Perubahan yang terjadi di Turki di awal tahun 1900-an, adalah
salah satu perubahan yang sangat mengejutkan di sepanjang sejarah budaya
dan sosial dunia Islam. Dalam waktu yang singkat, Kerajaan Utsmani yang
berumur enam abad ini (1299-1923 M) jatuh tersungkur dan berganti
menjadi sebuah negara sekuler yang menentang ajaran Islam, padahal
sebelumnya Turki menjadi benteng umat Islam yang sangat diandalkan.
Sekulerisasi di Turki tidak hanya terjadi dalam struktur pemerintahan,
akan tetapi juga memasuki ranah ritual ibadah sehari-hari, seperti adzan
dan shalat harus dengan bahasa Turki bukan bahasa Arab.
Apa yang penyebab terjadinya perubahan yang radikal di tubuh pemerintahan dan masyarakat Turki ini? Jawabnya ada pada seorang yang bernama Mustafa Kemal, atau yang lebih dikenal dengan Atatürk. Pada masa pemerintahannya 1920-an – 1930-an M, Turki yang modern lahir, dan Islam hanya sebagai penumpang yang duduk di bagian belakang bus perubahan itu.
Kebangkitan Atatürk
Keputusan Kerajaan Utsmani untuk ambil bagian dalam Perang Dunia I pada tahun 1914 adalah sebuah kesalahan besar yang pernah mereka buat. Turki yang saat itu berada di bawah kepemimpinan seorang diktator “Tiga orang Pasha” mengambil kebijakan turut serta dalam peperangan di pihak Jerman yang melawan sekutu pimpinan Inggris, Perancis, dan Rusia. Kerajaan Utsmani pun digempur oleh tiga negara besar Eropa tersebut, Inggris menyerang dari sebelah Selatan, Rusia dari sebelah Timur, dan Yunani dari sebelah Barat. Saat perang berakhir, tahun 1918, kerajaan ini terbagi-bagi dan dikuasai oleh beberapa aliansi yang memenangi peperangan, praktis wilayah Turki Utsmani hanya dataran tinggi Anatolia dan wilayah asli Turki.
Di wilayah Anatolia inilah Mustafa Kemal muncul dan menjadi pahlawan nasional bagi Turki. Sebagai salah seorang panglima perang Utsmani, Mustafa Kemal diidentikkan dengan kepemimpinan yang baik di medan perang, khususnya pada Perang Gallipoli, dimana pasukan Utsmani berhasil memukul mundur Inggris yang hendak menyerang ibu kota Istanbul. Setelah perang usai, Kemal yang bercita-cita menjadikan Turki sebagai negara modern mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan ambisinya tersebut. Ia mulai membangun nasionalisme Turki, bukan Turki multi-etnik seperti Kerajaan Utsmani. Cita-citanya membangun Turki sebagai sebuah negara yang berdasarkan identitas Turki itu sendiri.
Kemal menyampaikan betapa pentingnya Identitas ke-Turki-an dan mengecilkan atau mengenyampingan identitas ke-Islama-an. Dia mengatakan, “Turki adalah bangsa yang besar, bahkan sebelum menerima agama bangsa Arab (Islam, pen.). Setelah menerima agama orang Arab, Agama ini tidak mampu mempersatukan orang-orang Arab, Persia, dan Mesir dengan bangsa Turki untuk membentuk sebuah bangsa. Agama ini telah menghilangkan dan membuat mati rasa nasionalisme bangsa Turki. Karena tujuan agama yang dibawa oleh Muhammad ini adalah membawa semua negara ke dalam identitas politik dan nasionalisme Arab.” (Medeni Bilgiler oleh Mustafa Kemal Atatürk)
Akhirnya Mustafa Kemal diangkat oleh Majelis Agung Turki, The Grand National Assembly (GNA), di Ankara, sebagai presiden pertama Turki. GNA memandang Mustafa Kemal memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh dan telah teruji di Perang Gallipoli. Selain itu, khalifah yang lemah dan kekuasaan yang turun-temurun sudah tidak lagi mendapat dukungan penuh dari masyarakat Turki. Diangkatnya Mustafa Kemal sebagai presiden pertama Turki membuatnya digelari Atatürk, yang berarti Bapak Turki.
Penghapusan Kesultanan dan Kekhalifahan Utsmani
Pada awal berdirinya Republik Turki, pemerintahan sekuler ini tidak berani secara radikal menghapuskan sistem perundangan Islam di dalam negara ini bahkan Khalifah pun masih memiliki otoritas di Istanbul.
Dualisme kekuasaan yang ada di Turki tentu saja menimbulkan polemik dan instabilitas pemerintahan Republik Turki modern. Pada tanggal 1 November 1922, Atatürk berhasil menghilangkan pengaruh Turki Utsmani yang berkuasa sejak 1299. Otoritas kekhalifahan diserahkan kepada GNA, dan kesultanan hanya sebagai raja tanpa mahkota, hanya sebagai simbol semata.
Ataurk sengaja tidak menghapuskan kekhalifahan secara total karena menurut hematnya itu bukanlah langkah yang populer, rakyat sudah terlanjur biasa dengan kekhalifahan selama enam abad lamanya. Atatürk mengatakan kepada masyarakat Turki bahwa ia hendak mengembalikan sistem pemerintahan Abbasiyah antara tahun 900-an – 1500-an, dimana dibawah khalifah ada sultan atau emir yang berkuasa mengatur negara.
Politik Atatürk tersebut hampir tidak menimbulkan gejolak di dalam negeri Turki, namun pendukung-pendukung khalifah di wilayah luar Turki, khususnya India, tidak menerima kebijakan Atatürk itu. Pendukung para khalifah itu mulai menggalang suara dan membuat organisasi yang bertujuan menyelamatkan khalifah. Ternyata hal itu malah jadi senjata andalan Atatürk untuk menyingkirkan khalifah, dengan dalih politik dalam negeri Turki akan berdampak negatif karena campur tangan pihak luar, pada tanggal 3 Maret 1924, Atatürk dan GNA menghapuskan kekhalifahan dan mengirim semua anggota keluarga Utsmani yang tersisa ke pengasingan.
Demikian juga sistem perundangan, pemerintahan sekuler ini tidak berani langsung berterus terang menghapuskan undang-undang Islam dari wilayah Turki. Atatürk memberi kekuasaan pada GNA, untuk menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara dan memilih pakar-pakar agama yang mengawasi setiap undang-undang yang baru dikeluarkan, apakah undang-undang tersebut sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Namun kenyataannya ini adalah strategi Atatürk saja, agar kepemimpinannya tidak menimbulkan gejolak.
Serangan Terhadap Islam
Dengan diasingkannya khalifah keluar Turki, Atatürk semakin bebas menjalankan program sekulernya. Dengan selogan “Membersihkan Islam dari campur tangan politik”, ia mulai mengkritisi kebijakan-kebijakan yang Islami, sistem pendidikan dirombak, hal-hal yang berbau Islam dalam kurikulum dihapuskan. Infrastruktur agama juga dihilangkan, diantaranya Atatürk mengubah Masjid Hagia Shopia menjadi museum. Dewan syariat yang dibentuk GNA dua tahun yang lalu dihapuskan. Atatürk juga membuat kebijakan bahwa harta baitul mal dikuasai negara, madrasah-madrasah ditutup, hakim-hakim agama dipecat, dan pengadilan-pengadialan agama ditutup.
Kebijakan-kebijakan sekuler Atatürk ini tidak hanya berhenti pada tataran pemerintahan, kehidupan sehari-hari masyarakat Turki juga tidak lepas dari ide-ide sekulernya, sperti:
Reformasi Bahasa
Atatürk menyadari reformasi sekuler ini akan berjalan sia-sia apabila orang-orang Turki berhasil menggalang persatuan dan mengadakan perlawan terhadapnya. Bahaya terbesar bagi tatanan baru Turki ini adalah sejarah bangsa Turki itu sendiri. Selama berabad-abad orang-orang Turki berada dalam satu ikatan persatuan yaitu persatuan Islam. Untuk menjauhkan orang-orang Turki dari sejarahnya Atatürk berupaya agar sejarah tersebut tidak terbaca dengan cara mereformasi bahasa.
Atatürk mengubah bahasa resmi negara, bahasa Turki yang diakulturasi dengan bahasa Arab (seperti di Indonesia Arab Melayu), menjadi bahasa Turki dan banyak menyerap unsur-unsur Eropa; bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Ia memanfaatkan keadaan tingginya prosentase buta aksara di Turki dengan menggalakkan program pemberantasan buta huruf, mengganti bahasa Arab dengan huruf latin. Aksara Arab adalah sebuah ancaman serius bagi sekulerisasi Turki, karena dengan pahamnya rakyat Turki akan bahasa Arab, maka sumber-sumber ideologi dan sejarah mereka sangat mudah untuk dibaca sehingga menghubungkan rakyat dengan sejarah mereka kembali.
Reformasi ini berjalan cukup sukses. Dalam beberapa dekade generasi Turki yang lama (Utsmani) benar-benar terputus dari generasi modern. Semakin jauhlah Turki dengan identitas Islam yang ditanamkan Turki Utsmani selama berabad-abad silam.
Turki Sekuler
Semua politik dan strategi matang yang dilakukan Atatürk dan orang-orangnya secara efektif menghapus Islam dari kehidupan masyarakat Turki. Perjuangan-perjuangan kelompok Islamis seolah-olah tidak berarti lagi karena tekanan pemerintah dan ide-ide sekuler yang mereka terapkan serta dukungan militer yang semakin mengokohkan ideologi ini di tanah Turki.
Kesulitan mengembalikan syiar-syiar Islam di Turki terbukti dengan dikudetanya Adnan Menderes yang terpilih melalui proses demokrasi pada tahun 1950. Ia berhasil mengembalikan adzan dalam bahasa Arab, lalu dikudeta militer pada tahun 1960. Baru-baru ini, pada tahun 1996, Necmettin Erbakan terpilih sebagai perdana menteri Turki. Dengan lantang ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang “Islamis”, sekali lagi militer melakukan kudeta dan menggulingkan kekuasaannya yang hanya berlangsung selama satu tahun.
Pada saat ini, syiar-syiar Islam di Turki sedikit demi sedikit kembali bergelora di tangan pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan. Jilbab sudah boleh dikenakan oleh pegawai-pegawai pemerintah, kebijakan-kebijakan luar negeri yang mendukung rakyat Suriah merdeka, mendukung Presiden Mursi di Mesir dan lain sebagainya. Mudah-mudahan fanatisme yang membabi buta terhadap ideologi sekuler Eropa segera hilang dari tanah Turki dan berganti kembali menjadi negara Islam yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan persaudaraan.
Sumber: Lostislamichistory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
Apa yang penyebab terjadinya perubahan yang radikal di tubuh pemerintahan dan masyarakat Turki ini? Jawabnya ada pada seorang yang bernama Mustafa Kemal, atau yang lebih dikenal dengan Atatürk. Pada masa pemerintahannya 1920-an – 1930-an M, Turki yang modern lahir, dan Islam hanya sebagai penumpang yang duduk di bagian belakang bus perubahan itu.
Kebangkitan Atatürk
Keputusan Kerajaan Utsmani untuk ambil bagian dalam Perang Dunia I pada tahun 1914 adalah sebuah kesalahan besar yang pernah mereka buat. Turki yang saat itu berada di bawah kepemimpinan seorang diktator “Tiga orang Pasha” mengambil kebijakan turut serta dalam peperangan di pihak Jerman yang melawan sekutu pimpinan Inggris, Perancis, dan Rusia. Kerajaan Utsmani pun digempur oleh tiga negara besar Eropa tersebut, Inggris menyerang dari sebelah Selatan, Rusia dari sebelah Timur, dan Yunani dari sebelah Barat. Saat perang berakhir, tahun 1918, kerajaan ini terbagi-bagi dan dikuasai oleh beberapa aliansi yang memenangi peperangan, praktis wilayah Turki Utsmani hanya dataran tinggi Anatolia dan wilayah asli Turki.
Di wilayah Anatolia inilah Mustafa Kemal muncul dan menjadi pahlawan nasional bagi Turki. Sebagai salah seorang panglima perang Utsmani, Mustafa Kemal diidentikkan dengan kepemimpinan yang baik di medan perang, khususnya pada Perang Gallipoli, dimana pasukan Utsmani berhasil memukul mundur Inggris yang hendak menyerang ibu kota Istanbul. Setelah perang usai, Kemal yang bercita-cita menjadikan Turki sebagai negara modern mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan ambisinya tersebut. Ia mulai membangun nasionalisme Turki, bukan Turki multi-etnik seperti Kerajaan Utsmani. Cita-citanya membangun Turki sebagai sebuah negara yang berdasarkan identitas Turki itu sendiri.
Kemal menyampaikan betapa pentingnya Identitas ke-Turki-an dan mengecilkan atau mengenyampingan identitas ke-Islama-an. Dia mengatakan, “Turki adalah bangsa yang besar, bahkan sebelum menerima agama bangsa Arab (Islam, pen.). Setelah menerima agama orang Arab, Agama ini tidak mampu mempersatukan orang-orang Arab, Persia, dan Mesir dengan bangsa Turki untuk membentuk sebuah bangsa. Agama ini telah menghilangkan dan membuat mati rasa nasionalisme bangsa Turki. Karena tujuan agama yang dibawa oleh Muhammad ini adalah membawa semua negara ke dalam identitas politik dan nasionalisme Arab.” (Medeni Bilgiler oleh Mustafa Kemal Atatürk)
Akhirnya Mustafa Kemal diangkat oleh Majelis Agung Turki, The Grand National Assembly (GNA), di Ankara, sebagai presiden pertama Turki. GNA memandang Mustafa Kemal memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh dan telah teruji di Perang Gallipoli. Selain itu, khalifah yang lemah dan kekuasaan yang turun-temurun sudah tidak lagi mendapat dukungan penuh dari masyarakat Turki. Diangkatnya Mustafa Kemal sebagai presiden pertama Turki membuatnya digelari Atatürk, yang berarti Bapak Turki.
Penghapusan Kesultanan dan Kekhalifahan Utsmani
Pada awal berdirinya Republik Turki, pemerintahan sekuler ini tidak berani secara radikal menghapuskan sistem perundangan Islam di dalam negara ini bahkan Khalifah pun masih memiliki otoritas di Istanbul.
Dualisme kekuasaan yang ada di Turki tentu saja menimbulkan polemik dan instabilitas pemerintahan Republik Turki modern. Pada tanggal 1 November 1922, Atatürk berhasil menghilangkan pengaruh Turki Utsmani yang berkuasa sejak 1299. Otoritas kekhalifahan diserahkan kepada GNA, dan kesultanan hanya sebagai raja tanpa mahkota, hanya sebagai simbol semata.
Ataurk sengaja tidak menghapuskan kekhalifahan secara total karena menurut hematnya itu bukanlah langkah yang populer, rakyat sudah terlanjur biasa dengan kekhalifahan selama enam abad lamanya. Atatürk mengatakan kepada masyarakat Turki bahwa ia hendak mengembalikan sistem pemerintahan Abbasiyah antara tahun 900-an – 1500-an, dimana dibawah khalifah ada sultan atau emir yang berkuasa mengatur negara.
Politik Atatürk tersebut hampir tidak menimbulkan gejolak di dalam negeri Turki, namun pendukung-pendukung khalifah di wilayah luar Turki, khususnya India, tidak menerima kebijakan Atatürk itu. Pendukung para khalifah itu mulai menggalang suara dan membuat organisasi yang bertujuan menyelamatkan khalifah. Ternyata hal itu malah jadi senjata andalan Atatürk untuk menyingkirkan khalifah, dengan dalih politik dalam negeri Turki akan berdampak negatif karena campur tangan pihak luar, pada tanggal 3 Maret 1924, Atatürk dan GNA menghapuskan kekhalifahan dan mengirim semua anggota keluarga Utsmani yang tersisa ke pengasingan.
Demikian juga sistem perundangan, pemerintahan sekuler ini tidak berani langsung berterus terang menghapuskan undang-undang Islam dari wilayah Turki. Atatürk memberi kekuasaan pada GNA, untuk menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara dan memilih pakar-pakar agama yang mengawasi setiap undang-undang yang baru dikeluarkan, apakah undang-undang tersebut sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Namun kenyataannya ini adalah strategi Atatürk saja, agar kepemimpinannya tidak menimbulkan gejolak.
Serangan Terhadap Islam
Dengan diasingkannya khalifah keluar Turki, Atatürk semakin bebas menjalankan program sekulernya. Dengan selogan “Membersihkan Islam dari campur tangan politik”, ia mulai mengkritisi kebijakan-kebijakan yang Islami, sistem pendidikan dirombak, hal-hal yang berbau Islam dalam kurikulum dihapuskan. Infrastruktur agama juga dihilangkan, diantaranya Atatürk mengubah Masjid Hagia Shopia menjadi museum. Dewan syariat yang dibentuk GNA dua tahun yang lalu dihapuskan. Atatürk juga membuat kebijakan bahwa harta baitul mal dikuasai negara, madrasah-madrasah ditutup, hakim-hakim agama dipecat, dan pengadilan-pengadialan agama ditutup.
Kebijakan-kebijakan sekuler Atatürk ini tidak hanya berhenti pada tataran pemerintahan, kehidupan sehari-hari masyarakat Turki juga tidak lepas dari ide-ide sekulernya, sperti:
- Pemakaian surban dan kopiah dilarang negara dan diganti dengan topi gaya barat (hat).
- Penggunaan jilbab dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan dilarang dikenakan di ruang publik.
- Kalender Hijriah diganti dengan kalender Masehi.
- Pada tahun 1932, Turki melarang adzan dengan bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki.
- Hari jumat bukan lagi termasuk bagian dari akhir pekan, diganti dengan hari sabtu dan minggu mengikuti tradisi Eropa.
Reformasi Bahasa
Atatürk menyadari reformasi sekuler ini akan berjalan sia-sia apabila orang-orang Turki berhasil menggalang persatuan dan mengadakan perlawan terhadapnya. Bahaya terbesar bagi tatanan baru Turki ini adalah sejarah bangsa Turki itu sendiri. Selama berabad-abad orang-orang Turki berada dalam satu ikatan persatuan yaitu persatuan Islam. Untuk menjauhkan orang-orang Turki dari sejarahnya Atatürk berupaya agar sejarah tersebut tidak terbaca dengan cara mereformasi bahasa.
Atatürk mengubah bahasa resmi negara, bahasa Turki yang diakulturasi dengan bahasa Arab (seperti di Indonesia Arab Melayu), menjadi bahasa Turki dan banyak menyerap unsur-unsur Eropa; bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Ia memanfaatkan keadaan tingginya prosentase buta aksara di Turki dengan menggalakkan program pemberantasan buta huruf, mengganti bahasa Arab dengan huruf latin. Aksara Arab adalah sebuah ancaman serius bagi sekulerisasi Turki, karena dengan pahamnya rakyat Turki akan bahasa Arab, maka sumber-sumber ideologi dan sejarah mereka sangat mudah untuk dibaca sehingga menghubungkan rakyat dengan sejarah mereka kembali.
Reformasi ini berjalan cukup sukses. Dalam beberapa dekade generasi Turki yang lama (Utsmani) benar-benar terputus dari generasi modern. Semakin jauhlah Turki dengan identitas Islam yang ditanamkan Turki Utsmani selama berabad-abad silam.
Turki Sekuler
Semua politik dan strategi matang yang dilakukan Atatürk dan orang-orangnya secara efektif menghapus Islam dari kehidupan masyarakat Turki. Perjuangan-perjuangan kelompok Islamis seolah-olah tidak berarti lagi karena tekanan pemerintah dan ide-ide sekuler yang mereka terapkan serta dukungan militer yang semakin mengokohkan ideologi ini di tanah Turki.
Kesulitan mengembalikan syiar-syiar Islam di Turki terbukti dengan dikudetanya Adnan Menderes yang terpilih melalui proses demokrasi pada tahun 1950. Ia berhasil mengembalikan adzan dalam bahasa Arab, lalu dikudeta militer pada tahun 1960. Baru-baru ini, pada tahun 1996, Necmettin Erbakan terpilih sebagai perdana menteri Turki. Dengan lantang ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang “Islamis”, sekali lagi militer melakukan kudeta dan menggulingkan kekuasaannya yang hanya berlangsung selama satu tahun.
Pada saat ini, syiar-syiar Islam di Turki sedikit demi sedikit kembali bergelora di tangan pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan. Jilbab sudah boleh dikenakan oleh pegawai-pegawai pemerintah, kebijakan-kebijakan luar negeri yang mendukung rakyat Suriah merdeka, mendukung Presiden Mursi di Mesir dan lain sebagainya. Mudah-mudahan fanatisme yang membabi buta terhadap ideologi sekuler Eropa segera hilang dari tanah Turki dan berganti kembali menjadi negara Islam yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan persaudaraan.
Sumber: Lostislamichistory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar