Selasa, 29 April 2014

QS. An-Nisaa’ Ayat 65 Sebagai Dalil Pengkafiran Orang yang Berhukum dengan Selain yang Diturunkan Allah ??


Tanya : Bukankah QS. An-Nisaa’ ayat 65 adalah dalil yang sangat tegas tentang kekafiran orang (penguasa) yang tidak berhukum dengan hukum Allah ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].

Melalui ayat ini Allah ta’ala menjelaskan kepada kita tentang kewajiban seorang muslim untuk :
a.    Berhukum dengan syari’at Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusan yang diperselisihkan.
b.    Bersikap ridla serta tidak sedikitpun merasa sempit dan berat dengan syari’at Allah yang akan/telah memutuskan segala urusannya.
Tentang kafir tidaknya orang yang berhukum dengan selain syari’at Allah ta’ala, maka ini membutuhkan perincian, sebagaimana telah dikatakan oleh para ulama salaf dan khalaf.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقرّ به ولم يحكم، فهو ظالم فاسقٌ.
“Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah, maka ia kafir. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun tidak berhukum dengannya, maka ia dhalim lagi fasiq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 6/166 dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya 4/1142 no. 6426 & 4/1146 no. 6450; hasan lighiarihi].
‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah berkata :
"ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون"،"ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون"،"ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون"، قال: كفر دون كفر، وفسق دون فسق، وظلم دون ظلم.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang faasiq”; (‘Atha’ berkata) : “Kekufuran di bawah kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam), kefasiqan di bawah kefasiqan (yang mengeluarkan dari Islam), dan kedhaliman di bawah kedhaliman (yang mengeluarkan dari Islam)” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Iimaan 4/159-160 no. 1417 & 4/161 no. 1422 dan dalam Masaail Abi Dawud hal. 209, Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 6/165-166, Muhammad bin Nashr Al-Marwaziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah 2/522 no. 575, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/735 no. 1007 & 2/736-737 no. 1011, Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya 4/1149 no. 6464, serta Al-Qaadli Wakii’ dalam Akhbaarul-Qudlaat 1/43; shahih].
Al-Imaam Abu Bakr Al-Aajurriy rahimahullah berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز وجل { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} ويقرءون معها {ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ} فإذا رأوا الإمام الحاكم يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر ، ومن كفر عدل بربه فقد أشرك، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ؛ لأنهم يتأولون هذه الآية
”Di antara ayat-ayat mutasyaabihaat yang diikuti oleh orang-orang Haruuriyyah (Khawaarij) adalah firman Allah ’azza wa jalla : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44]. Dan mereka juga menyertakan ayat : ”Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka” [QS. Al-An’aam : 1]. Jika mereka melihat seorang penguasa/hakim yang menghukumi dengan tidak haq maka mereka berkata : ’Dia telah kafir, dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb-nya, maka sungguh ia telah musyrik. Para penguasa ini merupakan orang-orang musyrikin”. Maka mereka memberontak dan melakukan hal yang engkau lihat, karena mereka menakwilkan ayat ini” [Asy-Syarii’ah, 1/144; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H].
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahiim rahimahullah berkata :
من حكم بِهَا -يعني: القوانين الوضعية- أو حاكم إليها معتقدًا صحة ذلك وجوازه فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، وإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه، فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملة
“Barangsiapa berhukum dengannya dengannya – yaitu undang-undang buatan - atau berhukum kepadanya, dengan keyakinan hal itu dibenarkan, atau dibolehkan, maka ia kafir dengan kekufuran yang menjadikannya keluar dari agama. Adapun bila ia melakukannya tanpa disertai oleh keyakinan dibenarkannya perbuatan tersebut atau dibolehkannya, maka ia telah kafir dengan kufur amali, yang tidak sampai menjadikannya keluar dari agama” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/80].
Pernah ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Daaimah :
فما حكم من يتحاكم إلى القوانين الوضعية، وهو يعلم بطلانها؛ فلا يحاربها ولا يعمل على إزالتها؟
“Apa hukum orang yang meminta dihukumi dengan undang-undang buatan dalam keadaan ia tahu tentang kebathilannya, dan ia tidak memeranginya dan tidak pula berusaha untuk menghapusnya ?”.
Dijawab :
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه.. وبعد
الواجب التحاكم إلى كتاب الله وسنة رسوله، صلى الله عليه وسلم، عند الاختلاف. قال تعالى فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء 59) وقال تعالى فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا (النساء 65).
والتحاكم يكون إلى كتاب الله تعالى، وإلى سنة الرسول، صلى الله عليه وسلم، فإن لم يتحاكم إليها مستحلاً التحاكم إلى غيرهما من القوانين الوضعية؛ بدافع طمع في مال أوجاه أو منصب، فهومرتكب معصية، وفاسق فسقاً دون فسق، ولا يخرج من دائرة الإيمان
“Segala puji hanyalah untuk Allah semata, shalawat dan salam diperuntukkan bagi Rasul-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya….wa ba’d :
Yang wajib adalah meminta dihukumi dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi perselisihan. Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya’ (QS. An-Nisaa’ : 59). ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 65).
Dan meminta berhukum hanya diperbolehkan pada Kitabullah ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apabila ia tidak meminta berhukum kepadanya dalam keadaan menghalalkannya, yaitu meminta berhukum dengan selain keduanya dari Undang-Undang buatan karena ketamakan terhadap harta, kedudukan, atau status; maka ia terhitung sebagai pelaku kemaksiatan dan orang yang fasik, dengan kefasikan di bawah kefasikan yang tidak mengeluarkannya dari wilayah iman” [Fataawaa no. 6310; Ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz, Anggota : ‘Abdulah bin Qu’uud dan ‘Abdullah bin Ghudaayaan].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
من حكم بغير ما أنزل الله فلا يخرج عن أربعة أمور:
أ- من قال: أنا أحكم بِهَذا؛ لأنه أفضل من الشريعة الإسلامية. فهو كافر كفرًا أكبر.
ب- ومن قال: أنا أحكم بِهَذا؛ لأنه مثل الشريعة الإسلامية، فالحكم بِهذا جائز، وبالشريعة جائز. فهو كافر كفرًا أكبر.
ج- ومن قال: أنا أحكم بِهَذا، والحكم بالشريعة الإسلامية أفضل؛ لكن الحكم بغير ما أنزل الله جائز. فهو كافر كفرًا أكبر.
د- ومن قال: أنا أحكم بِهَذا وهو يعتقد أن الحكم بغير ما أنزل الله لا يجوز، ويقول: الحكم بالشريعة الإسلامية أفضل، ولا يجوز الحكم بغيرها. ولكنه متساهل، أو يفعل هذا لأمر صادر من حكامه فهو كافر كفرًا أصغر لا يخرج من الملة، ويعتبر من أكبر الكبائر
“Barangsiapa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka tidak akan keluar dari empat perkara :
a.     Orang yang mengatakan : ‘Aku berhukum dengan hal ini karena ia lebih utama daripada syari’at Islam’, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
b.     Orang yang mengatakan : ‘Aku berhukum dengan hal ini, karena ia semisal/sama (kedudukannya) dengan syari’at Islam, sehingga berhukum dengannya boleh, dan berhukum dengan syari’at pun boleh’, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
c.      Orang yang mengatakan : ‘Aku berhukum dengan hal ini. Dan berhukum dengan syari’at Islam itu lebih utama, namun berhukum dengan selain yang diturunkan itu boleh’, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
d.     Orang yang mengatakan : ‘Aku berhukum dengan hal ini – dan ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah tidak diperbolehkan dan berkata : berhukum dengan syari’at Islam lebih utama dan tidak diperbolehkan berhukum dengan selainnya, namun ia adalah orang yang bermudah-mudah atau ia melakukannya karena perintah dari penguasanya, maka ia kafir dengan kufur ashghar yang tidak mengeluarkannya dari agama, dan perbuatannya tersebut termasuk di antara dosa besar yang paling besar” [Qadliyyatut-Takfiir baina Ahlis-Sunnah wadl-Dlalaal, hal. 72-73].
Tentang permasalahan ketidakridlaan penerapan hukum syar’iy ini, maka Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mejelaskan :
إذا كان هذا الرضى رضىً قلبياً بالحكم بغير ما أنزل الله، فحينئذ ينقلب الكفر العملي إلى كفر اعتقادي. فأي حاكم يحكم بغير ما أنزل الله وهو يرى ويعتقد أن هذا هو الحكم اللائق تبنيه في هذا العصر، وأنه لا يليق به تبنيه للحكم الشرعي المنصوص في الكتاب والسنة، فلا شك أن هذا الحاكم يكون كفره كفراً اعتقادياً، وليس كفراً عملياً فقط،
“Apabila keridlaan ini merupakan keridlaan yang berasal dari hati atas hukum selain yang diturunkan Allah, maka pada saat itulah kekufuran amaliy berubah menjadi kekufuran i’tiqadiy (yang mengeluarkan dari Islam). Maka, hakim mana saja yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dimana ia berpandangan dan berkeyakinan bahwa hukum itulah yang pantas berlaku di jaman ini, dan hukum syar’iy dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak lagi sesuai, maka tidak ragu lagi bahwa kekafiran hakim tersebut adalah kufur i'tiqadiy, bukan lagi sekedar kufur ‘amaliy….. [Fitnatut-Takfiir].
Adapun Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan :
Itulah perincian dari kalangan salaf dan khalaf tentang masalah tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah. Jika dikatakan bahwa firman Allah ta’ala dalam QS. An-Nisaa’ : 65 {لا يُؤْمِنُونَ} ‘tidaklah mereka beriman’ adalah penafian pokok (ashl) dan hakekat iman yang mengeluarkan dari agama (murtad) secara mutlak (tanpa perincian), maka ini bertentangan dengan sababun-nuzuul ayat :
حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث قال: حدثني ابن شهاب، عن عروة، عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما أنه حدثه: أن رجلا من الأنصار، خاصم الزبير عند النبي صلى الله عليه وسلم في شراج الحرة، التي يسقون بها النخل، فقال الأنصاري: سرح الماء يمر، فأبى عليه، فاختصما عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: (اسق يا زبير، ثم أرسل الماء إلى جارك). فغضب الأنصاري فقال: أن كان ابن عمتك؟ فتلون وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم قال: (اسق يا زبير، ثم احبس الماء حتى يرجع إلى الجدر). فقال الزبير: والله إني لأحسب هذه الآية نزلت في ذلك: {فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم}.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah, dari ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa bahwasannya ia menceritakan kepadanya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang bertengkar dengan Az-Zubair di samping Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang aliran air di daerah Al-Harrah yang mereka gunakan untuk menyirami kebun kurma. Orang Anshaar tersebut berkata : “Bukalah air agar bisa mengalir”. Az-Zubair menolaknya lalu keduanya bertengkar di hadapan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Az-Zubair : “Wahai Az-Zubair, berilah air (untuk kebunmu dulu), kemudian alirkanlah buat tetanggamu”. Orang Anshaar itu marah dan berkata : “Tentu saja kamu bela dia karena dia putra bibimu”. Maka wajah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerah kemudian berkata : “Wahai Zubair, (untuk kebunmu dulu) kemudian bendunglah hingga air itu kembali ke dasar kebun". Maka Az-Zubair berkata : “Demi Allah, sungguh aku menganggap bahwa ayat ini turun tentang peristiwa tersebut (yaitu firman Allah QS. An-Nisaa’ : 65) : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”… [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2359-2360].
Shahabat Anshaar di atas keberatan dengan keputusan yang diberikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan membuat beliau marah, sehingga turunlah ayat QS. An-Nisaa’ ayat 65. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkafirkannya atau memintanya bersyahadat ulang. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang bertengkar dengan Az-Zubair tersebut adalah shahabat yang turut serta dalam peperangan Badr.[1] Ibnut-Tiin rahimahullah dalam hal ini berkata :
إن كان -يعني: هذا الأنصاري- بدريًّا فمعنى قوله تعالى: لاَ يُؤْمِنُونَ. لا يستكملون الإيمان، والله أعلم
“Seandainya ia – yaitu orang Anshaar tersebut – adalah orang yang turut serta dalam peperangan Badr, maka makna firman-Nya ta’ala : ‘tidaklah mereka beriman’ adalah tidak sempurna keimanan mereka. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 5/44].
Ada beberapa dalil lain yang semakna dengan hadits di atas, satu di antaranya adalah :
حدثنا قتيبة: حدثنا عبد الواحد، عن عمارة بن القعقاع بن شبرمة: حدثنا عبد الرحمن بن أبي نعم قال: سمعت أبا سعيد الخدري يقول: بعث علي بن أبي طالب رضي الله عنه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من اليمن بذهبية في أديم مقروظ، لم تحصل من ترابها، قال: فقسمها بين أربعة نفر: بين عيينة بن بدر، وأقرع بن حابس، وزيد الخيل، والرابع: إما علقمة، وإما عامر بن الطفيل، فقال رجل من أصحابه: كنا نحن أحق بهذا من هؤلاء، قال: فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ألا تأمنونني وأنا أمين من في السماء، يأتيني خبر السماء صباحا ومساء). قال: فقام رجل غائر العينين، مشرف الوجنتين، ناشز الجبهة، كث اللحية، محلوق الرأس، مشمر الإزار، فقال: يا رسول الله اتق الله، قال: (ويلك، أو لست أحق أهل الأرض أن يتقي الله). قال: ثم ولى الرجل. قال خالد بن الوليد: يا رسول الله، ألا أضرب عنقه؟ قال: (لا، لعله أن يكون يصلي). فقال خالد: وكم من مصل يقول بلسانه ما ليس في قلبه، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إني لم أومر أن أنقب قلوب الناس ولا أشق بطونهم). قال: ثم نظر إليه وهو مقف، فقال: (إنه يخرج من ضئضئ هذا قوم يتلون كتاب الله رطبا، لا يجاوز حناجرهم، يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية - وأظنه قال - لئن أدركتهم لأقتلنهم قتل ثمود).
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid, dari ‘Ammaarah bin Al-Qa’qaa’ bin Syubrumah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Abi Na’m, ia berkata : Aku mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib mengirim beberapa emas batangan yang belum dibersihkan dari tanah, dari Yaman kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallalaahu ‘alaihi wa sallam membaginya kepada ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Haabis, Zaid bin Al-Khail, dan yang keempat : ‘Alqamah atau ‘Aamir bin Ath-Thufail. Lalu berkatalah seorang laki-laki dari shahabatnya : “Kami lebih berhak atas emas tersebut dibandingkan mereka”. Sampailah hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda : “Tidakkah engkau mempercayaiku padahal aku adalah orang yang dipercaya oleh Allah yang berada di langit, datang kepadaku khabar dari langit setiap pagi dan petang ?”. Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki yang mempunyai mata cekung, tulang pipi tinggi, dahi menonjol, jenggot tebal, kepala botak, dan menggunakan ikat pinggang berdiri; kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, bertaqwalah kepada Allah !”. Beliau bersabda : “Celaka engkau – atau Bukankah aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah di kalangan penduduk bumi ?”. Orang itu pun berpaling/pergi dari tempat itu. Khaalid bin Waliid berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah aku penggal saja leher orang itu ?”. Beliau bersabda : “Jangan, barangkali ia masih mengerjakan shalat”. Khaalid berkata : “Betapa banyak orang yang melakukan shalat berkata dengan lisannya apa-apa yang tidak ada dalam hatinya ?”. Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk menyelidiki hati-hati manusia dan membelah perut-perut mereka”. Kemudian beliau melihat kepadanya ketika ia hendak pergi : “Sesungguhnya akan keluar dari keturunannya satu kaum yang membaca Kitabullah namun tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya”. Perawi berkata : “Aku mengira beliau bersabda : ‘Apabila aku bertemu dengan mereka, sungguh aku akan bunuh mereka sebagaimana kaum Tsamuud telah dibinasakan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4351].
Orang tersebut keberatan dengan ketetapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak serta-merta mengkafirkannya, dan tidak pula memerintahkan untuk membunuhnya. Bahkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih berhusnudhdhan kepadanya saat Khaalid ingin sekali membunuhnya.
Walhasil, tidak berhukumnya seseorang dengan hukum Allah membutuhkan perincian, baik bagi amir (penguasa) maupun ma’muur (rakyat). Bisa jadi ia kafir, dhalim, ataupun faasiq [bukan kafir secara mutlak yang mengeluarkan dari agama sebagaimana diyakini oleh takfiriy]. Oleh karenanya, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahuullah berkomentar tentang pemahaman Khawaarij atas QS. An-Nisaa’ ayat 65 :
فمن لم يلتزم تحكيم الله ورسوله فيما شجر بينهم فقد أقسم الله بنفسه أنه لا يؤمن ، وأما من كان ملتزماً لحكم الله ورسوله باطناً وظاهراً ، لكن عصى واتبع هواه ، فهذا بمنزلة أمثاله من العصاة . وهذه الآية (فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ ...) مما يحتج بها الخوارج على تكفير ولاة الأمر الذين لا يحكمون بما أنزل الله ، ثم يزعمون أن اعتقادهم هو حكم الله. وقد تكلم الناس بما يطول ذكره هنا ، وما ذكرته يدل عليه سياق الآية
“Barangsiapa yang tidak beriltizam dalam berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam apa yang mereka perselisihkan, sungguh Allah telah bersumpah dengan diri-Nya bahwasannya ia tidak beriman. Adapun orang yang beriltizam dengan hukum Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin, akan tetapi ia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka orang ini kedudukannya sama dengan orang yang bermaksiat. Dan ayat ini : ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman …’ (QS. An-Nisaa’ : 65) termasuk ayat yang digunakan hujjah oleh Khawaarij untuk mengkafirkan penguasa (wulaatul-amr) yang tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah, kemudian mereka (Khawaarij) mengira bahwa keyakinan/i’tiqad mereka adalah hukum Allah” [Minhaajus-Sunnah, 5/131].
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1432 – banyak mengambil faedah dari penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays dalam kitab Al-Burhaanul-Muniir dan Asy-Syaikh Khaalid Al-‘Anbariy dalam kitab Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah – wonokarto, wonogiri, jawa tengah, indonesia].


[1]      Dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahlul-badr :
وما يدريك أن الله اطلع على أهل بدر فقال :اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم
“Dan tidakkah kalian mengetahui bahwasannya Allah telah menelaah orang-orang yang turut serta dalam peperangan Badr (ahlul-badr) dan berfirman : ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian’ [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 49, Ahmad 1/79 & 105 & 131, Al-Bukhaariy no. 3007 & 3081 & 3983 & 4274 & 4890 & 6259 & 6939 dan dalam Al-Adabul-Mufrad no. 438, Muslim no. 2494, At-Tirmidziy no. 3305, Abu Daawud no. 2650-2651, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11585, ‘Abd bin Humaid no. 83, Abu Ya’laa no. 394-398, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 28/58, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 4437-4438, Ibnu Hibbaan no. 6499 & 7119, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/146 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah 3/152-153 & 5/17, dan yang lainnya].
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar