Hari
ini penulis membaca sebuah tulisan yang membuatku terhenyak meski
sebenarnya tidaklah mengherankan penulis. Link tulisan tersebut di
posting oleh salah seorang ikhwa di facebook, tulisan tersebut berjudul
“Sunni dan Syiah Dalam Naungan Khilafah” -selajutnya penulis sebut
Penulis SSDNK-. Beberapa waktu lalu penulis sempat menerbitkan sebuah
tulisan di blog ini dengan judul Perselingkuhan Hizbut Tahrir dengan Syi’ah, judul yang sempat menuai kritik dari salah seorang syabab HTI.
Tulisan
Sunni dan Syiah Dalam Naungan Khilafah yang penulis maksud adalah
sebuah tulisan yang dibutakan oleh ambisi mendirikan khilafah sehingga
menutup mata akan kesesatan kelompok syi’ah sehingga ia bisa disikapi
seakan-akan hanyalah sebuah perbedaan pendapat dan pemikiran saja bukan
dalam ranah aqidah. Tapi demikianlah karena ambisi tersebut mereka
pernah datang ke Ayatullatah Khomeini untuk menawarkan konsep khilafah
menurut mereka.1
Penulis
SSDNK pun mencoba mengkaburkan pemahaman umat -kalau tidak mau disebut
pembodohan- dengan mengesankan bahwa konflik atau perbedaan yang timbul
antara Sunni dan Syi’ah hanyalah dalam aspek politis atau karena
politisasi yang dilakukan oleh sebagian orang atau kalangan. Penulis
SSDNK mengatakan :
“Dalam
lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada
kelompok Sunni dan Syiah pada batas-batas tertentu tidak pernah
menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syiah
ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di
tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan
kekuasaan.”
hal
ini pada hakikatnya adalah pengerendahan dan penghinaan terhadap para
ulama yang telah mencap syiah sebagai aliran sesat, suka berdusta dan
bahkan bahwa Syi’ah adalah agama lain -seperti akan datang perkataan
perkataan mereka -rahimahumullah-. Mereka -para ulama tersebut-
menurut penulis SSDNK adalah korban politik sebagian kalangan yang
menunjukkan bahwa apa yang mereka ucapkan bukanlah kebenaran yang
sebenarnya tetapi sekali lagi hanyalah buah dan korban dari sebuah
politisasi isu yang entah oleh siapa, sejak kapan dan untuk kepentingan
siapa?2
Pada
hakikatnya dengan mengatakan hal tersebut di atas juga maka Penulis
SSDNK telah merendahkan Ali bin Abi Thalib sebagai korban Politisasi
karena di era pemerintahan Beliau, Beliau telah membakar kelompok
tersebut sebagaimana dalam riwayat Imam Al Bukhary
Dari
‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu
kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata :
“Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka,
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka
sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu
‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih].
Diriwayatkan
pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706,
Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270,
Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no.
2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu
Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya.
Kemudian Penulis SSDNK berkata :
“Kenyataan
ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama
Syiah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni
menempatkan Ahlul Bait [yang oleh kalangan Syiah dijadikan sebagai
panutan dan pemimpin mereka] pada kedudukan yang tinggi dan mulia.
Ibnu
Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan
Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan,
“Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum
daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.”
Ibnu
Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin
al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada
beliau.” Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far
al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara
para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda
Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau
mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât,
II/125).
Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H).”
Dengan
perkataannya ini penulis SSDNK telah mengaburkan bahkan bisa dikatakan
mencoba membodohi umat bahwa seakan-akan Imam-imam Ahlus Sunnah memuji
Syi’ah padahal sangat beda antara memuji tokoh Ahlul Bait yang
dikultuskan oleh orang Syi’ah. Sebab ulama-ulama ahlussunnah memang
sangat mencintai Ahlul Bait yang Shalih. Dan Al Imam Ali bin Husain,
Ja’far Shadiq, Muhammad Al Baqir, bukanlah orang-orang Syiah. Mereka
adalah para Imam Ahlus Sunnah yang wara’dan shalih.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah - -rahimahullah--
: “Mereka yakni ahlussunnah wal jama’ah mencintai ahlul bait Rosulullah
dan berloyalitas padanya, mereka menjaga betul wasiat Rosulullah saat
berkata, ‘Aku ingatkan kalian pada ahlul baitku.’ Dan saat berucap,
‘Demi yang jiwaku ada di genggamanNya, kalian tidak beriman hingga
kalian mencintai Allah dan keluargaku.’ Mereka (ahlussunnah) mencintai
istri-istri Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ummahatul mu`minin,
serta mengimani bahwa mereka adalah istri-istri beliau di akhirat…”
beliau juga berkata, “Dan tidak ragu lagi bahwa mencintai Ahlul Bait
adalah wajib.” Al-Qadhi ‘Iyadh -rahimahullah- berkata: “Dan termasuk memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berbuat baik kepada keluarga dan keturunan beliau.”
Ketidakmampuan
membedakan ini -dan inilah baik sangkaku kepada penulis SSDNK-
menunjukkan bahwa tulisan tersebut tidaklah ditulis di atas pijakan yang
kuat. Karena jika Penulis mau melakukan riset sedikit saja, niscaya dia
akan mengetahui bahwa para Imam-iman yang diklaim oleh mereka justru
mencela bahkan berlepas diri dari Syi’ah.
Ali bin Abi Thalib berkata : “’Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)3 melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta’
Bahkan Imam Al Husein bin Ali -radhiallahu anhuma- berkata mendoakan kehancuran bagi mereka : ”“Yaa
Allaah, bila Engkau memanjangkan umur mereka hingga beberapa waktu,
maka cerai beraikanlah mereka, jadikanlah mereka terpecah-pecah ke dalam
banyak jalan, dan janganlah pernah Engkau menjadikan seorang
penguasa-pun yang merasa ridho terhadap mereka, karena sesungguhnya
mereka telah mengundang kami untuk kemudian membela kami, namun mereka
justru malah menyerang kami dan selanjutnya membantai kami.” [Al-Irsyad4 oleh Al-Mufid, 2/110-111]
Ja’far bin Muhammad berkata : “Allah berlepas diri terhadap orang-orang yang berlepas diri terhadap Abu Bakr dan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1182; shahih]
Beliau juga berkata : ”Sesungguhnya
orang-orang jelek dari kalangan penduduk ‘Iraaq mengatakan bahwasannya
aku mencela Abu Bakr dan ‘Umar, padahal mereka berdua adalah orang
tuaku” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 83; hasan].
Imam Ali bin Husain Zainal Abidin pun mencela mereka, beliau berkata -tentang orang-orang syi’ah- : “mereka menangisi kami padahal siapakah yang telah membunuh kami?”
Ingin
rasanya saya bertanya kepada penulis SSDNK tersebut, Siapakah ulama
ahlus sunnah yang mu’tabar yang memuji kaum Syiah? Sampai saat penulis
belum menemukannya… bahkan yang ada hanyalah celaan.
Berikut
celaan dari para Ulama Ahlus Sunnah yang Mu’tabar kepada Kelompok
Syi’ah -yang mungkin menurut Penulis SSDNK adalah akibat politisasi-
silahkan di cerna sendiri :
Al-Imam Asy-Syafi’i - -rahimahullah- (204 H):
“Aku tidak pernah melihat dari para pengikut hawa nafsu yang lebih
dusta di dalam ucapan, dan bersaksi dengan saksi palsu dari (Syi’ah)
rafidhah”.
Al-Imam Malik bin Anas (muridnya Imam Ja’far Ash Shadiq) -rahimahullah-
(179):Berkata Asyhab bin Abdul ‘Aziz: “Al Imam Malik ditanya tentang
seorang yang berpemikiran (Syiah) rafidhah?” beliau menjawab: “Jangan kamu berbicara dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan hadits dari mereka karena mereka adalah pendusta”.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah- berkata: “Aku tidak melihat dia (Syiah – orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
Al-Qadhi Abu Yusuf -rahimahullah- (182 H) – beliau bersama Muhammad bin Hasan adalah murid terbesar dan teralim dari Imam Abu Hanifah: “Aku tidak akan shalat di belakang seorang yang berpemikiran jahmiyah, (Syiah) rafidhah dan qadariyah”.
Al-Imam Al-Bukhari -rahimahullah- berkata: “Bagiku
sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di
belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka
tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak
dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.”
(Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
‘Amir Asy-Sya’bi -rahimahullah- (105 H): -beliau termasuk manusia yang paling tahu tentang mereka- “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih dungu dari syi’ah” . (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
Beliau juga berkata: “Saya
peringatkan kalian dari hawa nafsu yang menyesatkan dan dari kejelekan
(Syiah) rafidhah, karena diantara mereka ada seorang yahudi yang
berpura-pura masuk islam untuk menghidupkan kesesatan mereka sebagaimana
Baulus bin Syamil (atau disebut juga dengan Paulus-pen) seorang raja
Yahudi yang berpura-pura masuk agama nashara untuk menghidupkan
kesesatan mereka.” Kemudian beliau berkata: “Mereka tidak masuk ke dalam islam untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk menghancurkan islam”5.
Sufyan Ats Tsauri -rahimahullah-
(161 H): Dari Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi dia berkata: “Aku mendengar
Sufyan ditanya tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar?
Sufyan menjawab: “Dia telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung” orang
tersebut bertanya lagi: “Apakah kita menshalatinya (jika dia mati)?”
Sufyan menjawab: “Tidak, tidak ada kemulian” orang tersebut berkata:
“Maka manusia mengerumuninya sampai mereka menghalangi antara aku dan
dia, maka aku bertanya kepada orang yang dekat dengannya: “Apa yang dia
katakan?” dia menjawab: “Sufyan berkata: Lailahaillallah, apa yang akan
kita lakukan (terhadap orang rafidhi yang mati ini)? Jangan kalian
sentuh dia dengan tangan-tangan kalian, angkat dia dengan kayu sampai
kalian memasukkannya ke dalam kuburnya”. (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
‘Abdurrahman bin Mahdi -rahimahullah- – Guru Al Imam Al Bukhary -(198 H): “Keduanya adalah agama lain, yaitu: “Jahmiyah dan (Syiah) Rafidhah”.
Yazid bin Harun -rahimahullah- (206 H): “Boleh
menulis hadits dari ahlul bid’ah yang tidak mengajak kepada
kebid’ahannya kecuali (Syiah) rafidhah karena mereka adalah pendusta”.
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi -rahimahullah- berkata: “Jika
engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq.
Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan
sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh mereka mencela
para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al
Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Syiah Rafidhah) lebih pantas untuk dicela
dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
Adapun di antara Kesesatan adalah besarnya kebencian mereka kepada Istri-Istri Rasulullah (Ummahatul Mu’minin/Ibu Kaum Beriman), biarkanlah kitab-kitab mereka sendiri yang berbicara :
Muhammad Baqir Al-Majlisi di dalam kitab Haqqul Yaqin hal. 519 berkata: “Aqidah
kami dalam hal kebencian adalah membenci empat berhala yaitu Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman, Mu’awiyah dan empat wanita yaitu ‘Aisyah, Hafshah,
Hindun, Ummul Hakam serta seluruh orang yang mengikuti mereka. Mereka
adalah sejelek-jelek makhluk Allah di muka bumi ini. Tidaklah sempurna
iman kepada Allah, Rasul-Nya dan para imam (menurut keyakinan mereka)
kecuali setelah membenci musuh-musuh tadi.”
Dalam tempat yang lain ia berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar adalah kafir, kafir pula setiap orang yang mencintai keduanya.” (Lihat kitab mereka “Biharul Anwar” karya Al-Majlisi, 69/137,138)
Bahkan di dalam kitab wirid mereka Miftahul Jinan hal. 114 disebutkan wirid Shanamai Quraisy (dua berhala Quraisy yaitu Abu Bakar dan ‘Umar), di antara lafazhnya berbunyi: “Ya
Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Laknatilah dua
berhala Quraisy, dua syaithan, dua thaghut dan kedua anak perempuan
mereka (’Aisyah dan Hafshah).”
Abu Bakar dan Umar bin Al Khatthab adalah dua berhala quraisy yang terlaknat. [Ajma’ul Fadha’ih karya Al Mulla Kazhim hal. 157].
Agama Syiah meyakini bahwa Aisyah hanyalah seorang pelacur (Ma’rifatur Rijal karya At Thusi hal. 57-60) yang telah Murtad (keluar dari iman) dan menjadi penghuni jahannam. (Tafsirul Iyasi 2/243 dan 269) Aisyah digelari Ummusy Syurur (ibunya kejelekan) dan Ummusy Syaithan (ibunya syaithan), (Al Bayadhi di dalam kitabnya Ash Shirathal Mustaqim 3/135 dan 161 )
Berdasarkan kriteria MUI sendiri tentang aliran Sesat maka mereka mencocoki semuanya silahkan baca
Apakah
anda wahai pembaca -semoga Allah merahmatimu- bersedia hidup di bawah
satu atap dengan mereka yang meyakini dan menyebarkan bahwa Ibu Anda
adalah seorang Pelacur.6
Tapi demikianlah wahai para pembaca, mereka (HT) tidaklah punya
perhatian dalam perkara Aqidah dan juga kecemburuan akan kehormatan para
Sahabat dan Istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang
jika mereka punya sedikit saja kecemburuan akan kehormatan para sahabat
dan ibu-ibu kaum muslimin maka niscaya mereka tidak akan mendatangi
Khomeini untuk menawarkan Konsep Khilafah -ala mereka (silahkan baca Perselingkuhan Hizbut Tahrir dengan Syi’ah). Jika saja Khomeini menerima konsep mereka maka niscaya mereka akan mengusung Khomeini untuk Khalifah7, tapi yang terjadi konsep itu ditolak mentah-mentah oleh Khomeini karena akan meruntuhkan konsep Wilayah al Faqiih,
sebuah bid’ah yang disusupkan Khomeini ke dalam agama Syi’ah. Penolakan
tersebut membuat mereka marah, dan sekali lagi kemarahan itu bukan
karena kecemburuan atas kehormatan Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Istri-istri Nabi tapi karena ditolaknya proposal mereka.
Bahkan mereka tidak cemburu bahkan ketika Khomeini merendahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dengan perkataannya :
“Setiap
Nabi dari para nabi hanyalah datang untuk menegakkan keadilan dan
tujuannya adalah untuk menetapkan (keadilan) di alam, tetapi beliau
tidaklah berhasil. Hingga, penutup para Nabi (yakni Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, adm) yang datang untuk memperbaiki dan
mengatur manusia serta menetapkan keadilan, sesungguhnya juga tidak
mendapat taufiq. (Mukhtarat min Ahadits wa Khithabat Al Khumeiny 2/42)”
Dia -semoga La’nat Allah atasnya- berkata :
“Sesungguhnya
dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di
masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah,
pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan lebih utama
dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu
Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)”
Kemudian
semoga Allah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperlihatkan
kepada penulis SSDNK dan seluruh Syabab HT bahwasanya apa yang dikatakan
penulis SSDNK : “tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik” adalah sebuah isapan jempol untuk meninabobokan anak kecil yang belum tahu apa-apa danbahwasejarah
telah mencatat berbagai bukti konflik pelik yang terjadi antara Sunni
dan Syiah -akibat perkara aqidah dan bukan karena isu politisasi- dan
semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kesempatan kepada
penulis untuk menghaturkan kepada penulis SSDNK dan seluruh Syabab HT
dan seluruh Simpatisan Syi’ah catatan-catatan daro lembar-lembar sejarah
yang telah mencatat bagaimana tangan-tangan hitam Syi’ah dari beragam
sektenya telah berlumur darah pengkhianatan yang menumpahkan darah kaum
muslimin ahlus sunnah.
— DEMIKIANLAH … ASAL KHILAFAH TEGAK… APAPUN SELAINNYA TIDAK PENTING —
— MUNGKIN ITU YANG ADA DALAM PIKIRAN MEREKA —
— DAN MEMANG ITULAH YANG NAMPAK —
— KARENA SEKTE PALING NAJISPUN SEMISAL SYI’AH MEREKA RANGKUL APATAH LAGI SELAINNYA —
— MEREKA BAHKAN MENUTUP MATA AKAN BERBAGAI PENGHIATAN KAUM SYI’AH YANG TELAH MENGAKIBATKAN TUMPAHNYA DARAH KAUM MUSLIMIN —
— WALLAHU A’LAM —
1Mereka
telah menyangkal bahwa mereka menawarkan Khomeini jadi Khalifah tapi
hanya menawarkannya konsep Khilafah. Tapi itu pun sudah cukup untuk
memperlihatkan bahwa mereka tidak punya perhatian dalam masalah Aqidah.
Sebab jika mereka punya sedikit saja kecemburuan akan kehormatan para
sahabat dan ibu-ibu kaum muslimin maka niscaya mereka tidak akan
mendatangi Khomeini. Jika saja Khomeini menerima konsep mereka maka
niscaya mereka akan mengusung Khomeini untuk Khalifah, tapi yang terjadi
konsep itu ditolak mentah-mentah oleh Khomeini karena akan meruntuhkan
konsep Wilayah al Faqiih sebuah bid’ah yang disusupkan Khomeini
ke dalam agama Syi’ah. Penolakan tersebut membuat mereka marah, dan
sekali lagi kemarahan itu bukan karena kecemburuan atas kehormatan Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Istri-istri Nabi tapi karena ditolaknya proposal
mereka. Bahkan mereka tidak cemburu dan marah ketika Khomeini bahkan
merendahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dengan
perkataannya : ““Setiap Nabi dari para nabi hanyalah datang untuk
menegakkan keadilan dan tujuannya adalah untuk menetapkan (keadilan) di
alam, tetapi beliau tidaklah berhasil. Hingga, penutup para Nabi (yakni
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, adm) yang datang
untuk memperbaiki dan mengatur manusia serta menetapkan keadilan,
sesungguhnya juga tidak mendapat taufiq. (Mukhtarat min Ahadits wa
Khithabat Al Khumeiny 2/42)”
Dia -semoga La’nat Allah atasnya- berkata :
“Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan
masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz
(Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul
Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah
Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)”
2Sebab
sejarah mencatat bahwa ucapan-ucapan para Imam yang mencela Syiah telah
terucap berabad yang lalu, jauh sebelum ahli-ahli politik semisal
syabab-syabab HT lahir. Dan sejarah juga telah mencatat berbagai
pengkhianatan ynag dilakukan oleh kaum Syi’ah sehingga tangan-tangan
mereka berlumuran darah kaum muslimin Ahlus Sunnah. Semoga Allah memberi
penulis kesempatan untuk menyuguhkan kepada pembaca rentetan-rentetan
pengkhianatan mereka.
3Dan
itulah aqidah Syi’ah mereka mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar
bahkan mereka mengkafirkan Abu Bakar dan Umar sebagaimana akan datang
5Dan
HTI dalam hal ini bersamaan dengan teriakan Khilafah mereka tapi ikut
berselingkuh dengan Syi’ah yang telah memporak-porandakan Islam.
6Bukan
berarti setiap orang bisa menghakimi orang-orang yang ketahuan sebagai
Syi’ah sebab seorang muslim tidak boleh membabi buta dalam bermain hakim
sendiri.tapi hendaknya setiap muslim bangkit dan membela kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, istri-istri beliau dan sahabat-sahabat beliau radhiallahu ‘anhum ajma’in dengan tidak menjadi penolong dan pembela kaum Syiah Rafidhah dan seluruh yang memusuhi Agama ini dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sekali lagi sikap yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
7Berikut
komentar salah seorang syabab atau simpatisan HT di sebuah diskusi di
status salah seorang teman, mengomentari tentang datangnya perwakilan HT
ke Khomeini, dia berkata : “klo pernah khomeini ditawari khalifah bisa
jadi krn memang tdk bertentangan kan? siapapun bisa menjadi khalifah yg
penting memenuhi syarat bro. “ dari komentarnya ini bisa dibaca bahwa
menurut sebagian syabab HT atau bahkan mungkin semuanya, Kho meini itu
pantas jadi Khalifah, sebab tidaklah mereka datang kecuali mereka
melihat kepantasan itu pada diri Khomeini. Wallahul Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar