Aksi
kudeta, penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu
sering kita dengar terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden
Fulan digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan
kudeta berdarah.
Demikian
contoh isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah terjadi di
negara kita tidak hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin
mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Namun dengan izin
Allah Subhanahu wa Ta’ala aksi-aksi pemberontakan tersebut dapat
digagalkan atau disingkirkan.
Akan
tetapi sangat disesalkan di antara kelompok-kelompok para pemberontak
ini ada yang menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang mulia ini,
sementara agama yang mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena
agama ini tidak mengajarkan pemberontakan dan tidak ridha terhadap
pemberontakan kepada pemerintah muslimin. Wallahul musta’an.
Arfajah Al-Asyja‘i Radliyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa
yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu
dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian
atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang
tersebut.”
Dalam lafadz lain:
“Sungguh
akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka barangsiapa yang
ingin memecah-belah urusan umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah
berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, maka penggallah orang
tersebut, siapa pun dia.”
Takhrij Hadits
Hadits
yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab
Al-Imarah, Bab Hukmu Man Farraqa Amral Muslimin wa Huwa Mujtama’ (Hukum
orang yang memecah-belah urusan muslimin dalam keadaan mereka telah
berkumpul/bersatu pada perkara tersebut), no. 1852. Diriwayatkan pula
oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/261, 4/341, 5/23; An-Nasa`i dalam
Sunan-nya no. 4020, 4021, 4022 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4762.
Makna Hadits
(dia ingin memecahkan tongkat kalian) Maknanya
ia ingin memecah-belah jamaah kalian sebagaimana tongkat dibelah-belah.
Hal ini merupakan ungkapan berselisihnya kalimat dan menjauhnya
jiwa-jiwa. (Syarhu Muslim, 13/242)
(maka bunuhlah orang tersebut) dalam lafadz lain:
(maka penggallah orang itu), tindakan ini dilakukan bila memang perbuatan jeleknya itu itu tidak dapat dicegah dan tidak dapat dihentikan kecuali dengan membunuhnya. (Syarhu Muslim, 13/242)
(siapa pun dia)
sama saja baik dia dari kalangan kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam atau selain mereka, dengan syarat pimpinan (imam) yang awal
memang pantas menyandang imamah ataupun khilafah. Demikian dikatakan
Al-Qari sebagaimana dinukil dalam ‘Aunul Ma‘bud (13/76).
وَهَنَاتٌ هَنَاتٌ dalam
An-Nihayah (5/278) disebutkan maknanya adalah kerusakan dan kejelekan.
Sedangkan di dalam hadits ini maknanya kata Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah adalah fitnah dan perkara-perkara baru. (Syarhu Muslim,
13/242)
Pentingnya Kepemimpinan
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Wajib diketahui bahwa
mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan manusia termasuk kewajiban
agama yang terbesar. Bahkan tidak akan tegak agama dan tidak pula dunia
kecuali dengannya. Karena anak Adam tidak akan sempurna kemaslahatan
mereka kecuali dengan ijtima’ (berkumpul dan berjamaah), juga disebabkan
kebutuhan sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Dan ketika mereka
berkumpul, tentunya harus ada yang menjadi pemimpin/ketua mereka,
sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Apabila
tiga orang keluar dalam satu safar maka hendaklah mereka menjadikan
salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka (dalam safar
tersebut).” (HR. Abu Dawud dari hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhuma)[2]
Al-Imam
Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abdullah bin ‘Amr Radliyallahu
‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak
halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi (yakni dalam safar)
kecuali mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin
mereka.”[3]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan pengangkatan seseorang sebagai
pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit dalam safar yang ditempuh,
sebagai peringatan agar pengangkatan pemimpin ini dilakukan dalam
seluruh jenis perkumpulan. Dan juga Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi
mungkar, dan kewajiban ini tidak akan sempurna ditunaikan kecuali dengan
adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula seluruh perkara yang
Allah wajibkan seperti jihad, keadilan, penunaian ibadah haji,
pelaksanaan shalat Jum’at, hari Ied dan menolong orang yang dizalimi.
Pelaksanaan hukum had juga tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan, karena itulah diriwayatkan:
“Sesungguhnya sultan/penguasa adalah naungan Allah di bumi.”[4]
Sehingga
dikatakan juga: “60 tahun di bawah pimpinan imam/pimpinan yang
jahat/lalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Dan
tentunya pengalaman yang akan menerangkan hal ini.
Karena
itulah as-salafush shalih seperti Al-Fudhail bin ‘’Iyadh, Ahmad bin
Hambal dan selain keduanya menyatakan: “Seandainya kami memiliki doa
yang mustajab niscaya doa tersebut akan kami tujukan untuk penguasa.”
(As-Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal. 129-130)
Catatan Penting bagi Kita Semua!
Keberadaan
daulah Islamiyyah memang sangatlah penting dan berarti bagi kehidupan
beragama kaum muslimin. Namun yang perlu diperhatikan dan menjadi
catatan penting di sini apakah perkara tersebut menjadi tujuan yang
utama, sebagaimana dinyatakan: “Tujuan agama yang hakiki adalah
menegakkan undang-undang kepemimpinan yang baik lagi terbimbing”?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Orang yang berkata bahwa
masalah imamah adalah tujuan yang paling penting dan utama dalam
hukum-hukum agama dan masalah kaum muslimin yang paling mulia, maka dia
itu berdusta menurut kesepakatan kaum muslimin baik yang sunni ataupun
yang syi’I (pengikut agama Syi’ah, red). Bahkan ini termasuk kekufuran,
karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting dan utama daripada
masalah imamah. Hal ini adalah perkara yang dimaklumi secara pasti dari
agama Islam. Dan seorang kafir tidaklah menjadi mukmin sampai ia
bersaksi: Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah (bukan
karena imamah, dan tentunya hal ini menunjukkan pentingnya permasalahan
iman, pen). Inilah alasan utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
memerangi orang-orang kafir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
“Aku
diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak
ada ilah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah, kemudian mereka
menegakkan shalat dan membayar zakat. Maka bila mereka melakukan hal itu
terjagalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.”[5]
Beliau
rahimahullah juga menyatakan: “Perlu dimaklumi bagi kita semua, apabila
didapatkan masalah kaum muslimin yang paling mulia dan tujuan yang
paling penting dalam agama ini, tentunya akan disebutkan dalam
Kitabullah lebih banyak daripada perkara selainnya. Dan demikian pula
keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tentang perkara
tersebut, tentunya akan lebih utama dan lebih banyak daripada keterangan
beliau terhadap perkara lainnya. Sementara kita lihat Al Qur`an penuh
dengan penyebutan tauhidullah, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya,
ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, kisah-kisah, perintah dan
larangan, hukum had dan kewajiban-kewajiban. Tidak demikian halnya
dengan masalah imamah. (Maka kalau dikatakan bahwa masalah imamah itu
lebih utama/penting dan lebih mulia daripada yang lainnya, pen) lalu
bagaimana bisa Al Qur`an itu dipenuhi dengan selain perkara yang lebih
penting/utama dan lebih mulia?!” (Minhajul Anbiya`, 1/21)
Asy-Syaikh
Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata meluruskan kesalahan
orang yang mengatakan demikian: “Bahkan sesungguhnya tujuan agama yang
hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para
rasul serta diturunkannya kitab-kitab adalah untuk ibadah kepada Allah
dan mengikhlaskan agama untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”[6]
“Tidaklah
Kami mengutus seorang rasul pun sebelummu kecuali Kami wahyukan
kepadanya bahwasanya tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Aku maka
beribadahlah kalian kepada-Ku.”[7]
“Alif
laam raa. (Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan baik
serta dijelaskan secara terperinci dari sisi Dzat Yang Maha Memiliki
Hikmah lagi Maha Mengetahui/Mengabarkan, agar kalian tidak beribadah
kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi
peringatan dan pembawa kabar gembira dari Allahepada kalian.”[8] (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql, hal. 152)
Demikianlah
perkara keimanan ini begitu amat pentingnya agar menjadi perhatian kita
semuanya. Dan jangan seseorang terlalu berambisi mendirikan daulah
Islamiyyah dan menjadikannya sebagai inti dakwahnya kepada umat,
sementara tauhid belum ditegakkan, kesyirikan masih merajalela dan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam masih dibuang di belakang
punggung-punggung manusia. Wallahul musta’an.
Pemberontak, Gerombolan Parasit dalam Khilafah Islamiyyah
Tegaknya
daulah Islamiyyah merupakan keinginan setiap yang diibadahi muslim yang
memiliki ghirah keislaman, agar hanya Allah hanyaIdan syariat-Nya yang
ditegakkan. Namun kesinambungan dan perjalanan daulah itu dapat
terganggu dengan keberadaan gerombolan-gerombolan pengacau keamanan yang
merongrong kewibawaan penguasa. Tak jarang gerombolan itu mengadakan
aksi pemberontakan di saat mereka merasa memiliki kekuatan. Ibaratnya
gerombolan ini seperti parasit dalam tubuh daulah Islamiyyah sehingga
tidak ada jalan untuk menjaga keutuhan daulah, kewibawaan penguasa dan
mempertahankan persatuan kaum muslimin kecuali menumpas parasit tersebut
dan memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka sesuai dengan
ketetapan syariat Islam.
Larangan Memberontak kepada Pemerintah Muslimin walaupun Zalim
Aksi kudeta, penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu sering kita dengar terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta berdarah. Demikian contoh isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah terjadi di negara kita tidak hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Namun dengan izin Allah Ta’ala aksi-aksi pemberontakan tersebut dapat digagalkan atau disingkirkan.
Aksi kudeta, penggulingan penguasa, mungkin merupakan berita yang terlalu sering kita dengar terjadi di luar negeri kita. Penguasa atau Presiden Fulan digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh si A, pimpinan kudeta berdarah. Demikian contoh isi beritanya. Dan kudeta seperti ini pun pernah terjadi di negara kita tidak hanya sekali, yang semua pemberontak ini ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Namun dengan izin Allah Ta’ala aksi-aksi pemberontakan tersebut dapat digagalkan atau disingkirkan.
Akan
tetapi sangat disesalkan Diantara kelompok-kelompok para pemberontak
ini ada yang menisbahkan dirinya pada Islam atau agama yang mulia ini,
sementara agama yang mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena
agama ini tidak mengajarkan pemberontakan dan tidak ridha terhadap
pemberontakan kepada pemerintah muslimin. Wallahul musta’an.
Kelompok-kelompok
pemberontak yang berbicara atas nama agama ini menggembar-gemborkan
keinginan mereka ingin membangun negara dalam negara (yang sah) dan
seandainya punya kesempatan mereka akan menggulingkan pemerintah yang
sah. Mereka berteriak-teriak di hadapan khalayak ingin mendirikan
khilafah Islamiyyah, ingin menegakkan syariat Islam, sementara syariat
Islam tersebut tidak ditegakkan terlebih dahulu pada diri dan keluarga
mereka (bahkan juga dalam praktek mereka untuk meraih khilafah/daulah
Islamiyyah -ed). Sehingga penegakan syariat Islam dan khilafah
Islamiyyah yang ingin mereka lakukan sekedar isapan jempol semata.
Mereka membuat huru-hara, mengacaukan keamanan dan menyudutkan Islam
serta kaum muslimin.
Aksi
bom di berbagai tempat mereka tebarkan atas nama jihad fi sabilillah
melawan kezaliman penguasa, padahal lebih tepat apabila dikatakan mereka
ini adalah gerombolan pemberontak pengacau keamanan dan ketentraman.
Jalan yang mereka tempuh menyelisihi kebenaran (al-haq), bimbingan dan
petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam .
Karena syariat menetapkan, bila seorang muslim telah diangkat sebagai
pimpinan di sebuah negeri kaum muslimin dimana seluruh urusan kaum
muslimin berada di bawah perintah dan pengaturannya, maka haram untuk
memberontak kepadanya dan haram menggulingkan kekuasaannya walaupun ia
seorang pimpinan yang zalim.
Memberontak
dengan bentuk dan model yang bagaimana pun haram hukumnya, karena
adanya hadits-hadits yang berisi larangan memberontak dan juga karena
adanya dampak yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut berupa
fitnah, tertumpahnya darah, malapetaka dan bencana. Prinsip tidak
memberontak kepada pemerintahan kaum muslimin merupakan prinsip yang
disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan asas ini termasuk asas
Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling pokok yang diselisihi oleh
kelompok-kelompok sesat dan ahlul ahwa`. (Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah,
hal. 170)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah telah menyebutkan kesepakatan tersebut dengan
ucapan beliau: “Adapun memberontak kepada penguasa dan memerangi mereka
maka haram menurut kesepakatan kaum muslimin, walaupun penguasa itu
fasiq zalim.” (Syarhu Muslim, 12/229)
Demikian
pula yang dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
rahimahullah dari Ibnu Baththal rahimahullah, beliau berkata: “Fuqaha
sepakat tentang wajibnya menaati sultan/penguasa, jihad bersamanya, dan
bahwa menaatinya itu lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena
akan melindungi tertumpahnya darah dan menenangkan orang banyak.” Ibnu
Baththal melanjutkan: “Dan mereka tidak mengecualikan dari larangan
tersebut kecuali bila sultan/penguasa itu jatuh ke dalam kekufuran yang
nyata, maka tidak boleh menaatinya bahkan wajib memeranginya bagi orang
yang memiliki kemampuan.” (Fathul Bari, 13/9)
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Ucapan Ulama dalam Masalah Ini
Diantara hadits-hadits yang ada dalam masalah ini dapat kita sebutkan sebagai berikut:
‘Ubadah ibnu Ash-Shamit Radliyallahu ‘anhu berkata: “Kami
berbai’at untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami suka ataupun
terpaksa, dalam keadaan sulit ataupun lapang, dan dalam keadaan penguasa
menahan hak-hak kami. Dan beliau membai’at kami agar kami tidak
menentang dan menarik/merebut perkara dari pemiliknya (memberontak pada
penguasa) kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata dari penguasa
tersebut dimana di sisi kalian ada bukti/keterangan yang nyata[9]dari Allah tentang kekafiran mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
“Sungguh
akan memimpin kalian para pimpinan yang kalian fahami perbuatan mereka
adalah perbuatan maksiat dan kalian mengingkari perbuatan tersebut
dilakukan. Maka barangsiapa yang benci (terhadap kejahatan/kezaliman
pimpinan tersebut) sungguh ia telah berlepas diri dan barangsiapa yang
mengingkarinya sungguh ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha
dan mengikuti (kejahatan penguasa maka orang itu bersalah).” Para
shahabat bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”
Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim
no. 1854)
Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Siapa
yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia benci maka hendaklah ia
bersabar karena siapa yang meninggalkan jamaah (kaum muslimin di bawah
pimpinan pemimpin tersebut) satu jengkal saja lalu ia meninggal maka
matinya itu mati jahiliyyah.”[10](HR. Al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)
Anas
bin Malik Radliyallahu ‘anhu mengatakan: Para pembesar shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dengan mengatakan:
“Janganlah
kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah mengkhianati mereka
dan janganlah membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersabarlah, karena sesungguhnya perkara itu dekat.” (HR. Ibnu Abi
‘Ashim no. 1015 dalam Kitabus Sunnah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah)
Abu
‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ashabul hadits memandang
shalat Jum’at, shalat dua ied dan shalat-shalat lainnya dilakukan di
belakang setiap imam/pimpinan muslim yang baik ataupun yang fajir/jahat.
Mereka memandang untuk mendoakan taufik dan kebaikan untuk penguasa
serta tidak boleh memberontak, sekalipun para pimpinan tersebut telah
menyimpang dari keadilan dengan berbuat kejahatan, kelaliman dan
kesewenang-wenangan.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal. 106)
Al-Imam
Ath-Thahawi rahimahullah berkata menyebutkan i‘tiqad (keyakinan) Ahlus
Sunnah wal Jamaah: “Kita memandang tidak bolehnya memberontak terhadap
pimpinan dan penguasa/pengatur perkara kita, sekalipun mereka itu zalim.
Kita tidak boleh mendoakan kejelekan untuknya dan kita tidak menarik
ketaatan kita dari ketaatan terhadapnya. Kita memandang taat kepada
pimpinan merupakan ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagai satu kewajiban,
selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Dan kita mendoakan
kebaikan dan kelapangan/pemaafan untuk mereka.” (Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, hal. 379)
Al-Aini
berkata menerangkan hadits Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhu di atas:
“Yakni hendaklah ia bersabar atas perkara yang dibenci tersebut dan
tidak keluar dari ketaatan kepada penguasa. Karena hal itu akan mencegah
tertumpahnya darah dan menenangkan dari kobaran fitnah, kecuali bila
imam/penguasa tersebut kafir dan menampakkan penyelisihan terhadap
dakwah Islam maka dalam keadaan demikian tidak ada ketaatan kepada
makhluk.” (‘Umdatul Qari, 24/178; Fiqhus Siyasah Asy-Syar`iyyah hal.
173)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Yang masyhur dari madzhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka memandang tidak boleh keluar
memberontak kepada para pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang,
sekalipun pada mereka ada kezaliman. Sebagaimana hal ini ditunjukkan
oleh hadits-hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam,
karena kerusakan yang ditimbulkan dalam peperangan dan fitnah lebih
besar daripada kerusakan yang dihasilkan kezaliman mereka tanpa perang
dan fitnah.” (Minhajus Sunnah, 3/213). Beliau rahimahullah juga
menyatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah
melarang untuk memerangi para penguasa/pimpinan, padahal beliau
mengabarkan bahwa para pimpinan tersebut melakukan perkara-perkara yang
mungkar. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengingkari penguasa dengan
menghunuskan pedang (perang) sebagaimana pandangan kelompok-kelompok
yang memerangi penguasa baik dari kalangan Khawarij, Zaidiyyah maupun
Mu’tazilah.” (Minhajus Sunnah, 3/214)
Dalam
Majmu’ul Fatawa (35/12) beliau juga menyatakan: “Adapun ahlul ilmi wad
din dan orang yang Allah berikan kepadanya keutamaan, mereka tidak
memberikan rukhshah (keringanan) kepada seorang pun dalam perkara yang
Allah larang berupa bermaksiat kepada wulatul umur (pemimpin), menipu
mereka dan memberontak terhadap mereka dari satu sisi pun. Sebagaimana
prinsip ini diketahui dari Ahlus Sunnah dan orang-orang yang berpegang
teguh terhadap agama, baik orang-orang yang terdahulu maupun yang
belakangan.”
Asy-Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Wajib bagi kaum muslimin untuk taat
kepada wulatul umur dalam perkara ma’ruf, bukan dalam perkara maksiat.
Bila ternyata mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh
ditaati, namun tidak boleh keluar/memberontak kepada mereka karena
perbuatan maksiat mereka tersebut. Dan diantara dalilnya adalah sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Wajib
bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan
benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah
berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.”[11]
Juga
ketika disebutkan kepada para shahabat tentang para pemimpin yang
mereka fahami perbuatan para pemimpin itu adalah perbuatan maksiat dan
mereka mengingkari perbuatan tersebut, para shahabat bertanya kepada
beliau n: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami apabila kami
menyaksikan perkara tersebut?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
menjawab: “Tunaikan hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”[12]
Hal
ini menunjukkan tidak bolehnya mereka menentang wulatul umur dan tidak
bolehnya mereka keluar memberontak kecuali bila mereka melihat kekufuran
yang nyata yang mereka punya bukti yang nyata dari Allah Ta’ala tentang
kekufuran mereka.
Memberontak
kepada wulatul umur (penguasa) itu dilarang tidak lain karena akan
menyebabkan kerusakan yang besar dan kejelekan yang tidak sedikit.
Diantaranya akan terganggu keamanan dan tersia-siakannya hak, tidak
diperolehnya kemudahan untuk mencegah kezaliman orang yang berbuat zalim
dan tidak dapat memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi dan
jalan-jalan menjadi tidak aman. Sehingga jelaslah, memberontak terhadap
wulatul umur berdampak kerusakan dan kejelekan yang besar, terkecuali
bila kaum muslimin melihat kekufuran yang nyata yang mereka punya bukti
yang tentang kekufuran mereka. Dalam keadaan seperti ini tidak nyata
dari Allah apa-apa mereka melakukan upaya untuk menggulingkan penguasa
tersebut jika memang kaum muslimin memiliki kekuatan. Namun bila tidak
memiliki kekuatan, mereka tidak boleh melakukan hal tersebut. Atau bila
mereka keluar (memberontak, red) dari penguasa tersebut akan menyebabkan
kejelekan yang lebih besar maka tidak boleh mereka keluar demi menjaga
kemaslahatan umum.
Kaidah
syar’iyyah yang disepakati menyatakan: tidak boleh menghilangkan
kejelekan dengan mendatangkan apa yang lebih jelek daripada kejelekan
yang sebelumnya, bahkan wajib menolak kejelekan dengan apa yang memang
bisa menghilangkannya atau meringankannya. Adapun menolak kejelekan
dengan kejelekan yang lebih besar tidaklah dibolehkan dengan kesepakatan
kaum muslimin.” (Fiqhus Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 263-264, Fatawa
Al-’Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair hal. 70-71)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh memberontak kepada pemimpin dan menentang mereka, terkecuali:
Pertama: ketika mereka kafir dengan kekufuran yang nyata berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam :“kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata…”. (Muttafaqun alaihi)[13]
Kedua: memiliki ilmu tentang kekafiran mereka, dan ulama-lah dalam hal ini yang menilainya.
Ketiga:
terealisirnya maslahat dalam hal ini dan tertolaknya mafsadat, dan yang
menetapkan yang demikian ini dan yang menilainya juga ahlul ilmi.
Keempat: adanya kemampuan (yang hakiki) yang dimiliki kaum muslimin untuk menyingkirkan pemimpin yang kafir itu.
Dengarkanlah
wahai kaum muslimin, nasehat yang sangat berharga dari beliau
rahimahullah : “Umumnya kekuatan dan kemampuan itu berada di tangan
pemerintah, maka aku nasehatkan agar kaum muslimin untuk berpegang
dengan ilmu dan dakwah dengan hikmah, serta tidak masuk dalam perkara
yang nantinya beresiko akan berhadapan dengan pemerintah…” (Fatawa
Al-’Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair, hal. 135-136)
Hukuman Bagi Pemberontak
Orang
yang keluar dari jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh penguasa dari
kalangan muslimin dan memberontak kepada pemerintah yang sah berarti ia
ingin memecah-belah persatuan kaum muslimin dan memperhadapkan kaum
muslimin kepada fitnah, bahaya dan kerusakan yang besar. Sungguh tidak
ada alasan baginya untuk berbuat demikian karena syariat telah
menetapkan agar kita senantiasa taat kepada pemimpin dalam perkara yang
ma’ruf, sama saja baik pemimpin itu baik ataupun jahat/zalim selama ia
masih muslim.
Al-Imam
Al-Lalikai rahimahullah berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah: “Siapa yang keluar memberontak terhadap satu
pemimpin dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin sementara manusia telah
berkumpul dalam kepemimpinannya dan mengakui kekhilafahannya dengan cara
bagaimana pun dia memegang jabatan tersebut baik dengan keridhaan atau
dengan penguasaan, orang yang memberontak itu berarti telah memecahkan
tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam . Bila pemberontak itu mati dalam keadaan
berbuat demikian maka matinya mati jahiliyyah. Dan tidak halal bagi
seorang pun untuk memerangi sultan dan tidak pula keluar dari ketaatan
padanya. Barangsiapa yang melakukannya berarti dia adalah ahlul bid’ah,
dia tidak berada di atas As Sunnah dan tidak di atas jalan yang benar.”
(Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 1/181; Fatawa Al-Ulama
Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair, hal. 28)
Al-Imam
As-Sindi berkata: “Penjagaan dan pertolongan Allah akan menyertai kaum
muslimin apabila mereka bersepakat/bersatu. Maka barangsiapa yang ingin
memecah-belah Diantara mereka berarti sungguh ia berkeinginan
memalingkan pertolongan Allah dari mereka.” (Sunan An-Nasa`i bi Hasyiyah
As-Sindi, 7/92)
Fadhilatusy
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Memberontak pada pemerintah,
tidaklah dibolehkan secara mutlak. Karena itulah kami memandang para
pemberontak itu atau orang-orang (da’i) yang mengajak untuk memberontak
tersebut, bisa jadi mereka itu musuh Islam yang menyusup di tengah kaum
muslimin, atau mereka itu muslimin namun mereka berada pada puncak
kejahilan tentang Islam yang Allah turunkan kepada hati Muhammad n.”
(Fatawa Al-Ulama Al-Akabir Fima Uhdira Min Dima` fi Al-Jazair, hal. 94)
Karena
besarnya kesalahan yang diperbuat oleh para pemberontak pengacau
persatuan kaum muslimin ini, maka syariat memberikan hukuman yang keras
bagi mereka dalam rangka mencegah kerusakan yang mereka timbulkan.
Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam
sabda beliau di atas: “Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan
kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia
ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah
kalian, maka penggallah orang tersebut.”
Dalam lafadz lain: “Sungguh
akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru. Maka siapa yang ingin
memecah-belah perkara umat ini padahal umat ini dalam keadaan telah
berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah orang
tersebut siapa pun dia.”
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat perintah
untuk memerangi orang yang keluar/memberontak terhadap imam, atau ia
ingin memecah-belah kalimat (persatuan) kaum muslimin dan semisalnya dan
ia dilarang dari berbuat demikian. Namun bila ia tidak berhenti maka ia
diperangi dan jika kejelekan/kejahatannya tidak bisa ditolak/dicegah
kecuali dengan membunuhnya maka ia boleh dibunuh.” (Syarhu Muslim,
13/241)
Demikianlah
hukuman bagi perongrong kedaulatan pemerintah kaum muslimin yang sah
dan pemecah belah persatuan kaum muslimin, mereka boleh diperangi dan
dibunuh oleh penguasa untuk menolak dan mencegah kejahatan dan kerusakan
yang ditimbulkannya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditanyakan
kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah: “Wahai
Fadhilatusy Syaikh, sangat disayangkan di sana ada orang yang
membolehkan keluar (memberontak) dari pemerintah tanpa memperhatikan
ketentuan-ketentuan syar’iyyah. Sebenarnya apa manhaj kita dalam
berhubungan dengan penguasa muslim dan selain muslim?”
Beliau
hafizhahullah menjawab: “Manhaj kita dalam berhubungan dengan penguasa
muslim adalah mendengar dan taat. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah
kepada Rasulullah dan ulil amri Diantara kalian. Maka jika kalian
berselisih dalam sesuatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jka memang kalian itu beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An-Nisa`: 59)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Aku
wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar
dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena
sungguh (kelak) orang yang masih hidup Diantara kalian akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan
Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun Al-Mahdiyyun sepeninggalku.”[14] Hadits ini sangat mencocoki ayat di atas (An-Nisa: 59).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa
yang taat kepada pemimpin berarti ia taat kepadaku dan siapa yang
bermaksiat kepada pemimpin berarti ia telah bermaksiat kepadaku.”[15]
Dan hadits-hadits lainnya yang berisi hasungan untuk mendengar dan taat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Dengar dan taatlah sekalipun diambil hartamu dan dipukul punggungmu.”[16]
Dengan
demikian, pemimpin kaum muslimin wajib ditaati dalam rangka ketaatan
kepada Allah. Apabila ia memerintahkan kepada maksiat maka tidak boleh
ditaati dalam perkara tersebut, namun dalam perkara selain maksiat ia
harus ditaati.
Adapun
dengan pemimpin kafir, maka hal ini berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan. Bila kaum muslimin punya kekuatan dan punya kemampuan
untuk memeranginya dan menggesernya dari pemerintahan lalu menggantinya
dengan pemimpin yang muslim, maka hal itu wajib dilakukan dan termasuk
jihad fi sabilillah.
Adapun
bila mereka tidak mampu menggesernya maka tidak boleh bagi mereka untuk
menebarkan benih permusuhan dan kebencian dengan (menyebut-nyebut)
kezaliman dan kekafiran si penguasa, karena hal tersebut justru akan
mengembalikan kemudharatan dan kebinasaan kepada kaum muslimin.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam tinggal di Makkah selama 13 tahun setelah
diangkatnya beliau sebagai nabi, sementara Makkah ketika itu dikuasai
orang-orang kafir. Beliau dan orang-orang yang berIslam dari kalangan
shahabatnya tidaklah memerangi orang-orang kafir tersebut. Bahkan pada
saat itu mereka dilarang memerangi orang-orang kafir. Mereka tidaklah
diperintah untuk berperang melainkan setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam berhijrah, dimana ketika itu beliau telah memiliki daulah dan
jamaah sehingga mereka mampu memerangi orang kafir. Inilah manhaj Islam.
Dengan
demikian bila kaum muslimin di bawah pemerintahan kafir dan mereka
tidak punya kemampuan untuk menggesernya maka mereka berpegang teguh
dengan keislaman mereka dan aqidah mereka, dan mereka jangan
mempertaruhkan diri mereka untuk menghadapi orang-orang kafir. Karena
hal itu akan berakibat kebinasaan bagi mereka dan dakwah Islam di negeri
itu pun akan berakhir. Adapun bila mereka punya kekuatan yang dengannya
mereka mampu untuk berjihad maka mereka berjihad di jalan Allah menurut
ketentuan syar‘iyyah yang ma’ruf.” (Fiqhus Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal.
287-288)
Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[2] HR. Abu Dawud no. 2608. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam Ash-Shahihah no. 1322: Sanadnya hasan
[3]
HR. Ahmad 2/176-177. Hadits ini sebagai syahid (pendukung) hadits di
atas, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah:
Rijaln-ya (perawinya) tsiqat (terpercaya) kecuali Ibnu Lahi’ah, dia
buruk hafalannya
[9]
Yakni keterangan dari ayat Al Qur`an atau hadits yang shahih yang tidak
mungkin ditakwil, yakni tegas dan jelas. Dari sini dipahami bahwa tidak
boleh memberontak kepada penguasa selama perbuatan mereka masih mungkin
untuk ditakwil. (Fathul Bari, 13/10)
[10]
Keadaan matinya seperyi matinya orang jahiliyyah di atas kesesatan
dalam keadaan ia tidak punya imam/pemimpin yang ditaati karena
orang-orang jahiliyyah tidak mengenal hal itu. Bukan maksudnya di sini
orang itu mati kafir, akan tetapi ia mati dalam keadaan maksiat. (Fathul
Bari, 13/9)
[14]
HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676 dan ia berkata: hadits
hasan shahih. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih
Abi Dawud no. 3851 dan Shahih At-Tirmidzi no. 2157
[16] Dalam hadits Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepadanya: “Engkau
mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan
diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim no.
1847)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar