Salah satu yang paling rancu didalam aqidah Syiah
Imamiyah adalah masalah khumus (Seperlima) disini terjadi distorsi pengertian
khumus dari konteks aslinya hanya demi mempertebal pemasukan pribadi, ibaratnya
nilai dakwah harus sebanding dengan fulus, dan semakin banyak seorang marja’
taklid menjaring muqallid (Orang yang bertaklid) maka semakin banyak pula dia
mendapatkan pendapatan.
Sebelum
melangkah lebih jauh, mari kita lihat bagaimana pengertian khumus menurut
Ayatulllah Imam Khumaeni (Salah satu Imam Marja’) didalam tahrirul wasilahnya :
وعن الصادق (عليه السلام) : إنّ الله
لا إله إلاّ هو لمّا حرّم علينا الصدقة أنزل لنا الخمس ، فالصدقة علينا حرام ، والخمس
لنا فريضة ، والكرامة لنا حلال
Dari As Shaduq (Alaihissalam) katanya : Sesungguhnya
Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, ketika Dia (Allah Subhanahu Wa Ta'ala)
mengharamkan atas kami harta sadakoh, Dia (Allah) menurunkan bagi kami khumus
(seperlima). Maka dengan demikian shadaqah haram
atas kami, khumus adalah untuk kami dan hadiah yang halal bagi kami.[1]
Disini sang ayatulullah Imam Khumaeni hanya mengkhususkan
khumus untuk kalangan Ahlul bait Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sang
Ayatulullah Imam Khumaeni tidak menyebutkan bahwa khumus juga diperoleh untuk
Imam yang menjadi marja taklid seperti yang terjadi pada masa sekarang dimana
Imam marja’ menarik fulus dengan atas nama khumus.
عن أبي عبد الله الصادق (عليه السلام)
: فيما يخرج من المعادن والبحر والغنيمة والحلال المختلط بالحرام إذا لم يُعرف صاحبه
والكنوز الخمس
Dari Abi Abdillah As
Shadiq Alaihissalam : (Harta) yang keluar dari harta ma'ad, dan dari laut, dan dari
harta ghanimah (Rampasan perang) dan harta halal yang bercampur dengan harta
haram jika tidak di ketahui siapa pemiliknya, serta harta kunuz, adalah di
keluarkan khumus[2]
Padahal
harta selain ghanimah itu disebut dzakat, ini juga menurut pendapat yang lebih
umum (Ahlussunnah Wal Jama'ah) harta tersebut juga tidak diwajibkan untuk
diberikan kepada Imam marja’, sangat berbeda dengan Syiah Imamiyah yang
menjadikan dakwah sebagai mata pencarian sehari hari.
Penyelewangan pengertian
Khumus
Untuk menjadikan dakwah sebagai mata pencarian, maka
diberlakukan penyelewangan pengertian khumus, dan dibuat seolah olah pungutan
wajib yang kemudian diserahkan terhadap Imam Marja’ itu sudah sesuai dalil
dalil syariat :
إن أشد ما
فيه الناس يوم القيامة أن يقوم صاحب الخمس فيقول: يا رب خمسي، وقد طيبنا ذلك
لشيعتنا لتطيب ولاداتـهم ولتزكوا ولاداتـهم
Sesungguhnya orang yang paling mengambil berat (Tanggung
Jawab) pada hari kiamat adalah penguasa khumus (Sahib al Khums), lalu mereka
berkata : Wahai Tuhan, khumusku, dan sesungguhnya kami telah (memberikannya)
dengan kebaikan (hati) kami kepada Syiah kami kerana kebaikan dan kebersihan
kelahiran mereka[3]
Yang
dimaksud sahib Al Khumus disini adalah para Imam Marja’ dan juga wakil dari
jatah Imam yang ghaib di gua sirdab (Al Mahdi), konteks disini dibuat samar
samar dengan mengatakan bahwa khumus diberikan atas nama Syiah Imamiyah, padahal
mengacu dari kekayaan para Imam Marja’ sangat jelas sekali bahwa harta tersebut
mengelembung dikantong mereka, bahkan sampai mereka matipun, taburan uang
acapkali menghiasi kuburan kuburan mereka. (Mati dalam gelimangan harta yang
tidak pernah padam)
قطع بإباحة الخمس للشيعة في زمن الغيبة
بل والحضور الذي هو كالغيبة، وبين أن الأخبار تكاد تكون متواترة
menetapkan
diperbolehkannya harta khumus bagi Syiah Imamiyah di masa keghaiban imam, dan menjelaskan bahwa
sesungguhnya hadist-hadist (Khumus) hampir mencapai kepada kemutawatiran.[4]
Tidak
sampai disitu, bahkan derajat dari hadist khumus dikatakan sampai pada
tingkatan mutawatir, dan hal ini membuat para pengikut Syiah Imamiyah yang
tidak mengetahui apa apa menjadi korban dari pungutan liar para Imam marja’
tersebut, karena ini juga merupakan sebuah kewajiban bagi muqallid untuk
memberikan seperlima dari hartanya terhadap Imam yang di-taklid oleh mereka
masing masing.
العلامة سلار قال: إن الأئمة قد أحلوا
الخمس في زمان الغيبة فضلاً وكرماً للشيعة خاصة
Allamah
Salar (Salar Dailamah) berkata : sesungguhnya para
imam telah membolehkan Harta khumus di masa keghaiban, sebagai keutamaan dan
kemulyaan terkhusus kepada Syiah Imamiyah.[5]
Dikatakan
bahwa kebolehan menarik harta sebagai ganti dari siar agama Para Marja’ itu
sudah melalui prosedur resmi para Imam, hal ini semakin menegaskan bahwa selain
wanita, harta merupakan pokok wajib untuk diserahkan terhadap shahib al khums
(Pemilik Khumus) yakni para Imam Marja’.
Sependapat
dengan Itu, Sayyid Muhammad Ali Thaba' thaba'i juga mengatakan
atas kebolehan para Syiah Imamiyah untuk memberlakukan konsep khumus :
السيد محمّد علي
طباطبائي قال: إن الأصح هو الإباحة
Sayyid
Muhammad Ali Thaba' thaba'i
Berkata : Sesungguhnya (Menurut Qoul yang shahih) adalah diperbolehkan.[6]
Hal
ini sungguh sangat bertolak belakang dengan para Ahlul Bait (Para Imam) yang
walaupun diwajibkan atasnya khumus (Seperlima) mereka tidak mengambilnya,
bahkan mereka (Para Imam) merelakannya terhadap para pejuang yang membela agama
kakek mereka (Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam) sungguh ironis jika pada
akhirnya para Imam marja’ mengambil harta dengan diatasnamakan terhadap mereka
(Ahlul Bait Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن ابن
محبوب، عن عمر بن يزيد قال رأيت مسمعا بالمدينة وقد كان حمل إلى أبي عبدالله عليه السلام
تلك السنة مالا فرده أبوعبدالله عليه السلام فقلت له: لم رد عليك أبي عبدالله المال
الذي حملته إليه؟ قال: فقال لي: إني قلت له حين حملت إليه المال: إني كنت وليت البحرين
الغوص فأصبت أربعمائة ألف درهم وقد جئتك بخمسها بثمانين ألف درهم وكرهت أن أحبسها عنك
وأن أعرض لها وهي حقك الذي جعله الله تبارك وتعالى في أموالنا، فقال: أو ما لنا من
الارض وما أخرج الله منها إلا الخمس يا أبا سيار؟ إن الارض كلها لنا فما أخرج الله
منها من شئ فهو لنا، فقلت له: وأنا أحمل إليك المال: كله؟ فقال: يا أبا سيار قد طيبناه
لك وأحللناك منه فضم إليك مالك، وكل ما في أيدي شيعتنا من الارض فهم فيه محللون حتى
يقوم قائمنا فيجبيهم طسق ما كان في أيديهم ويترك الارض في أيديهم وأما ما كان في أيدي
غيرهم فإن كسبهم من الارض حرام عليهم حتى يقوم قائمنا، فيأخذ الارض من أيديهم ويخرجهم
صغرة
Muhammad
Bin Yahya dari Ahmad Bin Muhammad, dari Ibnu Mahbub dari Umar Bin Yazid katanya
: Aku melihat Masma’ (bin Abdul Malik) dimadinah, Dia membawa (khumus) ke Abu
Abdillah Alaihissalam yang wajib ia setorkan, yaitu sebesar delapanpuluh ribu
(80.000) dirham ke rumah Abu Abdullah (Ja’far As Shadiq) ‘Alihissalaam. Melihat
Pengikutnya membawa setoran khumus sebesar itu, Abu Abdullah berkata: “Wahai
Abu Sayyar! Apakah kami tidak memiliki hak atas bumi dan penghasilan yang telah
Allah keluarkan darinya kecuali khumus (seperlima)? Sesungguhnya bumi
seluruhnya adalah milik kami. Dengan demikian apa saja yang Allah keluarkan
darinya adalah milik kami.” Mendengar ucapan itu, Masma’ bertanya: Bila
demikian, saya akan menyerahkan seluruh hartaku kepdamu. Abu Abdullah menjawab:
Wahai Abu Sayyar! Kami telah menghalalkannya untukmu, maka simpanlah baik-baik
hartamu. Dan seluruh belahan bumi yang dikuasai oleh pembela kami, maka mereka
halal untuk memilikinya, hingga datang saatnya Al Qaim (Imam Mahdi) kita
bangkit. Saat itu imam mahdi akan mengutus petugasnya untuk memungut khumus
yang ada pada mereka, dan membiarkan bumi diolah oleh mereka. Adapun bumi yang
dikuasai oleh selain mereka, maka sesungguhnya seluruh penghasilan mereka itu
haram atas mereka, hingga bila AL Qaim (imam Mahdi) telah bangkit, maka ia akan
merampas kembali bumi yang telah mereka kuasi dan mengusir mereka dalam keadaan
terhina.[7]
Ditulis oleh: Ustadz Mahbub Yafa Ibrahim, Penulis buku, “Ketawa
Merinding Ala Syiah”
[1]
Tahrirul wasilah Halaman 483 Jilid 9 : http://www.al-khoei.us/books/index.php?id=3668
[2]
Misbahul Al Faqih Jilid 3 Halaman 136 Karangan Agha Ridha Al-Hamdani :
http://www.shiaonlinelibrary.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/393_%D9%85%D8%B5%D8%A8%D8%A7%D8%AD-%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%8A%D9%87-%D8%B7-%D9%82-%D8%A2%D9%82%D8%A7-%D8%B1%D8%B6%D8%A7-%D8%A7%D9%84%D9%87%D9%85%D8%AF%D8%A7%D9%86%D9%8A-%D8%AC-%D9%A3/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%81%D8%AD%D8%A9_136
[3]
Ushul Min Al Kafi Jilid 1 Halaman 426
[4]
Dikutip dari kitab Lillah Tsumma Li At Tarikh Al Musawi : http://www.tawhed.ws/pr?i=3150
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]
Ushul Al Kafi Jilid 1 Halaman 408
Tidak ada komentar:
Posting Komentar