Tuduhan Murji’ah terus dipropagandakan oleh ahlul-bida’
kepada Salafiyyun. Di bawah ini akan sedikit dituliskan beberapa
perkataan ‘ulama tentang ciri-ciri Murji’ah dan kapan seseorang bisa
dikatakan berlepas diri darinya. Jika Salafiyyun memang mempunyai
ciri-ciri ini, saya harap mereka – termasuk kita semua, insya Allah – mau rujuk untuk kembali kepada kebenaran. Namun jika sebaliknya, sudah menjadi kewajaran jika Salafiyyun tidak perlu menggubris omongan ngelantur yang diucapkan para pendengki itu.
Para
ulama telah menjelaskan beberapa permasalahan yang jika hal itu ada
pada diri seseorang, maka ia berlepas diri pada Murji’ah. Secara umum
hal itu dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) perkara :
1. Barangsiapa yang mengatakan bahwa iman itu meliputi perkataan, i'tiqad (keyakinan), dan perbuatan, maka ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Telah berkata Al-Imam Al-Barbahaariy rahimahullah :
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينق)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’ secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz ketika memberikan ta’liq (komentar) terhadap perkataan ‘Iman itu adalah pengakuan/ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati’ sebagaimana terdapat dalam kitab Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah berkata :
هذا
التعريف فيه نظر وقصور، والصواب الذي عليه أهل السنة والجماعة أن الإيمان
قول وعمل واعتقاد يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية.....وإخراجُ العمل من
الإيمان هو قول المرجئة.
“Definisi
ini ada yang perlu dikritik lagi mengandung kekurangan. Yang benar
menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah bahwa iman itu terdiri dari
perkataan, perbuatan, dan i’tiqad
(keyakinan), bisa bertambah dengan ketaatan serta berkurang dengan
kemaksiatan………… Mengeluarkan amal dari cakupan iman merupakan perkatan
Murji’ah” [Al-Fataawaa, 2/83].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata saat mengomentari hal yang sama dalam kitab Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah :
هذا مذهب الحنفية والماتريدية، خلافاً للسلف وجماهير الأمة.
“Ini adalah madzhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah yang menyelisihi salaf dan mayoritas umat” [Ath-Thahaawiyyah, 1/51].
2. Barangsiapa yang mengatakan iman itu bisa bertambah dan berkurang, maka ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang mengatakan : ‘iman itu bisa bertambah dan berkurang’ , maka beliau menjawab :
هذا برئَ من الإرجاء.
“Orang ini telah berlepas diri dari (bid’ah) irjaa’“ [As-Sunnah oleh Al-Khalaal 2/581/1009].
Telah berkata Al-Imam Ahmad rahimahullah tentang Murji’/Muji’ah :
ومن
زعم أن الإيمان قول بلا عمل فهو مرجىء ومن زعم أن الإيمان لا يزيد ولا
ينقص فقد قال بقول المرجئة ومن لم ير الاستثناء في الإيمان فهو مرجىء ومن
زعم أن إيمانه كإيمان جبريل والملائكة فهو مرجىء قال ومن زعم أن المعرفة
تنفع في القلب لا يتكلم بها فهو مرجىء
“Barangsiapa
yang beranggapan bahwasannya iman itu adalah perkataan saja tanpa
perbuatan (amal), maka ia adalah Murji’. Barangsiapa yang beranggapan
bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang, maka ia telah berkata
sebagaimana perkataannya Murji’ah. Barangsiapa yang tidak menganggap
adanya istitsna (yaitu perkataan : Saya mukmin insyaAllah – Abu Al-Jauzaa’), maka ia adalah Murji’. Barangsiapa yang beranggapan bahwa imannya adalah seperti imannya Jibril dan Mikail, maka ia adalah Murji’. Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa ma’rifah bermanfaat di hati dan tidak perlu diucapkan dengannya, maka ia adalah Murji’” [Kitaabul-‘Aqidah lil-Imam Ahmad bin Hanbal; riwayat Ahmad bin Ja’far bin Ya’qub Al-Ashthakhari]
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
فإن
الحنافية لو كانوا غير مُخالفين للجماهير مخالفةً حقيقية في إنكارهم أن
العمل من الإيمان لاتفقوا معهم في أن الإيمان يزيد وينقص....، مع تظافر
أدلة الكتاب والسنة والآثار السلفية على ذلك.
“Jikalau
Hanafiyyah tidak menyelisihi mayoritas (ulama) dengan penyelisihan yang
hakiki atas pengingkaran mereka bahwa amal termasuk bagian dari iman,
sungguh mereka telah bersepakat dengan jumhur tentang bertambah dan
berkurangnya iman,….. yang didukung dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah,
dan atsar-atsar salaf atas hal itu” [Ath-Thahaawiyyah, 1/51].
3. Barangsiapa yang memperbolehkan untuk mengucapkan al-istitsnaa’[1] dalam iman, maka ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Telah berkata Al-Imam ‘Abdurrahman bin Mahdiy rahimahullah :
إذا ترك الإستثناء، فهو أصلُ الإرجاء.
“Apabila seseorang meninggalkan istitsnaa’, maka hal itu merupakan asas irjaa’” [Asy-Syarii’ah oleh Al-Aajurriy, 2/664].
Telah berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وأما
مذهب السلف أصحاب الحديث كابن مسعود وأصحابه والثوري وابن عيينة وأكثر
علماء الكوفة.... وأحمد وغيره من أئمة السنة : فكانوا يستثنون في الأيمان،
وهذا متواتر عنهم.
“Adapun madzhab salaf ashaabul-hadiits
seperti Ibnu Mas’uud dan shahabat-shahabatnya, Ats-Tsauriy, Ibnu
‘Uyainah, serta kebanyakan ulama Kuffah,….. Ahmad, dan yang lainnya dari
kalangan imam-imam sunnah, kesemuanya ber-istitsnaa’ dalam iman. Telah mutawatir khabar ini dari mereka” [Al-Fataawaa, 7/438].
فالذين يُحَرِّمونه هم المرجئة والجهمية ونحوهم.
“Mereka yang mengharamkan istitsnaa’ adalah kelompok Muji’ah, Jahmiyyah, dan yang lainnya” [idem, 7/429].
Al-Imam Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
من
صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم : الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة
الشك ، نعوذ بالله من الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من
الاستكمال للإيمان ، لا يدري أهو ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن
أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا : أمؤمن أنت ؟ قال : آمنت بالله وملائكته
وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار ، وأشباه هذا ، والناطق بهذا ،
والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في الإيمان لايدرى أهو ممن
يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم لا؟ هذا طريق
الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في
الأعمال ، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في
الأعمال الموجبة لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به
يتوارثون ، وبه يتناكحون ، وبه تجري أحكام ملة الإسلام
“Di
antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah
bahwa dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-istitsna’
(pengecualian) dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan
sampai mengaku dirinya sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal
belum tentu apakah ia sampai kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari
ahlul-haq manakala ditanya : ‘Mukminkah engkau ?’; mereka akan menjawab :
‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang yang meyakini
ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin. Pengecualian
dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui apakah
ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah sebagai mukmin
yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini adalah
jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’
bukan dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang
mengantarkan si hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu
pada lahirnya beriman, dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya
mereka saling menikah, serta dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” [Asy-Syari’ah oleh Imam Al-Ajurry hal. 102].
Telah berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah tentang istitsnaa’ :
قول
الإنسان : (إنَ مؤمن إن شاء الله)؛ إن كان قصده بذلك التبرُّك، أو أنه :
(إيمان وقع بمشيئة الله)؛ فهذا حقٌ ولا إشكال فيه، جائزٌ.
“Perkataan seseorang : ‘Aku mukmin insya Allah’, apabila tujuan/maksud dari ucapannya itu untuk bertabarruk (mencari barakah); atau ia berkata : ‘imanku ada menurut kehendak Allah’ – maka ini adalah benar tanpa ada isykaal di dalamnya. Boleh (untuk mengatakannya)” [Al-Baabul-Maftuh, pertemuan no. 207, side A, menit 17, Tasjiilaat Al-Istiqaamah].[2]
4. Barangsiapa
yang mengatakan bahwa kekufuran itu dapat terjadi melalui perkataan
maupun perbuatan (anggota badan), maka ia telah berlepas diri dari
Murji’ah.
Murji’ah
tidak memperhitungkan amal masuk dalam bagian iman, sehingga amal
(anggota badan) – menurut mereka – tidak mempengaruhi iman, baik
memperkuat atau melemahkannya. Atas dasar itu, mereka membangun
keyakinan bahwa tidak ada jalan menuju kekafiran kecuali dengan i’tiqaad saja.[3]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
إن الإيمان إذا ذهب بعضه ذهب كله، فهذا ممنوع. وهذا هو الأصل الذي تفرعت عنه البدع في الإيمان، فإنهم
ظنوا أنه متى ذهب بعضه ذهب كله لم يبق منه شيء ثم قالت الخوارج
والمعتزلة: هو مجموع ما أمر اللّه به ورسوله، وهو الإيمان المطلق كما
قاله أهل الحديث؛ قالوا: فإذا ذهب شيء منه لم يبق مع صاحبه من الإيمان
شيء فيخلد في النار. وقالت المرجئة على اختلاف فرقهم: لا تذهب الكبائر
وترك الواجبات الظاهرة شيئًا من الإيمان؛ إذ لو ذهب شيء منه لم يبق منه شيء
فيكون شيئًا واحداً يستوى فيه البر والفاجر. ونصوص الرسول وأصحابه تدل
على ذهاب بعضه وبقاء بعضه، كقوله: "يخرج من النار من كان في قلبه مثقال
ذرة من إيمان".
ولهذا كان أهل السنة والحديث على أنه يتفاضل،
ولهذا كان أهل السنة والحديث على أنه يتفاضل،
“Adapun
perkataan bahwa iman apabila hilang sebagian maka akan hilang
seluruhnya, maka ini adalah terlarang. Dan ini merupakan pokok yang
bercabang darinya bid’ah di dalam iman, karena mereka (Murji’ah dan yang
sepertinya) mengira bahwa apabila sebagian iman hilang, maka akan
hilang seluruhnya dan tidak tersisa sedikitpun darinya. Kemudian
berkatalah golongan Khawarij dan Mu’tazilah : ‘Iman adalah keseluruhan
dari apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia adalah iman
muthlaq, sebagaimana dikatakan Ahlul-Hadiits (!!)’. Mereka (Khawarij dan
Mu’tazilah) berkata : ‘Apabila hilang sesuatu darinya (iman), maka
tidaklah tersisa sedikitpun bagi seseorang bagian dari iman, dan ia
kekal di dalam neraka’. Golongan Murji’ah berkata kebalikan dari mereka :
‘Iman tidaklah dapat hilang sedikitpun dengan mengerjakan dosa-dosa
besar dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang dhahir’….. Dan nash-nash
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya menunjukkan hilangnya sebagian iman dan menetapkan sebagian lainnya, seperti sabdanya : [يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان] “Akan keluar dari neraka orang yang masih ada iman seberat dzarrah di dalam hatinya” . Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Hadits berpendapat bahwa iman itu bertingkat-tingkat” [Al-Iman oleh Ibnu Taimiyyah hal. 176].
Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
ومن
شعب الإيمان القولية شعبة يوجب زوالها زوال الإيمان, فكذلك من شعبه
الفعلية ما يوجب زوالها زوال الإيمان وكذلك شعب الكفر القولية والفعلية.
فكما يكفر بالإتيان بكلمة الكفر اختيارا وهي شعبة من شعب الكفر فكذلك يكفر
بفعل شعبة من شعبه كالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف
“Di
antara cabang-cabang keimanan (yang berupa) perkataan itu ada cabang
yang bisa menghilangkan keimanan jika ia hilang. Demikian juga dengan
cabang yang berupa perbuatan ada yang bisa hilang jika ia hilang.
Begitu
pula halnya dengan cabang-cabang kekafiran yang berupa perkataan dan
perbuatan, sebagaimana (orang itu) bisa menjadi kafir dengan mengucapkan
perbuatan kufur, karena ikhtiyar-nya
sendiri (bukan paksaan). Ini adalah cabang kekafiran. Demikian juga
(orang itu) bisa menjadi kafir karena mengerjakan satu cabang kekafiran
seperti sujud kepada berhala dan menghina mushhaf” [Ash-Shalaah, 55-56].
Telah berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah :
لقد أفاد رحمه الله أن الكفر نوعان: كفر عمل، وكفر جحود واعتقاد.
وأن كفر العمل ينقسم إلى ما يضاد الإيمان، وإلى ما لا يضاده، فالسجود للصنم، والاستهانة بالمصحف، وقتل النبي وسبه؛ يضاد الإيمان.
وأن كفر العمل ينقسم إلى ما يضاد الإيمان، وإلى ما لا يضاده، فالسجود للصنم، والاستهانة بالمصحف، وقتل النبي وسبه؛ يضاد الإيمان.
“Beliau (Ibnul-Qayyim) telah memberikan satu penjelasan bahwa kekufuran itu ada dua macam, yaitu kufur amal serta kufur juhuud (pengingkaran) dan i'tiqaad. Kufur
amal terbagi menjadi (dua, yaitu) kekufuran yang menjadi
lawan/kebalikan dari keimanan dan yang bukan menjadi lawan dari
keimanan. Adapun sujud kepada berhala, menghina mushhaf, serta membunuh
dan menghina Nabi termasuk kekufuran yang bertentangan dengan iman
(sehingga dapat mengkonsekuensikan kepada kufur akbar)” [Silsilah Ash-Shahiihah, 7/134].[4]
5. Barangsiapa yang mengatakan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada ulil-amri meskipun mereka jahat/dhalim, maka ia telah berlepas diri dari Murji’ah.
Telah berkata ‘Abdullah bin Thaahir rahimahullah mengenai Murji’ah :
يا أحمد إنكم تبغضون هؤلاء القوم جهلا، وأنا أبغضهم عن معرفة. أولا: إنهم لا يرون للسلطان طاعة الثاني: إنه ليس للإيمان عندهم قدر
“Wahai
Ahmad, kamu membenci mereka (Murji’ah) tanpa didasari ilmu, sedangkan
aku membenci mereka dengan dasar ilmu. Pertama, mereka (Murji’ah) tidak
memandang taat kepada penguasa; dan yang kedua mereka tidak memandang
bahwa qadar adalah bagian dari iman” [Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits, hal. 68].
Telah berkata Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah :
إن قول المرجئة يخرج إلى السيف.
“Sesungguhnya perkataan Muji’ah adalah keluar (ketaatan) menuju pedang” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, no. 363].
Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata :
إنما أحدث الارجاء بعد هزيمة ابن الاشعث
“Paham irja’ itu hanya muncul pertama kali setelah terjadinya fitnah Ibnul-Asy’ats” [As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, no. 644].
Telah berkata Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah :
ويجب
على المسلمين طاعة ولاة الأمور في المعروف لا في المعصية، فإذا أمروا
بالمعصية فلا يطاعون في المعصية، لكن لا يجوز الخروج عليهم بأسبابها.
“Wajib bagi kaum muslimin untuk taat kepada ulil-amri dalam perkara yang ma’ruf,
bukan dalam perkara maksiat (kepada Allah). Apabila mereka menyuruh
kepada maksiat, maka tidak boleh untuk mentaatinya dalam perkara maksiat
itu. Akan tetapi, (bersamaan dengan itu) tidak boleh keluar dari
ketaatan dari mereka dengan sebab-sebab itu” [Al-Fataawaa, 8/203].
Lantas, siapakah sebenarnya yang Murji’ah ?. Salafiyyun atau …….. [?].
[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ saat bulan Sya’ban 1430 menjelang usai].
[1] Yaitu ucapan : “Saya mukmin insya Allah”.
[2] Termasuk dalam hal ini mereka yang senang menyebut seseorang dengan : “Asy-Syahiid Fulaan”. Secara dhaahir ucapan ini merupakan bentuk tazkiyyah terhadap
amal dan iman. Jika maksud perkataan tersebut demikian, tentu saja
tidak diperbolehkan. Namun jika yang dimaksudkan adalah sebagai
pengharapan atau doa agar Fulan tersebut termasuk orang-orang yang mati syaahid, maka selayaknya ia mengatakan dengan istitsnaa’ : “Syahiid insya Allah”.
[3] Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata saat menyebutkan ciri-ciri Murji’ah yang menyempitkan makna kekafiran hanya pada takdziib (pendustaan) dalam hati, dimana mereka mengatakan :
كل من كفره الشارع فإنما كفره لانتفاء تصديق القلب بالرب - تبارك وتعالى...
“Setiap
yang dikafirkan oleh syari’at sesungguhnya hanyalah disebabkan karena
ketidakadaan kepercayaan di dalam hati kepada Rabb tabaaraka wa ta’ala…” [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/364].
[4] Ini
adalah satu perkataan yang jelas dari Asy-Syaikh Al-Albani bahwa beliau
menegaskan kekafiran itu bisa terjadi pada perkataan maupun perbuatan –
tanpa diiringi istihlaal –
karena bertentangan dengan keimanan dari segala seginya. Sekaligus
sebagai jawaban terhadap ahlul-bida’ yang seringkali mencap Asy-Syaikh
Al-Albani sebagai Murji’ah karena anggapan mereka bahwa beliau
menafikkan adanya kekafiran dari amal perbuatan tanpa diiringi istihlaal.
Murid-murid
beliau (Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy, Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy,
Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salman, Asy-Syaikh Musa Alu Nashr, dan yang
lainnya) pun berkeyakinan serupa dimana mereka mengatakan :
من
الكفر العملي - والقولي - ما هو مخرج من الملة بذاته، ولا يشترط فيه
استحلال قلبي، وهو ما كان مضادّاً للإيمان من كل وجه، مثل : سبِّ الله -
تعالى - وشتم الرسول صلى الله عليه وسلم، والسجود للصنم، وإلقاء المصحف في
القاذورات....وما في معناها.
“Termasuk kufur amaliy – dan qauliy – yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama tanpa perlu dipersyaratkan adanya istihlaal (penghalalan) dalam hati dimana hal itu bertentangan dengan keimanan dalam segala segi; seperti : mencaci-maki Allah – ta’ala - , menghina Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sujud kepada berhala, membuang mushhaf ke tempat yang najis….dan yang semisalnya” [Mujmal Masaailil-Iman Al-‘Ilmiyyah, hal. 18].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar