Secara
bahasa, taqlid pengertiannya ialah melilitkan sesuatu di leher laiknya
tali kekang. Adapun secara istilah syar’iyyah, taqlid adalah mengikuti
orang lain yang perkataannya bukan hujjah. [Al-Ushuul min ‘Ilmil Ushuul]
Hukum asal
taqlid ini adalah haram, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah
ta’aala dalam firman-Nya, “Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang
kalian tidak memiliki ilmu padanya, karena sesungguhnya pendengaran,
pengelihatan dan akal pikiran akan dimintai oleh Allah
pertanggungjawabannya.” [Al-Israa’: 36]
Akan tetapi,
larangan ini dapat keluar dari hukum asalnya manakala ada dalil lain
yang menerangkan akan kebolehannya atau bahkan menjadi wajib. Seperti
firman Allah ta’aala, “Maka bertanyalah kalian kepada para ahlinya
(ulama), jika kalian tidak memiliki ilmu tentangnya.” [An-Nahl: 43]
Sebagian
Ulama mengatakan, ayat ini menunjukkan bahwa kalangan awam yang tidak
memiliki kemampuan menggali kesimpulan hukum atau berdalil, maka wajib
baginya bertaqlid. Hendaklah ia merujuk kepada para Ulama yang dikenal
lebih mantap keilmuannya dalam masalah yang ia hadapi serta
kewara’annya. Namun jika hal itu sama terjadi pada dua orang Ulama, maka
ia dapat memilih fatwa/pendapat salah satu dari keduanya.
Oleh sebab
itu, Imam Ahmad apabila beliau ditanya tentang satu masalah yang beliau
belum mengetahui dalilnya, maka beliau merujuk kepada gurunya, yakni
Al-Imam Asy-Syaafi’i karena ia adalah seorang imam [Siyaar A’laamin
Nubalaa’]. Padahal Imam Ahmad adalah salah seorang imam dari imam
madzhab yang empat. Maka hal itu lebih pantas lagi diberlakukan bagi
kalangan awam , wallaahu a’lam.
Berikut ini
kami nukilkan keterangan imam madzhab yang empat yang melarang sikap
taqlid. Dan yang dilarang di sini adalah sikap taqlid buta yang haram
yakni jika telah tegak padanya dalil Al-Qur’an atau hadits yang shahih,
ia tetap bersikukuh taqlid kepada madzhab tertentu atau pendapat
tertentu sekalipun berasal dari kalangan Ulama.
إذا قلت قولاً يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي
Al-Imam Abu
Hanifah/Imam Hanafi (wafat th. 150 H), “Jika aku berkata tentang suatu
pendapat yang menyelisihi Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku itu.” [Riwayat Al-Imam
Al-Fullaani dalam "Iqaazhul Himam Uulil Abshaar" hal. 50]
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
Al-Imam
Maalik bin Anas (wafat th. 179 H), “Aku hanyalah seorang manusia yang
bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap
pendapatku yang mencocoki dalil Al-Qur’an was Sunnah, maka ambillah.
Namun apabila menyelisihi dalil Al-Qur’an was Sunnah maka
tinggalkanlah.” [Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam "Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi
wa Fadhlih" 1/622, Ibnu Hazm dalam Ushuulul Ahkaam 6/149]
كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Al-Imam
Asy-Syaafi’i (wafat th. 204 H), “Setiap dari pendapatku, kemudian ada
riwayat shahih dari Nabi menyelisihi pendapatku itu, maka hadits Nabi
lebih pantas didahulukan. Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” [Riwayat
Ibnu Abi Haatim dalam Adab Asy-Syaafi’i hal. 93 & Ibnul Qayyim
dalam I’laamul Muwaqqi’in 4/45]
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), “Janganlah kalian taqlid kepadaku,
jangan pula taqlid kepada Maalik, Asy-Syaafi’i, Al-Auzaa’i dan
Ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambilnya (yakni lihat
dalilnya).” [Riwayat Al-Imam Al-Fullaani dalam "Iqaadzhul Himam Uulil
Abshaar" hal. 113]
Maka
menjadi suatu kepastian bagi kita, bahwa beragama di dalam Islam
haruslah didasari dalil yang bersumber dari Al-Qur’an was Sunnah,
meskipun untuk memahami keduanya tetap melalui bimbingan para Ulama
juga. Setiap ada Ulama yang berfatwa/berpendapat tentang suatu masalah
yang menyelisihi dalil, pasti akan ada Ulama lainnya yang selevel atau
yang lainnya mengoreksi fatwa tersebut dengan landasan dalil disertai
keterangan para Ulama pula. Jadi jangan ragu untuk mengatakan, jika
hadits itu shahih maka itulah madzhabku. Inilah sikap ilmiyyah dalam
beragama.
Fikri Abul Hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar