(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Setiap amalan yang disyariatkan dalam Islam memiliki batasan-batasan.
Hal ini dimaksudkan agar agama ini tidak diaplikasikan secara berlebihan yang
ujung-ujungnya kemudian menjadi amalan bid’ah. Demikian juga dengan ziarah
kubur. Amalan yang dianjurkan ini bisa menjadi bid’ah jika batasan-batasan
syariatnya dilanggar. Hal-hal apa saja yang mesti kita perhatikan dalam ziarah
kubur? Dan bagaimana hukum amalan tersebut bagi wanita?
Ziarah Kubur Amalan yang Disyariatkan
Ziarah kubur merupakan amalan yang disyariatkan dalam agama ini. Ini bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat. Tentunya disertai syarat, orang yang melakukannya tidak melakukan perbuatan yang dimurkai Allah I seperti berdoa meminta hajat/ kebutuhan dan istighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t membagi ziarah kubur menjadi dua, yaitu: ziarah syar’iyyah (ziarah yang syar’i) dan ziarah bid’iyyah (ziarah yang bid’ah). Ziarah yang syar’i adalah ziarah yang dilakukan dengan maksud mengucapkan salam kepada mayat dan mendoakannya sebagaimana hal ini dilakukan ketika menshalati jenazahnya. Namun ziarah ini dilakukan tanpa syaddu rihal (menempuh perjalanan yang jauh/ safar). Adapun ziarah yang bid’ah adalah bila peziarah melakukannya dengan tujuan meminta kebutuhan/ hajat kepada mayat dan ini merupakan syirik akbar. Atau ia ingin berdoa di sisi kuburan, maka ini bid’ah yang diingkari dan mengantarkan kepada kesyirikan. Selain itu, yang demikian ini tidak pernah dicontohkan Nabi n, tidak pula oleh salaful ummah dan para imam dari kalangan umat ini. (Sebagaimana dinukil dalam Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan, 1/256 dan Taudhihul Ahkam, Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam, 3/258)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa berdoa dan beristighatsah kepada mayat, serta meminta kepada Allah dengan menyebut hak si mayat yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika berziarah, termasuk hujr1 yang paling besar dan ucapan yang batil. Semestinya ulama menerangkan hukum Allah terkait dengan masalah ini kepada mereka dan memahamkan mereka bagaimana ziarah kubur yang masyru’ah (ziarah yang syar’i) berikut tujuannya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 227-228)
Berikut ini dalil dari hadits Rasulullah n tentang disyariatkannya ziarah kubur beserta faedahnya:
Buraidah ibnul Hushaib z berkata: Rasulullah n bersabda:
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan:
“Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”3
Abu Sa’id Al-Khudri z mengabarkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/ pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah z disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi n bersabda:
“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kema-tian.”4
Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah z, Nabi n mengatakan:
“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”5
Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik z disebutkan:
“Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”6
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi n membatasinya dengan ucapan beliau:.” (Al-Majmu’, 5/285)
Al-Imam Ash-Shan’ani t berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)
Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki7. Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:
Pertama: Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah n melarang
kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut)
terhadap kami.” 9
Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iy-yah10 dan sebagian pengikut madzhab Hanafiyyah11 berpendapat seperti ini.
Kedua: Mubah tidak makruh. Demikian pendapat mayoritas Hanafiyyah, Malikiyyah dan riwayat lain dari Al-Imam Ahmad t12, berdalil dengan:
1. Hadits dari Buraidah z yang telah disebutkan di atas13.
2. Hadits ‘Aisyah x tentang ziarahnya ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abi Bakar c.14
3. Hadits ‘Aisyah x juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan
Rasulullah n kepada ‘Aisyah15 ketika ia berkata: “Apa yang
aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
Beliau mengajarkan: “Katakanlah:
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan
mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian.
(HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad
Du’a li Ahliha)
4. Hadits Anas bin Malik z , ia berkata:
“Nabi n melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi
kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah17
dan bersabarlah.’
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan, –pen.)”
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan, –pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi n.”
Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi n dan tidak didapatinya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi n. “Aku tadi tidak mengenal-mu”, katanya menyampaikan uzur.
Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” 18
Ketiga: Haram. Demikian pendapat sebagian pengikut madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah, serta pendapat ketiga dari Al-Imam Ahmad19, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim, dengan dalil berikut:
1. Abu Hurairah z berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)
Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.”20 (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur)
Namun sanad hadits ini dha’if sebagai-mana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.
2. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah n. Setelah selesai, Rasulullah kem-bali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah n. Beliau bertanya:
“Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”
“Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.
“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah.
“Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah.
“Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau n. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).
Yang rajih (kuat) dari perselisihan yang ada, wallahu a’lam, adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-laki, dengan beberapa alasan yang akan kami bawakan pada edisi mendatang, Insya Allah.
(bersambung, insya Allah)
1 Akan dijelaskan nantinya
2 Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/ kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)
3 HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan An-Nasa`i
4 HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi
5 HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355
6 HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376
7Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan
8 Sebagaimana dinukil dari Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah , 2/497
9 HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163,
2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz
10 Al-Majmu’ 5/285
11 Raddul Mukhtar 1/151
12 Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah, 2/497
13 Yaitu hadits:
14 Akan dijelaskan nantinya.
15 Hadits ini dan hadits Anas setelahnya, kata Al-Imam An-Nawawi t, termasuk dalil yang menunjukkan ziarah kubur itu tidak diharamkan bagi wanita. (Al-Majmu’, 5/286)
16 makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara majaz pada segala yang dibenci/ tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim 6/227)
17 Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya, karena itulah Nabi n memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari 3/184)
18 HR. Al-Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 626
19 Al-Imam Ahmad diketahui memang memiliki tiga pendapat dalam masalah ini.
20 Bedakan antara lafadz: dengan . Lafadz merupakan shighat mubalaghah (berlebih-lebihan) artinya wanita-wanita yang banyak atau sering berziarah. Sehingga bila hanya sesekali mereka melakukan ziarah tidaklah mereka dikatakan , tetapi dikatakan yang maknanya wanita-wanita yang berziarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar