Sabtu, 26 April 2014

Dialog rekaan antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam


Telah tersebar sebuah dialog unik antara pentolan Sufi dengan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pentolan tersebut adalah ibnu Athaillah Al Sakandary.
Sangat mudah untuk menemukan dialog ini di halaman internet, terutama  versi Indonesia yang merupakan terjemahan dari sebuah buku karya Pemuka Naqsabandi kenamaan yang bermukim di Amerika Muhammad Hisyam Kabbani yang juga musuh bebuyutan Naqsabandi yang dianut kebanyakan kalangan Sufi di Indonesia. Dia menulis cerita ini dalam bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations. Kesulitan justeru saya dapati ketika mencari maraji dan sumber utama dialog ini
Setelah bersusah payah mencari sumber utama kisah ini, Alhamdulillah saya mendapatkannya dalam sebuah Kitab yang dikarang oleh Abdurrahman As Sarqawy dengan judul Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab. Semua buku yang menampilkan cerita ini pasti menukil dari kitab ini.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui validitas dari dialog ini.
Orang-orang yang sepakat dengan dialog ini berpendapat bahwa Ibnu taimiyah tercerahkan oleh ibnu Athoillah setelah sebelumnya mengecam keras Sufi dan tokohnya dalam banyak tulisannya, namun kalangan ekstrim dari sufi menganggap bahwa ibnu taimiyah  bertekuk lutut dengan hujjah yang ditampilkan oleh Ibnu Athaillah, karena memang terlihat dalam diskusi ini ibnu Taimiyah tidak garang dan dominan serta cendrung menyetujui pandangan Ibnu Athaillah.
Kalangan moderat menanggapi kisah ini sebagai contoh gaya perdebatan yang patut ditiru oleh dua orang yang sedang berselisih.
Berbeda dengan tanggapan pertama dan kedua, para pengikut Madrasah Ibnu Taimiyah menolak validitas cerita ini karena sumber-sumbernya yang tidak bisa ditelusuri dan terdapat kesalahan fatal dalam sumber maupun konten dialog. Selain itu realitas setelah dialog ini sama sekali  tidak menunjukkan perubahan terhadap Ibnu taimiyah layaknya orang yang telah setuju dengan pemahaman Sufi.
Kecacatan dalam dialog ini mereka jabarkan dari 3 sisi
Pertama: Pengarangnya
Abdurrahman As Sarqawy yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339 Hijriah dan Wafat tahun 1980 diketahui merupakan penulis syiah sekaligus mahir membuat naskah drama.
Karirnya dalam dua hal tersebut cukup signifikan. Beberapa karangannya adalah
ابن تيمية: الفقيه المعذب
الحسين ثائراً
علي إمام المتقين
الحسين شهيداً
محمد رسول الحرية
Kitab-kitab tersebut membuat geram ulama Al Azhar karena banyaknya kebohongan dan pemalsuan, Apalagi terkait kisah Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah, pembunuhan Hussein,dan kedudukan Khulafaurrasyidin  yang sama persis dengan keyakinan syiah.
Salah satu kitabnya yang berjudul Muhammad Rasulul Hurriyah mendapat perhatian serius dari syaikh Muhammad Abu Zahra guru dari Syaikh Qaradhawi.
Beberapa kesalahan fatal yang disengaja oleh pengarangnya terdapat dalam kitab tersebut, diantaranya;
  1. Peperangan yang dilakukan Oleh Rasulullah adalah ijtihad Rasul sendiri bukan berdasarkan wahyu
  2. Pembunuhan yang dilakukan Syariyyah Abdullah Bin Jahsyi adalah kesalahan Rasulullah, Padahal itu Ijtihad Abdullah Bin Jahsyi.  sekalipun pembunuhan itu terjadi, Allah tetap menurunkan ayat yang membela Abdullah bin Jahsyi
  3. Rasulullah menikahi zainab karena dorongan diri sendiri dan hawa nafsu
  4. membuat keragu-raguan dalam Alqur’an
  5. meragukan kemutawatiran Alqur’an
  6. dll
dalam kitab lain ia menyerang Ahlussunnah sesuai dengan kekhasan kaum Syiah, ia mengatakan bahwa Ali lebih utama memegang kekhalifahan dan abu Bakr, Umar dan Utsman telah merampas kekhalifahan dari Ali Bin Abu thalib. Selain itu ketiga Sahabat tersebut dan juga  Muawiyah telah ia kafirkan.
Dari gambaran pengarang kitab Ibnu taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab kita akan mulai tercerahkan bahwa kisah ini sangat mungkin rekaan, karena kita ketahui banyak karya Ibnu Taimiyah yang membuat fanatis syiah bertekuk lutut dan terdiam.[1]
Kedua: Penisbatan cerita
Dalam Kitab Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab saya tidak mendapatkan maraji apapun terkait  dialog tersebut, kitab tersebut sama sekali tanpa tahqiq begitu juga penulisnya tidak menyebutkan sama sekali sumber penukilan cerita tersebut. Cerita tersebut amat detail seolah penulisnya hadir dalam dialog tersebut, padahal antara Ibnu taimiyah dan pengarangnya terpisah dalam rentang lebih dari 670 tahun. Sekalipun begitu, dialog tersebut tidak aneh kalau saja dikarang oleh seorang ahli pembuat naskah drama.
Sekalipun tidak terdapat maraji dalam kitab tersebut, namun anehnya Hisyam Kabbani menyertakan maraji dialog yang secara jelas mirip dengan apa yang ada dalam Kitab Ibnu Taimiyah AlFaqih Al Muadzdzab dalam salah satu bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations
Diawal dialog tersebut dia menyebutkan:
Text of the Debate
From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir, and other authors of biographical dictionaries and biographies have transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of the ethics of debate among the people of learning. It documents the controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).
Namun setelah ditelusuri terdapat kesalahan fatal diantaranya;
  1. Ibnu Athir (baca dalam bahasa Indonesia ibnu Atsir) telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru dilahirkan tahun 661 Hijriah
  2. Ibnu katsir juga tidak menyebutkan cerita tersebut dalam kitabnya Albidayah Wannihayah, malah informasi yang didapatkan dari kitab tersebut justeru makin melemahkan validitas dialog tersebut. Disebutkan bahwa Ibnu taimiyah memang pernah Ke Iskandariyah untuk menjalani hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709 Hijriah. Beliau memang sempat kembali Mengunjungi iskandariyah di Mesir pada bulan Syawwal tahun 709 Hijriah, namun sayangnya ibnu Athoillah telah Wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir, Apakah dialog ini terjadi antara ibnu taimiyah dan Arwahnya Ibnu Athoillah?
  3. Dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 707 Hijriah, justeru ibnu katsir menyebutkan bahwa Ibnu Athaillah merupakan biang keladi yang melaporkan Ibnu taimiyah kepada sulthan dan beliau dijebloskan kepenjara karenanya, sedangkan dialog tersebut sama sekali tidak menampakkan bahwa Ibnu Athaillah pernah bertemu dan mengusulkan agar Ibnu taimiyah dijebloskan ke penjara.
Ketiga: keanehan konten dialog
Dalam dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani disebutkan bahwa ibnu Athaillah banyak membela Ibn Arabi dan Ibnu Taimiyah hanya menanggapi dengan mengatakan
You have spoken well if only your master were as you say, for he would then be as far as possible from unbelief. But what he has said cannot sustain the meanings that you have given in my view
Artinya:
“Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Bagi siapapun yang menggeluti Kitab-kitab Ibnu Taimiyah niscaya Ia akan menemukan bahwa Ibnu Taimiyah amat bersemangat dalam memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya paham kafir ibnu Arabi dan tak pernah diriwayatkan bahwa beliau mementahkan kecaman serta pengkafirannya terhadap ibnu Arabi. Beliau telah menulis panjang lebar sebuah risalah khusus tentang ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin. Syaikh Abdurrahman bin Abdul khalik telah menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi terkait paham wihdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi. Dalam Majmu Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah telah mengkafirkan Ibnu Arabi sekalipun begitu banyak kutipan kata-kata mutiaranya yang membuatnya lebih dekat dengan Islam.
Dalam halaman lain di juz yang sama beliau mengecam Hulul, ittihad, dan sejensnya sebagai keyakinan yang  lebih buruk daripada Aqidah Nasrani dan merupakan Zindik, keluar dari islam, dan wajib dibunuh.
Dalam dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani juga disebutkan jawaban ibnu Taimiyah :
Ibn Taymiyya: In the hadith the Prophet, on him be peace, said: “I am the city of knowledge and ‘Ali is its door.”7 Sayyidina ‘Ali is the one mujahid who never went out to battle except to return victoriously. What scholar or jurist who came after him struggled for the sake of Allah using tongue, pen and sword at the same time? He was a most accomplished Companion of the Prophet — may Allah honor his countenance. His words are a radiant lamp which have illumined me during the entire course of my life after the Qur’an and Sunna. Ah! one who is ever short of provision and long in his journeying.
Artinya :
IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibnu Taimiyah adalah seorang Ahlussunnah yang mengakui bahwa Ali memiliki banyak keutamaan, namun Jawaban ibnu taimiyah ini cukup aneh, karena dalam Majmu fatawa dan Minhajussunnah beliau justeru menegaskan kedhaifan hadits ini bahkan menganggapnya Maudhu. Beliau mengatakan dalam Majmu fatawa 18/375
ومما يرونه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ( أنا مدينة العلم وعلي بابها ).. فأجاب: هذا حديث ضعيف , بل موضوع عند أهل المعرفة بالحديث
‘termasuk yang mereka anggap dari nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah bahwa beliau bersabda: saya adalah kota Ilmu sedangkan Ali adalah Pintunya
Maka ibnu taimiyah menjawab: hadits ini dhaif bahkan Palsu berdasarkan kalangan ahli yang mengetahui hadits.
Saya telah mencoba untuk mencari pendapat pembela Hisyam Kabbani dan Abdurrahman As Sarqawi terkait dengan validitas cerita Ini, namun mereka hanya menampilakan cerita tanpa mampu menghadirkan maraji yang dapat ditelusuri untuk membuktikan keotentikan cerita yang mereka sebarkan ini. Maraji yang ditampilkan oleh Hisyam Kabbani justeru makin menambah kebohongan cerita Ini
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob

[1] Silahkan membaca lebih lanjut tentang Abdurrahman Al syarqawi dalam situs www.alkashf.net
Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar