Oleh: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam
Tafsir Ayat 1, 3 dan 4 Surat Al-fatihah, serta Ayat l, 2, dan 3 Surat An-nas Yang Haq.
Oleh sebab tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan uluhiyah) menjadi inti aqidah pokok ajaran NII yang didasarkan kepada ayat 1, 3, dan 4 surat AI-Fatihah dan ayat 1 , 2, dan 3 surat An-Nas, maka kita perlu bertanya kepada para ulama, khususnya para mufasir, sebab merekalah orang yang paling tahu tentang makna atau tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir yang ma’tsur (memiliki dasar penafsiran yang benar yakni ayat ditafsirkan dengan ayat, kemudian ditafsirkan dengan hadits dan memperhatikan ijma’ shahabat). Selanjutnya, kita akan melihat, apakah NII memahami dan meyakini akan tauhid RMU dengan dasar ayat-ayat seperti desebutkan di atas telah benar atau menyimpang? Apabila diketahui bahwa pemahamannya menyimpang, maka kita tidak dibenarkan mengikutinya, dan bagi yang telah meyakininya, maka ubahlah keyakinan itu, segera beristighfar dan rujuk kepada dien yang hanif ini.
AI-Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tafsir “Rabb” pada ayat Alhamdulillahirrabil `alamin berarti pemilik yang berhakpenuh, juga berarti majikan, juga yang memelihara serta menjamin ke-baikan kebaikan dan perbaikan semua makhluq alam semesta.
Alam adalah segala sesuatu selain Allah. Maka Allah Rabb dari semua alam itu sebagai pencipta, yang memelihara, memperbaiki dan menjamin. Sebagaimana tersebut dalam surat Asy-Syu’ara: 23-24. Fir’aun bertanya, “Apakah Rabbul ‘Alamin itu?” Jawaban Musa, “Tuhan Pencipta, Pemelihara, Penjamin langit dan bumi dan apa saja yang di antara keduanya, jika kalian mau percaya dan yakin.” Alam itu juga pecahan kata dari alamat (tanda) sebab alam ini semua menunjukkan dan membuktikan kepada orang yang memperhatikannya sebagai tanda adanya Allah Rabb yang menjadikannya.[43]
Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. [44] Secara Khusus, semua sifat fi’il (perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan pengaturan alam berhubungan erat dengan nama Ar-Rabb. Allah Azza wa Jalla adalah Rabb segala sesuatu. Penciptanya dan Yang Maha Mampu untuk melaksanakan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari rububiyah-Nya. [45]
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir Maliki yaumiddin adalah raja yang memiliki pembalasan. Dapat dibaca: Maliki (raja) dan Maaliki (Pemilik yang memiliki). Maaliki sesuai dengan ayat:
“Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.” (Maryam: 40).
“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia’…” (An-Naas:1-2).
Perhatikan pula surat Al-Mukmin:116 dan Al-Furqan:26. Ad-Dien (pembalasan dan perhitungan), sesuai dengan ayat, “Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” (Ash-Shafat: 53).
Rasullullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, “Seorang yang sempurna akal adalah yang mengadakan perhitungan pada dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati.”
Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab (diperhitungkan) dan pertimbangan untuk dirimu sebelum kamu ditimbang dan siap-siaplah untuk menghadapi perhitungan yang besar, menghadap kepada Rabb yang tidak tersembunyi bagi-Nya sedikitpun amal perbuatanmu. Pada hari kiamat kelak kalian akan dihadapkan kepada Tuhan dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun.” [46]
Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan sebagai milik atau kekuasaan Allah Azza wa Jalla dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak termasuk milik Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allahlah yang menguasai hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku-ngaku sebagai pemilik dan penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali setelah mendapat ijin dari-Nya. [47]
Berdasarkan tafsir di atas tentang Rabb dan Malik (Rabbul ‘alamin, Rabbinas dan Malikinnas), jelaslah sudah bahwa sekalipun di dunia ini manusia tidak melaksanakan aturan Allah dan ketiadaan negara Islam, maka Allah tetaplah Rabbul ‘alamin dan Rabbunnas serta tetap pula sebagai Maliki yaumiddin dan Malikinnaas. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya tidaklah tergantung kepada makhluq. Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk menegakkan syariat Islam dan daulah Islamiyah. Sekali-kali tidaklah demikian. Akan tetapi ayat-ayat di dalam al-Fatihah dan An-Naas, tidaklah membahas tentang tauhid mulkiyah (dengan makna kekuasaan dan pemerintahan/ hakimiyah) sebagaimana keyakinan NII. Akan tetapi Rabb, Malik merupakan Asma Allah Azza wa Jalla diantara Asma Allah yang lainnya. Sehingga Al-Fatihah dan An-Naas dengan ayat-ayat di atas membicarakan tentang tauhid Asma wa sifat. Harap diperhatikan dengan seksama!
Ibnul Qayyim Aj-Jauziyah rahimahullah menyatakan bahwa surat al-Fatihah ini memuat pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok yaitu:
1. Tauhid.
Melalui surat ini, Allah Azza wa Jalla mengenalkan diri kepada makhluq-makhluq-Nya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar Rahim dan Al-Malik. Nama Allah adalah nama yang mewakili seluruh Al-Asma Al-Husna dan As-Sifat Al-Ulya (sifat yang tinggi). Nama ini menunjukkan Ilahiyah-Nya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat.
2. Tentang Hari Akhir
Ayat “Maaliki yaumidin” menunjukkan bahwa setelah berakhirnya kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan. Di sana hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan perbuatan dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dari-Nya. (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29).
3. Tentang Kenabian
Surat Al-Fatihah ini menetapkan kenabian dari berbagai arah (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29-30), di antaranya:
–Eksistensi Allah Azza wa Jalla sebagai Rabbul `Alamin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah Azza wa Jalla untuk membiarkan begitu saja hamba-hamba-Nya, tanpa memberi tahu hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat. Jika Allah Azza wa Jalla membiarkan mereka tanpa mengutus nabi, tentu sifat rububiyyah tidak ada pada-Nya.
–Allah Azza wa Jalla adalah Al-Ma’buud (yang diibadahi). Hamba-hambanya tidak akan pernah tahu bagaimana cara beribadah kepada-Nya, kecuali melalui para Rasul-Nya.
–Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah Azza wa Jalla tidak akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasul-Nya.
–Terklasifikasinya hamba-hamba-Nya menjadi orang-orang yang diberi ni’mat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini sangat berkaitan dengan tersampainya kebenaran. Sebagian hamba-Nya bersedia mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar, tetapi tidak mau mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para Rasul Allah Azza wa Jalla.
Seluruh Asma’ul-Husna adalah perincian dari sifat ini. Nama Allah menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’a1a adalah Al-Ma’luh artinya yang diibadahi. Semua beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukkan dan kecintaan dan pengagungan.[48]
Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah meng-itsbatkan (menetapkan) tiga jenis tauhid yakni rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat, ketika ia membaca Al-hamdu lillahi rabbil `alamin. Berarti ia telah memuji Allah Azza wa Jalla, pujian yang mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Pujian yang berkenaan dengan asma wa sifat tanpa ta’wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi). Surat ini pun memuat beberapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut di atas.[49]
Adapun pembicaraan tentang kekuasaan dan pemerintahan sebuah Negara/ Daulah Islamiyah merupakan kajian bidang fiqih yakni siyasah syar’ iyah, yang bukan di sini tempatnya untuk membahasnya. Oleh karena itu, sekali lagi, jangan jadikan urusan ushul (pokok) menjadi furu’ (cabang) dan sebaliknya furu’ menjadi ushul. Tentu saja tidak akan normal jadinya. Sangatlah lucu kalau rumah manusia menjadi terbalik yakni pondasinya di atas dan atapnya di bawah. Menjadi aneh dan mengherankan bukan?
Apabila mereka (NII) menetapkan dan mengutamakan salah satu asma Allah yakni Al-Malik dan disebutnya sebagai tauhid mulkiyah, maka seharusnya mereka konsekuen, sehingga akan muncul tauhid Ar-rahmaniyah, Ar-rahimiyah, As-salamiyah dan seterusnya sebanyak Asma dan sifat Allah Azza wa Jalla. Namun mereka tidak menetapkan demikian, sebab memang di dalam NII asma wa sifat Allah tidak pernah dikaji. Sebab da’ wah dan misi mereka adalah siyasah (politik) belaka bukan memperbaiki aqidah umat dan penyimpangan-penyimpangannya (bid’ah dan tafarruq).
Jika di dalam berargumen secara lisan mereka sudah tak lagi memiliki hujjah dari Allah dan Rasul-Nya, maka ra’yu mereka akan muncul sebagai berikut, “Ya, dulu kan masih ada kekhilafahan, sehingga mulkiyah tidak lagi menjadi perhatian pokok untuk diperjuangkan adanya, karena memang sudah ada.” Kepada mereka kitapun perlu mengingatkan, bukankah antum tahu bahwa Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menanamkan akidah Islamiyah secara luas, termasuk di dalamnya tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa sifat, selama kurang lebih 12 tahun di Mekkah, sedangkan beliau belum memiliki kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana yang antum perjuangkan, tetapi mengapa Rasulullah dan para sahabatnya tidak memprioritaskan siyasah? Ingatkah antum apa misi utama dan pertama adanya risalah Islamiyah yang diemban setiap Nabi dan Rasulullah? Siyasahkah (menurut antum tauhid mulkiyah), atau tauhid ubudiyah? Orang yang memperjuangkan siyasah sebagai prioritas utama, maka kalaupun Allah taqdirkan ia berkuasa, maka jelas kekuasaan tersebut tidaklah berdasar dengan dasar yang benar dan kuat yakni aqidah yang shahih, sehingga kekuasaan dan pemerintahan tersebut akan mudah tumbang dan tak diridhai Allah, sebab jalan yang ditempuh tidaklah lurus (menyimpang dari shirathal mustaqim/ sabilil mu’minin/sabilullah, lihat kembali Bab II di atas).
Muhammad Qutb menjawab persoalan, lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia, di dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukarramah. Pertanyannya:
“Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lagi berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan aqidah dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah diantara dua pendapat ini yang benar?”
Beliau menjawab, “bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du’at belum meluruskan aqidah umat, sehingga kaum Muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukum-Nya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta-merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan Allah atas manusia dengan firman-Nya:
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:4).
Karena itu, kita mesti mulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar aqidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.[50]
Syaikh Shalih bin Said As-Suhaimi setelah menunjukkan fenomena da’wah yang bermunculkan dan masing-masing hanya memperhatikan persoalan furu’. Masing-masing mereka memusatkan perhatian bagi terwujudnya persatuan Islam dengan mengedepankan sisi politik, ada yang mengedepankan sisi akhlak, ada juga pada sisi targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman) serta zuhud dan wara’ .
Maka kemudian setelah beliau menerangkan firman Allah Azza wa Jalla (surat Adz-Dzariyat: 56, Az-Zumar: 2 dan Al-Bayinan: 5), selanjutnya menyatakan, “kita mengatakan bahwa Persatuan lslam harus di atas tauhid dan ketika kita menyeru wajibnya memulai darinya, maka tidak berarti meremehkan sisi lain yang telah kami sebutkan sebagian daripadanya.” Adapun yang dimaksud (dari pernyataan di atas) adalah wajib mendasarinya dengan memulai seluruh amalan dari tolak ukur aqidah ini. Maka di atas sinar tauhid tersebut adanya politik. Di atas manhaj tauhid tersebut terbangunnya adab-adab dan akhlaq-akhlaq. Pada batasan-batasan aqidah tersebut diserukannya targhib dan tarhib serta di atas dasar tauhid inilah, dengan seizin Allah Azza wa Jalla, terwujudnya masyarakat yang Islami, masyarakat yang baik dan kokoh. Dengan aqidah itu pula akan terwujud kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Dan karena itu pula manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah lalu mereka diberikan nikmat yang berwujud kebaikan, keamanan, ketentraman yang mencocoki aqidah murni yang naungannya terbentang luas. Akhirnya mereka terlepas dari kotoran-kotoran berhalaisme dan kebodohan-kebodohan.[51]
Berdasarkan paparan di atas, jelas bagi kita bahwa kekeliruan NII yang memprioritaskan furu’ (siyasah) di dalam da’wah dan perjuangannya. Sedangkan yang benar adalah memprioritaskan ushul (tauhid/aqidah) dalam da’wah dan perjuangan Islam meraih izzah, berdasarkan nash yang kita ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kandungan Tauhid Uluhiyyah Menurut Manhaj yang Haq
Sekarang saatnya kita meluruskan pandangan dan keyakinan NII mengenai isi tauhid Uluhiyyah. Di atas pun telah diuraikan tentang misi utama dan pertama hingga misi terakhir keberadaan manusia adalah menda’wahkan tauhid uluhiyyah atau tauhid ubudiyah (Laa ilah illallah).
Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah menetapkan bahwa Laa ilaha illallah bermakna Laa ma’buda bihaqqin illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah).[52] Khabar “La” harus ditakdirkan dengan haq (yang hak), tidak boleh ditakdirkan dengan maujud (ada). Karena itu menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebathilan yang nyata. [53]
Sekarang tahulah kita bahwa tafsir Laa ilaha illallah yang terdiri atas empat “Laa” yang dikembangkan NII tidaklah benar. Dan secara terperinci para ulama pun telah menjelaskan bahwa ibadah yang hanya kepada Allah-lah kita tujukan memiliki pengertian yang lengkap yakni sebutan yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Ibadah hati meliputi rasa takut (khauf), mengharap (raja), cinta (mahabbah), ketergantungan (tawakkal), senang (raghbah), takut (rahbah). Ibadah ini disebut pula ibadah qalbiyah. Dan ibadah lisan dan hati meliputi; tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur. Sedangkan ibadah badaniyah meliputi; shalat, zakat, haji, jihad (ibadah badaniyah qalbiyah). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. Seperti; amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, inabah (kembali) kepada Allah, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan qadha-Nya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang Muslim jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah, Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadahjika diniatkan sebagai bekal taat kepada-Nya. Seperti; tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, ibadah itu tidaklah terbatas hanya kepada syi’ar-syi’ar yang biasa dikena1.[54]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwasanya kandungan La ma’buda bihaqqin illallah sangatlah luas. Dan berdasarkan hal itu pula semakin terlihat dengan jelas kedangkalan dan kekeliruan tafsir La ilaha illallah oleh NII. Selain itu pula, Syaikh Fauzan telah menunjukkan kebathilan tafsir Laa ilah illallah di bawah ini:
1 . Laa ilaha ilallah artinya tidak ada sesembahan kecuali Allah. Ini adalah bathil karena maknanya. Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang haq maupun yang bathil, itu adalah Allah.
2. La ilaha ilallah artinya tidak ada pencipta selain Allah. Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyyah saja, dan itu belum cukup.
3. Laa ilaha ilallah artinya tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah. Ini juga sebagian dari makna Laa ilah ilallah. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup. Semua tafsiran tersebut adalah bathil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ma’buda bihaqqin ilallah (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tesebut di atas. [55]
Tauhid ubudiyyah/uluhiyah yang merupakan inti da’wah Al-Anbiya wal mursalin dan juga sebagai maksud dan tujuan serta misi keberadaan jin dan manusia harus dipahami dan diyakini dengan sepenuh-penuh kemampuan; rukun dan syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Secara ijmal dapat disebutkan bahwa berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah telah meng-istimbat hukum, yakni syarat tersebut meliputi: ilmu yang menafikan jahl (kebodohan); yakin yang menafikan syak (keraguan); qabul (menerima) yang menafikan radd (menolak); inqiyad (patuh) yang menafikan tark (meninggalkan); Ikhlas (mengesakan Allah) yang menafikan syirik (menyekutukan Allah); Shidq (jujur) yang menafikan kadzib (dusta) dan mahabbah (kecintaan) yang menafikan baghda (kebencian). Adapun rukun Laa ilaha ilallah adalah An-Nafyu atau peniadaan, Laa ilaha, membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah dan al-Itsbat (penetapan) illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. [56]
Selanjutnya, NII tidak membicarakan tentang tauhid asma wa sifat, terkecuali hanya membahas tentang Al-Malik. Hal itu pun salah di dalam menafsirkannya hingga sampai tahap
mengkhususkannya dari asma dan sifat Allah yang lainnya, sehingga ia (NII) menetapkan adanya tauhid mulkiyah. Mengenai asma dan sifat Allah, NII tidak membahasnya dan juga tidak menyatakan menolak (ta’thil) ataupun menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh). Yang jelas, tauhid asma wa sifat tidaklah dikenal di kalangan NII. Mereka hanya mengenal tauhid mulkiyah dan ini yang pokok, sedangkan tauhid rububiyah dan uluhiyah sebagaimana telah dibahas di muka. Dengan demikian, NII tidak memiliki ilmu (pemahaman) tentang Tauhid Asma wa Sifat Allah Azza wa Jalla. Lalu bagaimana mungkin dapat mengklaim diri sebagai Mu’min yang sejati yang senantiasa (telah) berhijrah dan berjihad di jalan Allah untuk menegakkan syariat Islam?
Sesungguhnya masih banyak yang dapat kita telaah mengenai ajaran NII, khususnya aqidahnya, namun dengan maksud agar mencukupi secara singkat di dalam buku kecil ini, maka telaah di atas sudah dipandang cukup menggambarkan aqidah NII yang menyimpang itu.
~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Footnote:
[43] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, Tafsir Al-Fatihah.
[44] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i Taysiral-Aliyil Qadir. I/12.
[45] Abdul Mun’im bin shalih Al-Aliy Al-aziz. Tadzhib Madarijus Salikin, I/58.
[46] Imam Ibnu Katsir, Op. Cit..I/24-25.
[47] Muhammad Nasib ar-Rifa’i.Op.Cit. I/ l4.
[48] As-Syaukani, Fathul qadir. I/14; Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit. I/6; Abdul Mun’im bin Shalih Al-Aliy Aziz, Op Cit. I/75.
[49] Muhammad Nasib ar-Rifa’i. Ibid. I/47.
[50] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Op Cit. Hal. 74-75.
[51] Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, Manhaj As-Salaffi al-Aqidah wa Atsaruhufi Wihdatil
Al-Muslimin, terjemahan AbdumahmanT.D. (Surakarta:Yayasan Al-Madinah), 1997, h1m.17-18.
[52] Abdul Aziz bin Muhammad Alu AbduI Lathif, Muqarraut Tauhid Kitab Ta’limi Lil Mubtadiin, terjemahan Ainul Haris UmarArifin Thayib (Jakarta: Yayasan As-Sofwa), 1999. hlm. 15-16. Lihat pula seluruh kitab tauhid dari buah karya para ulama Ahlu Sun nah wal Jama’ah.
[53] Shaleh bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan, Op.Cit.. hlm. 52.
[54] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Ibid. hlm. 69-71, lihat pula kitab-kitab para ulama yang membahas tentang ubudiyah.
[55] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Ibid. hlm. 52-53.
[56] Ibid. hlm. 56 dan 53. Baca pula Ad-durus Al-Muhimmah Li ‘Aammatil Ummah (Al-Allamah Abdul aziz Abdullah bin Baz); Minhajul Firqah An-Najiyah wat Thaifah AlManshurah (Muhammad bin Jamil Zainu), dan lain-lain kitab para ulama.
Tafsir Ayat 1, 3 dan 4 Surat Al-fatihah, serta Ayat l, 2, dan 3 Surat An-nas Yang Haq.
Oleh sebab tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan uluhiyah) menjadi inti aqidah pokok ajaran NII yang didasarkan kepada ayat 1, 3, dan 4 surat AI-Fatihah dan ayat 1 , 2, dan 3 surat An-Nas, maka kita perlu bertanya kepada para ulama, khususnya para mufasir, sebab merekalah orang yang paling tahu tentang makna atau tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir yang ma’tsur (memiliki dasar penafsiran yang benar yakni ayat ditafsirkan dengan ayat, kemudian ditafsirkan dengan hadits dan memperhatikan ijma’ shahabat). Selanjutnya, kita akan melihat, apakah NII memahami dan meyakini akan tauhid RMU dengan dasar ayat-ayat seperti desebutkan di atas telah benar atau menyimpang? Apabila diketahui bahwa pemahamannya menyimpang, maka kita tidak dibenarkan mengikutinya, dan bagi yang telah meyakininya, maka ubahlah keyakinan itu, segera beristighfar dan rujuk kepada dien yang hanif ini.
AI-Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tafsir “Rabb” pada ayat Alhamdulillahirrabil `alamin berarti pemilik yang berhakpenuh, juga berarti majikan, juga yang memelihara serta menjamin ke-baikan kebaikan dan perbaikan semua makhluq alam semesta.
Alam adalah segala sesuatu selain Allah. Maka Allah Rabb dari semua alam itu sebagai pencipta, yang memelihara, memperbaiki dan menjamin. Sebagaimana tersebut dalam surat Asy-Syu’ara: 23-24. Fir’aun bertanya, “Apakah Rabbul ‘Alamin itu?” Jawaban Musa, “Tuhan Pencipta, Pemelihara, Penjamin langit dan bumi dan apa saja yang di antara keduanya, jika kalian mau percaya dan yakin.” Alam itu juga pecahan kata dari alamat (tanda) sebab alam ini semua menunjukkan dan membuktikan kepada orang yang memperhatikannya sebagai tanda adanya Allah Rabb yang menjadikannya.[43]
Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. [44] Secara Khusus, semua sifat fi’il (perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan pengaturan alam berhubungan erat dengan nama Ar-Rabb. Allah Azza wa Jalla adalah Rabb segala sesuatu. Penciptanya dan Yang Maha Mampu untuk melaksanakan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari rububiyah-Nya. [45]
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir Maliki yaumiddin adalah raja yang memiliki pembalasan. Dapat dibaca: Maliki (raja) dan Maaliki (Pemilik yang memiliki). Maaliki sesuai dengan ayat:
“Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.” (Maryam: 40).
“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia’…” (An-Naas:1-2).
Perhatikan pula surat Al-Mukmin:116 dan Al-Furqan:26. Ad-Dien (pembalasan dan perhitungan), sesuai dengan ayat, “Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” (Ash-Shafat: 53).
Rasullullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, “Seorang yang sempurna akal adalah yang mengadakan perhitungan pada dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati.”
Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab (diperhitungkan) dan pertimbangan untuk dirimu sebelum kamu ditimbang dan siap-siaplah untuk menghadapi perhitungan yang besar, menghadap kepada Rabb yang tidak tersembunyi bagi-Nya sedikitpun amal perbuatanmu. Pada hari kiamat kelak kalian akan dihadapkan kepada Tuhan dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun.” [46]
Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan sebagai milik atau kekuasaan Allah Azza wa Jalla dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak termasuk milik Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allahlah yang menguasai hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku-ngaku sebagai pemilik dan penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali setelah mendapat ijin dari-Nya. [47]
Berdasarkan tafsir di atas tentang Rabb dan Malik (Rabbul ‘alamin, Rabbinas dan Malikinnas), jelaslah sudah bahwa sekalipun di dunia ini manusia tidak melaksanakan aturan Allah dan ketiadaan negara Islam, maka Allah tetaplah Rabbul ‘alamin dan Rabbunnas serta tetap pula sebagai Maliki yaumiddin dan Malikinnaas. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya tidaklah tergantung kepada makhluq. Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk menegakkan syariat Islam dan daulah Islamiyah. Sekali-kali tidaklah demikian. Akan tetapi ayat-ayat di dalam al-Fatihah dan An-Naas, tidaklah membahas tentang tauhid mulkiyah (dengan makna kekuasaan dan pemerintahan/ hakimiyah) sebagaimana keyakinan NII. Akan tetapi Rabb, Malik merupakan Asma Allah Azza wa Jalla diantara Asma Allah yang lainnya. Sehingga Al-Fatihah dan An-Naas dengan ayat-ayat di atas membicarakan tentang tauhid Asma wa sifat. Harap diperhatikan dengan seksama!
Ibnul Qayyim Aj-Jauziyah rahimahullah menyatakan bahwa surat al-Fatihah ini memuat pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok yaitu:
1. Tauhid.
Melalui surat ini, Allah Azza wa Jalla mengenalkan diri kepada makhluq-makhluq-Nya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar Rahim dan Al-Malik. Nama Allah adalah nama yang mewakili seluruh Al-Asma Al-Husna dan As-Sifat Al-Ulya (sifat yang tinggi). Nama ini menunjukkan Ilahiyah-Nya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat.
2. Tentang Hari Akhir
Ayat “Maaliki yaumidin” menunjukkan bahwa setelah berakhirnya kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan. Di sana hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan perbuatan dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dari-Nya. (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29).
3. Tentang Kenabian
Surat Al-Fatihah ini menetapkan kenabian dari berbagai arah (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29-30), di antaranya:
–Eksistensi Allah Azza wa Jalla sebagai Rabbul `Alamin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah Azza wa Jalla untuk membiarkan begitu saja hamba-hamba-Nya, tanpa memberi tahu hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat. Jika Allah Azza wa Jalla membiarkan mereka tanpa mengutus nabi, tentu sifat rububiyyah tidak ada pada-Nya.
–Allah Azza wa Jalla adalah Al-Ma’buud (yang diibadahi). Hamba-hambanya tidak akan pernah tahu bagaimana cara beribadah kepada-Nya, kecuali melalui para Rasul-Nya.
–Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah Azza wa Jalla tidak akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasul-Nya.
–Terklasifikasinya hamba-hamba-Nya menjadi orang-orang yang diberi ni’mat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini sangat berkaitan dengan tersampainya kebenaran. Sebagian hamba-Nya bersedia mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar, tetapi tidak mau mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para Rasul Allah Azza wa Jalla.
Seluruh Asma’ul-Husna adalah perincian dari sifat ini. Nama Allah menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’a1a adalah Al-Ma’luh artinya yang diibadahi. Semua beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukkan dan kecintaan dan pengagungan.[48]
Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah meng-itsbatkan (menetapkan) tiga jenis tauhid yakni rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat, ketika ia membaca Al-hamdu lillahi rabbil `alamin. Berarti ia telah memuji Allah Azza wa Jalla, pujian yang mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Pujian yang berkenaan dengan asma wa sifat tanpa ta’wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi). Surat ini pun memuat beberapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut di atas.[49]
Adapun pembicaraan tentang kekuasaan dan pemerintahan sebuah Negara/ Daulah Islamiyah merupakan kajian bidang fiqih yakni siyasah syar’ iyah, yang bukan di sini tempatnya untuk membahasnya. Oleh karena itu, sekali lagi, jangan jadikan urusan ushul (pokok) menjadi furu’ (cabang) dan sebaliknya furu’ menjadi ushul. Tentu saja tidak akan normal jadinya. Sangatlah lucu kalau rumah manusia menjadi terbalik yakni pondasinya di atas dan atapnya di bawah. Menjadi aneh dan mengherankan bukan?
Apabila mereka (NII) menetapkan dan mengutamakan salah satu asma Allah yakni Al-Malik dan disebutnya sebagai tauhid mulkiyah, maka seharusnya mereka konsekuen, sehingga akan muncul tauhid Ar-rahmaniyah, Ar-rahimiyah, As-salamiyah dan seterusnya sebanyak Asma dan sifat Allah Azza wa Jalla. Namun mereka tidak menetapkan demikian, sebab memang di dalam NII asma wa sifat Allah tidak pernah dikaji. Sebab da’ wah dan misi mereka adalah siyasah (politik) belaka bukan memperbaiki aqidah umat dan penyimpangan-penyimpangannya (bid’ah dan tafarruq).
Jika di dalam berargumen secara lisan mereka sudah tak lagi memiliki hujjah dari Allah dan Rasul-Nya, maka ra’yu mereka akan muncul sebagai berikut, “Ya, dulu kan masih ada kekhilafahan, sehingga mulkiyah tidak lagi menjadi perhatian pokok untuk diperjuangkan adanya, karena memang sudah ada.” Kepada mereka kitapun perlu mengingatkan, bukankah antum tahu bahwa Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menanamkan akidah Islamiyah secara luas, termasuk di dalamnya tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa sifat, selama kurang lebih 12 tahun di Mekkah, sedangkan beliau belum memiliki kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana yang antum perjuangkan, tetapi mengapa Rasulullah dan para sahabatnya tidak memprioritaskan siyasah? Ingatkah antum apa misi utama dan pertama adanya risalah Islamiyah yang diemban setiap Nabi dan Rasulullah? Siyasahkah (menurut antum tauhid mulkiyah), atau tauhid ubudiyah? Orang yang memperjuangkan siyasah sebagai prioritas utama, maka kalaupun Allah taqdirkan ia berkuasa, maka jelas kekuasaan tersebut tidaklah berdasar dengan dasar yang benar dan kuat yakni aqidah yang shahih, sehingga kekuasaan dan pemerintahan tersebut akan mudah tumbang dan tak diridhai Allah, sebab jalan yang ditempuh tidaklah lurus (menyimpang dari shirathal mustaqim/ sabilil mu’minin/sabilullah, lihat kembali Bab II di atas).
Muhammad Qutb menjawab persoalan, lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia, di dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukarramah. Pertanyannya:
“Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lagi berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan aqidah dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah diantara dua pendapat ini yang benar?”
Beliau menjawab, “bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du’at belum meluruskan aqidah umat, sehingga kaum Muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukum-Nya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta-merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan Allah atas manusia dengan firman-Nya:
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:4).
Karena itu, kita mesti mulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar aqidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.[50]
Syaikh Shalih bin Said As-Suhaimi setelah menunjukkan fenomena da’wah yang bermunculkan dan masing-masing hanya memperhatikan persoalan furu’. Masing-masing mereka memusatkan perhatian bagi terwujudnya persatuan Islam dengan mengedepankan sisi politik, ada yang mengedepankan sisi akhlak, ada juga pada sisi targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman) serta zuhud dan wara’ .
Maka kemudian setelah beliau menerangkan firman Allah Azza wa Jalla (surat Adz-Dzariyat: 56, Az-Zumar: 2 dan Al-Bayinan: 5), selanjutnya menyatakan, “kita mengatakan bahwa Persatuan lslam harus di atas tauhid dan ketika kita menyeru wajibnya memulai darinya, maka tidak berarti meremehkan sisi lain yang telah kami sebutkan sebagian daripadanya.” Adapun yang dimaksud (dari pernyataan di atas) adalah wajib mendasarinya dengan memulai seluruh amalan dari tolak ukur aqidah ini. Maka di atas sinar tauhid tersebut adanya politik. Di atas manhaj tauhid tersebut terbangunnya adab-adab dan akhlaq-akhlaq. Pada batasan-batasan aqidah tersebut diserukannya targhib dan tarhib serta di atas dasar tauhid inilah, dengan seizin Allah Azza wa Jalla, terwujudnya masyarakat yang Islami, masyarakat yang baik dan kokoh. Dengan aqidah itu pula akan terwujud kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Dan karena itu pula manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah lalu mereka diberikan nikmat yang berwujud kebaikan, keamanan, ketentraman yang mencocoki aqidah murni yang naungannya terbentang luas. Akhirnya mereka terlepas dari kotoran-kotoran berhalaisme dan kebodohan-kebodohan.[51]
Berdasarkan paparan di atas, jelas bagi kita bahwa kekeliruan NII yang memprioritaskan furu’ (siyasah) di dalam da’wah dan perjuangannya. Sedangkan yang benar adalah memprioritaskan ushul (tauhid/aqidah) dalam da’wah dan perjuangan Islam meraih izzah, berdasarkan nash yang kita ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kandungan Tauhid Uluhiyyah Menurut Manhaj yang Haq
Sekarang saatnya kita meluruskan pandangan dan keyakinan NII mengenai isi tauhid Uluhiyyah. Di atas pun telah diuraikan tentang misi utama dan pertama hingga misi terakhir keberadaan manusia adalah menda’wahkan tauhid uluhiyyah atau tauhid ubudiyah (Laa ilah illallah).
Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah menetapkan bahwa Laa ilaha illallah bermakna Laa ma’buda bihaqqin illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah).[52] Khabar “La” harus ditakdirkan dengan haq (yang hak), tidak boleh ditakdirkan dengan maujud (ada). Karena itu menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebathilan yang nyata. [53]
Sekarang tahulah kita bahwa tafsir Laa ilaha illallah yang terdiri atas empat “Laa” yang dikembangkan NII tidaklah benar. Dan secara terperinci para ulama pun telah menjelaskan bahwa ibadah yang hanya kepada Allah-lah kita tujukan memiliki pengertian yang lengkap yakni sebutan yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Ibadah hati meliputi rasa takut (khauf), mengharap (raja), cinta (mahabbah), ketergantungan (tawakkal), senang (raghbah), takut (rahbah). Ibadah ini disebut pula ibadah qalbiyah. Dan ibadah lisan dan hati meliputi; tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur. Sedangkan ibadah badaniyah meliputi; shalat, zakat, haji, jihad (ibadah badaniyah qalbiyah). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. Seperti; amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, inabah (kembali) kepada Allah, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan qadha-Nya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang Muslim jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah, Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadahjika diniatkan sebagai bekal taat kepada-Nya. Seperti; tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, ibadah itu tidaklah terbatas hanya kepada syi’ar-syi’ar yang biasa dikena1.[54]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwasanya kandungan La ma’buda bihaqqin illallah sangatlah luas. Dan berdasarkan hal itu pula semakin terlihat dengan jelas kedangkalan dan kekeliruan tafsir La ilaha illallah oleh NII. Selain itu pula, Syaikh Fauzan telah menunjukkan kebathilan tafsir Laa ilah illallah di bawah ini:
1 . Laa ilaha ilallah artinya tidak ada sesembahan kecuali Allah. Ini adalah bathil karena maknanya. Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang haq maupun yang bathil, itu adalah Allah.
2. La ilaha ilallah artinya tidak ada pencipta selain Allah. Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyyah saja, dan itu belum cukup.
3. Laa ilaha ilallah artinya tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah. Ini juga sebagian dari makna Laa ilah ilallah. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup. Semua tafsiran tersebut adalah bathil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ma’buda bihaqqin ilallah (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tesebut di atas. [55]
Tauhid ubudiyyah/uluhiyah yang merupakan inti da’wah Al-Anbiya wal mursalin dan juga sebagai maksud dan tujuan serta misi keberadaan jin dan manusia harus dipahami dan diyakini dengan sepenuh-penuh kemampuan; rukun dan syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Secara ijmal dapat disebutkan bahwa berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah telah meng-istimbat hukum, yakni syarat tersebut meliputi: ilmu yang menafikan jahl (kebodohan); yakin yang menafikan syak (keraguan); qabul (menerima) yang menafikan radd (menolak); inqiyad (patuh) yang menafikan tark (meninggalkan); Ikhlas (mengesakan Allah) yang menafikan syirik (menyekutukan Allah); Shidq (jujur) yang menafikan kadzib (dusta) dan mahabbah (kecintaan) yang menafikan baghda (kebencian). Adapun rukun Laa ilaha ilallah adalah An-Nafyu atau peniadaan, Laa ilaha, membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah dan al-Itsbat (penetapan) illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. [56]
Selanjutnya, NII tidak membicarakan tentang tauhid asma wa sifat, terkecuali hanya membahas tentang Al-Malik. Hal itu pun salah di dalam menafsirkannya hingga sampai tahap
mengkhususkannya dari asma dan sifat Allah yang lainnya, sehingga ia (NII) menetapkan adanya tauhid mulkiyah. Mengenai asma dan sifat Allah, NII tidak membahasnya dan juga tidak menyatakan menolak (ta’thil) ataupun menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh). Yang jelas, tauhid asma wa sifat tidaklah dikenal di kalangan NII. Mereka hanya mengenal tauhid mulkiyah dan ini yang pokok, sedangkan tauhid rububiyah dan uluhiyah sebagaimana telah dibahas di muka. Dengan demikian, NII tidak memiliki ilmu (pemahaman) tentang Tauhid Asma wa Sifat Allah Azza wa Jalla. Lalu bagaimana mungkin dapat mengklaim diri sebagai Mu’min yang sejati yang senantiasa (telah) berhijrah dan berjihad di jalan Allah untuk menegakkan syariat Islam?
Sesungguhnya masih banyak yang dapat kita telaah mengenai ajaran NII, khususnya aqidahnya, namun dengan maksud agar mencukupi secara singkat di dalam buku kecil ini, maka telaah di atas sudah dipandang cukup menggambarkan aqidah NII yang menyimpang itu.
~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Footnote:
[43] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, Tafsir Al-Fatihah.
[44] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i Taysiral-Aliyil Qadir. I/12.
[45] Abdul Mun’im bin shalih Al-Aliy Al-aziz. Tadzhib Madarijus Salikin, I/58.
[46] Imam Ibnu Katsir, Op. Cit..I/24-25.
[47] Muhammad Nasib ar-Rifa’i.Op.Cit. I/ l4.
[48] As-Syaukani, Fathul qadir. I/14; Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit. I/6; Abdul Mun’im bin Shalih Al-Aliy Aziz, Op Cit. I/75.
[49] Muhammad Nasib ar-Rifa’i. Ibid. I/47.
[50] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Op Cit. Hal. 74-75.
[51] Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, Manhaj As-Salaffi al-Aqidah wa Atsaruhufi Wihdatil
Al-Muslimin, terjemahan AbdumahmanT.D. (Surakarta:Yayasan Al-Madinah), 1997, h1m.17-18.
[52] Abdul Aziz bin Muhammad Alu AbduI Lathif, Muqarraut Tauhid Kitab Ta’limi Lil Mubtadiin, terjemahan Ainul Haris UmarArifin Thayib (Jakarta: Yayasan As-Sofwa), 1999. hlm. 15-16. Lihat pula seluruh kitab tauhid dari buah karya para ulama Ahlu Sun nah wal Jama’ah.
[53] Shaleh bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan, Op.Cit.. hlm. 52.
[54] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Ibid. hlm. 69-71, lihat pula kitab-kitab para ulama yang membahas tentang ubudiyah.
[55] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Ibid. hlm. 52-53.
[56] Ibid. hlm. 56 dan 53. Baca pula Ad-durus Al-Muhimmah Li ‘Aammatil Ummah (Al-Allamah Abdul aziz Abdullah bin Baz); Minhajul Firqah An-Najiyah wat Thaifah AlManshurah (Muhammad bin Jamil Zainu), dan lain-lain kitab para ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar