Syiah itu Yahudi
Jika merunut pada sejarah masa lalu, tidak diragukan lagi bahwa hampir semua kejahatan umat manusia dan segala bentuk pengrusakan di muka bumi serta sebab-musabab munculnya pelbagai ideologi dan ajaran sesat lagi menyesatkan (dhal wa adhallu) berasal dari pengaruh Yahudi baik langsung maupun tidak, tersirat maupun tersurat. Salah satu bentuk kebenaran mukjizat Al-Qur’an adalah banyaknya cerita-cerita terkait sepak terjang Yahudi dalam melancarkan proyek kerusakan di muka bumi ini, termasuk kerusakan agama yang berimplikasi pada kesesatan dan kekufuran penganutnya.
Bangsa Yahudi
adalah keturunan Adam dan Hawa yang paling berani merubah apa yang Allah
tetapkan dan selalu melaksanakan perkara-perkara baru dalam agama (bid’ah)
mereka. Maka, muncullah aneka penyimpangan dalam peraktik beragama di
tengah-tengah mereka, baik dalam sendi keimanan maupun ibadah praktis
sehari-hari, (Abu Fatiah Al-Adnani, Kaki Tangan Dajjal Mencengkram Indonesia.
Cetakan Solo, 2007).
Tulisan
sederhana ini bukan bertujuan membongkar prilaku Yahudi dan Zionismenya secara
gamblang, akan tetapi memaparkan korelasi yang terang terkait ajaran Syiah yang bersumber dari
Yahudi dengan mengemukakan tinjauan secara historis, realitas, lagi realistis.
Secara
historis, tokoh Syiah yang paling utama dan sangat menonjol adalah Abdullah bin
Saba’, seorang Yahudi tulen dari Yaman yang berpura-pura memeluk agama Islam,
lalu ia mentransfer apa-apa yang ditemukannya dalam ide-ide dan ideologi Yahudi
serta aneka ritual mereka ke dalam sekte Syiah. Karena parahnya ajaran yang di
bawa oleh Abdullah bin Saba’ ke dalam ajaran Syiah, sehingga tidak sedikit
penganut Syiah berusaha mengingkari keberadaan orang Yahudi ini. Para penulis
sejarah dari golongan Syiah, baik itu para ulama, terlebih dari golongan sufaha
dan juhala berusaha sekuat tenaga untuk melakukan distorsi sejarah dengan
menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif yang selalu dimunculkan
oleh Ahlussunnah untuk memperburuk citra sekte Syiah. Karena itu, menghubungkan
Syiah dengan Yahudi tidak akan afdhal tanpa mencari tau kedudukan Abdullah bin
Saba’ di antara para ulama dan kitab-kitab sejarah kaum Syiah.
Al-Kasyasyi,
adalah ulama penulis biografi para tokoh-tokoh Syiah, di mata mereka, beliau
adalah ulama muktabar, tsiqah ilmunya, bagus akidahnya, lurus
madzhabnya, dan sangat menguasai riwayat para rawi. Kitabnya yang berjudul “Ma’rifat
an-Naqilin ‘an al-A’immah ash-Shadiqin” yang lebih masyhur dengan sebutan “Rijal
al-Ksyasyi”, dalam sekte Syiah, kitab ini disebut-sebut sebagai kitab
terpenting yang menayangkan tentang tokoh-tokoh Syiah, kitab induk, andalan,
dan pastinya, terpercaya. Al-Kasyasyi menulis, Sebagian ahli ilmu menyebutkan
bahwa Ibnu Saba’ adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam dan mendukung Ali ra.
Ketika ia masih Yahudi dia berkata bahwa Yusya’ bin Nun adalah washi--penerima
wasiat—dari Nabi Musa as. Ketika ia telah masuk Islam, dan Rasulullah SAW telah
wafat, ia menyatakan tentang Ali sama dengan hal di atas, dia adalah orang
pertama mengucapkan kepastian imamah Ali, dan menyatakan berlepas diri dari
musuh-musuh Ali. Dia mengungkapkan lawan-lawan Ali dan mengkafirkan mereka.
Tesis
Al-Kasyasyi tentang eksistensi Abdullah bin Saba juga diperkuat oleh Al-Maqami,
seorang Imam dalam bidang Jarh wa At-Ta’dil yang bergelar “Ayatullah”,
dia juga berpendapat sebagaimana Al-Kasyasyi di atas. Begitu pula An-Nukbathi,
seorang tokoh Syiah lainnya, dia bahkan menulis kitab “Firaq Asy-Syiah”
dan menulis, Abdullah bin Saba’ adalah termasuk orang yang menampakkan cacian
kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman, serta para sahabat. Ia berlepas diri dari
mereka dan mengatakan bahwa Ali ra telah memerintahkan berbuat begitu. Maka Ali
menangkapnya dan menanyai tentang ucapannya itu, ternyata ia mengakuinya. Maka
Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Namun orang-orang berteriak kepada Ali,
‘Wahai Amirul Mukmunin! Apakah Anda akan membunuh orang yang mengajak mencintai
Anda, Ahlul Bait, keluarga Anda, dan mengajak untuk membenci mush-musuh Anda?’
sang Imam urung membunuhnya, dan hanya mengirimnya ke Madain (Iran).
Konyolnya,
tetap aja ada ulama Syiah yang tetap ‘aba wa istakbara’ alias enggan dan
congkak untuk menerima kebenaran akan adanya figur Abdullah bin Saba, salah
satunya adalah Muhammad Al-Husain Ali Kasyif Al-Githa’ dalam kitabnya, “Asy-Syiah
wa Ushuluha” dia menulis, Sesungguhnya Abdullah bin Saba’, Majnun bin Amir,
Abu Hilal dan yang semisal dengan orang-orang atau pahlawan-pahlawan ini,
semuanya adalah khurafat yang dikarang para tukang cerita atau orang-orang yang
senang begadang dan ngobrol tidak karuan. Pernyataan Al-Githa’ karuan saja
menimbulkan bantahan, salah satunya yang saya pilihkan adalah tulisan pakar
Syiah dari kalangan Ahlussunnah, Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah, ia
membantah orang-orang yang mengingkari keberadaan Ibnu Saba’ dengan menulis.
Mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba sama artinya dengan mengingkari adanya
matahari yang bersinar terang di siang hari. Tidak satu pun penulis klasik yang
mengingkari keberadaanya. Saya tidak habis fikir—lanjut doktoral Islamic University
Madinah ini—siapakah yang lebih dalam ilmu dan penguasaannya terhadap
realitas-realitas [sejarah]? Orang-orang terdahulu ataukah orang-orang
belakangan yang pengecut dan takut dari cucunya sendiri? Kita meminta dan
menantang mereka untuk membuktikan satu orang yang terdahulu, dari mereka
sendiri, bukan dari kita, yang mengingkari sosok Ibnu Saba’ dan menganggapnya
sebagai khayalan dan khurafat. Yang perlu diingat, kita tidak menyebut Ibnu
Saba’ ketika menyebutnya dalam kitab kami “Asy-Syiah wa As-Sunnah”,
sebagai nukilan dari Ibnu hajar Al-Atsqalani atau Adz-Dzahabi atau Ibnu Hibban,
Ibnu Makula, Al-Bukhari, atau Fulan dan Fulan, tetapi saya menyebutnya
berdasarkan nukilan dari Al-Kasyasyi imam mereka sendiri dalam bidang ‘rijal’
dan An-Nubakhti, imam mereka dalam hal ‘firaq’ atau sekte-sekte.
Ada pun dari
pihak ulama muktabar dari Ahlussunnah yang menyebut keberadaan Abdullah bin
Saba’ di antaranya adalah, Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Atsir, Ibnu
Khaldun, Al-Hafiz Ibnu Hajar dan Al-Isfiraini, demikian pula Al-Bagdhadi,
Ar-Razi, Asy-Syarastani, daftarnya terlalu banyak untuk disebutkan.
Ajaran Yahudi
dalam Syiah
Secara realitas bahwa Syiah memiliki banyak ajaran yang mirip dengan Yahudi
dapat dilihat dari karya Abdullah Al-Jamili, dalam “Badzl Al-Majhud fi
Itsbat Musyabahah Ar-Rafidhah li Al-Yahud” ia menerangkan kemiripan ajaran
sekte Syiah dengan Yahudi sebagai berikut: (1) Yahudi telah mengubah-ubah
Taurat, begitu pula Syi’ah mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka
yakni “Mushaf Fathimah” yang tebalnya tiga kali Al-Qur’an kaum Muslimin. Mereka
menganggap ayat Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh
Sahabat menghapus sepuluh ribu lebih ayat. (Biharul Anwar: 89/50; Al Kafi
Kitabul Hujjah I/427); (2) Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina [QS. Maryam
: 28], Syi’ah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah
Aisyah—Radhiallahu ‘anha—sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar
Syi’ah) dalam “Tafsir Al-Qummi (II 34)” ; (3) Yahudi mengatakan, “Kami tidak akan
disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja”. [QS. Al-Baqarah :
80] Syi’ah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan
membakar setiap orang Syi’ah” sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang
dianggap suci “Fashl Kitab (hal.157)” ; (4) Yahudi meyakini bahwa, Allah
mengetahui sesuatu setelah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syi’ah; (5)
Yahudi beranggapan bahwa ucapan “amin” dalam shalat adalah membatalkan shalat.
Syi’ah juga beranggapan yang sama; (6) Yahudi berkata, “Allah mewajibkan kita
lima puluh shalat” Begitu pula dengan Syi’ah; (7) Yahudi keluar dari shalat
tanpa salam, cukup dengan mengangkat tangan dan memukulkan pada lutut. Syi’ah
juga mengamalkan hal yang sama; (8) Yahudi miring sedikit dari kiblat, begitu
pula dengan Syi’ah; (9) Yahudi berkata, Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu
melainkan di tangan keluarga Daud”. Syi’ah berkata, Tidak layak Imamah itu
melainkan pada ‘Ali dan keturunanannya; (10) Yahudi mengakhirkan Shalat hingga
bertaburnya bintang-bintang di langit. Syi’ah juga mengakhirkan Shalat
sebagaimana Yahudi; (11) Yahudi mengkultuskan Ahbar (‘ulama) dan Ruhban (para
pendeta) mereka sampai tingkat ibadah dan menuhankan. Syi’ah begitu pula,
bersifat Ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai para Imam mereka dan
mengkultuskannya hingga di atas kelas manusia; (12) Yahudi mengatakan Ilyas dan
Finhas bin ‘Azar bin Harun akan kembali (reinkarnasi) setelah mereka berdua
meninggal dunia. Syi’ah lebih seru, mereka menyuarakan kembalinya (reinkarnasinya)
‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain, dan Musa bin Ja’far yang dikhayalkan itu; (13)
Yahudi tidak Shalat melainkan sendiri-sendiri, Syi’ah juga beranggapan yang
sama, ini dikarenakan mereka meyakini bahwa tidak ada Shalat berjama’ah sebelum
datangnya “Pemimpin ke-dua belas” yaitu Imam Mahdi. Yahudi tidak melakukan
sujud sebelum menundukkan kepalanya berkali-kali, mirip ruku. Syi’ah Rafidhah
juga demikian; (14) Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula
Syi’ah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah; (15) Yahudi mengharamkan makan
kelinci dan limpa dan jenis ikan yang disebut jariu dan marmahi. Begitu pula
orang-orang Syi’ah; (16) Yahudi tidak menghitung Talak sedikitpun melainkan
pada setiap Haid. Begitu pula Syi’ah; (17) Yahudi dalam syari’at Ya’qub membolehkan
nikah dengan dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Syi’ah juga
membolehkan penggabungan (dalam akad nikah) antara seorang wanita dengan
bibinya; (18) Yahudi tidak menggali liang lahad untuk jenazah mereka. Syi’ah
Rafidhah juga demikian; (19) Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah
mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah; dan (20) Yahudi tidak
menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syi’ah Rafidhah
mengatakan, ”tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.
Tinjauan dari
segi historis, rasionalitas, dan realitas telah menunjukkan bahwa Syiah dan
Yahudi adalah bagian yang tak terpisahakan, juz’un la yatajazza’. Maka,
patutlah kiranya kita berkeyakinan, ajaran Syiah khususnya sekte Imamiyah yang
berkembang di Indonesia, termasuk Makassar dapat disimpulkan sebagai warisan
ajaran Yahudi yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba lalu dilestarikan oleh
para ulama su’, sufaha, serta juhala Syiah dari waktu ke waktu. Mata rantai
transmissi kesesatan mereka terus terjaga dengan apik dari satu generasi ke
generasi seterusnya, dengan demikian jariatussu’—dosa warisan—juga tetap
mengalir dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Bagi yang masih memiliki
bashirah—mata batin—lagi rasional dan tidak irasional dalam menggunakan akalnya
sebagai ciri-ciri insan yang berakal dan berilmu (ulul albab), sudah
sepantasnya sepakat dengan satu pendapat yang jitu, Syiah itu Yahudi. Wallahul
Musta’an! (Ilham Kadir/lppimakassar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar