Oleh: Ndaru Triutomo
Bagi masyarakat Indonesia jimat bukan
sesuatu yang asing. Dari rakyat kecil sampai orang kaya pun
menggunakannya. Mereka gantungkan urusan mereka kepada jimat. Sebagai
agama yang telah sempurna, Islam telah menerangkan kepada kita bagaimana
menyikapinya.
Pengertian Jimat
Jimat adalah segala sesuatu yang
diyakini menjadi sebab datangnya manfaat atau hilangnya kesulitan, namun
bukan merupakan sebab yang dibolehkan oleh syari’at (baik secara syar’i
atau qodari) (At-Tamhid lisyarhi Kitabi at-Tauhid karya Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh). Secara syar’i berarti ditunjukan
oleh dalil yang benar (Al-Qur’an atau Hadits shahih) sedangkan secara
qodari berarti terbukti secara ilmiah. Jadi, benda yang dijadikan jimat
tidak harus yang bernuansa mistis dan ngeri, namun sebuah gelas dapat
menjadi jimat jika diyakini menjadi sebab dapat menyembuhkan penyakit.
Contoh jimat yang tersebar meluas di Indonesia antara lain: jimat
penglaris, rajah, susuk, dan lain-lain.
Dalil Umum Pelarangan Jimat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul menyebut jimat dengan kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat kemusyrikan” (HR. Ahmad, shahih).
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka
terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika
Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah
bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38).
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa berhala yang disembah oleh kaum
musyrikin diyakini oleh mereka sebagai sebab untuk mendatangkan manfaat
dan menghilangkan kesulitan. Akan tetapi berhala-berhala tersebut
bukanlah sebab yang boleh dimanfaatkan menurut syari’at, dan juga mereka
tidak mampu untuk memenuhi sedikit pun perkara yang diminta. Begitu
pula orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebab yang tidak
dibolehkan oleh syari’at.
Macam dan Hukum Jimat
Jimat dibagi menjadi dua macam, yaitu jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau do’a-do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan jimat yang bukan berasal dari keduanya. Adapun hukum jimat yang
bukan berasal dari Al-Qur’an atau do’a Nabi, maka termasuk ke dalam
kemusyrikan. Tergolong ke dalam syrik kecil jika seseorang meyakini
jimat tersebut hanya sebagai sebab/sarana, namun tetap meyakini hanya
Allah yang maha kuasa untuk menghilangkan bahaya dan mendatangkan
manfaat. Dapat termasuk ke dalam syirik besar (yang mengeluarkan dari
Islam) jika meyakini jimat tersebutlah dengan sendirinya yang
mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesusahan tanpa meyakini adanya
kekuasaan Allah dalam memberikan pengaruh dari sebab yang diambil (Majmu’ Fatawa Wa Rasail karya Syaikh Utsaimin).
Sedangkan jimat yang berasal dari
Al-Qur’an, maka terdapat perselisihan diantara para ulama apakah hal
tersebut diperbolehkan atau tidak. Alasan diperbolehkannya karena
Al-Qur’an bukan termasuk makhluk melainkan Kalamullah. Namun yang lebih
tepat adalah pendapat yang melarang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat.
Hal tersebut didasarkan atas beberapa alasan: (1) Keumuman dalil
pelarangan jimat dan tidak ada dalil lain yang mengkhususkan bolehnya
hal tersebut; (2) Dapat menyebabkan penghinaan terhadap Al-Qur’an karena
dibawa ke tempat najis dan kotor; (3) Demi menutup jalan-jalan
kemusyrikan, yaitu perbuatan menggantungkan selain Al-Qur‘an sebagai
jimat; (4) Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang
membolehkan hal tersebut (Haasyiatu Kitabi at-Tauhid karya
Syaikh Abdurrahman bin Qaasim). Jadi kesimpulannya seluruh bentuk jimat
adalah terlarang dalam syari’at Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an
atau selain Al-Qur’an.
Jimat bukan sarana yang diizinkan syari’at
Pembahasan mengenai jimat sangat erat
kaitannya dengan pembahasan kaidah pengambilan sebab. Karena orang-orang
yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebagai sebab agar
tercapai keinginannya. Padahal tidak sembarang sebab boleh ditempuh
menurut syari’at. Kesalahan dalam pengambilan sebab dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam kemusyrikan. Terdapat tiga kaidah yang harus dipahami
dalam mengambil sebab (At-Tauhid Al-Muyassar karya ‘Abdullah Al-Huwaili) :
1. Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qodari
Suatu sebab terbukti secara syar’i
berarti terdapat dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits,
yang menunjukkan bolehnya pengambilan sebab tersebut. Walaupun secara
akal, hal tersebut belum terjangkau. Contohnya adalah cara menangkal
racun pada bejana yang terjatuhi lalat yaitu dengan mencelupkan seluruh
badannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila
lalat jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah
karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya
terdapat obat penawarnya” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan
kepada kita bahwa mencelupkan tubuh lalat yang masuk ke dalam bejana
berisi cairan merupakan sebab yang diizinkan secara syar’i karena
berdasarkan hadits yang shahih.
Sedangkan suatu sebab dapat terbukti
secara Qodari berarti sebab tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dan
akal dapat menjangkaunya. Atau dengan kata lain, sebab dan akibat yang
ditimbulkan memiliki hubungan rasional. Seperti orang yang lapar, akan
mengambil sebab makan sehingga ia dapat kenyang, atau orang yang ingin
pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, maka ia berjalan kaki dari
tempat tinggalnya.
2. Tidak boleh bersandar kepada sebab
Setelah sebab yang diambil terbukti
secara syar’i atau Qodari, maka selanjutnya kita tidak boleh bersandar
kepada sebab yang telah diambil. Karena hal ini menunjukkan sifat
kurangnya tawakal kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kuasa yang dapat menciptakan segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah
orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah : 51).
3. Meyakini bahwa sebab hanya dapat berpengaruh dengan izin dari Allah dan tidak dengan sendirinya
Seorang Muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, hanya dapat terjadi atas izin dari Allah Ta’ala. Begitu pula berpengaruhnya sebab, hanya dapat terjadi dengan izin dari Allah Ta’ala.
Misalnya seorang pasien yang berobat ke dokter, kemudian dokter
memberikan obat tertentu. Setelah obat tersebut diminum, penyakit yang
dialami si pasien menjadi sembuh. Maka sesungguhnya yang memberikan
kesembuhan adalah Allah Ta’ala, bukan dokter atau obat. Dokter dan obat hanya sebagai sebab kesembuhan pasien tersebut. Maka seorang muslim harus memiliki keyakinan seperti ini, terhadap seluruh sebab yang dia ambil.
Seseorang yang menggunakan jimat,
berarti ia telah melanggar kaidah yang pertama, karena jimat merupakan
sebab yang tidak diizinkan baik secara syar’i maupun qodari. Bahkan
sebagian dari mereka (pengguna jimat) melanggar kaidah kedua dan ketiga.
Mereka setelah menggunakan jimat, kemudian bersandar kepada jimat
tersebut. Seolah-olah dengan tidak adanya jimat maka musibah akan
melanda mereka. Yang lebih disayangkan lagi sebagian orang yang meyakini
bahwa jimat tersebut dengan sendirinya dapat menolak bahaya. Keyakinan
seperti itu adalah keyakinan yang harus dihindari, karena bertentangan
dengan tauhid kepada Allah Ta’ala serta dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
Pembagian bentuk penyandaran kepada selain Allah Ta’ala
Manusia dalam menyandarkan dirinya kepada sebab, dibagi menjadi tiga macam (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid, karya Syaikh Utsaimin).
Pertama, yang meniadakan tauhid dari pokoknya.
Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang tidak mungkin dapat
memberikan pengaruh sedikit pun, serta ia menyandarkan dirinya dengan
penyandaran yang sempurna. Contohnya adalah orang yang meminta kepada
kuburan wali untuk dihilangkan kesusahannya, kemudian ia menyandarkan
diri kepada kuburan tersebut dan meyakini kuburan tersebut yang akan
menghilangkan kesulitannya. Orang ini telah terjatuh pada perbuatan
syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam. Karena kuburan tidak memiliki
pengaruh sedikitpun (tidak berkuasa) untuk menghilangkan kesulitan.
Begitu pula, jika sebab yang diambil
termasuk ke dalam perbuatan syirik akbar, maka ia akan terjatuh dalam
syirik akbar karena sebab yang diambil. Walaupun ia berkeyakinan Allah
lah yang memberikan pengaruh dari sebab yang diambil. Sebagaimana kaum
musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
(QS. Az-Zumar :3). Ayat ini menunjukkan bahwa keyakinan orang-orang
musyrikin dalam menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri mereka
kepada Allah, tidak meyakini berhala tersebut yang dapat menghilangkan
kesusahan mereka. Namun keyakinan mereka berupa mengesakan Allah dalam
Rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah), tidak cukup untuk memasukkan
mereka ke dalam Islam, tapi mereka harus mengesakan Allah pula dalam hal
ibadah. Mereka termasuk orang musyrik karena mengambil sebab dengan
perbuatan kemusyrikan.
Kedua, yang meniadakan kesempurnaan tauhid.
Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang diizinkan syari’at
dengan tidak mengingkari bahwa Allah yang memberikan pengaruh terhadap
sebab tersebut. Contohnya adalah orang yang sakit kemudian berobat
kepada dokter. Namun ia menyandarkan kesembuhan dirinya kepada dokter
bukan kepada Allah, walaupun ia tidak mengingkari bahwa Allah-lah yang
memberikan kesembuhan kepadanya. Maka orang tersebut telah terjatuh pada
syirik kecil karena bersandar kepada sebab, bukan kepada yang
menciptakan sebab, yaitu Allah Ta’ala.
Ketiga, yang tidak meniadakan tauhid sedikit pun.
Yaitu seseorang mengambil suatu sebab yang diizinkan syari’at, dengan
menyandarkan pengaruh sebab tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa
sebab berasal dari Allah dan hanya dapat berpengaruh atas kehendak-Nya.
Jenis yang ketiga inilah yang seharusnya diamalkan oleh setiap mukmin
yang bertauhid kepada Allah Ta’ala. Karena sikap seperti inilah yang menunjukkan adanya tawakal pada diri seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan
kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan
memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka
pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut
kenyang” (HR. Tirmidzi, Hasan shahih).
Terakhir, marilah kita berdo’a kepada
Allah untuk dijauhkan dari pengaruh jimat dan juga bentuk kemusyrikan
yang lain. Serta memohon hidayah kepada Allah untuk dicukupkan hati ini
dengan syari’at Allah Ta’ala sehingga tidak merasa butuh dengan sesuatupun di luar syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Barangsiapa yang (menjadikan) akhirat tujuan utamanya maka
Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa
cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya
dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“ (HR. Ibnu Majah, shahih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar