Pada artikel ini akan dituliskan uraian ringkas tentang kelemahan riwayat Maalik Ad-Daar yang dipakai oleh sebagian quburiyyuun untuk melegalkan tindakkan tawassul mereka di kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan/atau orang shaalih. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (12/31) meriwayatkan sebagai berikut :
حدثنا
أبومعاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال : وكان خازن عمر على
الطعام قال : أصاب الناس قحط في زمن عمر ، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله
عليه وسلم فقال : يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا ، فأُتي الرجل
في المنام فقيل له : ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقيون وقل له :
عليك الكَيس ! عليك الكَيس ! فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال : يا رب لا
آلو إلا ما عجزت عنه .
Telah
menceritakan kepada kami : Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu
Shaalih, dari Maalik Ad-Daar, dan ia pernah menjabat bendahara gudang
makanan Khalifah ‘Umar , ia berkata : “Orang-orang pernah ditimpa
kemarau pada masa pemerintahan ‘Umar. Lalu datang seorang laki-laki ke
kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan berkata : “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena
mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi dalam tidurnya dan
dikatakan kepadanya : “Datanglah ke ‘Umar dan ucapkanlah salam
kepadanya. Khabarkanlah kepadanya bahwa kalian adalah orang-orang yang
sedang membutuhkan air (hujan)…”.
Riwayat tersebut juga dibawakan oleh Al-Baihaqy dalam Dalaailun-Nubuwwah (7/47) dengan sanad :
أخبرنا
أبو نصر بن قتادة وأبو بكر الفارسي قالا أخبرنا أبو عمرو بن مطر أخبرنا
أبو بكر بن علي الذهلي أخبرنا يحيى أخبرنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي
صالح عن مالك
“Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah dan Abu Bakr
Al-Faarisiy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
‘Amr bin Mathar : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Aliy
Adz-Dzuhliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu
Shaalih, dari Maalik (Ad-Daar)”.
Juga Al-Khaliliy dalam Al-Irsyaad (1/313-314) dengan sanad :
حدثنا
محمد بن الحسن بن الفتح , حدثنا عبد الله بن محمد البغوي , حدثنا أبو
خيثمة , حدثنا محمد بن خازم الضرير , حدثنا الأعمش , عن أبي صالح , عن مالك
الدار
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Fath : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Baghawiy : Telah
menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin KHaazim Adl-Dlariir : Telah menceritakan kepada kami
Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik Ad-Daar”.
Mengenai riwayat di atas, ada yang mengatakan bahwa orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah shahabat Bilal.
Al-Haafidh berkata dalam Al-Fath (2/496) :
وقد روى سيف في الفتوح أن الذي رأى المنام المذكور هو بلال بن الحارث المزني أحد الصحابة
“Saif telah meriwayatkan dalam kitab Al-Futuuh bahwasannya orang yang bermimpi tersebut adalah Bilaal bin Al-Haarits Al-Muzanniy, salah seorang shahabat” [selesai].
Namun
riwayat Saif tersebut adalah sangat lemah. Saif ini adalah Ibnu ‘Umar
At-Tamiimiy adalah seorang yang disepakati kelemahannya. Ia seorang yang
haditsnya ditinggalkan (matruk), pendusta lagi dituduh dengan kezindiqan”.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
لا
حجة فيها ، لأن مدارها على رجل لم يسمَّ فهو مجهول أيضا ، وتسميته بلالا
في رواية سيف لا يساوي شيئا ، لأن سيفا هذا هو ابن عمر التميمي ، متفق على
ضعفه عند المحدثين بل قال ابن حبان فيه : يروي الموضوعات عن الأثبات وقالوا
: إنه كان يضع الحديث ، فمن كان هذا شأنه لا تُقبل روايته ولا كرامة
لاسيما عند المخالفة .ا.هـ.
“Tidak ada hujjah padanya, karena pokok persoalannya terletak pada orang yang tidak disebutkan namanya, sehingga ia berstatus majhul juga.
Penamaannya dengan Bilaal dalam riwayat Saif tidak berarti sama sekali,
karena Saif ini adalah Ibnu ‘Umar At-Tamiimiy – seorang yang telah
disepakati kelemahannya oleh para muhadditsiin (ahli hadits). Bahkan Ibnu Hibban berkata tentangnya : ‘Ia meriwayatkan khabar-khabar palsu dari al-atsbaat.
Dan mereka berkata : Ia telah memalsukan hadits’. Maka orang yang
seperti ini tidak diterima riwayatnya dan tidak ada kemuliaan padanya,
khususnya jika terdapat penyelisihan” [selesai].
Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/466-467).
Oleh karena itu klaim bahwa orang yang bermimpi tersebut shahabat Bilaal tidak boleh ditoleh dan diperhatikan sama sekali.
Sebagian orang menyangka bahwa riwayat di atas adalah shahih berdasarkan perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (2/495) :
وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر قال
“Dan
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu
Shaalih As-Sammaan, dari Maalik Ad-Daar - seorang yang pernah menjadi
bendahara ‘Umar - ia berkata :…”.
Perkataan Al-Haafidh ini perlu ditinjau kembali, sebab riwayat itu mempunyai beberapa kelemahan/cacat, di antaranya :
1. ‘An’anah Al-A’masy dari Abu Shaalih As-Sammaan, dan ia (Al-A’masy) seorang mudallis.
2. Abu
Shaalih Dzakwaan bin As-Sammaan tidak diketahui penyimakan haditsnya
dari Maalik bin Ad-Daar dikarenakan tidak diketahuinya tahun wafatnya
Maalik bin Ad-Daar (lihat biografi Malik Ad-Daar dalam Ath-Thabaqaat oleh Ibnu Sa’d 5/6 dan Al-Ishaabah oleh Ibnu Hajar 3/461).
Jika
ada yang mengatakan bahwa Abu Shaalih lahir pada masa kekhilafahan
‘Umar bin Al-Khaththab – sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (3/65)
– sehingga kemungkinan besar Maalik Ad-Daar ini wafat pada waktu ia
masih kecil (sehingga memungkinkan adanya pertemuan dan penyimakan
hadits); maka ini pun juga tidak bisa diterima dalam pernyataan
keshahihan riwayat. Karena Adz-Dzahabi sendiri tidak menukil tahun
kematian Maalik Ad-Daar dari para ulama terdahulu sehingga tidak bisa
dipastikan penyimakan hadits Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar – atau
bahkan tidak bisa ditentukan apakah Abu Shaalih ini bertemu dengan
Maalik ad-Daar. Apalagi Abu Shaalih membawakannya dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi’). Ini adalah ‘illat yang menjatuhkan. Al-Khaliiliy (1/313) telah mengisyaratkan ‘illat ini sebagaimana perkataannya :
يقال أن أبا صالح السمان سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون أرسلوه
“Dikatakan
bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari
Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” [selesai].
Perkataan Al-Khaliiliy “dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” mengandung satu faedah bahwa penyimakan Abu Shaalih bin As-Sammaan tidaklah ma’ruf di kalangan muhadditsiin.
Dalil yang mengandung kemungkinan yang masing-masing tidak dapat diambil mana yang rajih (kuat) menyebabkan dalil tersebut tidak bisa dipakai untuk berdalil.
3. Orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak diketahui identitasnya (mubham).
Sisi kecacatan (wajhul-i’laal)-nya
adalah bahwasannya kita tidak bisa mengetahui apakah Malik Ad-Daar
melihat peristiwa tersebut atau ia hanya mengambilnya dari orang yang
tidak diketahui identitasnya itu. Selain itu, sangat naïf lagi sembrono jika ada orang yang mengklaim bahwa orang yang mubham itu termasuk shahabat. Oleh karena itu, ini termasuk ‘illat yang menjatuhkan kedudukan riwayat.
Catatan :
Sebagian orang menyangka bahwa Maalik Ad-Daar ini merupakan salah seorang shighaarush-shahaabah karena Al-Haafidh memasukkannya dalam kitabnya Al-Ishaabah (6/164). Ini satu kekeliruan !! Ibnu Hajar telah memasukkan Maalik Ad-Daar dalam thabaqah (tingkatan) yang ketiga, dimana beliau menjelaskan dalam muqaddimah-nya bahwa dalam thabaqah ini
merupakan orang-orang yang mendapati masa Jahiliyyah dan masa Islam,
namun tidak didapati satu pun khabar bahwa mereka pernah berkumpul
bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun
sekedar melihatnya, sama saja apakah mereka memeluk Islam ketika beliau
masih hidup atau setelah wafatnya – sehingga mereka ini bukanlah
termasuk jajaran shahabat dengan kesepakatan para ulama” [lihat 1/4].
Oleh karena itu Asy-Syaikh Al-Albani menganggap Maalik Ad-Daar ini majhul serta tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hapalannya. Al-Haafidh Al-Mundziriy ketika menyebutkan kisah lain dalam At-Targhiib (2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam Al-Kabiir. Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [lihat At-Tawassul Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 119].[1]
4. Bertentangan dengan syari’at Islam yang ma’ruf yang menganjurkan shalat istisqaa’ untuk meminta turunnya hujan. Bukan dengan mendatangi kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya.
Tanbiih !!
Beberapa
orang pendengki dakwah salaf dari kalangan pecinta khurafat dan kuburan
telah menuduh Asy-Syaikh Ibnu Baaz bahwa beliau mengkafirkan shahabat
Bilaal dalam riwayat yang telah disebutkan di atas [sebagaimana
dituliskan oleh seorang jaahil pengelola blog http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/22/wahaby-palsukan-kitab-fathul-bari-dan-kafirkan-sahabat-bilal-ra/]. Perkataan dan tuduhan ini paling tidak disebabkan oleh dua faktor mendasar :
a. Minimnya
pengetahuannya akan ilmu riwayat (hadits) sehingga ia tidak mengetahui
bahwa penyebutan Bilaal (bin Haarits Al-Muzaaniy) dalam riwayat tersebut
berkualitas sangat lemah (dla’if jiddan). Inilah yang diketahui oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz namun tidak diketahui oleh si jaahil.
b. Ketidakpaham si jaahil akan perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah ditambah dengan sifat dengki plus su’udhdhan yang berlebihan, sehingga menutup akal pikirannya dalam mencerna perkataan beliau yang sebenarnya sangat mudah dipahami. Hatta oleh orang awam sekalipun. Beliau rahimahullah berkata ketika mengomentari riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar dalam Al-Fath (2/495) :
هذا
الأثر على فرض صحته كما قال الشارح ليس بحجة على جواز الاستسقاء بالنبي
صلى الله عليه وسلم بعد وفاته لأن السائل مجهول ولأن عمل الصحابة رضي الله
عنهم على خلافه وهم أعلم الناس ولم يأت أحد منهم إلى قبره يسأله السقيا ولا
غيرها بل عدل عمر عنه لما وقع في الجدب إلى الاستسقاء بالعباس ولم ينكر
ذلك عليه أحد من الصحابة فعلم أن ذلك هو الحق وأن ما فعله هذا الرجل منكر
ووسيلة إلى الشرك بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك وأما تسمية
السائل في رواية سيف المذكورة بلالا بن الحارث ففي صحة ذلك نظر
“Atsar ini jika dianggap shahih sebagaimana dikatakan oleh syaarih (yaitu Ibnu Hajar), tetap saja tidak dapat dipakai sebagai hujjah diperbolehkannya istisqaa’ (meminta hujan) dengan perantara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya. Hal ini dikarenakan orang yang meminta (berdoa) tersebut adalah majhul, dan juga dikarenakan perbuatan para shahabat radliyallaahu ‘anhu menyelisihi
apa yang dilakukannya itu. Mereka (para shahabat) adalah orang-orang
yang paling mengetahui (tentang ilmu syari’at). Tidak ada satu pun dari
mereka yang mendatangi kuburan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta diturunkannya hujan ataupun yang selainnya. Bahkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu telah
mengkoreksi apa yang dilakukan oleh laki-laki itu, yaitu ketika musim
kemarau tiba, beliau meminta hujan melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas.
Apa yang beliau perbuat itu tidak diingkari oleh satupun d antara
shahabat; yang dengan itu diketahui bahwa apa yang diperbuat ‘Umar
adalah benar. Apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut adalah
munkar dan merupakan perantara menuju kesyirikan. Bahkan sebagian ulama
menganggap perbuatan tersebut merupakan bagian dari kesyirikan. Adapun
penamaan orang yang berdoa tersebut dalam riwayat Saif tersebut dengan
Bilaal bin Al-Haarits, maka keshahihannya perlu dilihat kembali” [selesai].
Silakan
dicermati apa yang dikatakan Asy-Syaikh Ibnu Baaz di atas. Dimana letak
bahwa beliau mengkafirkan Bilaal ? (padahal penisbatan nama laki-laki
tersebut kepada Bilaal tidaklah shahih).
Dengan uraian di atas jelaslah bagi kita - semoga - bahwa riwayat Maalik Ad-Daar yang sering dipakai oleh para qubuuriyyun itu
tidak shahih, tidak boleh dilirik, dan sudah sepantasnya dibuang di
belakang punggung kita. Semoga catatan kecil ini dapat bermanfaat bagi
Penulisnya dan siapa saja yang membacanya. Wal-‘ilmu ‘indallaah. Allaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ Al-Bogoriy – di satu saat sebelum shubuh.
Bahan bacaan :
a. At-Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1421 H.
b. Al-Is’aaf min Ighaatsatis-Saqaaf oleh ‘Abdullah bin Fahd Al-Khaliifiy (http://www.ahlalhdeeth.com).
d. Fathul-Baariy oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy, ta’liq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz; Daarul-Ma’rifah.
e. Al-Ishaabah oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy, Cet. Kalkutaa, India.
f. Dll.
[1] Perkataan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah ini
mendapat reaksi keras dari orang-orang yang memusuhi beliau dimana
mereka telah menuduh beliau – melalui perkataan ini – sebagai satu
penghinaan terhadap shahabat. Justru mereka lah yang sebenarnya tidak
mengetahui kedudukan permasalahannya karena ketidaktahuan mereka bahwa
Maalik Ad-Daar ini bukanlah seorang shahabat. Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar