Kamis, 24 April 2014

Berhukum dengan Selain yang Alloh Turunkan bag. 1

Diskusi  Konstruksi Teori Ilmiah

Bandar bin Nayif Al Mihyany Al Utaiby

Cetakan Kedua


Penterjemah : Ustadz Abdul Hakim Lc

Pengantar Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Hasan bin Abdurrahman Al Syaikh (pada cetakan kedua)
(Anggota Komite Fatwa Dan Lajnah Daimah dan Kibar Ulama)
Bismillahirrahmanirrahiem
Segala puji bagi Alloh, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad dan keluarga serta seluruh shahabatnya. Amma ba’du, Saya telah membaca satu bagian dari kitab yang disusun Syaikh Bandar bin Nayif Al Utaiby yang berjudul : ( Munaqosyah Ta’shiliyyah ilmiyyah Li mas’alah Al hukmi bi ghoiri ma anzalalloh ) , dan beliau telah menulis dengan baik dan memberi faidah, serta menjelaskan sikap Ahli Sunnah Wal Jamaah terhadap pihak yang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan ( hukum islam – pent ), dengan didukung sejumlah dalil syar’iy dari Kitab dan Sunnah, dan ucapan serta fatwa para imam yang muktabar dari ulama umat ini. Maka saya memohon kepada Alloh Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar melimpahkan pahala kepada penulis dengan sebaik-baik balasan dan menjadikan beliau serta kitab ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad dan keluarga serta seluruh shahabat.
Anggota Kibar Ulama

Muhammad bin Abdurrahman Al Syaikh

 1/2/1427 H

بسم الله الرحمن الرحيم

Mukadimah kitab
Assalam alaikum warahmatullohi wa barokatuh, wa ba’du :

Karena masalah berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalah termasuk masalah yang paling rumit bagi para penuntut ilmu, hingga tidak selamat dari kesalahan dalam hal ini sampai pun sebagian orang yang memiliki keutamaan, maka saya berupaya keras semaksimal yang saya mampu dalam rangka mengeluarkan kitab ini sebagai penjelasan alhaq, dengan berharap agar Alloh Tabaroka Wa Ta’ala menjadikannya bermanfaat bagi semua.

Kemudian, saya juga berusaha meringkas terlebih di zaman ini yang telah melemah himmah para penuntut ilmu dalam membaca, kecuali mereka yang dirahmati rabb-ku, dan sedikit sekali mereka, dan akan saya tutup mukadimah ini dengan :

Nukilan dari ucapan salaf shalih rahimahumulloh

Berkata Ubadah bin Shamit radhiyallohu anhu : “ sungguh di atas kebenaran ada cahaya “ ( Allalika’iy dalam Syarh Ushul Itiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah No 116 ) .

Dan berkata Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallohu anhu : “ Janganlah seorang bertaqlid dalam urusan agama kepada seseorang, jika ia beriman maka ikut beriman !, dan jika dia kafir maka ikut kafir ! jika kalian harus mengambil teladan maka contohlah tokoh yang telah meninggal, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah ( ujian ) ( 130 ).

Berkata Ibnu Umar radhiyallohu anhu : Tidak ada yang lebih menggembirakanku dalam islam ini selain tidak masuknya sedikitpun dari ahwa ( bid’ah ) ke dalam hatiku “ ( 227 ).

Berkata Hudaifah radhiyallohu anhu : “ berhati-hatilah kalian dari berubah-ubah warna dalam beragama, sebab agama Alloh hanyalah satu “ ( 120 ).

Berkata Al Auza’iy rahimahulloh : “ kami berjalan bersama sunnah kemana saja ia berjalan “ ( 47).

Berkata Sufyan At Tsaury rahimahulloh : “ berikanlah wasiat yang baik kepada Ahli Sunnah karena mereka adalah Ghuroba “ ( 49 ).

Berkata Al Hasan Al Bashry rahimahulloh : “ Wahai Ahlus Sunnah , berlemah lembutlah !! karena kalian adalah yang paling sedikit di antara manusia “ ( 19 ).

Berkata Yunus bin Ubaid rahimahulloh : “ Tidak ada yang lebih asing dari sunnah, dan yang lebih asing lagi adalah yang telah mengenalnya “ ( 23 ).

Berkata Sufyan Atsaury rahimahulloh : “ Jika sampai kabar kepadamu bahwa ada seorang di timur atau barat dia adalah ahlus sunnah, maka berikan kepada keduanya salam dan doakanlah keduanya, betapa sedikitnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah “ ( 50 ).

Berkata Ayyub Asyikhtiyany rahimahulloh : “ jika aku dikabari tentang kematian seorang ahi sunnah maka seakan terasa terlepas sebagian anggota tubuhku “ ( 29 )

Beliau rahimahulloh juga berkata : “ sesungguhnya orang-orang yang menghendaki matinya ahli sunnah , mereka sesungguhnya ingin mematikan cahaya Alloh dengan mulut-mulut mereka. Dan Alloh akan senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya walau pun orang kafir membencinya .( 35 ).

Abu Bakr Ayyash rahimahulloh pernah ditanya siapakah Sunny itu ? maka beliau menjawab : yaitu seorang yang jika disebutkan ahwa ( bidah ), maka ia tidak fanatik kepada sedikitpun darinya “( 53 ).

Berkata Syadz ibnu Yahya rahimahulloh : “ tidak ada jalan yang lebih mudah ke surga daripada jalan seorang yang menempuh Atsar “ ( 112 ).

Berkata Fudhail ibnu Iyadh rahimahulloh : “ barang siapa yang didatangi oleh seorang yang mengajak diskusi namun kemudian menunjukkan kepada mubtadie’ maka ia telah mencurangi islam “ ( 261 ).

Berkata Al Auza’iy rahimahulloh : “ Tidak ada seorang pengikut bidah yang engkau bawakan hadits dari Rasulillah Shollallohu alaihi wa sallam yang menyelisihi bid’ahnya kecuali pasti akan membenci hadits itu “ ( 732 ).

Berkata Abul Abbas Al Ashom rahimahulloh : “ ada dua orang khawarij yang sedang berthowaf di ka’bah, maka seorang dari mereka berkata kepada temannya : tidak akan masuk surga dari manusia sebanyak ini kecuali aku dan kamu ! maka temannya menjawab : apakah surga yang luasnya seluas langit dan bumi dibangun hanya untuk kamu dan aku ? ia menjawab : Ya ! Maka temannya berkata : kalau begitu ambillah untuk kamu sendiri saja ! lalu ia meninggalkan  pendapat bid’ah itu. ( 2317 ).

Demikianlah, dan kitab ini saya bagi menjadi empat bahasan :

Bahasan pertama : kaidah kaidah yang harus dikenali

Bahasan kedua : Perincian masalah berhukum dengan selain hukum Alloh

Bahasan ketiga : Pasal pasal penyempurna .

Bahasa keempat : Jawaban terhadap dalil-dalil mereka yang menyelisihi ( kebenaran ).

Allohumma limpahkanlah petunjuk dan bimbingan-Mu !

 
BAHASAN PERTAMA

KAIDAH – KAIDAH YANG HARUS DISEPAKATI
Yaitu Enam Kaidah

Kaidah Pertama

Berhukum dengan hukum Alloh adalah fardhu ain bagi setiap muslim
Ada enam hal penting :

Hal pertama  : kewajiban memutuskan hukum ( alhukmu )  dengan syariat Alloh Ta’ala, Dia Ta’ala  berfirman :

{وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ} [المائدة: 49]

Artinya : dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.( QS . Al Maidah 49 ).

Hal kedua :  kewajiban berhukum ( tahaakum ) kepada syariat Alloh Ta’ala disertai ridha dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada syariat-Nya. Alloh Ta’ala berfirman :

{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا } [النساء: 65]

Artinya :  Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.( QS. Annisa 65 ).

Hal ketiga : Ancaman bagi siapa yang tidak berhukum dengan syariat Alloh Ta’ala , Alloh berfirman :

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} [المائدة: 44]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS. Al Maidah : 44 )

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [المائدة: 45]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim ( QS. Al Maidah : 45 )

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} [المائدة: 47]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ( QS. Al Maidah : 47 )

Hal keempat : Berhati-hati dari menyelisihi perintah Alloh dan Rasul-Nya shollallohu alaihi wa sallam, Alloh berfirman :

{فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [النور: 63]

Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih ( QS . Annur 63 ) .

Hal kelima : Hukum Alloh Tabaroka Wa Ta’ala  adalah sebaik-baik hukum, Alloh berfirman :

{أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ} [المائدة: 50]

Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? ( Hukum ) siapakah yang lebih baik daripada ( hukum ) Alloh bagi orang-orang yang meyakini ( agamanya ) ? ( QS. Al Maidah : 50 ).

Hal keenam : Apa saja yang datang berupa hukum-hukum syar’iy dari Alloh maka ia adalah ruh dan cahaya, Alloh berfirman :

{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } [الشورى: 52]

Artinya : Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ( Muhammad ) ruuh ( Al Quran ) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah kitab ( Al Quran ) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al Quran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh , engkau benar-benar membimbing manusia kepada jalan yang lurus ( QS. Syura : 52 ) .

Kaidah Kedua

Terjatuhnya seorang dalam hal yang mengkafirkan tidak otomatis dikafirkan
Hal itu adalah karena takfier mu’ayyan ( vonis kafir person tertentu ) disyaratkan padanya iqamatul hujjah ( penegakkan dalil ).

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ Tidak ada hak bagi seorang untuk mengkafirkan seorang dari kaum muslimin walau pun ia salah dan keliru ; sampai ditegakkan atasnya hujjah dan dijelaskan kepadanya . Dan seorang yang telah tetap keislamannya dengan yakin tidak dapat dihapuskan darinya ( status ) itu dengan syakk ( keraguan ), bahkan tidak dapat dihapus kecuali setelah iqamatul hujjah dan menghilangkan syubhat “ ( Al Fatawa 12/466 ).

·         Saya berkata : iqamatul hujjah dimaksudkan untuk memeriksa kembali terpenuhinya syarat – syarat takfir muayyan pada orang tersebut, seperti ilmu yang menafikan kejahilan, alqoshdu ( bermaksud ) yang menafikan ketidaksengajaan, al ikhtiyar ( pilihan ) yang menafikan paksaan, dan tidak adanya takwil yang diperbolehkan.

·         Atas dasar ini , maka apa yang disebutkan oleh para ulama dalam masalah kufur  akbar tidaklah secara otomatis jatuhnya vonis kafir kepada pelakunya, sebab harus diadakan iqamatul hujjah sebelum dihukumi dengan kekufuran .

 
Kaidah Ketiga

Kekafiran pemerintah tidak selalu menjadikan boleh memberontak
Hal ini karena diperbolehkan memberontak kepada penguasa hanya jika telah terpenuhi lima syarat :

1.      Penguasa terjatuh dalam kufur bawwah ( jelas / disepakati ) , yang kita memilki dalil dari Alloh.

2.      Menegakkan hujjah atasnya

3.      Memiliki kemampuan untuk melengserkannya

4.      Memiliki kemampuan untuk menempatkan muslim yang akan menggantikannya

5.      Pemberontakan ini tidak menyebabkan kerusakan yang lebih parah yang harus ditanggung kaum muslimin dibanding sebelumnya.

Berkata ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ barangsiapa dari kaum mukminin berada di suatu negeri yang ia lemah, atau suatu zaman yang ia lemah, maka hendaknya ia menggunakan ayat- ayat kesabaran dan memaafkan bagi pihak yang menyakiti Alloh dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan musyrikin. Adapun yang memiliki kekuatan maka mereka hanya boleh menggunakan ayat qital ( memerangi ) pada tokoh kekufuran yang mencela agama , dan dengan ayat perang terhadap ahli kitab hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan hina ( Sharim Maslul 2/413 ) .

Berkata Ibnu Baz rahimahulloh : “ kecuali jika kaum muslimin melihat kufur bawah yang jelas mereka memiliki dalil dari Alloh maka tidak mengapa jika mereka memberontak terhadap pemerintah ini untuk melengserkannya, jika mereka memiliki kemampuan, adapun jika mereka tidak memiliki kemampuan maka tidak boleh memberontak. Atau jika pemberontakan menyebabkan keburukan yang lebih parah, maka mereka tidak boleh memberontak demi menjaga kebaikan bagi masyarakat umum. Dan kaidah syar’iy yang disepakati ( dalam hal ini ) adalah : “ tidak boleh menghilangkan keburukan dengan hal yang lebih buruk “ , karena semestinya keburukan itu dihilangkan atau dikurangi. Adapun menolak keburukan dengan keburukan yang lebih maka tidak boleh dengan ( dasar ) ijma kaum muslimin. Apabila kelompok ini ( yang hendak memberontak kepada pemerintah yang melakukan kufur bawwah) , memiliki kemampuan untuk melengserkan dan mampu mengganti dengan pemimpin yang shalih dan baik tanpa menyebabkan kerusakan besar atas kaum muslimin dan keburukan yang lebih luas dari keburukan pemerintah itu ; maka tidak mengapa, adapun jika pemberontakan hanya menyebabkan kerusakan yang besar dan hancurnya keamanan serta ( tersebarnya ) kejahatan kepada manusia, serta pembunuhan yang tidak semestinya dilakukan dan selainnya dan berbagai kerusakan yang sangat besar maka hal ini tidak boleh ( dilakukan ) “ ( Al Fatawa 8/203 ).

Berkata Ibnu Utsaimin rahimahulloh tentang memberontak kepada pemerintah yang kafir : “ jika kita mampu menggulingkannya maka boleh memberontak, adapun jika tidak memiliki kemampuan maka tidak boleh, karena seluruh kewajiban syariat disyaratkan padanya kemampuan. Kemudian, jika kita memberontak maka sangat mungkin menyebabkan mafsadah yang lebih besar dan luas daripada saat orang tersebut berkuasa. Sebab jika kita ( tetap ) memberontak lalu gagal maka kita akan dihinakan dan ia akan bertambah melampaui batas serta kekufurannya akan lebih banyak ( Al Baab Al Maftuh 3/126, liqo 51, su’al 1222 ).
  • Oleh karena itu : maka apa yang disebutkan oleh para ulama berupa kufur akbar dan dilakukan pemerintah, tidak otomatis menjadikan hukum bolehnya memberontak walaupun hujjah telah ditegakkan, sebab harus melihat kepada syarat – syarat yang lain yang menjadikan boleh memberontak .



Kaidah Keempat

Hukum asal perbuatan yang menyelisihi syariat adalah tidak dikafirkan sedang takfier adalah faktor luar yang dapat merubah hukum asal ini
Maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan yang menyelisihi syariat adalah tidak menjadikan kafier, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan takfier. Kaidah ini bercabang menjadi dua masalah :

1.      Seorang yang hendak memindahkan satu perbuatan yang dilarang dari hukum asalnya ( = tidak kafir ) kepada lawannya ( = kafir ) maka ia wajib mendatangkan dalil, jika tidak ada dalil maka ucapannya tidak dianggap.

2.      Seorang yang hendak menunjukkan tidak kafirnya suatu perbuatan yang dilarang, cukup berdalil dengan hukum asal dan tidak adanya dalil yang memindahkan ( posisi vonis ) dari hukum asal itu.

Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahulloh : “  dan dari sisi pandangan yang benar yang tak terbantahkan adalah bahwa siapa saja yang telah tetap baginya ikatan islam pada suatu waktu dengan ijma kaum muslimin, lalu melakukan suatu dosa atau mentakwil, sehingga mereka berselisih setelah itu apakah ia keluar dari islam ; maka ikhtilaf setelah ijma mereka ini tidak dapat disebut hujjah, dan dia tidak keluar dari ( status ) keislaman yang telah disepakati kecuali dengan kesepakatan lain, atau sunnah yang tsabit yang tak terbantahkan. ( Tamhied 16/315 ).
  • Saya berkata : ambillah pelajaran dalam ( memahami ) kaidah ini dari apa yang telah ditetapkan dalam masalah pembatal wudhu – sebagai contoh - ; maka tidak boleh gegabah seorang menghukumi batalnya wudhu yang sah kecuali adanya dalil, jika ada seorang mengatakan bahwa suatu hal adalah pembatal wudhu hanya berdasar akal tanpa dalil maka tidak diterima.

Berkata Ibnul Mundzir rahimahulloh : “ jika seorang telah bersuci maka ia tetap di atas keadaan suci, kecuali jika ada hujjah yang menunjukkan telah batal kesuciannya “. ( Al Ausath 1/230 ).

Beliau rahimahulloh berkata : “ mereka yang mewajibkan wudhu dengan hal-hal tersebut tidak memiliki hujjah sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahkan para ulama telah berijma bahwa siapa saja yang telah bersuci adalah suci, mereka berikhtilaf tentang batalnya atau tidak wudhu dengan sebab mimisan dan bekam....maka satu kelompok mengatakan batal wudhunya sedang yang lain berpendapat ; tidak batal. Dan mereka mengatakan bahwa tidak boleh kesucian yang telah sah dengan ijma untuk dibatalkan kecuali dengan ijma yang semisal atau khabar dari Rasululloh Shollallohu alaihi wa sallam  yang tak terbantahkan “ ( Al Ausath 1/174 ).
  • Kemudian, saya katakan : jika para ulama islam telah tawaqquf ( diam ) dalam menerima suatu pendapat yang menetapkan pembatal ibadah wudhu kecuali jika ada dalil, maka pembatal islam lebih utama untuk tawaqquf ; sebab mengatakan batal islam seseorang adalah lebih besar dari masalah batal wudhunya. Ingatlah ini karena ia penting .
  • Atas dasar ini, maka hukum asal masalah berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalah bahwa ia perkara yang tidak mengkafirkan ; barang siapa menetapkan kekafiran dengan salah satu dari bentuknya maka ia wajib membawakan dalil, jika tidak dapat maka pendapatnya tidak dianggap .


Kaidah Kelima

Masalah memutuskan hukum dengan selain apa yang Alloh turunkan tidak khusus bagi sebagian orang saja
Maka pembahasan ini tidak khusus ditujukan kepada hakim pengadilan tidak pula hakim tertinggi ( presiden ) , pemerintah atau amir, namun mencakup semua yang memutuskan antara dua orang / lebih .

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ dan setiap orang yang memutuskan antara dua orang maka dia adalah qadhi, sama saja apakah dia tentara, atau pemegang jabatan atau bagian amar makruf nahy munkar, sampai orang yang memutuskan antara anak-anak dalam masalah tulisan mereka, dahulu para shahabat menganggapnya termasuk hukkam ( hakim ) ( Al Fatawa 18/170 ).

v  Atas dasar ini maka : hukum pebuatan yang dilakukan amir ( penguasa ) atau bukan adalah sama , barangsiapa yang mengkafirkan dalam satu jenis rincian masalah ini bagi pemerintah maka harus menghukumi kafir siapa saja yang melakukannya, baik ia pemerintah atau bukan .


Kaidah Keenam

Ijmal ( simplifikasi ) adalah sebab banyak masalah
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ dan adapun lafadz-lafadz mujmal ( global / umum ) ; maka berbicara di dalamnya dalam menafikan atau menetapkan tanpa merinci ; menjatuhkan ke dalam kebodohan dan kesesatan, kekacauan dan kebinasaan serta qiila wa qoola ( desas desus ) .( Minhajus Sunnah 2/217 )

Berkata Ibnul Qayyim rahimahulloh : “ mereka yang menentang Kitab dan sunnah dengan akal-akal mereka – yang sebenarnya adalah kebodohan – selalu membangun kerangka berfikir mereka di atas pendapat yang rancu dan mengandung banyak kemungkinan, yang mengandung kerancuan dalam makna, dan ijmal dalam lafadz ; yang dapat dibawa ke arah haq maupun batil, disebabkan karena kebenaran yang terkandung maka mereka akhirnya menerima kebatilan yang ada padanya karena kekurangan ilmu, karena kesamarannya, lalu mereka mempertentangkan kebatilan itu dengan nash-nash dari para nabi, inilah pangkal kesesatan dari umat yang tersesat sebelum kita, sekaligus asal bid’ah seluruhnya....maka awal kesesatan anak  adam adalah dari lafadz mujmal dan makna yang rancu terlebih saat bertemu dengan akal yang berpenyakit “ ( Ashowa’iq Al Mursalah 3/925 ).

Berkata Abdul Lathif ibn Abdurrahman ibn Hasan rahimahumulloh : “ maka sesungguhnya Ijmal dan ithlaq ( memutlakkan ) serta ketidakmengertian tentang mawanie’ khithob serta perinciannya akan menghasilkan kerancuan dan kesalahan dan tidak memahami ( maksud ) Alloh , inilah yang merusak agama dan mengacaukan pemikiran dan menghalangi dari memahami As Sunnah dan Al Quran . ( Uyun Ar Rasa’il 1/166 ).

v  Atas dasar ini : maka wajib merinci ( tafshiel) dalam setiap masalah yang dirinci oleh dalil-dalil syar’iyah, dan tidak boleh memutlakkan hukum dengan dasar perbuatan tanpa memperhatikan tafshiel yang ditunjukkan oleh dalil .

Bertolak dari kaidah ini , maka :

BAHASAN KEDUA

RINCIAN MASALAH BERHUKUM DENGAN SELAIN YANG ALLOH TURUNKAN
bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar