun yang beranggapan demikian selain orang yang bodoh.
Perbedaan penilaian atau hukum dalam beberapa hadits yang terjadi pada beliau tidak keluar dari beberapa hal berikut ini.
1. Perubahan hukum beliau terhadap beberapa hadits disebabkan perkembangan ilmu beliau.
Misalnya, ditemukannya kitab yang baru tercetak, atau sanad lain, mutaba’ah, dan syawahid, atau tersingkapnya kelemahan hadits yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini cukup banyak, seperti yang beliau ungkapkan sendiri dalam mukadimah kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir. Alhamdulillah, sekarang telah terbit buku Taraju’at al-Albani, yang menerangkan hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani mengubah penghukuman beliau terhadap hadits tersebut dari sahih menjadi dhaif atau menjadi hukum yang lain.
2. Hadits yang dalam derajat hasan lighairihi.
Pembahasan hadits hasan lighairihi termasuk maslaah yang paling sulit dalam ilmu hadits. Oleh karena itu, kalau ijtihad ulama suatu saat berubah, itu adalah hal yang sangat wajar, baik pada al-Albani atau yang lain.
Simak penegasan adz-Dzahabi yang tak diragukan keilmuannya dalam ilmu hadits dan para rawi, “Jangan engkau harap bahwa hadits hasan memiliki kaidah yang semua hadits hasan dapat masuk ke dalamnya. Saya putus asa untuk itu. Betapa banyak hadits yang para hafizh ragu dalam hal ini, apakah itu hasan, dhaif, ataukah sahih. Bahkan, seorang hafizh terkadang berubah ijtihadnya dalam menghukumi satu hadits. Suatu hari ia menyatakan sahih, hari yang lain menyatakan hasan, atau justru menyatakannya dhaif. Dan ini benar….” (al-Muqizhah, hlm. 28—29)
3. Hadits-hadits yang beliau dianggap kontradiksi dalam menghukuminya, padahal justru si penuduhnya yang tidak bisa menilai.
4. Hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani berbeda dalam menghukuminya karena keterbatasan yang sifatnya manusiawi yang tidak ada seorang pun lepas darinya. Yang seperti itu jumlahnya sedikit sekali apabila dibanding ribuan hadits yang beliau hukumi.
Kesimpulan akhir asy-Syaikh Muhammad Bazmul, “Vonis bahwa asy-Syaikh al-Albani kontradiksi dalam menghukumi hadits, dan upaya menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu dan buku-bukunya adalah omong kosong belaka, dari orang yang dengki. Tidak ada bobotnya dalam timbangan kebenaran sedikit pun. “ (lihat hlm. 211—216 dengan sedikit penambahan dan ringkasan)
مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَى سَجَايَاهُ كُلُّهَا
كَفَى بِالْمَرْءِ نَبْلاً أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ
Siapakah yang seluruh tabiatnya diridhai
Cukuplah sebagai kemuliaan seseorang itu dapat dihitung cacatnya.
Adapun ucapan penulis dalam blog JT di atas, saya anggap itu ucapan anak ingusan yang tidak tahu ilmu musthalah sama sekali. Siapa yang mensyaratkan orang harus hafal sepuluh hadits dengan sanadnya sampai kepada Rasulullah n, apalagi sanad dari zaman sekarang sampai kepada Rasulullah n?
Siapa yang mensyaratkan untuk menghafal ratusan ribu hadits, baru boleh menghukumi suatu sanad hadits sahih dan dhaifnya?!
Datangkan satu saja pensyaratan dari ulama mutaqaddimin (terdahulu)dalam hal ini, saya tunggu.
Tuduhan Abu Salafy
Ya, Abu Salafy sebutannya, tetapi jangan Anda mengira dia salafi. Mungkin anaknya yang salafi, semoga saja….
Dia katakan, “Syeikh Albani menukil pendapat sebagin kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seraya membenarkan bahwa:
1. “Barang siapa berkata tentang Allah, ‘Dia dilihat tidak di sebuah jihah/sudut/sisi tertentu,’ hendaknya ia mengoreksi akalnya. Albani berkata, “Jika yang dimaksud dengan jihah adalah perkara ketiadaan dan dia adalah di atas alam semesta ini, di sana tidak ada selain Allah sendirian.”
Abu Salafy berkata, “Demikianlah akidah Salafi yang dibanggakan kaum Salafiyyun Wahhabiyyun yang diyakini Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!
Coba bandingkan dengan akidah ulama Islam seperti yang dirangkum oleh al-Imam ath-Thahawi dalam Aqidah-nya, “Allah tidak dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.”
Maksudnya, Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu, sebab yang demikian itu meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak, diam dll dari sifat makhluk.
Dengan omongannya itu, Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.
Bantahan
Saya merujuk pada tiga halaman yang dia tunjuk sebagai sumber tuduhannya (Mukhtashar al-‘Uluw, hlm. 7, 156, 285) dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw yang saya miliki. Kitab yang saya miliki adalah cetakan kedua, terbitan al-Maktabul Islami. Akan tetapi, di semua halaman yang disebutkan di atas, tidak ada kata-kata tersebut.
Anehnya, dalam blog JT pada bahasan yang berbeda, yaitu asy-Syaikh al-Albani menyerupakan Allah l dengan makhluk, juga persis menunjuk buku dan halaman itu. Ada kesepakatan apa antara Abu Salafy dengan penulis di blog JT tersebut? Siapa mereka?
Juga pada referensi kedua, kitab (al-Aqidah ath-Thahawiyah Syarah wa Ta’liq al-Albani, hlm. 25) juga tidak saya dapati pada buku saya, cetakan kedua terbitan al-Maktabul Islami. Entah dia merujuk ke cetakan mana? Atau ini kritik ‘ilmiah’ yang bagaimana?
Yang jelas—tanpa saya tunjukkan, biar mereka cari sendiri dan itu mudah—, nukilan itu memang ada dalam buku asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani—semoga Allah l senantiasa membelanya dari rongrongan para musuh sunnah. Yang pertama adalah ucapan Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang dianggap musyabbih oleh Abu Salafy, bukan ucapan al-Albani.
Menjawab kritikan Abu Salafy, saya katakan, maksud dari perkataan yang pertama adalah membantah mazhab Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu. Memang membingungkan, dilihat tapi tidak pada arah tertentu.
Maka dari itu, beliau katakan, “Coba koreksi akalnya.”
Mengapa mereka mengatakan demikian? Mereka mengatakan ‘dapat dilihat’ karena haditsnya banyak, tidak dapat dimungkiri. Di sisi lain, mereka mengatakan ‘tidak dari arah tertentu’ karena mereka tidak meyakini ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Padahal, dalil bahwa Allah l di atas makhluk-Nya jauh lebih banyak daripada dalil bahwa Allah l dilihat dalam surga, tetapi mengapa yang ini justru diingkari? Alhasil, paduan dari dua keyakinan tadi, “Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu.”
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) meyakini bahwa Allah l di atas makhluk-Nya sehingga Allah l akan dilihat oleh hamba-Nya di atas mereka seperti hamba melihat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang mutawatir.
Adapun ucapan kedua, tampaknya sengaja dia potong untuk membuat bingung pembacanya. Padahal ucapan selengkapnya tidak demikian. Sebelum saya nukil, sedikit akan saya terangkan duduk masalahnya.
Tentang masalah “jihah” yang artinya arah atau sisi, apakah boleh dikatakan Allah pada jihah tertentu? Sebagian kelompok menolak untuk mengatakan bahwa Allah l berada pada jihah tertentu. Tetapi, di balik penolakan itu mereka ingin mengingkari ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah pada jihah, apabila yang mengatakan demikian adalah ulama salaf, yang mereka maksud adalah jihah fauqiyah, yakni Allah l di atas makhluk-Nya.
Yang paling tepat adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, “Allah di atas makhluk-Nya sebagaimana tersebut dalam ayat dan hadits.” Adapun kata jihah, karena lafadz ini tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkait dengan sifat Allah l, kita menjauhinya.
Karena semua ini, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ringkas kata dalam hal jihah, apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang ada selain Allah l maka itu makhluk, padahal Allah l adalah di atas makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang meliputi-Nya dan membatasi-Nya, karena Dia terpisah dari makhluk sebagaimana akan disebutkan keterangannya dari sejumlah imam. Akan tetapi, apabila yang dimaksud dengan jihah itu adalah sesuatu yang tidak ada dan itu di atas alam ini, maka tidak ada di atas alam ini selain Allah l.”
Dari kutipan di atas, jelas bahwa beliau sedang mendudukkan sikap yang benar terhadap jihah.
Kembali menanggapi Abu Salafy, dari keterangan di atas, rasanya tidak tepat apabila penjelasan al-Albani diadu dengan ucapan ath-Thahawi karena beliau tidak sedang menetapkan jihah secara mutlak. Bagaimana bisa kemudian diadukan dengan pernyataan ath-Thahawi yang tidak menetapkan jihah? Paham, Abu Salafy?
Asy-Syaikh al-Albani meyakini ketinggian Allah l, Allah l di atas hamba-Nya. Ini pun diyakini oleh ath-Thahawi, seperti dalam ucapannya, “Muhiithun bi kulli syai’in wa fauqahu (Mencakup segala sesuatu dan berada di atasnya).”
Adapun ucapan beliau “tidak diliputi oleh enam arah,” maksud beliau adalah Allah l tidak diliputi oleh makhluk-makhluk-Nya. Beliau tidak meniadakan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara ucapan al-Albani dengan ath-Thahawi. Hanya saja penggunaan ath-Thahawi terhadap kata-kata tersebut yang tidak ada dalam ayat dan hadits lebih baik dihindari.
Hal ini karena bisa saja orang lain akan mengklaim beliau sebagai orang yang kontradiktif: di satu sisi mengatakan Allah l di atas segala sesuatu, di sisi lain mengatakan tidak diliputi oleh enam arah. Padahal maksud beliau dari kata yang terakhir seperti yang telah dijelaskan, bukan menafikan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Maka dari itu, semestinya ath-Thahawi mencukupkan dengan lafadz-lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abu Salafy berkata, “Dengan omongannya itu Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.
Alhamdulillah, al-Albani tidak menuduh para ulama tidak berakal. Beliau hanya meminta mereka yang mengingkari ketinggian Allah l—bukan para ulama sunnah—untuk mengecek akal mereka. Beliau tidak menyimpang dari akidah para imam Ahlus Sunnah, bahkan sejalan dengan mereka. Justru Anda, wahai Abu Salafy, yang menyimpang dari para imam Ahlus Sunnah.
Nah, sebagai bukti saya akan bertanya. Apakah Abu Salafy mengimani akan ketinggian Allah l atau tidak?
Abu Salafy mengatakan, “Maksudnya Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu.”
Menurut Anda, apakah Allah l tidak di atas makhluk-Nya?
Saya tunggu jawabannya.
(disusun dari berbagai sumber, di antaranya Muhadditsul ‘Ashr al-Albani, kaset-kaset rekaman ceramah beliau, Majalah al-Ashalah, dan buku-buku beliau yang lain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar