Senin, 26 Mei 2014

Biografi Abdul Qadir Al-Jailani

Abdul Qadir Al-Jailani
Sebuah Sosok Yang Dikultuskan oleh Kaum Sufi
oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
     Semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak yang berusia kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailany. Para tukang becak pun tahu tentang nama tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, orangnya muslim, tahu deh tentang Abdul Qadir Jailany. Ya, minimal namanya.

            Jika nama Abdul Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya akan terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta keajaiban yang dimiliki oleh beliau menurut mereka. Orang-orang tersebut akan membayangkan Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara, berjalan di atas laut tanpa menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca, mengembalikan ruh ke jasad orang, mengeluarkan uang di balik jubahnya, menolong perahu yang akan tenggelam, menghidupkan orang mati dan lain sebagainya berupa kisah-kisah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak berpengetahuan dari kalangan orang-orang sufi dan lainnya. Jelas semua ini merupakan sikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas)!!


            Ghuluw-nya bukan sampai disini saja, bahkan ada suatu kaum yang telah mempersembahkan sholat untuk Syaikh Abdul Qodir Al-Jailany. Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan berkata, ” Para ahli bid’ah dan pelaku kesesatan banyak sekali menciptakan bentuk-bentuk sholat yang tak ada dasarnya  dalam agama Islam, seperti sholat Rogho’ib dan lainnya. Bentuk sholat yang paling parah, yaitu sholat yang diarahkan ke Baghdad untuk Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany-Rahimahullah-. Sholat ini dan semacamnya termasuk amalan yang mengantarkan manusia ke neraka yang menyala-nyala. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan syirik dan bid’ah, dan memberikan kepada kita taufiq untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah”. [Lihat Abjad Al-Ulum (2/349) karya Al-Allamah Shiddiq Hasan Khon]


Selain itu, sebagian orang telah melakukan nadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy. Padahal nadzar itu adalah ibadah, sedang ibadah hanya diperuntukkan bagi Allah, bukan untuk makhluk!!
Karenanya, seorang ulama’ Syafi’iyyah dari Iraq, Al-Imam As-Suwaidiy -rahimahullah- (wafat 1237 H) pernah mengingkari orang-orang yang bernadzar kepada Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. As-Suwaidiy  -rahimahullah- berkata, “Aku pernah melihat di kota Damaskus (Negeri Syam) sekelompok manusia yang me-nadzar-kan lampu pelita untuk Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Mereka menggantungnya di atas mimbar-mimbar, dan menghadapkannya ke arah kota Baghdad. Pelita itu terus dinyalakan sampai pagi, sedang mereka meyakini bahwa hal itu termasuk cara yang paling sempurna dalam mendekatkan diri kepadanya. Seakan mereka menyatakan dengan lisan mereka bahwa dimanapun kalian menyalakan pelita-pelita itu, maka disanalah Abdul Qadir Jailaniy. Ya Allah, anehnya!! Khurofat macam apakah ini??!!!” [Lihat Al-Aqd Ats-Tsamin fi Bayan Masa'il Ad-Diin (hal. 215-216) oleh Ali bin Abis Su'ud Muhammad Al-Abbasiy]



Ketinggian dan kesholihan seseorang terkadang membuat sebagian orang lupa dan lalai dalam bersikap, sehingga ia pun bersikap ghuluw (ekstrim) kepada orang sholih. Inilah yang pernah menimpa ahli Kitab (Nashoro). Mereka –karena amat cintanya kepada Isa-, maka merekapun mengkultuskannya dan bersikap ekstrim dalam memuji dan mendudukkannya. Selayaknya Nabi Isa didudukkan sebagai manusia biasa yang diberi risalah, bukan diposisikan sebagai sembahan dan tandingan di hadapan Allah Yang telah menciptakannya!!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman saat mengecam ahli Kitab yang melakukan ghuluw kepada nabi-nabi mereka,


يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلاَثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً  [النساء : 171]
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan adalah Maha Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai anak. Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 171)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat mengomentari ayat di atas, “Allah -Ta’ala- melarang Ahli Kitab dari bersikap ghuluw (ekstrim), dan berlebihan. Hal ini (yakni, ghuluw) banyak di kalangan orang-orang Nashoro, karena mereka telah melampaui batas pembenaran terhadap kerasulan Nabi Isa sampai mereka mengangkat beliau melebihi kedudukannya yang telah Allah berikan kepadanya. Mereka pun memindahkan beliau dari lingkup kenabian menuju kepada tingkat pengangkatan beliau sebagai ilah (sembahan) dari selain Allah. Lantaran itu, mereka menyembah Isa sebagaimana halnya mereka menyembah Allah. Bahkan mereka ghuluw terhadap pengikut Nabi Isa yang mereka sangka berada di atas agama beliau. Karenanya, mereka mengakui ma’shumnya (kesucian) mereka dan Ahli Kitab mengikuti mereka dalam segala sesuatu yang mereka ucapkan, baik itu benar, maupun batil; baik itu kesesatan, maupun petunjuk; baik itu benar (jujur), maupun dusta”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/477)]


Kini kebiasaan ghuluw tersebut terulang kembali dalam tubuh kaum muslimin. Mereka mengkultuskan dan ghuluw kepada orang-orang yang mereka anggap sholih, seperti ghuluw kepada Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, Ahlul Bait, “wali-wali”, dan orang-orang “sholih”. Kebiasaan ghuluw ini tumbuh subur di kalangan para penganut tasawwuf. Tak heran jika mereka mengkultuskan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy, dan ghuluw (ekstrim) dalam menyanjungnya sampai ada sebagian diantara mereka yang mengangkatnya sederajat dengan Allah Yang Pencipta lagi Maha Kuasa.



Kisah yang kedua, di Pulau Jawa ada sebagian tempat, masyarakatnya mempunyai kebiasaan melakukan acara “Manakiban”. Dalam acara tersebut dibacakan manakib (sejarah dan keutamaan) dan sebagian sejarah hidup Abdul Qadir Jailani. Di antara manakib Abdul Qadir Jailany yang disebutkan dalam acara tersebut bahwa pada suatu saat ada seorang ibu yang sangat bersedih atas kematian anaknya. Maka iapun memohon kepada Abdul Qadir Jailani agar mengembalikan roh anaknya. Serta-merta Abdul Qadir Jailany pun mengejar malaikat maut dan merampas keranjang yang dibawa oleh malaikat maut berisi roh anak tersebut. Walhasil, Abdul Qadir Jailani pun berhasil merampas keranjang itu dan mengembalikan roh itu ke jasad anak ibu tersebut.



Masih banyak lagi kisah-kisah palsu dan bohong seperti yang dinisbahkan kepada Abdul Qodir Jailani. Kami rasa ini sajalah sebagian contoh untuk menunjukkan kepada para pembaca budiman bahwa masyarakat sangat memuji dan mengkultuskan Abdul Qadir Jailani sehinnga memberikan kepadanya sebagian di antara sifat-sifat ketuhanan yang cuma dimiliki oleh Allah, bukan makhluk-Nya, seperti mengatur cuaca, menghidupkan orang mati, dan memenuhi doanya orang yang berdoa kepadanya.Jadi, semua ini merupakan pengkultusan yang dilarang oleh agama karena di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap syari’at, dan mengantarkan kepada kekufuran karena itu semua merupakan keyakinan dan aqidah syirik yang harus dijauhi oleh seorang muslim.


Dari kisah-kisah seperti ini yang dipenuhi khurafat dan kesyirikan terkadang mengantarkan sebagian orang untuk menyatakan bahwa Abdul Qadir merupakan pribadi yang disebutkan dalam dongeng-dongeng yang tidak benar keberadaannya. Sebagian lagi menyatakan bahwa ia termasuk tokoh sufi dan termasuk wali Allah. Benarkah demikian? Sekarang ikuti sejarah hidupnya berikut ini:
Syaikh Abdul Qadir Jailany seorang ulama yang berasal dari negeri Jilan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jilany”, atau “Al-Jiliy” atau “Al-Kailaniy”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan. Namun di negeri kita, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilaniy lebih dikenal dengan Abdul Qadir Al-Jailaniy. Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan, kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. Jailan berasal dari kata Kailan.[Lihat Mu'jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy, dan Taaj Al-Aruus (hal. 8726) oleh Murtadho Az-Zabidiy]



Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy lahir di Jailan alias Kailan pada tahun 470 H, dan meninggal disana pada tahun 561 H/1165 M. Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad -rahimahullah- menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany, “Pada tahun 561 H hiduplah Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailaniy”. [Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly]



Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Di antaranya, Ibnu As-Sam’any memberikan kata pujian kepada beliau. Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata dalam kitabnya Al-Ghun-yah[1] yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik  dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan  seribu tahun menurut perhitungan kalian. Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia di segala tempat, bahkan Dia di langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman:
الرحمن على العرش استوى
"Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas Arsy". 



Beliau menyebutkan beberapa ayat dan hadits sehingga beliau berkata: Sepantasnya sifat bersemayam  diungkapkan tanpa takwil, bahwa itu adalah semayamnya dzat Allah di atas Arsy. Beliau juga berkata: Adanya Allah di atas Arsy, itu tersebut dalam semua kitab yang diturunkan kepada setiap Nabi yang diutus, tanpa menyebutkan kaifiyyat (cara semayam-Nya). Lalu beliau menyebutkan ucapan yang panjang, dan menyebutkan semisal ini pada seluruh sifat".



Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata, "Akan tetapi Al-Muqri' Abul Hasan Asy-Syaththonufi Al-Mishri telah mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya suatu musibah, dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang ia dengar[2] . Sungguh saya telah melihat sebagian kisah ini, akan tetapi rasanya hatiku tak senang untuk berpedoman sedikitpun padanya, lalu saya menukil darinya, kecuali berita yang sudah terkenal dari selain kitab ini karena banyaknya sesuatu yang diriwayatkan dari orang-orang yang majhul (tak dikenal). Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan dusta, dan ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa dinisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany -rahimahullah-. 



Kemudian saya mendapatkan Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syaththonufi sendiri tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini. Berita yang paling bagus dalam kitab ini yaitu apa yang disebutkan oleh penulis dari Qodhi Al-Qudhoh Abu Abdillah Muhammad bin Syaikh Al-’Imad Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisy, ia berkata: [Saya mendengar Syaikhku Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, "Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata  Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu, harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran beliau terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya".[3]



            Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, kebanyakannya ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin masyayikh (para guru)”.[4]



Ringkasnya, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaniy adalah seorang ulama di zamannya. Karena kebaikannya, maka sebagian manusia bersikap ghuluw dalam memuji dan menempatkan beliau. Jika ada sebagian orang mengklaim bahwa beliau adalah sufi –apakah dengan bukti atau tidak-, maka kita tetap menempatkannya sebagai manusia pada umumnya, bukan rasul dan bukan pula tuhan yang mampu mengatur alam semesta. Namun kebanyakan kisah-kisah yang disandarkan kepada beliau adalah palsu dan dusta. Lantaran itu, waspadalah jika mendengar sebagian dari kisah dan riwayat tentang diri beliau!! Wallahu A’lam bish showab.[5]


[1] Kitab Al-Ghun-yah, judul aslinya : “Guhn-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwazy (7/430)

[2] Maksudnya:Tanpa memperhatikan kebenaran berita tersebut dari segi periwayatan. Sama saja orang yang ia dengar dhoif, pendusta, dan lainnya. Ya, pokoknya ia meriwayatkan.

[3] Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.

[4] Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir

[5] Direvisi pada hari Selasa, 26 Dzulqo’dah 1434 H.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar