Ghuluw (ekstrim) dalam Masalah Jihad
Oleh sebab itu, wajarlah bila Al Qaeda demikian perhatian terhadap masalah jihad. Akan tetapi perhatian yang berlebihan ini berubah menjadi sikap ghuluw (ekstrim) tanpa disadari oleh aktivis mereka. Sikap ekstrim ini menghalangi mereka untuk memandang hakikat dari realita sekarang. Mereka tidak sadar bahwa runtuhnya Uni Soviet telah memunculkan situasi baru yang sama sekali berbeda dengan situasi lalu, yang dahulu menyediakan tempat kondusif bagi keberhasilan Jihad Afghan dengan gemilang.
Afghanistan sebagai korban
Al Qaeda menutup mata dari semua kenyataan baru tadi, dan tetap melaju dengan sikap ekstrimnya dalam berjihad. Mereka tidak mendapatkan sasaran tembak yang lebih utama dari Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menyalurkan semangat jihad mereka yang ekstrim itu. Al Qaeda pun melangkahkan kakinya ke perangkap 11 September yang akibatnya sampai hari ini mereka masih ‘kelimpungan’. Tiap kali ia berusaha meloloskan diri -dengan semakin ekstrim dalam berjihad- semakin kencang pula perangkap itu menjeratnya!
Buah pertama dari sikap ekstrim tersebut adalah hilangnya Daulah Afghanistan. Demikianlah… buah dari jihad yang shahih harus hilang gara-gara perang yang kelewat batas, inilah sikap ekstrim yang mereka tenggelam di dalamnya.
Ghuluw (ekstrim) dalam hal apa pun adalah tercela, walaupun dalam hal ibadah. Karena sikap ini merupakan sikap melampaui batas yang tidak diizinkan oleh syari’at. Rasulullah pernah mengingkari orang yang mengatakan bahwa ia akan terus berpuasa tanpa berbuka, atau akan shalat semalam suntuk tanpa tidur, atau yang menjauhi wanita dan tidak mau menikah. Beliau mengatakan: “Namun aku akan berpuasa dan berbuka (tidak puasa), aku shalat dan juga tidur, dan aku menikahi para wanita. Maka barang siapa tidak suka dengan ajaranku, berarti bukan dari golonganku”.
Jadi, barangsiapa konsekuen dengan tuntunan Rasulullah, mengetahui sunnah beliau, lalu mengamalkannya; maka dialah yang berada di atas kebenaran. Namun barang siapa mengambil sebagian dari ajaran beliau, dan meninggalkan sisanya; maka dia akan berlebihan di satu sisi dan kurang di sisi lainnya. Dan inilah yang dialami oleh ikhwan-ikhwan kita di Al Qaeda tanpa mereka sadari. Andai saja mereka konsekuen dan menetapi ajaran Nabi secara keseluruhan -sebagaimana yang akan dijelaskan nanti- niscaya mereka akan berperang selama perang tersebut dapat mewujudkan cita-cita, dan menghentikannya saat peperangan justru mengakibatkan sebaliknya.
Alasannya, selain mensyari’atkan jihad, Allah dan Rasul-Nya juga mensyari’atkan agar kita bersabar dan memaafkan. Allah dan Rasul-Nya juga mensyari’atkan adanya perdamaian, gencatan senjata, hijrah, dan ‘uzlah (mengasingkan diri). Masing-masing diperintahkan sesuai dengan situasi, tempat, dan waktunya. Sehingga bila diamalkan dengan tepat, masing-masing akan membuahkan hasil yang syar’i. Islam tidak menjadikan jihad dan perang sebagai jalan satu-satunya dan metode terbaik dalam menyikapi umat-umat lainnya yang berlaku selamanya. Namun Allah dan Rasul-Nya membolehkan jihad jika memang mendatangkan mashalat terbesar bagi Islam dan kaum muslimin. Adapun bila kemaslahatan tadi tidak bisa diraih melalui jihad, atau justru jihad menyebabkan hilangnya kemaslahatan tadi; maka saat itu jihad tidak boleh dilakukan dan tidak menjadi syar’i, serta tidak dianggap sebagai puncak ketinggian Islam. Bahkan jihad dalam kondisi itu bukan merupakan ajaran Rasulullah.
Intimidasi AS
Akan tetapi, sikap ghuluw telah menjerumuskan Al Qaeda demikian jauh, sehingga menolak setiap cara selain jihad. Baginya, jihad adalah solusi untuk setiap problema, dan obat mujarab bagi segala dilema. Jihad dianggap sebagai kewajiban syar’i kapan saja dan di mana saja, tanpa mempedulikan yang lainnya. Dengan sikap ini, Al Qaeda telah mengabaikan sebagian ajaran Rasulullah tanpa disadari. Coba pikirkan, untuk apa beliau mengajarkan agar bersabar, memaafkan, berdamai, membikin perjanjian, hijrah, ‘uzlah, dan semisalnya, kalau bukan untuk diterapkan pada situasi dan kondisi yang tepat?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Siapa yang tertindas di suatu tempat, atau pada suatu masa; maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan”. Perkataan senada juga disampaikan oleh Ibnu Hajar, Az Zarkasyi, dan dinukil serta diamini oleh As Suyuti.
Kalaulah sebelum melancarkan serangan terhadap target-target milik AS Al Qaeda telah mengeluhkan adanya penangkapan terhadap sejumlah aktivisnya, yang kemudian mereka diserahkan ke negaranya masing-masing untuk mendapat perlakuan kasar; maka serangan terhadap Manhattan bukanlah solusinya, -tanpa memandang syar’i/tidaknya hal itu-. Bahkan serangan tersebut semakin melipatgandakan masalah yang ada. Intimidasi AS menjalar hingga merambah ke ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang, setelah sebelumnya hanya dirasakan oleh beberapa orang. Kalau sudah begini, bukankah kesabaran lebih pas digunakan dalam rangka memperkecil kerugian?
Menzhalimi agama
Ini hanyalah contoh dari akibat mengabaikan sebagian ajaran Rasulullah yang mestinya diamalkan. Mengabaikan kesabaran dan tidak menganggapnya bagian dari ajaran Nabi, mengakibatkan hilangnya berbagai kemaslahatan syar’i, dan munculnya berbagai kerusakan. Padahal Allah mengajarkan kesabaran terhadap Rasul-Nya, Rasul pun mengajarkannya kepada umatnya dan beliau bersama para sahabat senantiasa iltizam dengan kesabaran dalam menghadapi berbagai gangguan dan bala’ yang menimpa mereka.
Bila seseorang beralasan bahwa pihak yang meninggalkan kesabaran telah beralih kepada jihad yang juga merupakan ajaran Nabi; maka alasannya tidak bisa diterima dalam hal ini. Karena masing-masing dari ajaran tersebut harus diletakkan pada tempat yang sesuai, sebagaimana kami jelaskan tadi. Rasulullah tidak meletakkan salah satunya di tempat yang lain, itu mustahil beliau lakukan. Barang siapa melakukannya, berarti telah menyelisihi petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Siapa pun yang memiliki kepekaan fiqih, akan memahami apa yang kami sebutkan tadi dengan mudah ketika ia menelaah sirah Nabi. Ia tidak akan bingung dan kesulitan dalam memahami maksud dari dalil-dalil yang ada.
Sebagaimana dimaklumi, dalil-dalil yang menjadi patokan dalam mengatur hubungan kaum mukminin dengan umat beragama lainnya, diturunkan sedikit-sedikit dan melalui tahapan yang demikian bijaksana hingga demikian sesuai dengan kondisi kaum muslimin. Dalil-dalil tersebut juga mampu menjawab semua tantangan yang berasal dari musuh dengan sangat baik, sehingga menjadi solusi utama dan jalan keluar terbesar bagi tiap tantangan di setiap tahapan.
Adalah suatu kezhaliman besar terhadap Islam dan kaum muslimin bila kita mengabaikan dalil-dalil yang saling melengkapi tersebut, kemudian memilih apa yang kita sukai darinya seenaknya. Atau bersikeras untuk mengamalkan salah satunya saja, dengan berperang dalam setiap kondisi tanpa memilah antara mana yang mampu dilakukan dengan mana yang tidak mampu… atau mana musuh yang dekat dan mana musuh yang jauh… atau mana musuh bebuyutan dan mana musuh biasa… atau mana negara Islam dan mana negara kafir… atau mana yang musyrik, Ahli kitab, atau murtad, dengan yang sekedar zhalim atau fasik. Masalah-masalah ini perlu pembahasan yang lebih meluas, yang tidak mungkin dipaparkan dalam nasehat kilat semacam ini.
Penghalang-penghalang jihad
Di antara bentuk ghuluw dalam jihad ialah lalai dalam memastikan apakah semua syaratnya terpenuhi, semua penghalangnya tidak ada, dan semua sebabnya telah muncul, ataukah belum? Ini merupakan masalah berbahaya yang perlu direnungkan dan diperhatikan lebih jauh, tidak hanya oleh ikhwan-ikhwan kita di Al Qaeda, tapi oleh semua harakah Islamiyah yang mengangkat senjata. Karena hal ini diabaikan, timbullah sejumlah konfrontasi tragis di berbagai negeri kaum muslimin, yang akhirnya tidak membawa kemaslahatan bagi umat maupun agama.
Perlu diketahui, bahwa untuk menjadi suatu kewajiban syar’i, jihad memerlukan tiga hal:
Pertama, adanya sebab.
Kedua, terpenuhinya syarat.
Ketiga, hilangnya penghalang.
Adanya salah satu dari tiga hal di atas belum cukup sebagai alasan bahwa jihad sudah wajib. Ketiganya harus ada semua. Jika sebabnya ada namun syarat-syaratnya belum terpenuhi, atau sebabnya ada namun penghalangnya masih ada; maka tidak bisa dikatakan bahwa jihad telah menjadi kewajiban syar’i. Bahkan jihad seperti ini tidak syar’i dan tidak wajib hukumnya hingga ketiga unsur tadi terpenuhi semua.
Sayangnya, kebanyakan orator dan penulis kontemporer yang bicara tentang jihad, demikian perhatian kepada sebab-sebab jihad, namun tidak mencurahkan perhatian yang sama terhadap syarat-syarat dan penghalangnya. Akibatnya, muncullah berbagai harakah Islam yang seakan belum pernah mendengar tentang penghalang-penghalang jihad. Padahal penghalang-penghalang tadi demikian diperhatikan oleh syari’at, sehingga keberadaannya dapat membatalkan pengaruh dari sebab itu sendiri.
Menghalalkan darah & tatarrus
Boleh jadi, karena besarnya semangat dan ghirah Islamiyah mereka sebagai pemuda, mereka terdorong untuk bertahan cukup lama dengan ‘sebab-sebab jihad’. Sayangnya, berbagai sebab tadi demikian tersebar di seluruh penjuru dunia. Baik berupa kemusyrikan yang dielu-elukan, adanya fitnah terhadap agama, intimidasi ats kaum muslimin, maupun hilangnya ajaran agama dalam kehidupan. Mereka lantas memberinya porsi besar dalam bentuk renungan, pembicaraan, maupun karya tulis, dalam rangka mencari solusi atasnya, tanpa memberi perhatian serupa terhadap syarat-syarat dan penghalang jihad itu sendiri.
Berangkat dari sikap ghuluw Al Qaeda dalam masalah jihad tadi, mereka mulai tidak memperhatikan aturan-aturan khusus dalam jihad dengan seksama. Mereka justru menganggap bahwa terlalu memperhatikan aturan sama dengan menggembosi semangat, dan setiap pihak yang menuntut mereka untuk memperhatikan aturan hanya dianggap sebagai penggembos. Dari sini, timbullah berbagai kesalahan fatal, seperti melakukan ghadr (pengkhianatan) dengan membunuh orang kafir yang telah mendapat jaminan keamanan, dan menghalalkan darah kaum muslimin di negeri mereka sendiri dengan dalih tatarrus.
Masalah jaminan keamanan telah kita bahas sebelumnya, adapun masalah tatarrus akan kita bahas nanti insya Allah.
Saya dan banyak kalangan demikian terkejut dengan berbagai legitimasi aneh yang disampaikan oleh para pendukung Al Qaeda, yang dianggap cukup berilmu untuk membahas masalah-masalah yang rumit ini. Kami dapati bahwa tiap kali mereka berbicara, pasti mengatakan dan membawa sesuatu yang ‘ajaib. Di antaranya, ketika Al Qaeda mendapat berbagai kecaman setelah melanggar jaminan keamanan yang diberikan oleh Saudi -baik pemerintah maupun perorangan- kepada warga asing; maka orang yang aneh tersebut mengatakan bahwa jaminan keamanan dari pihak yang zhalim tidak berlaku atas pihak yang adil. Kemudian saat kami mengecam Al Qaeda terkait pembunuhan sejumlah kaum muslimin dengan dalih tatarrus; ia kembali berkoar bahwa kaum muslimin yang dijadikan perisai oleh musuh boleh dibunuh dalam rangka menimpakan madharat atau menyukseskan serangan, dan yang menentukan hal tersebut adalah mujahidin, kata mereka.
Ini merupakan ghuluw yang keterlaluan, yang tujuannya membuka pintu selebar-lebarnya untuk melegitimasi pembunuhan terhadap kaum muslim
in bersama kuffar musta’manin[1]. Nanti akan ada penjelasan tentang kekeliruan perkataan tersebut.
Akhirnya, kita sampai juga ke masalah paling bahaya yang dalam hal ini Al Qaeda perlu mendapat nasehat tulus dari setiap kalangan yang memiliki ghirah Islamiyah, mencintai umat Islam, dan menyayangkan terbunuhnya generasi muda Islam tanpa alasan yang haq. Masalah yang dimaksud ialah menerapkan aturan perang di negeri kafir ke dalam negeri kaum muslimin secara gegabah, yang mengakibatkan penghalalan darah kaum muslimin di negeri mereka sendiri tanpa alasan yang haq, seperti yang terjadi dalam peledakkan kompleks Al Muhayya di Riyadh.
Siapa pun yang punya sedikit ghirah terhadap Islam, pasti akan kaget saat mendengar berita peledakan di kompleks apartemen Al Muhayya, Riyadh. Ledakan yang terjadi di salah satu malam bulan Ramadhan tersebut, menelan korban 18 orang meninggal dari kaum muslimin. Sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak, sebab para lelaki saat itu sedang menunaikan shalat qiyam (tahajjud) di mesjid-mesjid.
Bukannya Al Qaeda meminta maaf atas ‘pembantaian’ atas kaum muslimin tersebut, namun juru bicara mereka malah mengakui operasi tersebut dengan penuh keberanian dan rasa bangga. Padahal tidak satu pun orang Amerika atau Barat yang menjadi korban dalam tragedi ini, meskipun merekalah yang diklaim oleh Al Qaeda sebagai targetnya.
Darah yang dilindungi
Kesan pertama yang dirasakan setiap orang, ialah bahwa ia sedang menghadapi sebuah kelompok yang meremehkan darah dan kehormatan kaum muslimin. Kelompok yang membunuh para korban dengan cara sadis seperti itu (yakni dalam peledakan kompleks Al Muhayya di Riyadh), lantas membanggakan kegilaan mereka, dan bahkan mengancam akan mengulanginya tanpa rasa malu !
Akan tetapi, menurut saya kesan tersebut kurang pas, dan saya yakin ada di antara aktivis Al Qaeda sendiri yang tidak membolehkan pembunuhan kaum muslimin di negeri mereka dengan kekerasan ekstrim seperti itu. Namun karena kejahilan terhadap aturan syari’at telah mendominasi mereka, mereka keliru dalam memahami sejumlah fatwa tentang tatarrus, yaitu bila pihak kafir menjadikan kaum muslimin sebagai perisai dalam perang, atau fatwa tentang menyerang negeri kafir dengan cara tertentu yang membinasakan semua penduduknya, termasuk bila di antara mereka terdapat tawanan atau pedagang yang muslim. Mereka mengira bahwa aturan-aturan ini berlaku umum dan mutlak tanpa syarat apa pun, lantas mereka terapkan pada setiap pihak yang hendak diperangi oleh Al Qaeda, tanpa mempedulikan cara maupun tempatnya. Mereka juga tidak peduli dengan terpenuhi atau tidaknya semua syarat yang menjadikan hal tersebut boleh, dan tidak pula peduli untuk menyingkirkan penghalangnya.
Sebelum membahas lebih jauh, kita ingin menetapkan sebuah kaidah agung dalam usul fiqih yang mengatakan bahwa sesuatu yang diyakini, tidak boleh digeser oleh keraguan maupun dugaan. Kaitan kaidah ini dengan apa yang sedang kita bahas adalah, bahwa darah kaum muslimin itu dilindungi dan haram ditumpahkan tanpa alasan yang haq. Ini merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa keraguan sedikitpun. Demikian banyak ayat maupun hadits yang menetapkan hal tersebut, sehingga ia menjadi masalah agama yang pasti diketahui. Karenanya, orang yang memfatwakan halalnya darah seorang muslim dalam suatu kasus, harus membawa dalil qoth’i[2] yang membolehkan darah tersebut ditumpahkan, sebab keharaman darah orang tersebut sebelumnya telah ditetapkan berdasarkan dalil qoth’i.
Nah, apakah Al Qaeda memiliki dalil qoth’i yang membolehkannya menumpahkan darah kaum muslimin dengan peledakan-peledakan seperti itu?
Jawabnya: Tidak, sama sekali tidak !
[1] Artinya orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan.
[2] Yaitu dalil shahih yang sangat jelas dan gamblang maksudnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar