Jumat, 25 April 2014

Pergeseran Makna Khumus


Salah satu yang paling rancu didalam aqidah Syiah Imamiyah adalah masalah khumus (Seperlima) disini terjadi distorsi pengertian khumus dari konteks aslinya hanya demi mempertebal pemasukan pribadi, ibaratnya nilai dakwah harus sebanding dengan fulus, dan semakin banyak seorang marja’ taklid menjaring muqallid (Orang yang bertaklid) maka semakin banyak pula dia mendapatkan pendapatan.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat bagaimana pengertian khumus menurut Ayatulllah Imam Khumaeni (Salah satu Imam Marja’) didalam tahrirul wasilahnya :
وعن الصادق (عليه السلام) : إنّ الله لا إله إلاّ هو لمّا حرّم علينا الصدقة أنزل لنا الخمس ، فالصدقة علينا حرام ، والخمس لنا فريضة ، والكرامة لنا حلال
Dari As Shaduq (Alaihissalam) katanya : Sesungguhnya Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, ketika Dia (Allah Subhanahu Wa Ta'ala) mengharamkan atas kami harta sadakoh, Dia (Allah) menurunkan bagi kami khumus (seperlima). Maka dengan demikian shadaqah haram atas kami, khumus adalah untuk kami dan hadiah yang halal bagi kami.[1]
Disini sang ayatulullah Imam Khumaeni hanya mengkhususkan khumus untuk kalangan Ahlul bait Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sang Ayatulullah Imam Khumaeni tidak menyebutkan bahwa khumus juga diperoleh untuk Imam yang menjadi marja taklid seperti yang terjadi pada masa sekarang dimana Imam marja’ menarik fulus dengan atas nama khumus.
عن أبي عبد الله الصادق (عليه السلام) : فيما يخرج من المعادن والبحر والغنيمة والحلال المختلط بالحرام إذا لم يُعرف صاحبه والكنوز الخمس
Dari Abi Abdillah As Shadiq Alaihissalam : (Harta) yang keluar dari harta ma'ad, dan dari laut, dan dari harta ghanimah (Rampasan perang) dan harta halal yang bercampur dengan harta haram jika tidak di ketahui siapa pemiliknya, serta harta kunuz, adalah di keluarkan khumus[2]
 Padahal harta selain ghanimah itu disebut dzakat, ini juga menurut pendapat yang lebih umum (Ahlussunnah Wal Jama'ah) harta tersebut juga tidak diwajibkan untuk diberikan kepada Imam marja’, sangat berbeda dengan Syiah Imamiyah yang menjadikan dakwah sebagai mata pencarian sehari hari.
Penyelewangan pengertian Khumus
Untuk menjadikan dakwah sebagai mata pencarian, maka diberlakukan penyelewangan pengertian khumus, dan dibuat seolah olah pungutan wajib yang kemudian diserahkan terhadap Imam Marja’ itu sudah sesuai dalil dalil syariat :
إن أشد ما فيه الناس يوم القيامة أن يقوم صاحب الخمس فيقول: يا رب خمسي، وقد طيبنا ذلك لشيعتنا لتطيب ولاداتـهم ولتزكوا ولاداتـهم 
Sesungguhnya orang yang paling mengambil berat (Tanggung Jawab) pada hari kiamat adalah penguasa khumus (Sahib al Khums), lalu mereka berkata : Wahai Tuhan, khumusku, dan sesungguhnya kami telah (memberikannya) dengan kebaikan (hati) kami kepada Syiah kami kerana kebaikan dan kebersihan kelahiran mereka[3]
Yang dimaksud sahib Al Khumus disini adalah para Imam Marja’ dan juga wakil dari jatah Imam yang ghaib di gua sirdab (Al Mahdi), konteks disini dibuat samar samar dengan mengatakan bahwa khumus diberikan atas nama Syiah Imamiyah, padahal mengacu dari kekayaan para Imam Marja’ sangat jelas sekali bahwa harta tersebut mengelembung dikantong mereka, bahkan sampai mereka matipun, taburan uang acapkali menghiasi kuburan kuburan mereka. (Mati dalam gelimangan harta yang tidak pernah padam)
قطع بإباحة الخمس للشيعة في زمن الغيبة بل والحضور الذي هو كالغيبة، وبين أن الأخبار تكاد تكون متواترة
menetapkan diperbolehkannya harta khumus bagi Syiah Imamiyah  di masa keghaiban imam, dan menjelaskan bahwa sesungguhnya hadist-hadist (Khumus) hampir mencapai kepada kemutawatiran.[4]
Tidak sampai disitu, bahkan derajat dari hadist khumus dikatakan sampai pada tingkatan mutawatir, dan hal ini membuat para pengikut Syiah Imamiyah yang tidak mengetahui apa apa menjadi korban dari pungutan liar para Imam marja’ tersebut, karena ini juga merupakan sebuah kewajiban bagi muqallid untuk memberikan seperlima dari hartanya terhadap Imam yang di-taklid oleh mereka masing masing.
العلامة سلار قال: إن الأئمة قد أحلوا الخمس في زمان الغيبة فضلاً وكرماً للشيعة خاصة
Allamah Salar (Salar Dailamah) berkata : sesungguhnya para imam telah membolehkan Harta khumus di masa keghaiban, sebagai keutamaan dan kemulyaan terkhusus kepada Syiah Imamiyah.[5]
Dikatakan bahwa kebolehan menarik harta sebagai ganti dari siar agama Para Marja’ itu sudah melalui prosedur resmi para Imam, hal ini semakin menegaskan bahwa selain wanita, harta merupakan pokok wajib untuk diserahkan terhadap shahib al khums (Pemilik Khumus) yakni para Imam Marja’.
Sependapat dengan Itu, Sayyid Muhammad Ali Thaba' thaba'i  juga mengatakan atas kebolehan para Syiah Imamiyah untuk memberlakukan konsep khumus :
السيد محمّد علي طباطبائي قال: إن الأصح هو الإباحة
Sayyid Muhammad Ali Thaba' thaba'i  Berkata : Sesungguhnya (Menurut Qoul yang shahih) adalah diperbolehkan.[6]
Hal ini sungguh sangat bertolak belakang dengan para Ahlul Bait (Para Imam) yang walaupun diwajibkan atasnya khumus (Seperlima) mereka tidak mengambilnya, bahkan mereka (Para Imam) merelakannya terhadap para pejuang yang membela agama kakek mereka (Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam) sungguh ironis jika pada akhirnya para Imam marja’ mengambil harta dengan diatasnamakan terhadap mereka (Ahlul Bait Rosulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن ابن محبوب، عن عمر بن يزيد قال رأيت مسمعا بالمدينة وقد كان حمل إلى أبي عبدالله عليه السلام تلك السنة مالا فرده أبوعبدالله عليه السلام فقلت له: لم رد عليك أبي عبدالله المال الذي حملته إليه؟ قال: فقال لي: إني قلت له حين حملت إليه المال: إني كنت وليت البحرين الغوص فأصبت أربعمائة ألف درهم وقد جئتك بخمسها بثمانين ألف درهم وكرهت أن أحبسها عنك وأن أعرض لها وهي حقك الذي جعله الله تبارك وتعالى في أموالنا، فقال: أو ما لنا من الارض وما أخرج الله منها إلا الخمس يا أبا سيار؟ إن الارض كلها لنا فما أخرج الله منها من شئ فهو لنا، فقلت له: وأنا أحمل إليك المال: كله؟ فقال: يا أبا سيار قد طيبناه لك وأحللناك منه فضم إليك مالك، وكل ما في أيدي شيعتنا من الارض فهم فيه محللون حتى يقوم قائمنا فيجبيهم طسق ما كان في أيديهم ويترك الارض في أيديهم وأما ما كان في أيدي غيرهم فإن كسبهم من الارض حرام عليهم حتى يقوم قائمنا، فيأخذ الارض من أيديهم ويخرجهم صغرة
Muhammad Bin Yahya dari Ahmad Bin Muhammad, dari Ibnu Mahbub dari Umar Bin Yazid katanya : Aku melihat Masma’ (bin Abdul Malik) dimadinah, Dia membawa (khumus) ke Abu Abdillah Alaihissalam yang wajib ia setorkan, yaitu sebesar delapanpuluh ribu (80.000) dirham ke rumah Abu Abdullah (Ja’far As Shadiq) ‘Alihissalaam. Melihat Pengikutnya membawa setoran khumus sebesar itu, Abu Abdullah berkata: “Wahai Abu Sayyar! Apakah kami tidak memiliki hak atas bumi dan penghasilan yang telah Allah keluarkan darinya kecuali khumus (seperlima)? Sesungguhnya bumi seluruhnya adalah milik kami. Dengan demikian apa saja yang Allah keluarkan darinya adalah milik kami.” Mendengar ucapan itu, Masma’ bertanya: Bila demikian, saya akan menyerahkan seluruh hartaku kepdamu. Abu Abdullah menjawab: Wahai Abu Sayyar! Kami telah menghalalkannya untukmu, maka simpanlah baik-baik hartamu. Dan seluruh belahan bumi yang dikuasai oleh pembela kami, maka mereka halal untuk memilikinya, hingga datang saatnya Al Qaim (Imam Mahdi) kita bangkit. Saat itu imam mahdi akan mengutus petugasnya untuk memungut khumus yang ada pada mereka, dan membiarkan bumi diolah oleh mereka. Adapun bumi yang dikuasai oleh selain mereka, maka sesungguhnya seluruh penghasilan mereka itu haram atas mereka, hingga bila AL Qaim (imam Mahdi) telah bangkit, maka ia akan merampas kembali bumi yang telah mereka kuasi dan mengusir mereka dalam keadaan terhina.[7]
Ditulis oleh: Ustadz Mahbub Yafa Ibrahim, Penulis buku, “Ketawa Merinding Ala Syiah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar