Jumat, 25 April 2014

Imam-Imam Madzhab Melarang Taqlid Buta



shidqSecara bahasa, taqlid pengertiannya ialah melilitkan sesuatu di leher laiknya tali kekang. Adapun secara istilah syar’iyyah, taqlid adalah mengikuti orang lain yang perkataannya bukan hujjah. [Al-Ushuul min ‘Ilmil Ushuul]
Hukum asal taqlid ini adalah  haram, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah ta’aala dalam firman-Nya, “Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tidak memiliki ilmu padanya, karena sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan akal pikiran akan dimintai oleh Allah pertanggungjawabannya.”  [Al-Israa’: 36]

Akan tetapi, larangan ini dapat keluar dari hukum asalnya manakala ada dalil lain yang menerangkan akan kebolehannya atau bahkan menjadi wajib. Seperti firman Allah ta’aala, “Maka bertanyalah kalian kepada para ahlinya (ulama), jika kalian tidak memiliki ilmu tentangnya.”  [An-Nahl: 43]
Sebagian Ulama mengatakan, ayat ini menunjukkan bahwa kalangan awam yang tidak memiliki kemampuan menggali kesimpulan hukum atau berdalil, maka wajib baginya bertaqlid. Hendaklah ia merujuk kepada para Ulama yang dikenal lebih mantap keilmuannya dalam masalah yang ia hadapi serta kewara’annya. Namun jika hal itu sama terjadi pada dua orang Ulama, maka ia dapat memilih fatwa/pendapat salah satu dari keduanya.

Oleh sebab itu, Imam Ahmad apabila beliau ditanya tentang satu masalah yang beliau belum mengetahui dalilnya, maka beliau merujuk kepada gurunya, yakni Al-Imam Asy-Syaafi’i karena ia adalah seorang imam [Siyaar A’laamin Nubalaa’]. Padahal Imam Ahmad adalah salah seorang imam dari imam madzhab yang empat. Maka hal itu lebih pantas lagi diberlakukan bagi kalangan awam , wallaahu a’lam.

Berikut ini kami nukilkan keterangan imam madzhab yang empat yang melarang sikap taqlid. Dan yang dilarang di sini adalah sikap taqlid buta yang haram yakni jika telah tegak padanya dalil Al-Qur’an atau hadits yang shahih, ia tetap bersikukuh taqlid kepada madzhab tertentu atau pendapat tertentu sekalipun berasal dari kalangan Ulama.

 إذا قلت قولاً يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي
Al-Imam Abu Hanifah/Imam Hanafi (wafat th. 150 H), “Jika aku berkata tentang suatu pendapat yang menyelisihi Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku itu.” [Riwayat Al-Imam Al-Fullaani dalam "Iqaazhul Himam Uulil Abshaar" hal. 50]

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
Al-Imam Maalik bin Anas (wafat th. 179 H), “Aku hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang mencocoki dalil Al-Qur’an was Sunnah, maka ambillah. Namun apabila menyelisihi dalil Al-Qur’an was Sunnah maka tinggalkanlah.” [Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam "Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih" 1/622, Ibnu Hazm dalam Ushuulul Ahkaam 6/149]

 كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Al-Imam Asy-Syaafi’i (wafat th. 204 H), “Setiap dari pendapatku, kemudian ada riwayat shahih dari Nabi menyelisihi pendapatku itu, maka hadits Nabi lebih pantas didahulukan. Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” [Riwayat Ibnu Abi Haatim dalam Adab Asy-Syaafi’i hal. 93 & Ibnul Qayyim dalam I’laamul Muwaqqi’in 4/45]

لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
Al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), “Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Maalik, Asy-Syaafi’i, Al-Auzaa’i dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambilnya (yakni lihat dalilnya).” [Riwayat Al-Imam Al-Fullaani dalam "Iqaadzhul Himam Uulil Abshaar" hal. 113]

Maka menjadi suatu kepastian bagi kita, bahwa beragama di dalam Islam haruslah didasari dalil yang bersumber dari Al-Qur’an was Sunnah, meskipun untuk memahami keduanya tetap melalui bimbingan para Ulama juga. Setiap ada Ulama yang berfatwa/berpendapat tentang suatu masalah yang menyelisihi dalil, pasti akan ada Ulama lainnya yang selevel atau yang lainnya mengoreksi fatwa tersebut dengan landasan dalil disertai keterangan para Ulama pula. Jadi jangan ragu untuk mengatakan, jika hadits itu shahih maka itulah madzhabku. Inilah sikap ilmiyyah dalam beragama.

Fikri Abul Hasan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar