Selasa, 29 April 2014

Penghalalan (Istihlaal) dalam Amal Perbuatan yang Mengkonsekuensikan Kekafiran

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang norma/kaedah dalam permasalahan penghalalan (istihlaal) yang mewajibkan pengkafiran bagi pelakunya; maka beliau menjawab :
الاستحلال هو أن يعتقد حلّ ما حرّمه الله أما الاستحلال الفعليّ فينظر : إن كان هذا الاستحلال مما يكفِّر فهو كافر مرتدّ ، فمثلاً : لو أنّ الإنسان تعامل بالرِّبا ، لا يعتقد أنّه حلال لكنّه يصرُّ عليه ، فإنه لا يكفر ؛ لأنّه لا يستحلّه ، ولكن لو قال : إنَّ الرِّبا حلال ويعني بذلك الرِّبا الذي حرَّمه الله ، فإنه يكفر ، لأنّه مكذِّب لله و رسوله صلى الله عليه وسلم.
الاستحلال إذن : استحلال فعليّ ، واستحلال عقديّ بقلبه ، فالاستحلال الفعليّ ينظر فيه للفعل نفسه ، هل يكفِّر أم لا ؟ و معلوم أن أكل الرِّبا لا يكفر به الإنسان ، لكنّه من كبائر الذُّنوب ، أما لو سجد لصنم فهذا يكفر لماذا ؟ لأن الفعل يكفِّر ؛ هذا هو الضابط لكن لابد من شرط آخر وهو ألا يكون هذا المستحلُّ معذوراً بجهله، فإن كان معذوراً بجهله فإنه لا يكفر
“Penghalalan (istihlaal) adalah meyakini kehalalan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Adapun penghalalan (istihlaal) dalam amal perbuatan, maka itu dilihat : Apabila penghalalan (istihlaal) tersebut termasuk hal yang menjadikan pelakunya kafir, maka ia pun kafir lagi murtad. Misalnya : Apabila ada seseorang yang bermuamalah dengan riba, namun ia tidak berkeyakinan hal tersebut halal walaupun ia terus-menerus melakukannya, maka ia tidak dikafirkan – karena ia tidak menghalalkannya. Namun bila ia berkata : ‘Sesungguhnya riba itu halal’ – yaitu riba yang diharamkan Allah - , maka ia dikafirkan karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, penghalalan (istihlaal) itu ada dua macam : penghalalan dalam amal perbuatan (istihlaal fi’liy) dan penghalalan dengan keyakinan di hatinya (istihlaal ‘aqdiy). (Tentang permasalahan) penghalalan dalam amal perbuatan, maka itu dilihat dari amal perbuatan itu sendiri, apakah ia menyebabkan pengkafiran atau tidak ? Telah diketahui bahwasannya memakan harta riba tidak menyebabkan pengkafiran seseorang, namun ia termasuk dosa besar. Seandainya ia sujud kepada berhala, maka ia pun dikafirkan. Kenapa ? Karena perbuatan itu merupakan jenis perbuatan yang dapat mengkafirkan. Inilah norma/kaedahnya. Akan tetapi, wajib diperhatikan adanya persyaratan yang lain, yaitu orang yang menghalalkan tersebut tidak memiliki udzur karena ketidaktahuannya. Seandainya ia mempunyai udzur karena ketidaktahuannya, maka ia tidak dikafirkan”.
[Liqaa’ul-Baabil-Maftuuh/Pertemuan Terbuka, no. 1200 oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah http://abul-jauzaa.blogspot.com]. - lanjut bacanya ke sini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar