Saudaraku
seiman, banyak orang mengklaim mencintai Ahlul Bait Nabi, tetapi tidak sedikit
dari mereka hanya sekedar pengakuan belaka. Para ulama terdahulu telah mencatat
dengan indah tentang kecintaan sejati yang tulus, yang membuktikan penghormatan
dan pemuliaan Ahlussunnah wal Jama’ah kepada Ahlul Bait Rosulullah shollallahu
‘alaihi wasallam. Kita akan mengetahui bukti-bukti akan hal itu dalam pemaparan
singkat berikut:
Siapakah Ahlul Bait?
Pendapat yang benar terhadap definisi Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang diharamkan menerima shodaqoh, yaitu isteri-isteri dan anak keturunan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam serta setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththolib yaitu (dari) Bani Hasyim bin Abdu Manaf.
Siapakah Ahlul Bait?
Pendapat yang benar terhadap definisi Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang diharamkan menerima shodaqoh, yaitu isteri-isteri dan anak keturunan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam serta setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththolib yaitu (dari) Bani Hasyim bin Abdu Manaf.
Ibnu
Hazm didalam kitab “Jamharatu Ansabil ‘Arob” (hal.14) , mengatakan , “Terlahir
dari Hasyim bin Abdu Manaf seorang anak bernama Syaibah yang tak lain adalah
Abdul Muththolib. Padanyalah tiang (nasab) dan sumber kemuliaan. Tidak tersisa
anak keturunan Hasyim kecuali dari jalur Abdul Muththolib saja.” (Lihat kitab
Jamharotu ansabil arob karya Ibnu Hazm, hal. 14-15 atau Minhajussunnah An
Nabawiyah karya Ibnu Taimiyah 7/304-305 dan Fathul Bari karya Ibnu Hajar
7/78-79).
Dan anak keturunan paman-paman beliau shollallahu ‘alaihi wasallam juga masuk ke dalam Ahlul Bait berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 1072) dari Abdul Muttholib bin Robi’ah bin al-Harits bahwa ia dan Al-Fadhl bin ‘Abbas pergi menemui Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, meminta agar beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menugaskan keduanya dalam mengurus shodaqoh, agar keduanya mendapatkan sebagian harta (dari shodaqoh tersebut) yang akan mereka gunakan untuk menikah. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keduanya, “Sesungguhnya shodaqoh ini tidak pantas bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya shodaqoh itu merupakan kotoran (harta) manusia.”
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dinikahkan dengan mengambil bagian dari Khumus (seperlima dari harta rampasan perang)
Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memasukkan pula Bani Al-Muththolib bin Abdu Manaf ke dalam kategori Ahlul Bait yang diharamkan menerima shodaqoh, karena mereka ikut serta bersama Bani Hasyim dalam hal menerima seperlima bagian dari khumus. Hal itu berdasarkan hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhori (no. 3140) dari Jubair bin Muth’im rodhiyallahu ‘anhu yang menceritakan apa yang diberikan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada Bani Hasyim dan Bani Al-Muththolib dari seperlima khumus, sementara beliau shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada Bani Abdu Syams dan Naufal. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan anak keturunan paman-paman beliau shollallahu ‘alaihi wasallam juga masuk ke dalam Ahlul Bait berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 1072) dari Abdul Muttholib bin Robi’ah bin al-Harits bahwa ia dan Al-Fadhl bin ‘Abbas pergi menemui Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, meminta agar beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menugaskan keduanya dalam mengurus shodaqoh, agar keduanya mendapatkan sebagian harta (dari shodaqoh tersebut) yang akan mereka gunakan untuk menikah. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keduanya, “Sesungguhnya shodaqoh ini tidak pantas bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya shodaqoh itu merupakan kotoran (harta) manusia.”
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dinikahkan dengan mengambil bagian dari Khumus (seperlima dari harta rampasan perang)
Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memasukkan pula Bani Al-Muththolib bin Abdu Manaf ke dalam kategori Ahlul Bait yang diharamkan menerima shodaqoh, karena mereka ikut serta bersama Bani Hasyim dalam hal menerima seperlima bagian dari khumus. Hal itu berdasarkan hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhori (no. 3140) dari Jubair bin Muth’im rodhiyallahu ‘anhu yang menceritakan apa yang diberikan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada Bani Hasyim dan Bani Al-Muththolib dari seperlima khumus, sementara beliau shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada Bani Abdu Syams dan Naufal. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَمَا بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ
“Sesungguhnya
Bani Hasyim dan Bani al-Muththolib itu sama saja.”
Adapun dimasukkannya para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai Ahlul Bait maka berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Karena alur pernyataan dalam ayat ini, sebelumnya dan sesudahnya, ditujukan kepada para istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2424) dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu pagi mengenakan sehelai kain besar dari bulu berwarna hitam, lalu datanglah Al-Hasan bin Ali maka beliau memasukkannya ke dalam kain tersebut, kemudian Al-husain datang dan ikut masuk bersamanya, kemudian datang Fathimah maka beliau pun memasukkannya pula, kemudian datang Ali maka beliau pun memasukkannya, lalu beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berkata (membaca),
Adapun dimasukkannya para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai Ahlul Bait maka berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Karena alur pernyataan dalam ayat ini, sebelumnya dan sesudahnya, ditujukan kepada para istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2424) dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu pagi mengenakan sehelai kain besar dari bulu berwarna hitam, lalu datanglah Al-Hasan bin Ali maka beliau memasukkannya ke dalam kain tersebut, kemudian Al-husain datang dan ikut masuk bersamanya, kemudian datang Fathimah maka beliau pun memasukkannya pula, kemudian datang Ali maka beliau pun memasukkannya, lalu beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berkata (membaca),
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَأَهْلَ البَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Maka hadits tersebut sekedar untuk menunjukkan bahwa mereka berempat: Al-Hasan, Al-Husain, Fathimah, dan Ali rodhiyallahu ‘anhum adalah diantara karib keluarga yang paling istimewa. Bukan untuk membatasi Ahlul Bait pada mereka berempat.
Jadi, para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam termasuk ke dalam Ahlul Bait beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan petunjuk ayat. Dikuatkan bahwa mereka pun diberi bagian dari khumus dan diharamkan menerima shodaqoh sebagimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/214) dengan sanad yang shohih dari Ibnu Abi Mulaikah yang menceritakan bahwa Kholid bin Sa’id pernah mengirim seekor sapi dari shodaqoh kepada ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha tapi ia menolaknya dan berkata, “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam tidak halal (yakni haram) bagi kami menerima shodaqoh.”
Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Tentang Ahlul Bait
Ahlussunnah wal jama’ah dalam keyakinan tentang Ahlul Bait berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap merendahkan, sebagaimana dalam masalah-masalah akidah yang lain.
Ahlussunnah wal jama’ah bersikap loyal kepada setiap muslim dan muslimah dari anak keturunan Abdul Muththolib, sebagaimana juga kepada para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, mencintai dan memuji mereka semua, serta menempatkan mereka pada kedudukan yang berhak mereka dapatkan dengan adil dan netral, tanpa hawa nafsu dan melampaui batas.
Ahlussunnah wal jama’ah mengetahui betul keutamaan siapa pun yang telah digabungkan padanya kemuliaan iman dan kemulian nasab. Jika ada seorang dari Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang tergolong sebagai sahabat beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, maka Ahlussunnah wal jama’ah mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya, persahabatannya dengan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, serta karena kekerabatannya dengan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan jika tidak tergolong sebagai sahabat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya, serta karena kekerabatannya dengan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka memandang bahwa kemuliaan nasab mengikut (bergantung) kepada kemuliaan iman.
Kita lihat Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi yang jauh nasabnya dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, sementara kesyirikan telah merendahkan Abu Lahab yang dekat nasabnya kepada beliau shollallahu ‘alaihi wasallam.
Kedudukan Ahlul Bait yang Tinggi
Dalam shohih Al-Bukhori (no. 3712) diceritakan bahwa Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ali rodhiyallahu ‘anhu, “Demi (Allah) Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam lebih aku cintai daripada aku menyambung kerabatku sendiri.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “Demikian pula Ahlu Bait Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, wajib hukumnya mencintai, bersikap loyal kepada mereka, dan memperhatikan hak mereka.” (Majmu’ Fatawa 28/491). [Ust. Arif Syarifuddin, Lc]
Sumber: Buletin Al Mahabbah edisi 001 tanggal 08 Rajab Tahun 1435 H diterbitkan oleh KOEPAS (Komite Pembela Ahlul Bait dan Sahabat)
Sumber
: http://gemaislam.com/belajar-islam/tsaqofah/2409-cinta-sejati-ahlussunnah-kepada-ahlul-bait
Saudaraku
seiman, banyak orang mengklaim mencintai Ahlul Bait Nabi, tetapi tidak
sedikit dari mereka hanya sekedar pengakuan belaka. Para ulama terdahulu
telah mencatat dengan indah tentang kecintaan sejati yang tulus, yang
membuktikan penghormatan dan pemuliaan Ahlussunnah wal Jama’ah kepada
Ahlul Bait Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Kita akan mengetahui
bukti-bukti akan hal itu dalam pemaparan singkat berikut:
Siapakah Ahlul Bait?
Pendapat yang benar terhadap definisi Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang diharamkan menerima shodaqoh, yaitu isteri-isteri dan anak keturunan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam serta setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththolib yaitu (dari) Bani Hasyim bin Abdu Manaf.
Siapakah Ahlul Bait?
Pendapat yang benar terhadap definisi Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang diharamkan menerima shodaqoh, yaitu isteri-isteri dan anak keturunan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam serta setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththolib yaitu (dari) Bani Hasyim bin Abdu Manaf.
Ibnu Hazm didalam kitab “Jamharatu
Ansabil ‘Arob” (hal.14) , mengatakan , “Terlahir dari Hasyim bin Abdu
Manaf seorang anak bernama Syaibah yang tak lain adalah Abdul
Muththolib. Padanyalah tiang (nasab) dan sumber kemuliaan. Tidak tersisa
anak keturunan Hasyim kecuali dari jalur Abdul Muththolib saja.” (Lihat
kitab Jamharotu ansabil arob karya Ibnu Hazm, hal. 14-15 atau
Minhajussunnah An Nabawiyah karya Ibnu Taimiyah 7/304-305 dan Fathul
Bari karya Ibnu Hajar 7/78-79).
Dan anak keturunan paman-paman beliau shollallahu ‘alaihi wasallam juga masuk ke dalam Ahlul Bait berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 1072) dari Abdul Muttholib bin Robi’ah bin al-Harits bahwa ia dan Al-Fadhl bin ‘Abbas pergi menemui Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, meminta agar beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menugaskan keduanya dalam mengurus shodaqoh, agar keduanya mendapatkan sebagian harta (dari shodaqoh tersebut) yang akan mereka gunakan untuk menikah. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keduanya, “Sesungguhnya shodaqoh ini tidak pantas bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya shodaqoh itu merupakan kotoran (harta) manusia.”
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dinikahkan dengan mengambil bagian dari Khumus (seperlima dari harta rampasan perang)
Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memasukkan pula Bani Al-Muththolib bin Abdu Manaf ke dalam kategori Ahlul Bait yang diharamkan menerima shodaqoh, karena mereka ikut serta bersama Bani Hasyim dalam hal menerima seperlima bagian dari khumus. Hal itu berdasarkan hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhori (no. 3140) dari Jubair bin Muth’im rodhiyallahu ‘anhu yang menceritakan apa yang diberikan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada Bani Hasyim dan Bani Al-Muththolib dari seperlima khumus, sementara beliau shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada Bani Abdu Syams dan Naufal. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan anak keturunan paman-paman beliau shollallahu ‘alaihi wasallam juga masuk ke dalam Ahlul Bait berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 1072) dari Abdul Muttholib bin Robi’ah bin al-Harits bahwa ia dan Al-Fadhl bin ‘Abbas pergi menemui Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, meminta agar beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menugaskan keduanya dalam mengurus shodaqoh, agar keduanya mendapatkan sebagian harta (dari shodaqoh tersebut) yang akan mereka gunakan untuk menikah. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keduanya, “Sesungguhnya shodaqoh ini tidak pantas bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya shodaqoh itu merupakan kotoran (harta) manusia.”
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dinikahkan dengan mengambil bagian dari Khumus (seperlima dari harta rampasan perang)
Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memasukkan pula Bani Al-Muththolib bin Abdu Manaf ke dalam kategori Ahlul Bait yang diharamkan menerima shodaqoh, karena mereka ikut serta bersama Bani Hasyim dalam hal menerima seperlima bagian dari khumus. Hal itu berdasarkan hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhori (no. 3140) dari Jubair bin Muth’im rodhiyallahu ‘anhu yang menceritakan apa yang diberikan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada Bani Hasyim dan Bani Al-Muththolib dari seperlima khumus, sementara beliau shollallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada Bani Abdu Syams dan Naufal. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَمَا بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ
“Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani al-Muththolib itu sama saja.”
Adapun dimasukkannya para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai Ahlul Bait maka berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Karena alur pernyataan dalam ayat ini, sebelumnya dan sesudahnya, ditujukan kepada para istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2424) dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu pagi mengenakan sehelai kain besar dari bulu berwarna hitam, lalu datanglah Al-Hasan bin Ali maka beliau memasukkannya ke dalam kain tersebut, kemudian Al-husain datang dan ikut masuk bersamanya, kemudian datang Fathimah maka beliau pun memasukkannya pula, kemudian datang Ali maka beliau pun memasukkannya, lalu beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berkata (membaca),
Adapun dimasukkannya para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai Ahlul Bait maka berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Karena alur pernyataan dalam ayat ini, sebelumnya dan sesudahnya, ditujukan kepada para istri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2424) dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu pagi mengenakan sehelai kain besar dari bulu berwarna hitam, lalu datanglah Al-Hasan bin Ali maka beliau memasukkannya ke dalam kain tersebut, kemudian Al-husain datang dan ikut masuk bersamanya, kemudian datang Fathimah maka beliau pun memasukkannya pula, kemudian datang Ali maka beliau pun memasukkannya, lalu beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berkata (membaca),
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَأَهْلَ البَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Maka hadits tersebut sekedar untuk menunjukkan bahwa mereka berempat: Al-Hasan, Al-Husain, Fathimah, dan Ali rodhiyallahu ‘anhum adalah diantara karib keluarga yang paling istimewa. Bukan untuk membatasi Ahlul Bait pada mereka berempat.
Jadi, para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam termasuk ke dalam Ahlul Bait beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan petunjuk ayat. Dikuatkan bahwa mereka pun diberi bagian dari khumus dan diharamkan menerima shodaqoh sebagimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/214) dengan sanad yang shohih dari Ibnu Abi Mulaikah yang menceritakan bahwa Kholid bin Sa’id pernah mengirim seekor sapi dari shodaqoh kepada ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha tapi ia menolaknya dan berkata, “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam tidak halal (yakni haram) bagi kami menerima shodaqoh.”
Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Tentang Ahlul Bait
Ahlussunnah wal jama’ah dalam keyakinan tentang Ahlul Bait berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap merendahkan, sebagaimana dalam masalah-masalah akidah yang lain.
Ahlussunnah wal jama’ah bersikap loyal kepada setiap muslim dan muslimah dari anak keturunan Abdul Muththolib, sebagaimana juga kepada para isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, mencintai dan memuji mereka semua, serta menempatkan mereka pada kedudukan yang berhak mereka dapatkan dengan adil dan netral, tanpa hawa nafsu dan melampaui batas.
Ahlussunnah wal jama’ah mengetahui betul keutamaan siapa pun yang telah digabungkan padanya kemuliaan iman dan kemulian nasab. Jika ada seorang dari Ahlul Bait Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang tergolong sebagai sahabat beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, maka Ahlussunnah wal jama’ah mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya, persahabatannya dengan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, serta karena kekerabatannya dengan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan jika tidak tergolong sebagai sahabat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya, serta karena kekerabatannya dengan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka memandang bahwa kemuliaan nasab mengikut (bergantung) kepada kemuliaan iman.
Kita lihat Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi yang jauh nasabnya dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, sementara kesyirikan telah merendahkan Abu Lahab yang dekat nasabnya kepada beliau shollallahu ‘alaihi wasallam.
Kedudukan Ahlul Bait yang Tinggi
Dalam shohih Al-Bukhori (no. 3712) diceritakan bahwa Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ali rodhiyallahu ‘anhu, “Demi (Allah) Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam lebih aku cintai daripada aku menyambung kerabatku sendiri.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “Demikian pula Ahlu Bait Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, wajib hukumnya mencintai, bersikap loyal kepada mereka, dan memperhatikan hak mereka.” (Majmu’ Fatawa 28/491). [Ust. Arif Syarifuddin, Lc]
Sumber: Buletin Al Mahabbah edisi 001 tanggal 08 Rajab Tahun 1435 H diterbitkan oleh KOEPAS (Komite Pembela Ahlul Bait dan Sahabat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar