Disusun oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah,
Arab Saudi)
Pengantar
Setan
memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia.
Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan
menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh
dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah,
setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak
agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai
syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski
berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh
syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat [Bi Ayyi 'Aqlin wa Dîn Yakûnu at-Tafjîru Jihâdan?, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, hlm. 3, at-Tahdzîr min asy-Syahawât, ceramah Dr. Sulaimân ar-Ruhaili].
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim, 2/167]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.” [Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim, 2/167]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd,
tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski
demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan
penyakit syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat
dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak
zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasihati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij
yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasihat yang terkenal
dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhu
yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan
beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang
cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari
kesalahan pemikiran mereka [Sunan al-Baihaqi 8/179].
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh radhiallahu ‘anhu
yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij
dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya
kepada Jâbir radhiallahu ‘anhu tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasihat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat
tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah sahabat
Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah
sahabat Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhu.
Dalam banyak
kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang
sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara
dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi
pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal
tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak
optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat,
sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman
sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka
jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad)
yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundit-pundi pahala mereka.
Kondisi
seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan
solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih
optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah
terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan
pengalaman Kerajaan Arab Saudi.
Arab Saudi dan Terorisme
Seperti
Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak
dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin
Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan.
Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi
di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei
2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota
negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks
perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom
bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi
Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang.
Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan
menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei
2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’
dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH
telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab
Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar
panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara
yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi [Harian ASHARQUL- AUSATH edisi 9297, 12 Mei 2004]. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme diimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris
juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak
petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung
lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci
Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan, ada
beberapa tokoh agama
yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari
objektivitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk
penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi,
tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi
dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah
menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya
para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping
itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan
pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan,
seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya
barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah
bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye
penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite Penasihat).
-Bersambung insya Allah [klik di sini]-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar