Minggu, 11 Mei 2014

WASPADA ORGANISASI SESAT NII BAGIAN 3

NII Dalam Timbangan Aqidah (3) 

 

 

Oleh: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam
 





http://moslemsunnah.files.wordpress.com/2011/04/bendera-nii.jpg?w=250&h=187 


Sistematika Tauhid (Menurut NII)


 
Di dalam program kerja periode kepemimpinan Adah Jaelani, pembinaan atau kaderisasi meliputi pembinaan mental spritual; material; dan keterampilan. Di dalam pembinaan mental spritual dijelaskan bahwa pembinaan ini meliputi bidang aqidah, ideologi (pandangan hidup), akhlak dan syari’ah. Pembinaan mental spritual diarahkan pada aqidah: tauhid uluhiyah, rububiyah dan mulkiyah.



Tauhid Uluhiyah, berdasarkan juklak PDB adalah Allah minded: Tidak ada ilah lain kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Tauhid Rububiyah, tidak ada aturan, ketentuan, keputusan dan keterangan lain kecuali Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai uswatun hasanah, itulah syariat Islam. Jadi bagi tiap pribadi dan usrah hanya boleh berlaku aturan syariat Islam.


Tauhid Mulkiyah: Hanya satu lembaga kekuasaan tertinggi adalah mulkiyah Allah yang didelegasikan kepada lembaga Rasul, kemudian lembaga Ulil Amri (QS, 4:59).





Sehingga ketaatan yang dituntut Allah adalah: taat Allah, berarti melaksanakan hasil syura pimpinan tertinggi (Majlis Syura), sebagaimana yang terdapat dalam QS. 3:159 dan QS. 42: 38. bentuk dan fungsi Majlis Syura dapat dilihat di dalam Qanun Asasi dan penjelmaan lembaga ulil amri di Indonesia adalah NII, tidak yang lainnya. Untuk mewujudkan hal itu harus adanya jihad fi sabilillah. Jadi, pembinaan mental spritual yang benar akan menghasilkan: Allah minded, Islam minded; NII minded dan Jihad minded. [24]



Dengan penjelasan program kerja NII di atas, jelaslah bahwa aqidah yang dipahami dan diyakini sebagai ajaran untuk membina warga NII dan merekrtat umat/warga baru adalah tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah.



Di dalam penjelasan MKT (Ma’lumat Komandemen Tertinggi) Nomor 11 disebutkan bahwa bagi membina jiwa baru, atau menanamkan jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu menyelaraskan diri dengan hukum-hukum jihad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan tingkah laku dan amal perbuatannya dengan hukum-hukumj ihad, maka landasan pembinaan jiwa kesatria suci semacam ini antara lain adalah sebagai berikut:



A. Rasa cinta setia kepada Allah (mahabbah) dalam makna dan wujudnya:


–Sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintahnya dan menjauhi tiap-tiap larangannya, tanpa kecuali dan tanpa tawar menawar;


– Mendahulukan dan mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah; daripada sesuatu di luarnya; dan



–Mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdaniyah Allah, tegasnya: atas tauhid sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya berdasarkan khalishan-mukhlishan semata, atau dengan kata-kata lain, “Allah-minded 100 %.”



B. Rasa cinta setia kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. dalam makna dan wujud:



- Sanggup dan mampu merealisasikan ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan kepercayaan dan keyakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih utama daripada ajaran dan sunnahnya; khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha membina Negara Islam Indonesia; dan pantang melakukan sesuatu di luar ajaran dan hukum Islam, sepanjang sunnah, hingga mencapai taraf “Islam minded 100 %.”



C. Rasa cinta setia kepada ulil amri Islam, atau Imam NII, atau Plm, T.A.P NII yang di 


dalamnya termasuk (1) rasa cinta setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu pemerintah di luarnya; (2) rasa cinta setia kepada Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu negara di luarnya; (3) rasa cinta setia kepada Undang-Undang (Qanun Asasi) NII, dan tidak kepada Undang-Undang negara manapun; dst. Yang semuanya itu tercakup dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded 100%.”



Catatan: Kita hanya mengenal satu ulil amri Islam, satu Imam panglima Plm. Tertinggi APNII [25], tidak lebih dan tidak kurang.



Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan yang menyimpang atau bertentangan dengan dia adalah sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka. [26]
Berdasarkan PDB (Pedoman Dharma Bakti) jilid I di atas jelaslah sudah bahwa landasan pembinaan jiwa ksatria (jiwa militan) adalah tertuju kepada Allah minded, Islam minded dan NII minded , itulah tauhid uluhiyah, rububiyah dan mulkiyah. [27]



Demikian halnya pembinaan dan dakwah yang dikembangkan di wilayah 9 (teritorial termuda yang ditetapkan tahun 1976 untuk Jabotabek dan Banten), hingga diklat bagi para pemimpin/pejabat negara (Irsyad); ketiga jenis tauhid itu menjadi materi pokok aqidah yang diyakini NII. Hanya saja untuk wilayah 9, penyampaian dakwah dan pembinaan termasuk diklat lebih bersifat vulgar, tunjuk hidung dan dengan manajemen yang rapih, terkendali dan lebih maju dibanding manajemen wilayah lainnya maupun managemen non teritorial.



Aqidah yang berupa tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah juga didakwahkan oleh PSII yang sekarang masih ada (hingga tahun 1995) di bawah kepemimpinan CH. Ibrahim. Terdapat dua kitab yang berhasil penulis baca dan miliki yang menjelaskan kandungan tiga jenis tauhid tersebut. [28]
Setelah kita mengetahui penjelasan sistematika tauhid menurut pemimpin dan tokoh-tokohnya dari generasi tua (angkatan I =1949-1962 = generasi jibal atau bahkan tokoh sebelum 1949), seperti dijelaskan di atas, maka akan lengkaplah kalau ditampilkan pula penjelasan tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) dari generasi NII antara tahun 1962-1980 (Angkatan II) serta generasi tahun 1980 – sekarang (Angkatan III). Dasar pijakan (dalil yang digunakan sama persis antara ajaran aqidah NII dari wilayah 9, 1, 7, usroh, dan PSII CH. Ibrahim. Kandungan penjelasannya pun dan pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam berdakwah (merekrut anggota baru) maupun di dalam cara pembinaan selanjutnya; sebagai berikut: [29]



“Berdasarkan Surat Al-Fatihah ayat 1,3, 4 dan surat An-Naas ayat 1,2,3 Allah Subhanahu wa Ta’ala berperan sebagai Rabb, Malik dan Ilah. Maka secara sistematis akidah Islamiyah dapat disimpulkan dengan rumusan, tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah (hal. 8).”



Rabb mengandung pengertian Maha Pemilik Hukum, Maha Pembuat undang-undang atau produk hukum (hal. 14). Dapat digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan tauhid rububiyah ialah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah satu-satunya Rabb (Maha Pencipta, Pengatur, Pemelihara, Maha Penjamin rizqi, Penjamin keamanan, Maha Pendidik dan Pengajar) serta mengimani secara yakin bahwa Allah sebagai Rabb, hanya di Tangan-Nya lah kewenangan secara absolut membuat undang-undang hukum. Bila ada yang mencoba membuat atau memproduksi hukum di luar wahyu berarti telah mengakui, memproklamasikan dirinya sebagai Rabb atau Tuhan tandingan di bumi ini atau musyrik rububiyah (hal. 17) Allah dengan predikat Rabbul `alamin berarti menata alam semesta dengan berdasarkan undang-undang-Nya yang juga disebut dengan istilah lain ‘Sunnatullah’. Allah dengan predikat Rabbinnas berarti menata dunia manusia dengan undang-undang-Nya yaitu wahyu, Al-Qur’an. Penolakan terhadap hukum wahyu menurut Al-Qur’an hukumnya kufur, zhalim, fasiq dan musyrik, karena sebenarnya adalah pengingkaran terhadap aqidah rububiyah (hal. 17-18).
Seluruh hukum produk rasio manusia di luar wahyu adalah dinyatakan gugur, bathil atau dholal (hal.19). hukum yang diciptakan manusia hanya sebatas zhon atau hipotesa belaka dan tidak dapat mencapai nilai kebenaran menurut Allah (hal. 20).



Adapun tauhid mulkiyah adalah keyakinan mengakui hanya Allah sebagai Malikinnas atau raja yang wajib ditaati. Tidak ada kedaulatan dan kerajaan lain yang boleh diakui apalagi ditaati. Mengakui adanya keabsahan suatu lembaga kerajaan di luar kerajaan Allah di bumi berarti musyrik mulkiyah (hal. 24). Adapun bentuk pemerintahan seperti yang ada sekarang seperti monarchi, oligarchi atau demokrasi yang diagung-agungkan Barat dan banyak dijiplak oleh banyak bangsa, semuanya adalah bentuk pemerintahan non wahyu (hal. 26).



Mulkiyah Allah/lembaga pemerintahan wahyu di bumi ditegakkan dan dibangun bukan dengan sistem parlementer atau pola demokrasi Barat yang berarti ada semacam tawarmenawar antara wahyu dan non wahyu. Al-Qur’an telah menginformasikan tentang iblis dari sejak awal menyatakan penolakannya terhadap lembaga pemerintahan Allah di bumi (Kekhalifahan Adam Alaihis Salam) ketika diproklamasikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun musyawarah yang dimaksud di dalam Al-Qur’an adalah dilakukan diantara orang-orang mukmin, bukan antara mukminin wal kafirin.
Banyak sistem dalam memperjuangkan tegaknya mulkiyah Allah /lembaga pemerintahan wahyu di bumi ini tidak Qur’ani dan tidak pernah ada di dalam sunnah dan tidak rasional. Satu-satunya sistem di dalam membentuk lembaga negara/ pemerintahan Allah di muka bumi adalah dengan pola furqan atau pola hijrah (suatu struktur pemerintahan yang berdiri sendiri terpisah dari struktur lembaga jahiliyah yang ada). Lembaga Allah adalah lembaga furqan, bukan lembaga sub sistem struktur lembaga thagut.



Seseorang yang telah komitmen dengan tauhid rububiyah dan mulkiyah, tentu akan merealisasikan nilai-nilai amal dengan tauhid uluhiyah (wahdatul ma’bud). Satu-satunya jalan bagi hamba Allah hanya akan taat, setia dan patuh kepada uluhiyatullah yakni satu pernyataan dan sikap yang tegas dari seseorang bahwa Dialah Allah satu-satunya ilahul haq.




Dengan predikat Allah sebagai Al-Ma’bud (yang berhaq disembah), yaitu satu-satunya ilah yang wajib ditaati, digandrungi, ditakuti dan dijadikan sandaran oleh setiap makhluk di alam semesta ini. Sebab Dialah Allah Yang Maha Pencipta segala sesuatu, Dialah yang berhak membuat hukum dan undang-undang serta aturan, untuk berlangsungnya kehidupan yang benar menurut kehendak-Nya.
Para Nabi dan Rasul Allah sebagai pembawa risalah Islam diperintah oleh Allah untuk menyembah Ilah yang Esa yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.



“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada ilah melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku’…” (Al-Anbiya: 25).



Mereka (para rasul itu) membawa misi proklamasi tauhid perintah ibadah ini kepada seluruh manusia:



“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku ibadahilah Allah. Sekali-kali tidak ada ilah bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak mengibadahi Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat)’…” (Al-A’raf:59).



Begitu pun seruan yang disampaikan Nabi Hud (Al-A’raf:65), NabiShalih (Al-A’raf :73), Nabi Syu’aib (Al-A’raf:85)dan Nabi-Nabi yang lainnya.



Dalam ajaran Islam tidak dikenal pengabdian yang ganda, sebab hal itu adalah sikap yang munafiq dan syirik. Seorang Muslim yang sudah komitmen dengan tauhid uluhiyah dituntut kepada pengabdian yang murni dan suci bersih semata-mata hanya akan loyal dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab jika ada ilah tandingan di alam semesta ini, maka akan rusak binasalah langit dan bumi.



“Sekiranya ada ilah-ilah di langit dan di bumi selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Al-Anbiya:22) Lihat pula Qur’an surat Al-Kahfi: 110 (halaman 37-38).




Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa aqidah islamiyah yang diajarkan dan diyakini NII, baik yang disampaikan oleh proklamatornya, para pemimpinnya dan tokoh jibal seperti Abu Suja, Tahmid, Ketetapan Komandemen Tertinggi seperti yang dimuat di dalam Pedoman Dharma Bakti jilid I maupun yang diajarkan dan diyakini generasi ke-2 NII baik yang berada di teritorial, seperti wilayah I, 2, 7, 9 maupun yang non teritorial seperti usrah dan juga PSII CH. Ibrahim), semuanya sama yaitu meyakini dan menanamkan atau mengkader umat Islam dengan tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.



Sistematika Tauhid Menurut Manhaj yang Haq



Sistematika tauhid, termasuk di dalamnya mengenai tafsir La ilha illallah menurut NII telah kita paparkan di atas. Kini saatnya kita jelaskan sistematika tauhid, termasuk tafsir Lailaha illallah menurut manhaj yang haq yakni manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ ah (Salafus Shalih) sebagai berikut:
Manakala kita kaji Kitabullah dan sunnah Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka kita akan mengetahui bahwa hak terbesar bagi Allah Azza wa Jalla atas hambanya adalah tauhidullah. Syaikh Fauzan menjelaskan bahwa tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam rububiyah, ikhlas beribadah kepada-Nya serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya.[30] Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi (239-321 H) di dalam kitabnya, pasal pertama menyebutkan bahwa dengan petunjuk Allah, kita meyakini makna Tauhidullah adalah bahwa Allah itu Esa dan tidak ada tandingan bagi-Nya.[31]



Tauhidullah merupakan da’wah yang pertama dan utama setiap Rasulullah. Perhatikan firman Allah Azza wa Jalla tentang da’wah Nabi Nuh Alaihis Salam (Al-A’raf; 59); da’wah Nabi Hud Alaihis Salam (Al-A’raf: 65) da’wah Nabi Shalih Alaihis Salam (Al-A’raf: 73) da’wah seluruh Nabi sebelum Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (Al-Anbiya: 25) dan da’wah seluruh anbiyawal mursalin, termasuk da’wah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (An-Nahl: 36) Rasulullah Muhammad juga telah bersabda:



“Aku dtperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada ilah (yang berhak) diibadahi melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tauhidullah juga merupakan kewajiban yang terakhir yang dibebankan kepada setiap orang yang telah aqil baligh. Bahkan menjelang wafat, tetap diseru dan diajari dengan kalimattauhid. Sabda Rasulullah:



“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah Laa ilaha illallah; maka pasti ia masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Hakim). [32]



“Talkinkan (ajarkan) orang yang hendak mati diantara kalian dengan Laa illah illallah.” (Shahih Muslim).” [33]




Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa tauhidullah merupakan pilar Islam yang agung dan paling penting, sehingga untuk memahaminya, kita memerlukan bimbingan ulama perwaris Nabi yakni ulama Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di atas telah dinyatakan mengenai pengertian tauhidullah, lalu Syaikh Fauzan menggolongkan/menetapkan sistematika tauhid menjadi tiga macam; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah serta tauhid asma wa sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.[34]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tauhid ada dua macam yaitu tauhid a1-ilmi al-i’tiqadi atau tauhid rububiyyah (termasuk di dalamnya tauhid asma wa sifat) dan tauhid fith-thalabi wal-Qahsd atau tauhid uluhiyah (Fathul Majid, halaman 23).[35] Abdullah Abdul Muhsin At-Turki menggolongkan tauhid sebagai berikut, “Tauhid menurut salaf terbagi dua, yaitu tauhid rububiyah, termasuk di dalamnya tauhid asma wa sifat secara keseluruhan. Sedang jika secara rinci, ia masuk bagian ke tiga, terutama j ika dalam rangka menyanggah orang yang mengakui rububiyah Allah, tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya, seperti aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah.[36] Dan kedua yaitu tauhid uluhiyah.” [37]




Di dalam Tadzhib Syarah Ath-Thahawiyah, dasar-dasar akidah menurut ulama salaf disebutkan bahwa tauhid yang dida’wahkan para Rasul dan diturunkan dalam kitab-kitab suci mereka ada dua: tauhid dalam arti Al-Itsbat (penetapan) dan A1-Ma’rifat (pengenalan) dan tauhid Ath-Thalab (permohonan) dan Al-Qashdu (bertujuan). Sistematika lain tentang pembagian bentuk-bentuk tauhid adalah sesungguhnya tauhid ini meliputi tiga bentuk, yakni tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat (kedua jenis tauhid ini merupakan tauhid al-ma’rifat wal-itsbat). Adapun tauhid Al-Qashdu wath-T’halab yaitu tauhid Ilahiyah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Dalam Taisirul Azizil hamid, hal. 33. [38]



Demikianlah ta’ liq yang diberikan oleh Syaikh Abdul aziz Abdullah bin Baz atas kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah pasal satu, ketahuilah bahwa tauhid yang dengannya Allah mengutus para rasul dan juga menurunkan Al-Qur’ an, terbagi menjadi tiga macam. Pembagian itu sesuai dengan ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah dan juga didasarkan realita atas orang-orang yang terbebani kewajiban syariat. Macam-macam tauhid tersebut adalah: Pertama, tauhid rububiyah, Kedua, tauhid ubudiyah dan ketiga, tauhid asma wa sifat. [39]



Berdasarkan penjelasan di atas, juga di dalam kitab-kitab para ulama yang belum disebutkan di sini, kita dapat mengetahui bahwa sistematika/penggolongan tauhid berdasarkan kitabullah (Al-Qur’an) dan As-Sunnah terdiri atas tiga macam yakni tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah/ubudiyah dan tauhid asma wa sifat. Dengan demikian, tahulah kita bahwa sistematika yang dipahami dan diyakini NII tidak sama dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah.



Lebih lanjut, marilah kita periksa isi/pembahasan tauhidullah di atas antara keduanya yakni antar NII dengan Ahli Sunnah wal Jama’ ah (Salafus Shalih), sebagai berikut: (Bersambung…)
~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~
Sumber: umarabduh.blog.com



Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:



[24] Tahmid, Penjelasan Program Kerja NII dan Sistem Strukturalnya, (1997).


[25] Singkatan dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.



[26] Pedoman Dhama Bakti, Op. Cit. hlm. 180-181.



[27] Tiga jenis tauhid ini disampaikan di semua level pembinaan umat baikdi NT (Non Teritorial) seperti usrah maupun di teritorial, seperti KW (Komandemen Wilayah) 1, 2 dan 7. Penulis kira di wilayah lain pun sama dengan sistematika RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah).



[28] Ohan Sujana, Fenomena Aqidah Islamiyah (Jakarta: Penerbit: Media Da’wah), 1994. Penulis buku ini adalah Vice President PSII. Demikian pulatulisan Tabah Hikam Abdul Karim. (dengan cover buku berlogo PSII). Ia meninggal dunia dalam usia muda (26 tahun) sebagai kader PSII dan CH Ibrahim sebagai presiden PSII memberikan kata pengantar di dalam buku teersebut.




[29] Lihat buku Ohan Sudjana, Op Cit; Periksa pula tulisan Tabah Hikam Abdul Karim; Teliti pula majalah An-Nabaa’ edisi 14, 15, 16, 17. dan l8 Th.II/ 1994. Tinjau juga Kitab Irsyad Pimpinan NII (dari wilayah 9), Kitab Aqidah Islam. W ilayah 9 inilah yang kini mendapat kepercayaan sebagai estafet NII secara nasional, di bawah Abu Toto, sang pemimpin yang disegani di wilayah 9 hingga terlalu berlebihan, sehingga bawahan dikondisikan menjadi sangat amat takut kepadanya dan segala titahnya menjadi qarar/ketetapan hukum.



[30] Shalih bin Fauzan bin Abdullah A-Fauzen, At-Tauhid Lish Shaffil Awwa AI-’Ali, terjemahan Agus Hasan Bashari (Jakarta; Akafa Perss), 1998. hlm. 16.



[31] AI-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi. al-Aqidah Ath-Thahawiyah. Pasal I, Dicetak dan diterbitkan ulang oleh Pustaka Tibyan Solo, 1998.


[32] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi.Tdazhib….Op.Cit.hlm.51-52


[33] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Ad-Duruus Al-Muhimmah Li ‘Aammatil Ummah, terjemahan Tim Darul Haq (Jakarta: Darul Haq), 1420 H, hlm 27.


[34] Shaleh bin Fauzan bin AbduIlah Al-Fauzan Op.Cit .hlm. l6.


[35] Majalah As-Sunnah Edisi 6/Th.III/1418-I998 (Rubrik-Aqidah).


[36] Firqah Mu’tazilah dibangun oleh Washil bin Atha’ dari Bashrah-Irak. Ia lahir 80 H dan meninggal 131 H. Ia pemah berguru kepada Imam Hasan Bashri, kemudian keluar dari majlis Hasan Bashri dan menyebarkan aliran ‘Manzilah Baina Manzilahtaini’ yaitu orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan Muslim, tetapi berada diantara dua kedudukan yakni diantara kedudukan Muslim atau kafir. Mu’tazilah mempunyai lima dasar: manzilah bainamanzilataini; keadilan; tauhid; amar ma’ruf dan nahyi munkar serta pelaksanaan ancaman.


[37] Abdullah Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit. Pasal Penggolongan Tauhid.


[38] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi.Op.Cit.hlm 53-54.


[39] Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi. Op.Cit. hlm 5-7. Lihat pula Syaikh Muhammad bin JamiI Zainu, Op.Cit. hlm 17-19.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar