Minggu, 31 Agustus 2014

Bografi Hasan bin Ali bin Abu Tholib Radhiallahu anhu

(3-50 H)
Dia adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah.



Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya



Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiya­llahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnyajuz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.


Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpen­dapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka sa­ling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-­wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-­Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatangi­nya, berbicara dengannya dan memohon pada­nya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata :


إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ?/64? رقم 204)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)


Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau mene­rimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat Al­Bidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.


Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.


Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-­Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sem­bilan keturunannya adalah maksum. Dan dari kon­sekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang ber­sumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al­-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-­Awashim minal Qawashim hal. 197-198).


Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengka­firkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan :


- Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).

- Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para peng­khianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.


Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap Al­Hasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlang­sung dengan persatuan kaum muslimin karena Al­lah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengor­banan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang membunuh­nya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya:
“Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal:


Pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)


Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Is­lam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)

Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.





Sabtu, 30 Agustus 2014

Dua Kisah Batil Tentang Ali Bin Abi Thalib Menemukan Baju Besinya Di Tangan Seorang Yahudi


DUA KISAH BATIL TENTANG ALI BIN ABI THALIB MENEMUKAN BAJU BESINYA DI TANGAN SEORANG YAHUDI


Oleh


Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i



Abu Nu’aim rahimahullahu berkata dalam kitab beliau Al-Hilyah (4/139) : Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan menceritakan kepada kami, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats menceritakan kepada kami, dan Sulaiman bin Ahmad menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aun As-Sairafi Al-Muqri meceritakan kepada kami, Ahmad bin Al-Miqdam menceritakan kepada kami, Hakim bin Khidzam Abu Samir menceritakan kepada kami, Al-Ama’sy menceritakan kepda kami dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi, dari ayah beliau, ia (ayah beliau) berkata : “Ali bin Abi Thalib menemukan baju besinya di tangan seorang Yahudi yang menemukannya dan Ali lalu mengetahuinya, Ali pun berkata, ‘Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq (yang berwarna abu-abu)’. Si Yahudi berkata, ‘Ini baju besiku dan ada di tanganku’. Lalu si Yahudi berkata kepada Ali, ‘Kita bawa perkara ini kehadapan seorang hakim kaum muslimin!.’

Keduanya pun mendatangi Syuraih dan ketika Syuraih melihat kedatangan Ali, beliaupun bergerser dari tempat duduknya, lalu Ali duduk di tempat Syuraih. Ali kemudian berkata. ‘Seandainya lawanku (dalam perkara ini) seorang muslim, niscaya aku menganggapnya sama (sederajat) dalam majelis’. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian menyamakan mereka (orang-orang Yahudi) dalam majelis, dan giringlah mereka ke jalan yang tersempit. Jika mereka mencaci maki kalian maka pukullah mereka, dan jika mereka membalas memukul kalian maka bunuhlah mereka”. Kemudian Syuraih berkata, ‘Apa keperluan anda wahai Amirul Mukminin?’. Ali menjawab, ‘Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq dan ditemukan oleh si Yahudi ini’. Syuraih lalu berkata, ‘Apa tanggapan anda wahai orang Yahudi?’ Si Yahudi lalu berkata, ‘Baju besi ini milikku dan ada di tanganku’. Maka Syuraih berkata, “Demi Allah, engkau benar wahai Amirul Mukminin. Baju besi itu pasti milik anda, tetapi harus ada dua orang saksi’. Kemudian Ali memanggil Qunbur (budak beliau) dan Hasan bin Ali, putra beliau. Lalu keduanya bersaksi bahwa baju besi tersebut adalah milik Ali. Syuraih berkata, ‘Adapun kesaksian maula anda ini maka kami membolehkannya, sedangkan kesaksian putra anda maka kami tidak membolehkannya’.

Maka Ali berkata kepada Syuraih, ‘Celaka anda! Apakah anda tidak pernah mendengar Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hasan dan Husein adalah pemimpin para pemuda surga”. Syuraih berkata, ‘Benar!’. Ali berkata, ‘Lalu kenapa anda tidak membolehkan kesaksian pemimpin para pemuda surga? Demi Allah, aku akan memindahkanmu ke Banfia [1], dan menjadi qadhi (hakim) di sana selama empat puluh hari. Kemudian Ali berkata kepada si Yahudi, ‘Ambillah baju besi itu!, ‘Si Yahudi lalu berkata, Amirul Mukminin menghadap besamaku ke hakim kaum muslimin, lalu sang hakim memutuskannya kalah dalam persidangan dan ia menerimanya. Demi Allah, anda yang benar wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ini adalah baju besi anda yang jatuh dari unta anda dan aku menemukannya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’. Lalu Ali menghibahkan baju besinya kepada si Yahudi dan menambahkan kepadanya hadiah. Si Yahudi kemudian mati terbunuh dalam peperangan Shiffin dalam membela Ali”.

Redaksi bahasa ini disusun Muhammad bin Aun. Abdullah bin Sulaiman menyebutkan, “Ali berkata, ‘Baju besi itu untukmu dan kuda ini untukmu sebagai hadiah’. Maka si Yahudi pun terus bersama Ali bin Abi Thalib hingga ia terbunuh dalam peperangan Shiffin”.

Kisah ini termasuk yang janggal dari hadits Al-A’masy yang beliau riwayatkan dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi. Hakim meriwayatkan hadits ini sendirian dan diriwayatkan juga oleh putra-putra Syuraih dari beliau, dari Ali bin Thalib.

Kisah kedua (versi lain) : Muhammad bin Ali bin Hubaisy menceritakan kepada kami. Al-Qasim bin Zakaria Al-Muqri menceritakan kepada kami, Ali bin Abdullah bin Mu’awiah bin Maisarah menceritakan kepada kami dari Syuarih, bahwa beliau berkata : “Ketika Ali berangkat ke medan perang melawan Mu’awiah, beliau kehilangan baju besinya. Setelah peperangan usai dan beliau kembali ke Kufah, beliau mendapatkan baju besi berada pada orang Yahudi yang sedang menjualnya di pasar. Beliaupun berkata, ‘Wahai Yahudi, baju besi ini milikku, aku tidak menjualnya dan tidak pula menghibahkannya!’. Si Yahudi lalu berkata, ‘Baju besi ini milikku dan (sekarang) berada di tanganku’. Beliau berkata, ‘Kita menghadap qadhi!’

Keduanyapun menemui Syuraih (qadhi pada masa itu), kemudian beliau duduk disamping Syuraih sedangkan si Yahudi duduk di hadapan beliau. Beliau kemudian berkata, ‘Kalaulah tidak karena lawanku (dalam perkara) ini seorang kafir dzimmi, niscaya aku akan duduk berdampingan dengannya’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Anggaplah mereka kecil sebagaimana Allah telah menganggap (memperlakukan) mereka kecil’. Syuraih lalu berkata, “Silahkan wahai Amirul Mukminin mengatakan sesuatu!’. Beliaupun berkata, ‘Ya, sesungguhnya baju besi yang berada pada si Yahudi ini adalah baju besiku. Aku tidak menjulannya dan tidak pula menghibahkannya. Syuraih berkata, ‘Apa tanggapan anda, wahai Yahudi?’. Si Yahudi berkata, ‘Baju besi ini milikku dan ada padaku’. Syuraih berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, anda memiliki bukti?’ Beliau berkata, ‘Ya, Qunbur dan Hasan akan menjadi saksi bahwa baju besi itu adalah milikku’. Syuraih berkata, ‘Kesaksian seorang anak terhadap ayahnya tidak dibenarkan’. Ali berkata, ‘Seorang lelaki penghuni surga tidak boleh bersaksi?’. ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :’ Hasan dan Husein adalah pemimpin para pemuda penghuni surga’. Selanjutnya si Yahudi pun berkata, ‘Amirul Mukminin membawaku ke qadhi (hakim), dan qadhi memutuskannya kalah (dalam persidangan). Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya baju besi in milik anda. Ketika anda sedang menunggung unta menuju Shiffin, di sutua malam baju besi itu pun jatuh dari unta anda lalu aku mengambilnya’. Setalah peristiwa ini, si Yahudi tersebut turut berperang bersama Ali melawan orang-orang durhaka di Nahrawan dan terbunuh dalam peperangan tersebut”.

Aku membaca kisah ini di Subulus-Salam karya Ash-Shan’ani, di mana beliau menyandarkannya pada kitab Al-Hilyah dan aku kagum dengannya. Saat itu akan belum bisa membedakan antara yang shahih dan yang maudhu (palsu). Terbayang dalam pikiranku tentang keadilan dan kejujuran Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, begitu pula sang qadhi Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi rahimahullahu. Selang beberapa lama aku menelaah kitab Al-Abathil karya Al-Jauzaqani, di mana beliau menyebutkan kisah ini di dalamnya sebagai kisah yang batil. Ketika aku melihat banyak orang yang kagum dengan kisah ini seperti halnya aku dulu, ada yang menceritakannya dalam ceramah dan ada yang menulisnya di majalah, sementara yang lain menulisnya dalam buku karangannya, padahal kisah ini sendiri tidak benar, maka aku memandang perlu menyebutkan pernyataan para ulama mengenai kisah ini, sebagai berikut:

Al-Jauzaqani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab beliau Al-Abathil (2/197), beliau mengatakan, “Ini adalah riwayat yang batil (tidak benar). Abu Sumair seorang yang haditsnya mungkar, meriwayatkannya seorang diri… dst”. Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam Al-Ilalul Mutanahiah (2/388) di mana beliau menyatakan hal yang senada dengan yang ditulis Al-Jauzaqani. Imam Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Miizanul I’tidal ketika beliau mengemukakan biografi Abu Sumair Hakim bin Khidzam ini –yang dalam Al-Hilyah dan Al-Abathil disebutkan, Hizam (dan bukan Khidzam)- Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hatim berkata, “Sesungguhnya Abu Sumair diitnggalkan haditsnya”. Bukhari berkata, “Haditsnya mungkar dan seorang yang dinilai beraliran Qadariah”. Sedang Al-Qawariri berkata, “Aku bertemu dengannyam dia seorang hamba Allah yang shalih”.

Dengan demikian diketahui bahwa kisah ini sangat dha’if (lemah, tidak kuat) ditinjau dari jalur Abu Sumair Hakim bin Khidzam.

Adapun sanad yang kedua, maka di dalamnya terdapat perawi yang disebutkan (saqath) atau terjadi perubahan nama (tashhif), yaitu sanad dari jalur Ali bin Abdullah bin Maisarah dari Syuraih dan Ali bin Abdullah bin Mu’awiah. Ali bin Abdullah bin Maisarah di sini tidk meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dari Syuraih, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mizan dan Al-Lisan. Dengan demikian dalam sanad ini terdapat saqath atau setidaknya tashhif. Kemudian Adz-Dzahabi meriwayatkan dari Abu Hatim bahwa beliau menyebutkan kisah lain yang ia ceritakan kepada beliau (Abu Hatim), lalu beliau berkata, “Aku menulis kisah ini, agar aku mendengarkannya dari Syaikh ini (Ali bin Abdullah), kemudian aku membuangnya karena kisahnya maudhu (dibuat-buat).

Kemudian aku mendapatkan kisah dengan sanad yang kedua ini dari kitab Akhbarul Qudhah karya Muhammad bin Khalaf yang bergelar Waqi, beliau berkata (2/194) : Ali bin Abdullah bin Maisarah bin Syuraih Al-Qadhi (sang hakim) menceritakan kepada kami, Ayahnya menceritakan kepadanya dari ayahnya (kakek) Mu’awiah, dari Maisarah, dari Syuraih, bahwa beliau berkata : “Ketika Ali pulang dari peperangan melawan Mu’awiah, beliau menemukan baju besinya yang hilang berada di tangan seorang Yahudi yang sedang menjualnya. Beliaupun berkata kepada si Yahudi, ‘Ini baju besiku, aku tidak pernah menjualnya dan tidak pula menghibahkannya’. Si Yahudi berkata, ‘Ini adalah baju besiku dan berada di tanganku’. Lalu keduanya pun menghadap Syuraih. Syuraih berkata kepada Ali sebagai pihak penuntut, ‘Apakah anda memiliki bukti?’ Ali menjawab, ‘Ya, Qunbur dan putraku Hasan’. Syuraih berkata, “Kesaksian seorang anak terhadap ayahnya tidak di bolehkan’. Lalu Ali berkata, ‘Maha suci Allah ! Ia seorang laki-laki penghuni surga”.

Dengan demikian diketahhui bahwa sanad Abu Nu’aim terdapat perawi yang tidak disebutkan atau terjadi tashhif. Sanadnya tersebut tidak jelas, aku tidak menemukannya dalam kitab-kitab Jarhu wa-Ta’dil kecuali sekedar biografi Ali bin Abdullah bin Mu’awiah dan biografi Mu’awiah bin Maisarah dalam kitab Al-Jarhu wa-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, di mana beliau berkata, “Ia seorang syaikh”.

Jadi dengan ini diketahui bahwa kisah di atas tidak tsabit, sementara keadilan Islam tetap dapat diketahui meskipun tidak melalui kisah di atas yang batil ini. Alhamdulillah.

[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]
__________
Foote Note
[1]. Banfia adalah suatu wilayah di ujung kota Kufah, sebagaimana yang disebutkan dalam Ta’liqatas kitab Al-Hilyah.




‘Ali bin Abi Thalib Menamai Sebagian Anak-Anaknya dengan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman

Termasuk hal yang paling aneh dan menggelikan yang ada pada diri kaum Syi’ah – karena kelewat bencinya mereka terhadap tiga Khulafaur-Rasyidin sebelum ‘Ali (yaitu Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman) radliyallaahu ‘anhum – adalah mengharamkan menamai anak-anak mereka dengan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. Jangan harap kita bisa bertemu dengan orang Syi’ah asli dengan menggunakan tiga nama itu. Tapi sungguh sangat menakjubkan bagi kita bahwa ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu, yang mereka anggap sebagai tokoh sentral dalam teologi Syi’ah, ternyata menamai sebagian anak-anaknya dengan nama tiga orang shahabat tersebut. Tentu saja, anak-anak ini adalah anak-anak yang lahir bukan dari rahim Fathimah bin Rasulillah shallallaahu ’alaihi wasallam. Akan tetapi dilahirkan dari rahim istri beliau yang lain sepeninggal Fathimah radliyallaahu ’anhaa. Akan saya sebutkan nama anak-anak ’Ali bin Abi Thalib tersebut, diantaranya :
1.    ’Abbaas bin ’Ali bin Abi Thaalib, ’Abdullah bin ’Ali, Ja’far bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Utsmaan bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka bernama : Ummul-Baniin binti Hizaam bin Daarim.[1]
2.    ’Ubaidullah bin ’Ali bin Abi Thaalib dan Abu Bakr bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka bernama : Lailaa binti Mas’uud  Ad-Daarimiyyah.[2]
3.    Yahya bin ’Ali bin Abi Thaalib, Muhammad Al-Ashghar bin ’Ali bin Abi Thaalib, dan ’Aun bin ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka adalah : Asmaa’ binti ’Umais.[3]
4.    Ruqayyah binti ’Ali bin Abi Thaalib dan ’Umar bin ’Ali bin Abi Thaalib – dimana ia meninggal pada usia tigapuluh lima tahun.
Ibu mereka adalah : Ummu Hubaib binti Rabii’ah.[4]
5.    Ummul-Hasan binti ’Ali bin Abi Thaalib dan Ramlah Al-Kubraa binti ’Ali bin Abi Thaalib.
Ibu mereka adalah : Ummu Mas’uud binti ’Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiy.[5]
Jika memang ’Ali bin Abi Thalib itu benci terhadap Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman radliyallaahu ’anhum ajma’in; niscaya beliau tidak akan menamai anak-anak beliau dengan nama-nama mereka. Namun kenyataan adalah sebaliknya, sebagaimana di atas. Tidak ada rasa permusuhan dan kebencian dari ’Ali bin Abi Thaalib terhadap para Khulafaur-Rasyidin sebelumnya. Satu contoh saja, mari kita tengok perkataan ’Ali bin Abi Thaalib terhadap ’Umar bin Al-Khaththab sebagaimana terekam dalam kitab mu’tamad mereka, Nahjul-Balaaghah :
لله بلاء عمر، فقد أخمد الفتنة وأقام السنة، ذهب نقي الثوب، قليل العيب، أصاب خيرها وسبق شرها، أدى إلى الله طاعته
”Allah telah memberikan cobaan kepada ’Umar. Sungguh ia telah memadamkan fitnah dan menegakkan sunnah. Ia pelihara kesucian dirinya dan sedikit aibnya. Ia telah mendapatkan kebaikan dari dirinya dan mengalahkan kejelekan (hawa nafsunya). Ia telah tunaikan ketaatan kepada Allah”.[6]
Sungguh, ini merupakan pujian yang jujur yang enggan diikuti oleh kaum Syi’ah.
Finally, tengoklah pula pujian ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu kepada para shahabat secara umum yang telah dikafirkan [7] oleh kaum Syiah :
لقد رأيت أصحاب محمّد صلّى اللّه عليه و آله ، فما أرى أحدا منكم يشبههم لقد كانوا يصبحون شعثا غبرا ، و قد باتوا سجّدا و قياما ، يراوحون بين جباههم و خدودهم ، و يقفون على مثل الجمر من ذكر معادهم كأنّ بين أعينهم ركب المعزى ، من طول سجودهم إذا ذكر اللّه هملت أعينهم حتّى تبلّ جيوبهم ، و مادوا كما يميد الشّجر يوم الرّيح العاصف ، خوفا من العقاب ، و رجاء للثّواب
” Sungguh aku telah melihat shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa aalihi. Maka, tidaklah aku melihat seorangpun yang menyerupai mereka (dalam hal ketaatan dan keimanan). Di waktu pagi hari mereka kusut berdebu (karena bekerja keras), dan di malam hari mereka sujud dan berdiri (menghadap Allah), dengan bergantian antara dahi dan pipi mereka. Mereka berdiri seakan-akan di atas bara api karena ingat tempat kembali mereka (yaitu kampung akhirat). Antara dua mata mereka (ada bekas) seperti lutut kambing karena lamanya sujud mereka. Apabila disebut nama Allah, meneteslah air mata mereka sehingga membasahi dada mereka. Hati mereka goncang seperti goncangnya pohon yang diterpa angin keras karena takut akan siksaan Allah dan mengharap pahala-Nya”.[8]
Itulah Syi’ah yang berbeda dengan ’Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ’anhu. ’Ali bin Abi Thaalib berlepas diri dari Syi’ah dan Syi’ah pun berlepas diri dari beliau. Klaim cinta kepada Ahlul-Bait adalah klaim cinta yang dibangun atas dasar kedustaan dan igauan. Semoga Allah membalas tipu daya mereka terhadap Islam serta kaum muslimin, dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.
Allaahul-Musta’aan.
Ciomas Permai, 14-12-2008, 00:38 WIB.
Tulisan singkat ini diambil oleh Abul-Jauzaa’ dari kitab :
1.    [أسئلة قادت...شباب الشيعة إلى الحق] karya Sulaiman bin Shaalih Al-Khuraasyi, Cet. Thn. 1427 H – Pesan sponsor : Kitab ini sangat menarik bagi mereka yang beragama Syi’ah. Sangat disarankan untuk membacanya dengan segera !!
2.    [مهذّب:  الشيعة والتصحيح، الصراع بين الشيعة والتّشيّع] karya Dr. Musa Al-Musawiy; tahdzib : Asy-Syaikh Sa’d bin ’Abdirrahman Al-Hushain.




[1] Kasyful-Ghummah fii Ma’rifatil-Aimmah.
[2] Idem, Al-Irsyaad hal. 167, dan Mu’jamul-Khuu’iy 21/66.
[3] Idem.
[4] Idem, Al-Irsyaad hal. 167, dan Mu’jamul-Khuu’iy 13/45.
[5] Kasyful-Ghummah fii Ma’rifatil-Aimmah oleh ‘Ali Al-Arbiliy 2/66. Silakan lihat nama maraji’ Syi’ah yang menetapkan nama anak-anak ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu tersebut, yaitu pada kitab Al-Imaamah wan-Nash oleh Al-Ustadz Faishal Nuur hal. 683-686.
[6] Nahjul-Balaaghah 2/222.
[7] Kecuali hanya beberapa gelintir shahabat saja yang tidak dikafirkan.
[8] Nahjul-Balaaghah 2/19.







Jumat, 29 Agustus 2014

Akibat Pemikiran Khawarij, Ahli Ibadah Itu Menjadi Manusia Yang Buruk Akhir Kematiannya, Bahkan Menjadi Pembunuh Ali Bin Abi Thalib


Abdur-Rahman Bin Muljam, Potret Buram Seorang Korban Pemikiran KhawarijOleh :



Muhammad ‘Ashim bin Musthafa



Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting dalam



mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan.

Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri ‘Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jama’atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn ‘Ali bin Abi Thâlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

SIAPAKAH ‘ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.


Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah ‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-‘Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri.

Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat”.

Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh ‘âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.[1]

MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ‘ALI BIN ABI THÂLIB [2]
Inilah salah satu keanehan ‘Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.

Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”

Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al ‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.

Rencana ‘Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.

Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.

Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya,”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan.

Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.

Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”

Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.

Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan ‘Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu ‘Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.

Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai ‘Ali),” lantas ia membaca ayat :

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]

Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.

AKHIR KEHIDUPAN ‘ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM
Ketika Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita”.[5]

Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari ‘Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya’ir sebagai pujian yang ditujukan kepada ‘Abdur-Rahmân bin Muljam:

Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.[6]

Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.[7]

BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.

2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar’i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.[8]

3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Nukilan dari Al Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, ‘Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini, Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I, Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I’tidâl, Abu ‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq, ‘Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7]. Al-Mausû’atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu’âshirah, Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-‘Imân wa Nuqshânihi, Prof Dr. ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun 2003M, hlm. 62.

sumber : http://almanhaj.or.id/content/2680/slash/0/abdur-rahman-bin-muljam-potret-buram-seorang-korban-pemikiran-khawarij/





Sang Pembunuh Imam Ali Radhiallahu ‘Anhu




Bagaimana fitnah wanita telah menimpakan sebuah keimanan seseorang, sehingga terbutakan hati olehnya.


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ.

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.” (Muttafaq ‘alaihi).

Ibnu Muljam dan Wanita Cantik berpaham Khawarij
Dan masyahur di kalangan umat ini tentang sebuah golongan yang banyak menimbulkan kekacaun negeri, mereka adalah golongan khawarij. Golongan ini muncul pertama kali pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ketika dalam peristiwa pembagian harta ghanimah pada perang Hunain. Dan datanglah seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan langsung serta merta mengatakan, “Berbuat adillah hai Muhammad!!” Maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab,” Dan celakalah, Siapa yang bisa berbuat adil, Selain keadilanku.”

Pesatnya paham ini ketika masa pemerintahan khalifah Ali radhiallahu ‘anhu ketika terjadi perang siffin. Mereka menyempal dari barisan pasukan Ali dengan alasan Ali telah berbuat maksiat kepada Allah..

Setelah kejadian itu mereka meninggalkan bashrah menuju ke suatu daerah yang bernama Harura’. Sehingga kaum khawarij ini dinamakan juga dengan haruriyun/haruriyah. Kemudian Imam Ali memerangi mereka dalam perang An-Nahrawan, dan mereka berhasil dikalahkan.

Telah disebutkan oleh ibnu Faraj Al-Jauzi rahimahullah ta’ala dalam kitab Dzamulhawa :

Siapa yang tidak kenal dengan Pembunuh masyhur ini, dialah Abdurrahman ibnu Muljam sang pembunuh khalifah Ali radhiallahu ‘anhu.

Abdurrahman ibnu Muljam dulunya seorang ahlussunnah, fasih dalam Alquran, dan taat menjalankan agama. Dia di utus oleh khalifah Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu ke Mesir untuk mengajar penduduknya.

Diceritakan, suatu ketika Abdurrahman bin Muljam melihat wanita dari Taim Ar-Rabbab yang biasa dipanggil Qatham. Ia merupakan wanita yang paling cantik, tetapi berpaham khawarij. Kaum wanita tersebut telah dibunuh karena mengikuti paham khawarij pada perang An-Nahrawan.

Ketika Ibnu Muljam melihatnya, dia jatuh cinta padanya lalu melamarnya. Wanita ini mengatakan, “Aku tidak menikah denganmu kecuali dengan syarat mahar 3000 dinar dan membunuh Ali bin Abi Thalib”. Akhirnya, dia menikahinya dengan syarat tersebut. Ketika telah bersua dengannya, wanita ini berkata, “Hai! Kamu telah menyelesaikan (hajatmu). Pergilah!” Ia pun keluar dengan menyandang senjatanya, dan Qatham juga keluar. Lalu, Qatham memasangkan peci kepadanya di masjid. Ketika ‘Ali keluar sambil menyerukan, “Shalat! shalat!”, Ibnu Muljam mengikutinya dari belakang lalu menebasnya dengan pedang pada batok kepalanya.

Tentang hal ini, seorang penyair berkata,

لم أر مهرا ساقه ذو سماحة … كمهر قطام بيننا غير معجم
ثلاثة آلاف وعبد وقينة … وقتل علي بالحسام المصمم
فلا مهر أغلى من علي وإن غلا … ولافتك إلا دون فتك ابن ملجم

Aku tidak melihat mahar yang dibawa oleh orang yang punya kehormatan
Seperti mahar Qatham yang sedemikian jelas tidak samar
Mahar 3000 dinar, hamba sahaya, biduanita
Dan membunuh ‘Ali dengan pedang yang tajam
Tidak ada mahar yang lebih mahal dari Ali meskipun berlebihan
Tidak ada kebengisan yang Melebihi kebengisan Ibnu Muljam

(Dzammul hawa (ذم الهوى) yang ditahqiq Musthafa Abdul Wahid hal. 361)

Sumber:

Madah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islamiy, Mustawal ulla, MEDIU
Suaraquran.com
Artikel www.KisahMuslim.com