Kamis, 03 April 2014

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Ahlussunnah Wal Jama’ah [Bukti Otentik Dari Surat Beliau Kepada Penduduk Al-Qashim]

Setelah membahas syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para pengekor hawa nafsu dan orang-orang yang bodoh tentang hakikat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir menutup kitabnya yang penuh manfaat dengan mencamtumkan salah satu dari risalah-risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang beliau kirimkan kepada penduduk Al-Qashim, tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang aqidah beliau. Agar mereka bisa tenang mengikutinya atau agar mereka bisa membantahnya jika pada kenyataannya aqidah beliau tersebut bertentangan dengan aqidah yang diyakini oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Perlu Anda ketahui, bahwa penduduk Al-Qashim tidaklah menerima dakwah beliau kecuali setelah adanya pembahasan dan pemeriksaan. Dan inilah hendaknya yang dilakukan oleh para ulama atau orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dalam menyingkap hakikat sebenarnya dari setiap berita yang sampai kepada mereka tentang seorang atau sebuah jama’ah yang dituduh dengan kesesatan oleh manusia. Agar orang-orang yang ingin mencari kebenaran dapat berjalan dengan isitqomah diatas kebenaran.

Berikut nukilannya..

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Saya mempersaksikan kepada Allah dan kepada siapa yang hadir bersamaku dari para malaikat, dan saya mempersaksikan kepada kalian bahwasanya:

Saya meyakini apa yang diyakini oleh Al-Firqah An-Najiah (kelompok yang selamat) yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, berupa keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada apa yang ditakdirkan, yang baik maupun yang buruk.

Termasuk bentuk beriman kepada Allah adalah mengimani semua yang Dia sifatkan diri-Nya dengannya dalam kitab-Nya melalui lisan Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif (pemalingan makna atau huruf) dan tidak pula ta’thil (mengingkari sifat).

Bahkan saya meyakini bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka saya tidak menafikan dari-Nya apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dan saya tidak memalingkan kata-kata (sifat Allah) dari makna sebenarnya. Saya tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan ayat-ayat-Nya, saya tidak melakukan takyif (membagaimanakan sifat Allah), dan saya tidak memisalkan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Karena Allah tidak ada yang setinggi dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak boleh dikiaskan dengan makhluk-Nya. Karena Allah paling mengetahui tentang diri-Nya dan selain-Nya, paling jujur ucapan-Nya, dan paling baik perkataan-Nya. Dia menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan oleh para penentang dari kalangan pelaku takyif dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk). Dia berfirman:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ

“Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul.” (Ash-Shaffat: 180-181)

Al-Firqah An-Najiyah berada di pertengahan -dalam masalah perbuatan Allah- antara Al-Qadariyah dengan AI Jabariyah. Mereka berada di pertengahan—dalam masalah ancaman Allah—antara Al-Murji`ah dan Al-Wa’idiyyah. Mereka berada di pertengahan—dalam masalah iman dan agama-antara AI-Haruriah (Khawarij) dan Mu’tazilah dengan Al-Murji’ah dan Al-Jahmiyyah. Dan mereka berada di pertengahan-dalam masalah sahabat Rasulullah—antara Ar-Rafidhah (Syi’ah) dengan Al-Khawarij.

Saya meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan, bukan makhluk, dari-Nya berasal dan kepada-Nya akan kembali. Dan bahwa Dia berfirman dengannya secara hakiki. Dia menurunkannya kepada hamba, Rasul-Nya, orang kepercayaan-Nya dalam wahyu-Nya, dan perantara antara Dia dengan hamba-hamba-Nya [dalam risalah, bukan dalam ibadah –ed], yaitu Nabi kita Muhammad.

Saya juga meyakini bahwa Allah Maha Berbuat apa yang Dia kehendaki, tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, tidak ada satu pun yang keluar dari keinginan-Nya.
Tidak ada satu pun dalam alam ini yang keluar dari ketetapan-Nya, tidak akan ada satu pun yang lahir kecuali atas pengaturan-Nya, dan tidak ada jalan keluar bagi seorang pun dari taqdir yang telah dibatasi dan tidak ada sesuatu pun yang bisa melampaui apa yang ditetapkan untuknya dalam Al-Lauh Al-Mahfuzh.

Saya meyakini keimanan kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi berupa semua perkara yang terjadi setelah kematian. Maka saya mengimani adanya fitnah (ujian) dalam kubur dan kenikmatannya, dan dikembalikannya roh-roh kepada jasad jasad, sehingga seluruh manusia akan berdiri untuk Rabb semesta alam dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, lagi tidak berkhitan, sementara matahari mendekat kepada mereka. Mizan-mizan (timbangan amalan) ditegakkan, yang padanya semua amalan hamba akan ditimbang. Barang siapa yang berat timbangan kebaikannya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka mereka itulah orang-orang yang merugikan diri-diri mereka sendiri, kekal di dalam Jahannam. Buku-buku catatan amalan akan disebarkan, maka di antara manusia ada yang menerimanya dengan tangan kanannya dan ada juga yang menerimanya dengan tangan kirinya.
Saya mengimani adanya telaga Nabi kita Muhammad di pelataran Hari Kiamat. Airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, bejana-bejana sebanyak jumlah bintang-bintang langit, dan barang siapa yang minum darinya sekali niscaya dia tidak akan merasakan haus setelahnya selama-lamanya.

Saya juga mengimani adanya sirath (titian) yang akan dipasang di atas pinggir Jahannam, yang seluruh manusia akan melewatinya sesuai dengan kadar amalan-amalan mereka.

Saya mengimani adanya syafa’at Nabi dan bahwasanya beliau adalah pemberi syafa’at pertama dan yang pertama kali diberikan izin untuk memberi syafa’at. Tidak ada yang rnengingkari adanya syafa’at Nabi kecuali para penganut bid’ah dan kesesatan. Hanya saja syafa’at beliau ini tidak akan terwujud kecuali setelah adanya izin dan keridhaan dari Allah. Sebagaimana pada firman Allah:

وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’ : 28)
Allah    berfirman:

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah taripa izin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Allah    berfirman:

وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya” (An-Najm: 26)
Semetara Dia tidak meridhai kecuali tauhid dan tidak mengizinkan kecuali kepada yang memiliki tauhid. Adapun kaum musyrikin maka mereka tidak punya sedikit pun bagian dari syafa’at. Sebagaimana pada firman Allah:

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (Al-Muddatstsir: 48)

Saya mengimani bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk, keduanya sudah ada sekarang, dan keduanya tidak akan fana.

Saya mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka dengan penglihatan mereka pada Hari Kiamat sebagaimana mereka melihat Bulan pada Malam Purnama, mereka tidak akan kesulitan dalam melihat-Nya.

Saya mengimani bahwa Nabi kita Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul. Dan tidak sah keimanan seorang hamba hingga dia beriman kepada risalah beliau dan mempersaksikan kenabian beliau.

Saya mengimani bahwa manusia paling utama dari umat beliau adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq, kemudian Umar A1Faruq, kemudian Utsman Dzu An-Nurain, kemudian Ali Al-Murtadha, kemudian sisanya dari kesepuluh orang lainnya yang sudah dijamin masuk surga , kemudian mereka yang ikut Perang Badr, kemudian mereka yang membai’at Nabi di bawah pohon, yang mengikuti bai’at Ridhwan, kemudian sahabat lainnya

Saya berloyal kepada para sahabat Rasulullah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan untuk mereka, dan meminta ampunan untuk mereka, serta saya menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan mereka dan diam pada perkara yang mereka berselisih padanya.

Saya meyakini keutamaan (keistimewaan kedudukan mereka) mereka sebagai pengamalan dari firman Allah ;

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hat/ kami ter¬hadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Se¬sungguhnya Engkau Maha Penyantun lag/ Maha Penyayang” (AI-Hasyr: 10)
Saya mendoakan kepada ibu-ibu kaum mukminin (isteri-isteri Rasulullah ) radhiallahu anhunna yang disucikan dari berbagai kejelekan.

Saya mengakui karamah para wali dan mukasyafah (kejadian-kejadian luar biasa) yang terjadi pada mereka, hanya saja mereka tidak pantas mendapatkan sedikit pun apa yang menjadi hak Allah dan tidak boleh diminta dari mereka sesuatu yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah.
Saya tidak memastikan untuk seorang Muslimin bahwa dia masuk Surga dan tidak pula memastikan akan masuk Neraka, kecuali orang yang telah dipastikan oleh Rasulullah . Akan tetapi saya mengharapkan orang-rang yang berbuat baik bisa masuk Surga dan mengkhawatirkan orang-orang yang berbuat jelek akan masuk Neraka.

Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin karena suatu dosa yang dia perbuat, dan saya tidak mengeluarkan dia dari lingkup Islam.

Saya memandang jihad tetap berlaku bersama setiap pemimpin yang baik maupun yang fajir, dan shalat berjama’ah di belakang mereka adalah boleh.

Jihad tetap berlaku semenjak Allah mengutus Muhammad hingga akhir umat ini memerangi Dajjal, jihad ini tidak dibatalkan oleh kejahatan seorang imam yang fajir dan tidak pula dibatalkan oleh keadilan seorang imam yang adil.

Saya menilai wajibnya mendengar kepada imam-imam kaum Muslimin,-yang baik maupun yang fajir di antara mereka-, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang memegang khilafah, manusia sudah sepakat akan kepemimpinannya dan mereka ridha kepadanya, ataukah orang itu menundukkan mereka dengan pedangnya hingga dia bisa menjadi khalifah (secara paksa) maka tetap wajib untuk taat kepadanya dan haram untuk keluar dari ketaatan kepadanya.

Saya memandang disyari’atkannya memboikot para penganut bid’ah dan menjauhi mereka hingga mereka bertaubat. Saya menghukumi mereka dengan agama (yang bersifat lahiriyah) dan menyerahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah.

Dan saya meyakini bahwa semua perkara ibadah yang di-buat-buat dalam Islam adalah bid’ah.
Saya meyakini bahwa `iman’ itu adalah ucapan dengan lisan, amalan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati, dia bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dia terdiri dari 73 sampai 79 cabang, di mana cabang tertingginya adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah’ (kesaksian bahwa: tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah), dan cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan segala gangguan dari jalanan.

Saya memandang wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at Muhammadiyah yang suci.

Ini adalah aqidah ringkas yang saya tuliskan dalam keadaan pikiran saya sedang sibuk, agar kalian bisa mengetahui apa yang ada pada saya dan Allah yang menjadi tempat bersandar atas apa yang kami katakan.

Kemudian tidak samar bagi anda bahwa telah sampai kepadaku kabar bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada anda, dan bahwa risalah tersebut telah diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu di negeri anda. Dan Allah mengetahui bahwa orang ini (Ibnu Suhaim) telah membuat banyak perkara dusta atas nama saya yang tidak pernah saya ucapkan, dan kebanyakannya tidak pernah terbetik di dalam pikiranku.

Di antara bentuk kedustaan tersebut adalah dia mengatakan bahwasanya saya tidak menggunakan kitab-kitab mazhab yang empat, dan bahwasanya saya mengatakan bahwa manusia tidak berada di atas aqidah yang benar sejak 600 tahun yang lalu, dan bahwasanya saya mengklaim diri saya sebagai orang yang mampu berijtihad (memunculkan mazhab baru), dan bahwasanya saya tidak mengikuti para ulama, dan bahwasanya saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama itu adalah siksaan, dan bahwasanya saya mengkafirkan orang yang bertawassul melalui orang-orang shalih, dan bahwasanya saya mengkafirkan Al-Bushiri karena ucapannya, “Wahai makhluk yang paling mulia,” dan bahwasanya saya mengatakan bahwa jika seandainya saya sanggup untuk merobohkan kubah (yang berada di atas kubur) Rasulullah niscaya saya akan merobohkannya dan seandainya saya yang berkuasa atas Ka’bah maka saya akan mengganti saluran airnya dengan saluran air yang terbuat dari kayu, dan bahwasanya saya mengharamkan ziarah ke kubur Nabi, dan bahwasanya saya mengingkari ziarah ke kubur kedua orang tua dan selain keduanya, dan bahwasanya saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwasanya saya mengkafirkan Ibnu Al-Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwasanya saya membakar kitab Dala’il Al-Khairat dan Raudh Ar-Riyahin dan saya menamakannya Raudh Asy-Syayathin. Jawaban saya atas semua tuduhan di atas adalah, “Maha Suci Engkau ya Allah, itu sungguh merupakan kedustaan yang besar.” Muhammad dahulu telah dituduh bahwa beliau mencela Isa bin Maryam dan bahwa beliau mencela orang-orang shalih. Maka hati-hati para penuduh ini mirip dengan mengarang kebohongan 

dan ucapan dusta. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. (An-Nahl: 105)

Mereka menuduh beliau dengan kedustaan bahwasanya beliau mengatakan bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair berada dalam Neraka. Maka Allah menurunkan ayat dalam masalah ini:

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ

“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka” (Al-Anbiya’ : 101)

Adapun masalah-masalah lain, yaitu bahwa saya mengatakan, “Islam seseorang tidak akan sempurna hingga dia mengetahui makna kalimat `laa ilaha illallah’,” bahwa saya men-jelaskannya kepada siapa yang datang kepada saya dengan mengetahui maknanya, bahwa saya mengkafirkan orang yang bernazar jika dia menginginkan dengan nazarnya untuk bertaqarrub kepada selain Allah dan membuat nazar untuk itu, dan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah kekafiran dan sembelihannya haram dimakan. Maka masalah-masalah ini adalah benar dan saya mengucapkannya. Saya mempunyai dalil dari kalam Allah dan sabda Rasul-Nya yang menunjukkan apa yang saya katakan ini, dan juga dari perkataan para ulama panutan seperti Imam Empat. Jika Allah memudahkan maka saya akan memaparkan jawabannya secara panjang lebar dalam risalah tersendiri insya Allah.

Kemudian pelajarilah dan ambillah pelajaran dari firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)


Sumber : Tash-hiih Khatha’ Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah Oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir | Edisi Indonesia : “Wahabi dan Imperialisme”  | Penterjemah : Abu Muawiyyah Hammad | Penerbit: Griya Ilmu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar