Tertarik
ingin mengetahui hakikat keilmuan "Syekh" Idahram yang katanya bernama
asli Marhadi Muhayar Lc, maka kami mencoba mendengarkan salah satu
ceramahnya. Dan ternyata, hasilnya sangat mengejutkan!
Ceramah Tarawih, 21-07-2012, di Jakarta Islamic Center.
http://www.youtube.com/ watch?v=UjNkNCXYKak
Ceramah ini, adalah jawaban atas pertanyaan: " Sampe enggak, kalaw saya sdekah untuk orang tua saya yang meninggal dunia ". Permasalahan ini katanya sering membuat umat Islam tidak akur.
Dalam ceramah ini, dengan pd-nya dia mengenyampingkan shahih Muslim, dll, karena mengklaim hanya akan mengambil hadits dari shahih Bukhari -karena mengikuti manhaj salaf.
"Saya hanya akan menggunakan hadits-hadits Imam Bukhari dalam shahihnya. Kalau kita konsekwen mengikuti salaf , mari kita ikuti pendapat salaf ini." Tegasnya.
Hadits pertama:
Marhadi Muhayar berkata: Dalam hadits shahih riwayat Bukhari ini tentang shalat. (Bertanya kepada pemirsa): Saya ingin bertanya kepada Bapak/Ibu: Kalau orang tua kita wafat, lalu punya kewajiban shalat, dia belum shalat, ketika dia sakit, apakah kita harus mengqadha' shalatnya atw tdk? Pak, dibiarin begitu saja atau kita qadha shalatnya Bu?
Kata Baginda Rasulullah: qadha shalatnya!
Hadits ini ada dalam riwayat Imam Bukhari, dalam bab "man mata wa 'alaihin nazar". Siapa yang meninggal dunia dan punya kewajiban nazar.
Kata baginda Rasulullah: "Man matat ummuha wa 'alaiha shalatun, an tushalliya 'anha waliyyuha." siapa saja yang wafat dan mati dan walinya tau itu, yang mati ini meninggalkan kewajiban shalat, maka walinya; anaknya, suaminya, saudaranya wajib mengqadha shalat atas nama jenazah yang telah wafat itu.
***
Catatan:
Dari pemaparan hadits pertama ini saja, kita sudah menemukan 'ketidak jujuran' sang syekh Idahram dalam menyampaikan hukum agama kepada masyarakat ramai. Buktinya:
1. Hadits yang dia sebutkan: "Man matat ummuha wa 'alaiha shalatun, an tushalliya 'anha waliyyuha." Tidak ada dalam shahih Bukhari, baik dalam bab "man mata wa 'alaihin nazar", maupun bab lainnya. Bahkan tidak ada dalam semua kitab hadits, baik Shahih, Sunan, Masanid, dll.
2. Satu-satunya hadits yang berkenaan dengan shalat di bab ini adalah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau memerintahkan seorang wanita untuk shalat di Quba atas nama Ibunya yang sudah meninggal, karena ibunya pernah bernazar untuk shalat di Quba. (Shahih Bukhari, bab "man mata wa 'alaihin nazar",cet-1, Dar Thauq an-Najat, 1432 H, juz VIII, h. 142) Ini nash-nya.
( وأمر ابن عمر، امرأة، جعلت أمها على نفسها صلاة بقباء، فقال: «صلي عنها» وقال ابن عباس، نحوه )
3. Jadi, riwayat yang ia klaim dari Rasulullah dalam shahih Bukhari dengan lafaz yang ia sebutkan tidak benar adanya. Karena riwayat yang ada adalah atsar dari Ibnu Umar. Hal yang sama diungkapkan oleh Ibnu Abbas.
4. Atsar dari Ibn Umar, yang memerintahkan seorang wanita shalat di Masjid Quba atas nama ibunya, adalah untuk menunaikan nazar sang Ibu. Bukan untuk mengqadha shalat si mayyit yang ia tinggalkan karena sakit.
5. Semua hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah harus dipertimbangkan dalam menentukan hukum sebuah masalah, baik hadits tersebut terdapat dalam shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abud Dawud, Musnad Ahmad dan yang lainnya.
Karena dengan mengambil semua hadits shahih dalam satu masalah akan mimunculkan persepsi komprehensif tentang masalah itu. Dan Inilah Manhaj Salaf, manhaj yang ditempuh oleh semua mazhab fiqih Ahlus sunnah termasuk Syafi'iyyah.
Jika kita lihat masalah 'qadha shalat atas nama mayit', maka kita juga menemukan riwayat dari Ibnu Abbas: "Seseorang tidak shalat atas orang lain." ( HR. Nasa'i dalam Sunan al-Kubra, dengan sanad shahih, no. 2930). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Umar.
Artinya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak membenarkan seseorang shalat atas nama orang lain, baik orang tersebut masih hidup atau sudah wafat. Kecuali jika ada nazar, sebab nazar wajib ditunaikan dengan syarat bukan nazar untuk maksiat.
***
Tentu kita semua tahu konsekwensi besar yang harus ditanggung seseorang saat ia berkata: " Kata Baginda Rasulullah: qadha shalatnya!", padahal Rasulullah tidak pernah mengatakannya, bahkan tidak pula dikatakan oleh seorang pun dari sahabat Rasulullah.
Semoga Allah memberinya dan kita hidayah ke jalan yang benar, serta tetap istiqamah di atas kebenaran.
Ceramah Tarawih, 21-07-2012, di Jakarta Islamic Center.
http://www.youtube.com/
Ceramah ini, adalah jawaban atas pertanyaan: " Sampe enggak, kalaw saya sdekah untuk orang tua saya yang meninggal dunia ". Permasalahan ini katanya sering membuat umat Islam tidak akur.
Dalam ceramah ini, dengan pd-nya dia mengenyampingkan shahih Muslim, dll, karena mengklaim hanya akan mengambil hadits dari shahih Bukhari -karena mengikuti manhaj salaf.
"Saya hanya akan menggunakan hadits-hadits Imam Bukhari dalam shahihnya. Kalau kita konsekwen mengikuti salaf , mari kita ikuti pendapat salaf ini." Tegasnya.
Hadits pertama:
Marhadi Muhayar berkata: Dalam hadits shahih riwayat Bukhari ini tentang shalat. (Bertanya kepada pemirsa): Saya ingin bertanya kepada Bapak/Ibu: Kalau orang tua kita wafat, lalu punya kewajiban shalat, dia belum shalat, ketika dia sakit, apakah kita harus mengqadha' shalatnya atw tdk? Pak, dibiarin begitu saja atau kita qadha shalatnya Bu?
Kata Baginda Rasulullah: qadha shalatnya!
Hadits ini ada dalam riwayat Imam Bukhari, dalam bab "man mata wa 'alaihin nazar". Siapa yang meninggal dunia dan punya kewajiban nazar.
Kata baginda Rasulullah: "Man matat ummuha wa 'alaiha shalatun, an tushalliya 'anha waliyyuha." siapa saja yang wafat dan mati dan walinya tau itu, yang mati ini meninggalkan kewajiban shalat, maka walinya; anaknya, suaminya, saudaranya wajib mengqadha shalat atas nama jenazah yang telah wafat itu.
***
Catatan:
Dari pemaparan hadits pertama ini saja, kita sudah menemukan 'ketidak jujuran' sang syekh Idahram dalam menyampaikan hukum agama kepada masyarakat ramai. Buktinya:
1. Hadits yang dia sebutkan: "Man matat ummuha wa 'alaiha shalatun, an tushalliya 'anha waliyyuha." Tidak ada dalam shahih Bukhari, baik dalam bab "man mata wa 'alaihin nazar", maupun bab lainnya. Bahkan tidak ada dalam semua kitab hadits, baik Shahih, Sunan, Masanid, dll.
2. Satu-satunya hadits yang berkenaan dengan shalat di bab ini adalah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau memerintahkan seorang wanita untuk shalat di Quba atas nama Ibunya yang sudah meninggal, karena ibunya pernah bernazar untuk shalat di Quba. (Shahih Bukhari, bab "man mata wa 'alaihin nazar",cet-1, Dar Thauq an-Najat, 1432 H, juz VIII, h. 142) Ini nash-nya.
( وأمر ابن عمر، امرأة، جعلت أمها على نفسها صلاة بقباء، فقال: «صلي عنها» وقال ابن عباس، نحوه )
3. Jadi, riwayat yang ia klaim dari Rasulullah dalam shahih Bukhari dengan lafaz yang ia sebutkan tidak benar adanya. Karena riwayat yang ada adalah atsar dari Ibnu Umar. Hal yang sama diungkapkan oleh Ibnu Abbas.
4. Atsar dari Ibn Umar, yang memerintahkan seorang wanita shalat di Masjid Quba atas nama ibunya, adalah untuk menunaikan nazar sang Ibu. Bukan untuk mengqadha shalat si mayyit yang ia tinggalkan karena sakit.
5. Semua hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah harus dipertimbangkan dalam menentukan hukum sebuah masalah, baik hadits tersebut terdapat dalam shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abud Dawud, Musnad Ahmad dan yang lainnya.
Karena dengan mengambil semua hadits shahih dalam satu masalah akan mimunculkan persepsi komprehensif tentang masalah itu. Dan Inilah Manhaj Salaf, manhaj yang ditempuh oleh semua mazhab fiqih Ahlus sunnah termasuk Syafi'iyyah.
Jika kita lihat masalah 'qadha shalat atas nama mayit', maka kita juga menemukan riwayat dari Ibnu Abbas: "Seseorang tidak shalat atas orang lain." ( HR. Nasa'i dalam Sunan al-Kubra, dengan sanad shahih, no. 2930). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Umar.
Artinya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tidak membenarkan seseorang shalat atas nama orang lain, baik orang tersebut masih hidup atau sudah wafat. Kecuali jika ada nazar, sebab nazar wajib ditunaikan dengan syarat bukan nazar untuk maksiat.
***
Tentu kita semua tahu konsekwensi besar yang harus ditanggung seseorang saat ia berkata: " Kata Baginda Rasulullah: qadha shalatnya!", padahal Rasulullah tidak pernah mengatakannya, bahkan tidak pula dikatakan oleh seorang pun dari sahabat Rasulullah.
Semoga Allah memberinya dan kita hidayah ke jalan yang benar, serta tetap istiqamah di atas kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar