Jumat, 02 Mei 2014

Nasehat Amir JI untuk Al Qaeda (bag. 2)


الجماعة الإسلامية 
Kedua:
Al Qaedah Merampas Jabatan Imamah

Memang, syari’at Islam tidak mungkin ditegakkan –seluruhnya atau sebagian besarnya– kecuali dengan adanya pemerintah yang lewat kekuasaannya bisa menegakkan keadilan, membikin kapok para penjahat, dan melindungi bangsa serta negara. Pemerintah ini dikenal dalam fiqih Islam dengan istilah khalifah atau imam. Berhubung Al Qaeda menyaksikan bahwa banyak dari syari’at Islam yang tidak diterapkan dengan benar karena malasnya para penguasa, atau karena kelalaian mereka, atau karena mereka sengaja menyia-nyiakannya –sebagaiman yang kita saksikan–. Berhubung semua realita tadi, saudara-saudara kita di Al Qaeda menyangka –secara keliru– bahwa mereka berhak menyematkan gelar imamah (kepemimpinan/kekhalifahan) pada diri mereka. Namun masalahnya, mereka tidak mencukupkan diri dengan merebut gelar tersebut dan mengklaimnya untuk suatu wilayah, tapi lebih dari itu, mereka bertingkah laku seperti pihak yang mengatur seluruh wilayah kaum muslimin di dunia.


Penguasa dan Jizyah (upeti)

Ada kaidah fiqih yang mengatakan bahwa seorang penguasa yang tidak menerapkan syari’at, berarti bukan penguasa yang syar’i. Al Qaeda telah keliru dalam memahami kaidah ini. Alasannya karena tidak syar’inya seorang penguasa, bukan berarti ia dianggap tidak ada sama sekali. Berangkat dari sini, Al Qaeda lantas mengambil alih tugas dan kewajiban si penguasa tadi. Ini suatu kekeliruan. Karena kekuasaan dibangun atas dasar kekuatan dan kemampuan. Artinya, siapa yang menguasai urusan manusia baik dengan sukarela maupun paksaan, dan bisa menerapkan aturannya kepada mereka; berarti dialah penguasa mereka.

Kalau di samping itu ia seorang yang adil, maka ia mendapat pahala; namun jika ia seorang yang zhalim atau fasik, maka ia berdosa. Pun demikian, syari’at tetap tidak mengizinkan pemberontakan terhadapnya.

Adapun bila ia seorang yang kafir atau menyia-nyiakan syari’at Allah, maka dibolehkan memberontak kepadanya bila syarat-syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada[1]. Intinya, dalam ketiga kondisi tadi dia tetaplah penguasa, dan tampuk kekuasaan tidaklah kosong.
Kalaulah misalnya si penguasa tidak menarik jizyah dari Ahli Kitab yang tinggal di negeri kaum muslimin, maka Al Qaeda maupun pihak lainnya tidak berhak menuntut Ahli Kitab agar membayar jizyah kepada mereka. Karena masalah jizyah diserahkan kepada penguasa atau wakilnya, bukan kepada rakyat atau kelompok tertentu yang tidak punya wewenang. Di samping itu, bila mereka membayar jizyah kepada kita, maka mereka berhak mendapat perlindungan, dan hal ini tidak bisa diberikan kecuali oleh penguasa. Maka siapa saja yang menuntut Ahli Kitab agar membayar jizyah kepadanya, berarti telah menganggap dirinya –disadari atau tidak– sebagai penguasa, dan merebut hak prerogatif penguasa dalam hal ini.

Demikian pula orang yang memberi wewenang dirinya untuk mengadili pihak-pihak yang bertikai dalam masalah darah, harta, atau kehormatan, layaknya seorang hakim. Kalau ia melakukan hal itu dengan berdalih bahwa para hakim yang ada tidak memutuskan berdasarkan syari’at, berarti dia memosisikan dirinya sebagai imam (kepala negara) dalam masalah ini, baik disadari maupun tidak.
Demikian pula orang yang memosisikan dirinya sebagai pengatur hubungan antara umat Islam dengan umat lainnya di dunia, baik dalam mengikat perjanjian, berdamai, memberi jaminan keamanan untuk orang kafir, atau mencabut hal itu dari mereka; berarti ia memosisikan dirinya sebagai Imam dalam semua masalah tadi, yang akibatnya akan menimbulkan berbagai fitnah dan kerusakan. Karenanya, para fuqaha’ mengatakan bahwa adanya imam merupakan syarat umum dalam setiap masalah tadi. Alasannya, penanganan berbagai masalah tadi tidak sekedar memerlukan pengetahuan akan hukum-hukum syar’i, untuk kemudian disampaikan begitu saja seperti laiknya seorang mufti atau ulama menjawab pertanyaan. Akan tetapi, semua masalah tadi membutuhkan alat yang dapat memberlakukan dan menegakkannya secara syar’i… alias butuh kekuatan dan wewenang yang memungkinkan penerapannya tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatannya. Nah, kekuatan dan wewenang ini tidak dimiliki kecuali oleh penguasa.
Jika si penguasa tidak menerapkan hal tersebut karena malas, ngeyel (keras kepala), tidak tahu hukumnya secara syar’i, atau karena alasan lainnya; maka pihak selain penguasa tidak akan mampu menegakkannya secara syar’i sama sekali. Atau mungkin saja mereka bisa menerapkannya, akan tetapi mafsadat dan fitnah yang ditimbulkan akan lebih besar daripada maslahatnya.
Sebab itulah kita katakan, bahwa penerapan hukum-hukum tadi tidak bisa ditangani oleh masyarakat umum, walaupun pemerintah menyia-nyiakannya. Ini bukan berarti kita meridhai sikap pemerintah tadi, namun karena penerapan yang dilakukan tanpa mempedulikan restu pemerintah dan tanpa adanya kemampuan untuk itu, hanya akan berujung pada kerusakan yang lebih besar. Kaidah tadi tidak bisa kita bahas secara panjang lebar di sini, akan tetapi siapa saja yang memahami pokok-pokok syari’at dan tujuannya, lalu memahami realita, maka ia akan menerima apa yang kami katakan dengan mudah.

Wewenang membatalkan jaminan keamanan


Berangkat dari lalainya Al Qaeda terhadap perkara ini, yang kemudian menyikapi hukum-hukum syari’at dan permasalahan umat laksana para penguasa –yang mungkin tidak mereka sadari, atau mereka sadari namun tidak sadar akan bahaya dan dampak buruknya–. Berangkat dari ini semua, maka timbullah sejumlah kesalahan ‘amaliyah yang di antaranya:
  • Mereka mengumumkan perang terhadap seluruh dunia, dan meledakkan ‘perang peradaban’ dengan tangan mereka sendiri, padahal mereka tidak mampu menghadapinya, apalagi untuk memenangkannya.

  • Mereka membatalkan janji keamanan yang secara syar’i boleh diberikan oleh orang-perorang dari kaum muslimin kepada orang-perorang dari pihak kafir. Padahal Islam memerintahkan agar kita menepati janji tersebut, sebagaimana dalam sabda Nabi:
المسلمون تتكافأ دماؤهم ويسعى بذمتهم أدناهم
“Darah kaum muslimin setara, dan jaminan keamanan dari orang yang paling rendah di antara mereka (muslimin) berarti jaminan dari seluruh kaum muslimin”[2]
 يعقد لكل غادر لواء عند استه يوم القيامة
“Setiap pengkhianat akan dipasangi bendera pada pantatnya di hari kiamat nanti” [3]
Para fuqaha’ telah menegaskan bahwa seorang muslim boleh memberikan jaminan keamanan bagi sekelompok kecil orang kafir, adapun jaminan keamanan untuk penduduk suatu negara atau umat kafir tertentu, maka itu haknya penguasa. Para fuqaha’ juga sepakat bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh personal kaum muslimin atau penguasanya, harus dihormati oleh seluruh kaum muslimin. Dan tidak ada seorang pun yang berhak –selain penguasa– untuk membatalkan jaminan keamanan yang berlaku umum. Itu pun harus dengan alasan yang benar, seperti khawatir dikhianati oleh pihak kafir yang diberi suaka, atau karena adanya gejala-gejala ke arah sana. Para fuqaha’ juga sepakat bahwa jika penguasa telah membatalkan jaminan keamanan, maka tidak ada seorang pun yag boleh mengganggu pihak yang semula mendapat keamanan, namun ia wajib memberitahu pihak tersebut dan mengantarkannya ke tempat yang aman. Para fuqaha’ juga sepakat bahwa memberi keamanan hukumnya boleh dan bahkan bisa menjadi wajib dalam beberapa kondisi, sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ
“Jika ada seorang musyrik yang minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia dapat mendengar kalamullah (Al Qur’an). Kemudian antarkan dia ke tempat yang aman. Hal itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengetahui” (At Taubah: 6).

Warga asing kafir yang diberi jaminan keamanan

Lihatlah bagaimana Al Qaeda menyia-nyiakan aturan ini ketika merebut jabatan imamah untuk diri mereka. Al Qaeda menghasut agar setiap kafir Ahli Kitab yang masuk ke negeri kaum muslimin supaya dibunuh, padahal mereka masuk dengan membawa jaminan keamanan dari penguasa setempat atau dari perorangan kaum muslimin. Bayangkan, bagaimana pengkhianatan yang dirasakan oleh orang-orang kafir musta’man tersebut dengan ledakan-ledakan yang ditujukan kepada mereka di dalam negeri kaum muslimin. Ya, para pendukung Al Qaeda bisa saja mengatakan bahwa jaminan keamanan yang diberikan oleh para penguasa tersebut tidak sah, dan mereka memang telah mengatakan hal itu. Di samping itu, Al Qaeda telah mengumumkan pernyataan perang terhadap terhadap warga asing tersebut, yang berarti bahwa jaminan keamanan telah dicabut dari tangan mereka.

Kita katakana: Dari mana seorang kafir musta’man ajam tahu bahwa jaminan penguasa setempat tadi tidak sah? Adakah si kafir ini seorang yang faham terhadap masalah ushuluddien dan furu’nya sehingga tahu bahwa jaminan penguasa ini sah atau tidak sah? Kemudian adakah si kafir ini dituntut untuk mempelajari perselisihan yang terjadi antara Al Qaeda dengan penguasa setempat, sebelum mereka masuk ke negeri kaum muslimin?

Apakah klaim Al Qaeda tadi benar, dan bahwasanya pemerintah memang tidak sah jaminan keamanannya? Ataukah justru ucapan pemerintah lah yang benar, dan tindakan Al Qaeda-lah yang keliru?


Jelaslah bahwa semua pertanyaan tadi adalah tidak benar dan tidak masuk akal. Karena orang kafir manapun bila meyakini bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan yang sah dari sebagian kaum muslimin, maka ia boleh memasuki negeri kita dan haram untuk diganggu. Namun bila jaminan keamanan yang ada padanya tadi tidak sah, maka ia wajib diberitahu akan hal itu dan diantarkan ke tempat yang aman, dan haram untuk dibunuh atau diperangi.


Minta izin kepada Al Qaeda


Kita telah memahami bahwa jaminan keamanan umum hanya berhak diberikan atau dicabut oleh penguasa, dan ini berlaku baik di negara Islam maupun negara kafir. Siapa saja yang masuk ke negara kafir atas persetujuan pemerintahnya, tentu akan marah bila ada golongan separatis di negara itu –misalnya Pasukan Nasionalis Irlandia Utara yang ada di Inggris– yang berkata kepadanya: “Tidak ada keamanan bagimu. Darahmu halal karena kami tidak mengakui pemerintahan Inggris”. Si muslim pasti akan menjawab: “Emang apa urusanku dengannya? Apa aku harus minta izin kepada pemerintah dan seluruh golongan separatis yang ada di sana sebelum memasuki wilayah Inggris?
Demikian pula jawaban seorang non-muslim jika dikatakan kepadanya bahwa: “Anda jangan masuk sebelum minta izin kepada Al Qaeda, sebab ia tidak mengakui kekuasaan pemerintah”. Kemudian apa yang harus kita lakukan jika ada kelompok separatis lain yang mengklaim bahwa mereka juga berhak memberi dan mencabut jaminan keamanan, dengan dalih bahwa mereka juga tidak mengakui kekuasaan pemerintah maupun Al Qaeda? Bagaimana kiranya bila kelompok separatis tersebut memberi suaka kepada sejumlah orang, namun Al Qaeda menghalalkan darah mereka? Bukankah ini adalah kekacauan, kerusakan, dan fitnah yang tidak mungkin diajarkan oleh syari’at?
Kalaupun kita mengalah dan mengatakan bahwa Al Qaeda memang berhak mencabut suaka yang diberikan penguasa, karena mereka tidak mengakui keabsahan penguasa tersebut atau menganggapnya telah kafir, lantas bagaimana dengan suaka yang diberikan oleh perorangan kaum muslimin? Bagaimana pula dengan ratusan ribu Ahli Kitab yang keluar masuk negeri kaum muslimin dengan jaminan keamanan secara perorangan, atau dari perusahaan dan badan-badan non pemerintah? Jika ini berkenaan dengan jaminan keamanan yang dibolehkan, maka bagaimana pula dengan jaminan keamanan yang diwajibkan oleh Al Qur’an atas kaum muslimin agar memberi kesempatan kepada si kafir supaya menyimak Al Qur’an dan mengenal syari’at Islam?
Bahkan sebenarnya Al Qaeda dan pihak lainnya baik jama’ah maupun perorangan, tidak berhak memiliki hak prerogatif penguasa dalam memberi atau mencabut suaka yang bersifat umum. Itu khusus dimiliki oleh para penguasa. Jika mereka menggunakannya sesuai aturan Islam, maka Alhamdulillah. Namun jika mereka menyia-nyiakannya atau menggunakannya tidak sesuai aturan, maka tidak ada satu jama’ah pun atau seorang pun yang berhak membatalkannya. Penyalahgunaan suaka oleh pemerintah ini dianggap sebagai suatu kemunkaran yang tidak mungkin dihilangkan; atau mungkin dihilangkan namun dengan mendatangkan berbagai kerusakan dan fitnah yang jauh lebih besar dari kemaslahatannya. Kerusakan paling ringan di antaranya ialah timbulnya fitnah dan pengkhianatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.



Afghanistan, tuan rumah yang ramah


Sikap Al Qaeda yang merasa sebagai penguasa seluruh negeri kaum muslimin, terkadang semakin menjadi hingga mendorong mereka –yang tak lain hanya sebuah kelompok– untuk merebut jabatan Imam dari para pemimpin Afghanistan, terutama dari tangan Mulla Umar (semoga Allah memaafkan dan menyelamatkannya).



Negara Islam Afghanistan sebenarnya tidak mengumumkan perang terhadap AS, dan ia pun tidak menginginkan hal tersebut serta tidak mampu melakukannya. Akan tetapi keramahannya sebagai tuan rumah, menjadikan Al Qaeda dan para pemimpinnya yang bermukim di Afghanistan bertekad untuk membikin skenario dan melancarkan serangan 11 September, yang sebelumnya didahului oleh serangan terhadap Kedubes AS di Kenya dan Tanzania, dll.


Semua serangan tadi diatur di wilayah Afghanistan, dan dilakukan oleh orang-orang yang dibesarkan dan diayomi oleh Afghanistan selama beberapa waktu. Kita semua tahu bahwa yang terjadi setelah itu ialah invasi yang menghancurkan bumi Afghanistan… lantas bagaimana Al Qaeda membolehkan dirinya bersikap sebagai penguasa wilayah tersebut, dan menyeret Afghanistkan ke kancah pertempuran melawan AS? Apakah penguasa Afghanistan juga dianggap tidak sah kekuasaannya menurut kaca mata Al Qaeda? Masalah ini perlu untuk dikaji dan diteliti, namun bukan di sini tempatnya.



Salah satu bentuk dari sikap Al Qaeda yang merasa sebagai penguasa seluruh negeri kaum muslimin, adalah bila mereka mengumumkan perang kapan saja, maka tidak boleh ada seorang pun dari umat ini, baik yang alim maupun jahil, dan baik yang shalih maupun fasik, untuk menyelisihi keputusan mereka. Bahkan, Usamah bin Laden menganggap siapa saja yang menyelisihi pendapatnya sebagai penggembos semangat, dan ini sungguh aneh jika mengingat bahwa hanya penguasa lah yang berhak mengumumkan mobilisasi umum… barulah setelah itu jika ada orang yang menghalangi jihad ia bisa dikatakan sebagai penggembos semangat. Adapun bila yang mengumumkan adalah orang-perorang atau suatu kelompok, maka mereka tidak punya wewenang untuk mengumumkan mobilisasi umum, dan siapa yang menyelisihi ajakan jihad mereka juga tidak bisa dianggap sebagai penggembos semangat (mukhadzdzil) sama sekali, baik ajakan tersebut disertai alasan-alasan syar’i maupun sekedar realita.


[1] Lihat pembahasan selengkapnya dalam lampiran 2.


[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dll dengan sanad shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib ra.


[3] Muttafaq ‘alaih, dan ini adalah lafazh Muslim. Hadits ini merupakan peringatan akan besarnya dosa pengkhianatan, dan bahwa pelakunya akan dikenal semua orang pada hari kiamat lewat bendera tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar