Sabtu, 26 April 2014

BELAJAR BERJIWA BESAR PADA IMAM AHMAD & IBNU TAIMIYAH*

Oleh: Choirul Hisyam

IMAM AHMAD



Ketika terjadi fitnah tentang “Pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk” Imam Ahmad dipenjara, dibelenggu, dipukuli, disiksa, dan dipukuli di bawah terik matahari pada siang hari Ramadhan hingga sore hari, padahal saat itu beliau sedang puasa.



Setelah beliau dipindahkan ke tempatnya di dalam penjara, sementara darah melumuri bajunya, padahal beliau seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mudah-mudahan Allah meridhainya. Beliau adalah Imam pada zaman itu. Tetapi meski demikian beliau tidak mencari kemenangan untuk dirinya pribadi. Beliau tidak marah karena dirinya sendiri. Beliau hanya marah kerena Allah. Setelah kejadian ini beliau berkata, “Semua orang yang menyebut saya, maka dia berada dalam kehalalan (1).”





Beliau juga berkata, “Saya telah menjadikan Abu Ishaq (2) berada dalam kehalalan. Karena saya melihat Allah berfirman, Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu ? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .” (QS. An-Nur:22)




Nabi juga menyuruh Abu Bakar agar memaafkan pada kisah ifk (perkataan dusta yang menuduh Aisyah radhiyallahu ‘anha).




Lalu Imam Ahmad berkata lagi, “Apa gunanya jika Allah menyiksa saudara muslim anda hanya karena kepentingan pribadi ?”




Imam Ahmad setelah disiksa dengan siksaan yang sangat parah ini, beliau tidak membuka map dan catatan nama-nama musuhnya. Beliau tidak mencari siapa dalang di balik peristiwa yang menyebabkan datangnya siksaan yang menimpa beliau ini.




Beliau tidak mengatakan, “Si Fulan-lah yang telah menjerumuskan saya dalam masalah ini.”
“Si fulan-lah yang memprovokasi masalah ini, Si fulan-lah telah memicingkan saya, Si fulan-lah telah meremahkan hak saya, Si fulan-lah tidak berbuat apa pun untuk menyelesaikan penderitaan saya, Si fulan tidak mengunjungi saya setelah keluar dari penjara, si fulan-lah telah mengeluarkan beberapa kata tidak baik terhadap saya.”


Mungkin sebagian orang menduga bahwa Imam Ahmad akan mengambil tindakan terhadap orang-orang yang bersaksi dalam fitnah tersebut. Tetapi yang jelas, beliau tidak berusaha membalas dendam sedikitpun terhadap mereka.


Sejarah juga tidak pernah mengabarkan kepada kita dari Imam Ahmad lewat hamparan biografi beliau yang panjang bahwa beliau mengucapkan ssuatu kata yang bertujuan membela diri pribadi.
___________________


1) Maksudnya: Saya tidak membencinya dan tidak pula mendoakan keburukan baginya. Tetapi saya memaafkannya



2)Yaitu Al-Mu’thasim, khalifa yang memukuli dan mencambuknya





***



IBNU TAIMIYAH




Beliau adalah seorang ulama besar yang disakiti dan difitnah bahwa beliau telah melakukan banyak perbuatan buruk. Para ulama mengkafirkannya. Sang Sultan juga berfatwa agar ia dibunuh. Bahkan sebagian mereka memukul dada Ibnu Taimiyah sambil mengatakan, Darahnya berada di dalam leher saya (Maksudnya, dialah yang bakal membunuh Syaikul Islam ini). Dan beliau terus terusan dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain di Damaskus dan Kairo.



Beliau berada dalam penjara dalam rentang waktu yang sangat lama. Setelah itu beliau dikeluarkan dari penjara, dan tak lama kemudian, beliau dijebloskan lagi ke penjara.


Orang-orang di zamannya bersama-sama bangkit untuk membinasakan beliau. Mereka para pembesar tukang bid’ah, para penurut hawa nafsu, dan para pendengki. Hati mereka dipenuhi kemarahan dan kedengkian terhadap imam yang memenuhi dunia dengan ilmu dan dakwah ini. Seorang imam yang menghambat laju perkembangan para tukang bid’ah dan pengikut hawa nafsu dengan pedang-pedang sunnahnya. Dan kitab-kitab beliau hingga saat ini menjadi saksi atas hal itu.


Di antara musuh bebuyutan yang paling memusuhi Syaikhul Islam, yang mengeluarkan fatwa bahwa beliau telah halal darahnya, harus dibunuh, dan telah kafir….adalah seorang ulama dari fuqaha’ penganut madzhab Maliki. Lelaki itu bernama Ibnu Mahluf.


Ibnu Mahluf meninggal di masa hidupnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika murid beliau yang bernama Ibnu Qayyim mendengar kabar kematiannya, ia segera berlari menghadap Syaikhul Islam, demi memberitahukan kabar gembira tentang kematian musuh terbesar dan musuh bebuyutannya yang bernama Ibnu Mahluf.


Ibnul Qayyim berkata, “Bergembiralah, Ibnu Mahluf telah meninggal dunia.”
Kemudian apa tindakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ? Apakah beliau mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari keburukannya ?”


Sama sekali Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan hal itu. Baliau tidak seperti sebagian kita yang mengatakan, “Itu adalah kerikil yang terbuang di jalan kaum muslimin. Kita sekarang terbebas darinya.” Sama sekali beliau tidak mengatakan hal itu. Justru Ibnu Qayyim berkata, “Namun beliau malah menggertak dan mengingkari perbuatan saya. Kemudian beliau ber-istirja’ .” (Mengucapkan, “Innalillahi wa Innailaihi Raji’un.”)





Setelah itu Ibnu Taimiyyah langsung bangkit menuju rumah keluarga Ibnu Mahluf orang yang semasa hidupnya sangat memusuhi beliau dan menghibur mereka. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya saya sekarang sebagai pengganti Ibnu Mahluf. Dan tidaklah kalian membutuhkan bantuan apapun, kecuali saya akan membantu kalian.” Sehingga seluruh keluarga Ibnu Mahluf menjadi bahagia dengan kedatangan beliau dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
____________



*)Mengambil faedah dari kitab, “Ushulul hukmi ‘alal mubtadi’ati ‘inda Syaikhul Islam Ibnu



Taimiyah” (Dasar Membiad’ahkan Orang Menurut Syaikhul Ibnu Taimiyah) , Dr. Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hulaibi, Pustaka eLBA, Surabaya, 2007




Ilustrasi: alamazharians.blogspot.com




(nahimunkar.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar