Minggu, 27 April 2014

Kebiasaan Serampangan Menukil Berita: Fenomena Berita “Deportasi Orang Ganteng Di Saudi”

Beberapa waktu lalu tanah air kita dihebohkan dengan berita bahwa “negara Saudi mendeportasi/mengusir orang hanya karena wajahnya yang ganteng”. Kemudian berita ini dengan cepat menyebar di tanah air dengan berbagia media. Dan parahnya yang membaca berita menelan bulat-bulat berita tersebut dan memunculkan stigma negatif terhadap negara Saudi. Kita ketahui bersama bahwa negara Saudi masih indentik dengan ajaran Islam, pusat agama dan kebudayaan Islam di mata orang kafir dan orang Islam yang awam. Sehingga munculah celaan dan makian atau sindiran pedas terhadap negara saudi bahkan bisa jadi celaan ini mengarah ke agama Islam. Dan ironisnya ini dilakukan oleh kebanyakan orang Islam.


Bagi orang yang mau berpikir sedikit, tentu mereka tidak mudah percaya begitu saja. Apakah negara Saudi begitu bodohnya? Apakah di negara tersebut tidak ada orang yang ganteng juga? Kalau ganteng langsung diusir? Atau negara Saudi tidak ada kerjaan mengurus semacam ini? Atau inikah ajaran Islam? Tidak boleh gantengkah dalam ajaran Islam? Tentu jawabannya tidak, masih banyak orang yang lebih ganteng dari orang yang dideportasi tersebut di Saudi.
Akan tetapi kebiasaan masyarakat kita langsung menerima berita bulat-bulat dan langusng menyebarkannya. Apalagi berita tersebut aneh, unik dan “menjual”. Tanpa memikirkan benar atau tidaknya dan tanpa memikitkan akibatnya langsung disebar saja. Apalagi media yang tidak bertanggung jawab, asal menyebarkan berita saja, yang penting pengunjung dan pembeli banyak. Berikut sedikit ulasan mengenai hal ini.

Larangan asal-asalan menyebarkan berita sebelum mengeceknya

Islam mengajarkan kita agar jangan setiap ada berita atau isu langsung diekspos ke masyarakat secara luas. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyabarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini, “ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah [pemerintah] dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti, penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharat-nya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.1
Sebaiknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.”2
Berita mengenai hal ini ternyata berasal dari sumber berita Arab liberal yang sebenarnya memusuhi Islam yaitu Elaph.com. media yang bermarkas di kota London, Inggris.  Bukan di Arab Saudi. Media ini adalah milik jurnalis liberal Othman Al-Omeir, yang memang sengaja  memilih London sebagai  basis dari medianya, agar bebas dari sensor pemerintahan  Arab Saudi dan bisa menawarkan sudut pandang liberal kepada pembacanya dengan aman. Kemudian dinukil juga oleh situs barat luar negeri seperti The Sun. Ironisnya media-media Indonesia juga menukil dari media ini.3

Tidak semua orang ganteng harus dideportasi

Jika memang semua orang ganteng harus dideportasi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri perlu dideportasi. Karena beliau termasuk orang yang berwajah ganteng.
Anas radhiallahu anhu berkata,
كَانَأَجْوَدَالنَّاسِوَأَجْمَلَالنَّاسِوَأَشْجَعَالنَّاسِ
Beliau adalah orang yang paling dermawan, paling tampan dan paling pemberani4
Al-Barra bin ‘adzib radhiallahu anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , رَجُلا مَرْبُوعًا , بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ ، عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ الْيُسْرَى ، عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ
Perawakannya sedang, dua bahunya bidang, memiliki rambut mencapai daun telinga. Kulihat beliau mengenakan jubah warna merah, tidak pernah kulihat yang sebagus itu.”5
Al-Barra bin ‘Adzib radhiallahu anhu pernah ditanya,
أَكَانَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مثل السَّيْفِ ؟ قَالَ : ” لا ، بَلْ مثل الْقَمَرِ ” .
Apakah wajah beliau seperti pedang?” Dia menjawab, “Tidak, tetapi wajah beliau seperti rembulan.” 6
Dan berbagai dalil lainnya yang menunjukkan fisik Rasulullah yang baik, wajah yang tampan dan ditambah lagi akhlak yang sempurna.

Ganteng dan bermasalah, baru dipertimbangan untuk dideportasi

Jika orang yang ganteng tersebut bermasalah atau menimbulkan masalah maka seperti ini yang perlu dideportasi atau dijauhkan dari daerahnya, yaitu ketika berpotensi menimbulkan fitnah. Misalnya fitnah terhadap para wanita, karena hati mereka itu umumnya lemah dan mudah terpengaruh dengan dunia sehingga mudah terfitnah.
Kita bisa melihat sendiri kenyataan di sekitar kita, bahwa foto laki-laki yang dideportasi tersebut cepat menyebar di kalangan wanita, dipuji-puji bahkan fotonya di simpan, ini juga dilakukan oleh mereka yang sudah mempunyai suami. Apakah para suami tidak cemburu dan marah? Wanita mudah membanding-bandingkan sehingga mereka tidak akan qanaah (puas) dengan suami mereka jika sudah melihat pembanding yang lebih. Ini memang sifat dasar wanita pada umumnya yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
Aku melihat neraka dan aku melihat sebagian besar penduduknya adalah kaum wanita. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Mengapa demikian wahai Rasulullah?
يكفرنالعشيرويكفرنالإلحسان, لوأحسنتالىإحداهنالدهر, ثمرأتمنكشيأقالت: مارأيتمنكخيرقط
Mereka mendurhakai suami dan mengingkari kebaikannya. Sekiranya seorang dari mereka engkau perlakukan dengan baik sepanjang masa, lalu ia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, ia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat satu pun kebaikan darimu selama ini.7
Dan berita sebenarnya adalah bahwa orang-orang dari Abu Dhabi termasuk tiga orang yang dideportasi membuat masalah di festival Janadriyah. Mereka sudah diperingatkan oleh bagian keamanan saudi akan tetapi mereka malah melawan. Akhirnya pemerintah saudi menempuh langkah tegas dengan mendeportasi mereka.

Ada ajaran Islam mengenai deportasi orang ganteng bermasalah

Hal ini dicontohkan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Berikut kisahnya:
بينما عمر بن الخطاب يعسّ ذات ليلة في خلافته فإذا امرأة تقول: هل من سبيل إلى خمر فأشربها أو من سبيل إلى نصر بن حجّاج فلما أصبح سأل عنه، فأرسل إليه، فإذا هو من أحسن الناس شعرا وأصبحهم وجها، فأمره عمر أن يطمّ شعره، ففعل، فخرجت جبهته فازداد حسنا، فأمره أن يعتمّ فازداد حسنا، فقال عمر: لا والّذي نفسي بيده لا تجامعني ببلد، فأمر له بما يصلحه وصيّره، إلى البصرة،
“Suatu waktu Umar radhiallahu ‘anhu jalan-jalan di malam hari (salah satu kebiasaan beliau meilhat-lihat keadaan rakyatnya), melaksanakan tugas sebagai khalifah. Tiba-tiba ada seorang perempuan berkata, ( memanggil-manggil nama Nashr bin Hajjaj. Dia berangan-angan untuk bertemu Nashr, sampai tidak bisa tidur. Wanita ini bersyair)
Apakah ada jalan mendapatkan arak agar saya dapat meminumnya
Atau apakah ada jalan untuk menemui Nashr bin Hajjaj.
Pagi harinya, Umar mencari identitas Nashr bin Hajjaj. Ternyata dia berasal dari Bani Sulaim. Seketika Umar radhiyallahu ‘anhu menyuruh Nasrh untuk menghadap. Ternyata Nashr bin Hajjaj ialah orang yang pandai bersyair, sangat bagus rambutnya dan sangat tampan wajahnya.
Kemudian Umar memerintahkan agar rambutnya digundul. Dia pun menggundul  rambutnya. Tapi ternyata dia semakin tampan. Lantas Umar memerintahkan agar dia memakai surban. Setelah memakai surban, justru menambah ketampanananya dan menjadi hiasan baginya. Lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “ demi Dzat yang jiwaku berada ditangannya, engkau tidak akan bersamaku dalam satu negara (riwayat yang lain: Tidak akan tenang bersamaku seorang laki-laki yang dipanggil-panggil oleh perempuan).” Kemudian Umar radhiallahu ‘anhu mengutusnya ke Bashrah (dalam riwayat lain, memberinya harta yang banyak dan dia dan diutus ke Bahsrah untuk berdagang sehingga ia sibuk, tidak menyibukan diri dengan wanita)”.8

Tentunya Umar bin Khattab tidak melakukannya sembarangan tetapi dengan menimbang mashalat dan masfsadah. Serta mendahulukan mashlahat orang banyak (para wanita) daripada mashalat pribadi (laki-laki ganteng). Dan tidak semuanya dideportasi karena di zaman Umar orang ganteng tidak sedikit atau jarang sekali bahkan ada juga sahabat lain yang memiliki wajah lebih ganteng.
Demikian semoga bermanfaat.


1 Taisir Karimir Rahmah hal 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H

2 HR. Muslim

4 HR al-Bukhâri dan Muslim

5 As-Syamail Al-Muhammadiyah hadits nomor 3.

6 As-Syamail Al-Muhammadiyah hadits nomor 10.

7  HR. Bukhari dan Muslim

8 Al-Ishabah 6/383, Darul Kutu Al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1415 H, syamilah. penulisnya Al-Hafidz Ibn Hajar menshahihkan kisah ini

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar