KELUARGA DI KAMPUNG TIDAK TAHU KALAU ANAKANNYA MU'TAH DI KOTA...!!! Kebanyakan laki-laki dalam nikah mut’ah bertujuan untuk mencari kesenangan seksual dari perempuan. Bukan untuk melahirkan keturunan
·
Nikah Mut’ah semakin marak di Makassar, kebanyakan pelakunya dari kalangan mahasiswa dan mahasiswi
Nikah Mut’ah semakin marak di Makassar, kebanyakan pelakunya dari kalangan mahasiswa dan mahasiswi
·
Praktik Mut’ah dilaksanakan oleh lembaga dakwah
Syiah secara sembunyi-sembunyi. Mustahil dicatat oleh KUA
·
Lulus kuliah mut’ah pun selesai
·
Masa kontrak mut’ah ada yang hanya seminggu
·
Bersetubuh dalam nikah mut’ah tergantung
kesepakatan pasangan muda-mudi
·
Virus HIV menyebar di Irak melalui hubungan dengan
lawan jenis secara intensif lewat mut’ah, melebihi apa yang biasa dilakukan
seorang pelacur
·
Pengaruh hubungan cinta wanita pelaku mut’ah;
harus banyak minum pil pahit kecemburuan
·
Dan masih banyak lagi poin penting yang Anda akan
dapatkan dalam kata pengantar penulis skripsi “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah”
berikut ini:
Pernikahan adalah bersatunya seorang perempuan dan
laki-laki dalam sebuah ikatan yang diridhai Allah SWT dan di antara keduanya
muncul sebuah komitmen untuk menjalani kehidupan yang baru. Pernikahan akan
membentuk sebuah keluarga yang akan memberikan perlindungan dan kasih sayang
bagi keturunannya, sehingga menghasilkan keturunan yang mengalirkan darah-darah
baru di masyarakat, dengan demikian pernikahan bukanlah sekedar pemilihan yang
bersifat individu saja, akan tetapi juga merupakan tangung jawab masyarakat
(Shalih, 2007).
Adanya fenomena nikah mut’ah yaitu pernikahan yang
memiliki jangka waktu tertentu, kini mulai ramai dibicarakan oleh lapisan
masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Wahyuni (Tanpa Tahun) mengungkapkan
bahwa permasalahan tentang nikah mut’ah kini dibahas hingga tingkat Departemen
Agama RI, sehingga memunculkan Draf Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun
oleh Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Departemen Agama RI.
Mut’ah dalam agama Islam berasal dari kata tamattu’
yang berarti “bersenang-senang atau menikmati”, sedangkan secara istilah
nikah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang perempuan memberikan
sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu (sementara), pernikahan tersebut
akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta
tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal kepada istri (Anonim, 2007).
Apabila diperhatikan dengan seksama definisi nikah
mut’ah tersebut, dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam pernikahan
hanya merupakan “persewaan” saja. Mut’ah dianggap sebagai jenis “persewaan”
karena kebanyakan laki-laki dalam menikah mut’ah bertujuan untuk mencari
kesenangan seksual perempuan, bukan untuk melahirkan keturunan, dan sebagai
imbalannya diberikan sejumlah uang atau harta tertentu (Murata, 2001). Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Pateman (Lehmann, 1990) yang
menunjukkan bahwa suami yang menikah mut’ah menjadikan istri sebagai seorang
pekerja dan secara ekslusif hanya mengurusi rumah dan keluarga.
Nikah mut’ah banyak dilakukan oleh kaum Syiah,
dimana aliran tersebut berpusat di Iran, sedangkan di Indonesia istilah nikah
mut’ah yang lebih dikenal dalam istilah kawin kontrak. Hasil temuan lapangan
peneliti mengungkapkan bahwa mereka (kaum Syiah) tidak setuju apabila nikah
mut’ah disamakan dengan kawin kontrak apalagi prostitusi. Alasan penolakan
tersebut karena mereka menganggap bahwa kawin kontrak atau prostitusi lebih
dikomersialisasikan oleh para pemburu nafsu yang memiliki uang lebih, sehingga
faktor eknonomi lebih utama, sedangkan dalam nikah mut’ah tidak demikian.
Mantan Presiden Iran Hafsemi Rafsanjani pada era tahun 1990-an juga pernah
mengatakan bahwa nikah mut’ah tidak sama dengan kawin kontrak atau prostitusi
karena nikah mut’ah mempunyai legilitas agama (Anonim, 1991).
Penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti
sesuai dengan pernyataan mantan Presiden Rafsanjani yaitu para pasangan yang
melakukan nikah mut’ah berkiblat dari dilegalkannya nikah mut’ah pada zaman
Rasulullah SAW. Pasangan tersebut berpikir bahwa sebuah hubungan akan haram
apabila tidak menikah, jadi jalan agar dapat terhindar dari perbuatan zina
yaitu dengan menikah secara mut’ah. Hal tersebut sesuai dengan wawancara awal
yang dilakukan oleh peneliti pada subjek BC (nama samaran mahasiswi korban
mut’ah –red lppimakassar.com) yang mengatakan bahwa dirinya memilih nikah
mut’ah karena statusnya dilegalkan, daripada pacaran yang haram.
“...dalam Islam sendiri pun diharamkan pacaran, makanya saya pilih jalur
nikah mut’ah dan ini saya anggap legal...”
Walaupun sifatnya kontroversi sejak dahulu antara
Sunni dan Syiah, yaitu adanya pertentangan tentang haram tidaknya pernikahan
ini, dimana tertuang dalam sebuah hadis (Anonim, 2007) yaitu:
Rasulullah bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu saya telah
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang memiliki istri dari
mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404).
Namun nikah mut’ah tetaplah sebuah pernikahan
dimana terdapat dua individu yang berperan sebagai suami dan istri. Shalih
(2007) mengatakan bahwa inti pernikahan adalah ketenangan, bukan nafsu yang tak
terkendali, dan bukan pula asmara yang membabi buta. Oleh sebab itu, sebuah pernikahan
akan memberikan ketenangan pada individu dan masyarakat secara proporsional,
terutama pada perempuan.
Perempuan memiliki karakteristik emosional yang
lebih kuat dari laki-laki. Keluarga memberikan ruang dan kesempatan kepada
perempuan untuk mengekspresikan diri dan memperkaya kehidupan psikisnya dalam
menjalankan fungsi-fungsi diri sebagai perempuan (kartono, 1992). Fungsi-fungsi
yang dimaksudkan yaitu sebagai istri dan ibu tradisional, sebagai pendamping
setia suami, dan sebagai partner suami dalam mengelola keluarga
(Mappiare, 1983).
Kartono (1992) mengemukakan jika dilihat dari sisi
naluri, maka aspek yang paling mendorong seseorang perempuan untuk menikah
adalah cinta. Hal tersebut senada dengan teori Shihab (2007) yang mengatakan
bahwa dalam sebuah pernikahan seharusnya ada rasa cinta yang mendasarinya,
namun cinta ternyata dapat muncul setelah adanya pernikahan.
Kamsah dan Nazirah (2006) mengemukakan perbedaan
antara cinta sebelum dan setelah pernikahan yaitu cinta sebelum pernikahan
hadir akibat interaksi sehari-hari dengan individu yang mempunyai kesamaan dari
segi cita rasa, pribadi, minat, dan cara hidup. Adapun cinta setelah pernikahan
tumbuh dan berkembang sejalan dengan pengenalan mereka dalam emnjalani rumah
tangga dengan cara menumbuhkan cinta melalui ketaatan, kasih sayang,
pengorbanan, dan kesungguhan dalam memuliakan pasangan (Kamsah & Nazirah,
2006).
Sadar atau tidak, ternyata keberadaan orang-orang
yang melakukan nikah mut’ah di kota Makassar ternyata semakin banyak. Hasil
survei yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa bikah mut’ah banyak
dilakukan oleh kalangan civitas akademika yang beberapa di antaranya adalah
mahasiswa yang tersebuar hampir di seluruh kampus kota Makassar. Peneliti
menemukan informasi bahwa orang-orang yang melakukan nikah mut’ah tersebut
memiliki komunitas dilakukan secara tersembunyi yaitu hanya sebatas orang-orang
yang meyakini ajaran Syiah, tetapi peneliti tidak menggeneralisasikan bahwa
semua pengikut Syiah adalah mereka yang melakukan praktik ini.
Salah satu alasan sehingga perempuan ingin
melakukan nikah mut’ah yaitu karena mereka merantau dan jauh dari keluarga,
sehingga mereka membutuhkan perlindungan dari “muhrimnya” agar terhindar dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Jenis perjanjiannya pun bermacam-macam, dari
data yang didapatkan peneliti, bahwa mereka yang melakukan nikah mut’ah ada
yang memilih periode selama perempuan tersebut kuliah. Jadi, ketika perempuan
tersebut lulus maka masa nikah mut’ahnya pun selesai. Ada pula yang periodenya
hanya seminggu yaitu ketika perempuan tersebut keluar kota atau hanya pergi ke
kampus lalu mengantarnya pulang.
Jika jenis perjanjian yang dijelaskan di atas
hanya sebatas menjaga atau sebagai pelindung, maka seharusnya tidak ada hal
yang perlu dikhawatirkan, tetapi ternyata ada juga jenis perjanjian yang
membolehkan bersetubuh, tergantung dari kesepakatan keduanya. Murata (2001)
mengemukakan bahwa salah satu hukum mut’ah adalah “menghentikan” senggama
(coitus interruptus), yaitu diperbolehkan untuk melakukan coitus interruptus
(menarik batang penis saat bersenggama sebelum ejakulasi untuk menghindari
masuknya mani ke dalam vagina).
Peneliti sendiri belum memiliki data secara
kuantitatif berapa jumlah pasangan nikah mut’ah di Kota Makassar. Beberapa
literatur dan berbagai diskusi tentang nikah mut’ah, disimpulkan bahwa mereka
yang melakukan nikah mut’ah mustahil untuk mendaftarkan dirinya ke KUA, karena
proses pernikahan mereka dilakukan secara tersembunyi dan dari golongan mereka
sendiri.
Kajian tentang nikah mut’ah juga dilakukan oleh
kalangan ulama. Sebuah diskusi ilmiah yang bertemakan, “Nikah Mut’ah Ditinjau
dari Syari’at Islam” telah diselenggarakan pada tanggal 26 April 2010 di gedung
Pondok Pesantren IMMIM Putra Makassar bekerjasama dengan PPS UIN Alauddin dan
MUI Kota Makassar. Hadir pasa saat itu yaitu Quraish Shihab sebagai narasumber
tunggal dari seminar tersebut, cenderung berpihak ke aliran Syiah. Beliau
mengatakan bahwa di Iran, selaku pusat aliran Syiah, praktik nikah mut’ah sudah
jarang ditemukan (Mahbub, 2010).
Penjelasan dari Quraish Shihab tersebut ternyata
berbanding terbalik dari data yang diperoleh peneliti. Anonim (2008),
mengungkapkan bahwa Irak merupakan negara dengan jumlah penderita AIDS terbesar
kedua dari berbagai negara Eropa dan Arab setelah Iran. Melalui sejumlah
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa virus HIV di Irak menyebar melalui
hubungan dengan lawan jenis secara intensif, melebihi apa yang biasa dilakukan
seorang pelacur.
Kaum perempuan yang menjadi pelaku nikah mut’ah
inilah yang menurut penelitian, menjadi salah satu sarana perpindahan virus HIV
ke manusia lain. Nikah mut’ah di irak dilakukan dalam tempo yang sangat singkat
yakni satu kali hubungan badan satu kali hubungan badan lalu berpisah. Sebagian
kaum pria dan perempuan terlibat hubungan seksual melalui pernikahan mut’ah
beberapa kali, bahkan dalam satu hari (Anonim, 2008)
Apabila ditinjau dampak nikah mut’ah dari segi
kesehatan, selain sebagai sumber penyakit AIDS dan penyakit kelamin lainnya
seperti sipilis, raja singan, nikah mut’ah juga memiliki efek pada lingkungan sosisal, hukum dan
psikologis. Secara hukum positif Indonesia, kedudukan istri dalam nikah mut’ah
tidak diakui/tidak sah, jadi tidak berhak untuk menuntut apapun, termasuk nafkah,
harta gono-gini, baik sewaktu masih hidup, maupun setelah meninggal. Selain
itu, status anak yang dihasilkan dari pernikahan mut’ah, tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya sebagaimana tercantum dalam pasal 42 dan pasal 43
UU pernikahan, pasal 10 KHI. Secara sosial berkaitan dengan psikologi dari
perempuan atau anak yang dihasilkan karena jika lingkungan sudah menolak, maka
akan memengaruhi psikologi dari mereka, seperti tertutup dengan lingkungan
karena perasaan malu pada statusnya (Doozgimbal, 2008).
Berbagai penjelasan sebelumnya membuat masalah ini
menarik, khususnya pada keberadaan cinta yang wajar dan alamiah dalam sebuah
pernikahan yang umum dilakukan, namun apabila dikaitkan dengan kedudukan cinta
pada konteks nikah mut’ah, dapat diduga bahwa cinta seorang perempuan telah
digadaikan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti
lebih jauh, tentang pemaknaan cinta dari sebuah pernikahan yang dilakukan
secara mut’ah oleh perempuan. Apa alasan mendasar dari perempuan sehingga
melakukan nikah mut’ah? Apakah perempuan menikah karena “mencintai” materi
untuk meraih kekayaan? Ataukah alasan lain yaitu “cinta” akan penyaluran birahi
seksual agar disebut halal? Atau apakah perempuan ingin mencari kesempurnaan
dalam cinta ke Ilahi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar