Serial ulasan ke-11 terhadap buku "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" dan
penulisnya, Dr. Muhammad At-Tijani. Silakan baca serial ulasannya
secara lengkap di sini: Akhirnya Kutemukan Kebenaran
3 Kaedah
Penting tentang Perselisihan para Sahabat
Disini
terdipat tiga hal yang telah disepakati oleh ahlu ilmi dan ahlu tahqiq dari
kalangan Ahlussunnah yang mengcounter usaha pemutarbalikan fakta yang
dilakukan oleh orang-orang sesat tentang perpecahan yang terjadi di zaman
zahabat tentang khilafah Ali,
Pertama,
Perselisihan yang terjadi antara mereka bukanlah dalam hal khilafah, tidak ada
seorangpun diantara orang yang berbeda pendapat dengan Ali menyerang otoritas
kekhilafahannya dan bahkan tak seorang pun mengklaim dirinya lebih berhak
menyandang khilafah daripada Ali.
Kedua, Perbedaan
mereka hanyalah pada apakah mengqishah para pembunuh Utsman itu
disegerakan atau ditunda terlebih dahulu, namun mereka semua sepakat bahwa hal
itu harus ditunaikan.
Ketiga, Meskipun
mereka berselisih, tak seorangpun diantara mereka mencela kualitas keagamaan
masing-masing dari mereka. Setiap pihak melihat dirinya sebagai seorang
mujtahid dengan mengakui keutamaan masing-masing dalam agama Islam dan
persahabatan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga poin ini
diindikasikan oleh riwayat-riwayat yang shahih. Diantaranya riwayat yang
menjelaskan hakikat perbedaan antara sahabat yang melepaskan mereka dari
tuduhan orang Syiah dan zindik. Ketiga poin ini merupakan perkara yang paling
penting untuk membantah orang Syiah dan zindiq tersebut. Seorang penuntut ilmu
syar’i hendaknya mempelajari hal ini beserta dalil-dalilnya. Kepada pembaca
kami paparkan dalil-dalil tentang itu,
Kaedah Pertama,
perselisihan
yang terjadi antara mereka tidak terkait dengan khilafah, tak seorang pun
diantara orang yang menyelisihi Ali ingin merebut kekhilfahan itu, bahkan tidak
ada yang mengklaim bahwa dirinya lebih mulia dari Ali.
Dalil
terkuatnya adalah persetujuan semua sahabat untuk membaiat Ali radhiyallahu
anhu setelah terbunuhnya Utsman, yang diantara mereka ada Thalhah dan
Zubair. Dalil tentang itu merupakan dalil yang shahih.
Diantaranya
adalah yang diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tarikhnya dari Muhammad
bin al-Hanafiyah (anak Ali bin Abu Thalib), ia berkata, “Dulu saya bersama
ayahku ketika Utsman dibunuh, ia berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Beliau
juga didatangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka
berkata, ‘Sesungguhnya beliau (Utsman) ini telah dibunuh dan manusia butuh
seorang Imam, dan kami tidak mendapati seorangpun yang lebih berhak memegang
jabatan ini, tidak ada yang lebih dahulu dari as-sabiqun al-awwalun dan tidak
ada yang lebih dekat dari Rasulullah kecuali engkau’, beliau menjawab, ‘Jangan
kalian lakukan itu, saya menjadi wazir lebih baik daripada saya menjadi amir’
mereka balik menanggapi, ‘Tidak, Demi Allah, kami tidak akan lakukan itu hingga
kami membaiatmu’, Ali kembali menjawab, ‘Kalau begitu di Masjid. Jangan sampai
baiatku ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh juga terjadi
kecuali atas keridhaan kaum Muslimin’.
Salim bin
al-Ja’d berkata, Abdullah bin Abbas berkata, ‘Saya tidak menyukai bila ia
mendatangi Masjid, khawatir orang berbuat kerusuhan dan menentangnya, namun ia
enggan kecuali dilakukan di Masjid, ketika ia masuk, seluruh sahabat Muhajirin
dan Anshar juga masuk dan kemudian membaiatnya. Melihat itu manusia yang lain turut
membaiatnya’.”[1]
Dari Abu
Basyir al-Ba’idi, ia berkata, “Ketika Utsman dibunuh saya berada di Madinah.
Para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi
Ali. Mereka berkata, ‘Wahai Abul Hasan, kemarilah kami baiat Anda’, ia
menjawab, ‘Saya tidak menginginkan itu untuk mengurus kalian, tapi saya sama
dengan kalian. Siapa yang kalian pilih saya ridha dengannya, demi Allah,
pilihlah’ mereka balik menjawab, ‘Kami tidak akan memilih selainmu’.”[2]
Riwayat
tentang ini sangatlah banyak. Sebagiannya dinukil oleh Ibnu Jarir dalam tarikhnya.[3]
Semua itu menunjukkan baiat sahabat terhadap Ali radhiyallahu anhu dan kesepakatan
mereka termasuk Thalhah dan Zubair untuk membaiatnya sebagaimana yang terdapat pada
riwayat-riwayat tadi secara gamblang.
Adapun
riwayat yang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair membaiat mereka secara
terpaksa, tidak diragukan lagi bahwa ini tidaklah shahih. Riwayat yang shahih
justru sebaliknya.
At-Thabari
meriwayatkan dari Auf bin Abi Jamilah, ia berkata, “Saya bersaksi bahwa saya
mendengar Muhammad bin Sirin berkata, sesungguhnya Ali mendatangi Thalhah dan
berkata ‘Julurkanlah tanganmu wahai Thalhah, saya akan membaiatmu’ Thalhah
menjawab, ‘Anda lebih berhak, Andalah amirul mukminin, julurkanlah tangan Anda’
Ali menjulurkan tangannya kemudian dibaiat oleh Thalhah”[4]
Dari Abdu
Khair bin al-Khaiwani ia menghadap Abu Musa, ia berkata, “Wahai Abu Musa,
apakah dua orang ini –Thalhah dan Zubair- termasuk orang yang membaiat Ali?, ia
menjawab, ‘Iya’.”[5]
Sebagaimana
dalil ini menegaskan batilnya apa yang diklaim tentang keterpaksaan mereka
berdua membaiat Ali, Imam al-Muhaqqiq, Ibnul Arabi menyebutkan bahwa ini juga
tidak pantas bagi mereka berdua, tidak juga pantas bagi Ali, beliau berkata,
“Jika dikatakan bahwa mereka berdua –Thalhah dan Zubair- berbaiat secara
terpaksa kami katakan, Demi Allah! Sungguh tidak mungkin Ali memaksa mereka berdua, mereka berbuat sesuai dengan apa yang mereka inginkan,
jika seandainya mereka berdua terpaksa maka itupun tak berpengaruh. Karena
dengan adanya satu atau dua orang yang membaiat sudah cukup dan siapa yang berbaiat
setelah itu wajib mengikuti yang pertama, meskipun pada waktu itu dia terpaksa
secara syar’i. Walaupun mereka berdua tidak berbaiat, itu tidak berpengaruh
pada mereka dan tidak pula pada baiat kepada khalifah.
Adapun orang yang berkata bahwa tangan yang membaiat itu tangan lumpuh dan dengan
sebab itu baiatnya tidak sempurna[6] maka itu adalah prasangka dari orang yang berkata bahwa Thalhah merupakan
orang yang pertama membaiat, padahal tidak seperti itu.
Jika disebut seperti itu maka Thalhah sendiri sudah mengatakan, “Saya sudah
membaiat dengan ketetapan hati”, kami katakan, riwayat ini dilemahkan oleh
orang yang ingin mengubah القفا menjadi قفى, sebagaimana الهوى dirubah menjadi هوي. Itu adalah bahasa Hudzail bukan bahasa orang Quraisy[7],
oleh sebab itu hal ini merupakan kebohongan yang tidak tertata.
Adapun perkataan mereka, “يد شلاء tangan yang lumpuh” kalaupun benar, tidak ada kaitan mereka padanya. Karena sebuah
tangan dilumpuhkan dalam penjagaan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi
wasallam namun Rasulullah menyempurnakan urusan tangan itu. Berlindung dengan
tangan itu dari segala yang tidak disukai. Perkaranya pun selesai dan takdirpun
dijalankan setelah itu menurut ketentuannya.”[8]
Begitu juga
dengan Muawiyah radhiyallahu anhu. Beberapa riwayat yang shahih
menyebutkan bahwa perselisihannya dengan Ali radhiyallahu anhu hanya
tentang mengqsishah pembunuh Utsman, Muawiyah tidak merongrong
kekhilafahannya, bahkan sebaliknya beliau mengakuinya.
Dari Abu
Muslimn al-Khaulani, beliau tiba sedang orang-orang yang bersamanya menuju
Muawiyah, mereka berkata, “Anda merongrong Ali ataukah Anda bersikap seperti
dia?”, Muawiyah menjawab, “Tidak! Demi Allah, sungguh saya tahu bahwa
beliau lebih mulia dari saya. Lebih berhak memegang jabatan khilafah daripada
saya, tapi bukankah kalian tahu bahwa Utsman dibunuh secara zalim, sedangkan
saya sepupunya dan penuntut darahnya? Karena itu, datangilah beliau, katakan
kepadanya agar segera menyerahkan pembunuh Utsman kepadaku, setelah itu saya
tunduk padanya. Datangilah Ali, ajaklah beliau berbicara dengan kalian.” Namun
Ali tidak menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya[9].
Ibnu Katsir
meriwayatkan dari Ibnu Dizil melalui sanadnya yang sampai ke Abu Darda’ dan Abu
Umamah radhiyallahu anhum, “Mereka berdua menemui Muawiyah, ‘Wahai
Muawiyah, atas alasan apa Anda memerangi lelaki ini (Ali)?, Demi Allah, beliau
lebih dahulu masuk Islam daripada Anda dan ayah Anda, lebih dekat kepada
Rasulullah daripada Anda, lebih berhak memegang tampuk kekhilafahan daripada
Anda!’ Muawiyah menjawab, ‘Saya memeranginya karena menuntut darah
Utsman karena beliau tidak mau mengqishah para pembunuh Utsman. Menghadaplah kalian
berdua kepadanya dan katakan, ‘Segeralah tumpas para pembunuh Utsman’ niscaya
saya adalah orang pertama yang membaiatnya dari penduduk Syam’.”[10]
Riwayat tentang
ini yang sangat masyhur di kalangan para ulama[11]
menunjukkan bahwa Muawiyah tidaklah merongrong kekhilafahan Ali radhiyallahu
anhuma, karena itu para ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu menulis masalah
ini dan menetapkan kesimpulan ini.
Imam
al-Haramain, al-Juwaini berkata, “Sesungguhnya Muwaiyah, meskipun beliau
memerangi Ali, tapi beliau tidaklah mengingkari imamahnya, dan tidak pula
mengklaim imamah itu untuk dirinya. Yang beliau inginkan hanyalah menuntut para
pembunuh Utsman dengan sangkaan bahwa ijtihad beliau benar, padahal salah.” [12]
Ibnu Hajar
al-Haitami berkata, “Diantara keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang
peperangan-peperangan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma
adalah bahwa Muawiyah tidak merongrong kekhilafahan Ali dengan adanya ijma’
bahwa ijtihad yang benar berada pada pihak Ali sebagaimana yang telah lalu. Olehnya,
musibah perselisihan (peperangan) tersebut bukanlah disebabkan karena Muwaiyah
ingin menuntut khilafah. Namun musibah perselisihan (peperangan) tersebut
mencuat karena Muwaiyah dan orang-orang yang bersamanya menuntut Ali agar
menyerahkan para pembunuh Utsman kepada mereka, dimana Muawiyah merupakan
sepupu Utsman. Namun begitu, Ali tetap enggan.”[13]
Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Muawiyah tidaklah
mengklaim dirinya sebagai khalifah, tidak berbaiat kepada Ali ketika
memeranginya, tidak memerangi Ali dengan anggapan bahwa dirinya seorang
khalifah dan tidaklah pula beliau berhak sebagai khalifah. Justru beliau
mengakui kekhilafahan Ali. Pengakuan Muawiyah terhadap kekhilafahan Ali diketahui
oleh orang yang bertanya kepada beliau. Semua kelompok[14]
mengakui bahwa Muawiyah tidak sepadan dengan Ali untuk memegang kekhilafahan. Dan
tidak boleh bagi Muawiyah menjadi khalifah meskipun peluang mengguling
kekhilafahan Ali terbuka. Karena keutamaan
Ali dan tiga pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam hal ilmu, agama,
keberanian dan segala keutamaan bagi mereka itu jelas dan sangat dikenal.”[15]
Dengan semua
ini menjadi pastilah bahwa tidak seorang pun sahabat ingin merebut kekuasaan
Ali radhiyallahu anhu baik yang menyelisihinya maupun selainnya. Dengan
ini pula klaim orang Syiah ini (Dr. Muhammad Tijani) bahwa para sahabat saling
berebut kekuasaan adalah batil, demikian juga tentang perpecahan umat.
*******
Oleh:
Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Al-Intishar Li Ash-Shahbi Wa
Al-Aal Min Iftira'ati As- Samawi Adh-Dhaal. Hal 233-240
Dialihbahasakan oleh lppimakassar.com
[1]
Tarikh at-Thabari, 4/427
[2]
Ibid, 4/427-428
[3]
Lihat: Tarikh at-Thabari, 4/427-429, beliau telah mengumpulkan riwayat ini dan
dipelajari kembali oleh Dr. Muh. Amhazun dalam kitabnya yang berbobot, Tahqiq
Mawaqif As-Shahabah fil al-Fitnah, 20/59-75
[4]
Tarikh at-Thabari, 4/434
[5]
Ibid, 4/486
[6]
Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa orang yang pertama kali membaiat Ali
adalah Thalhah radhiyallahu anhuma dan pada waktu itu tangannya lumpuh,
karena pada waktu perang Uhud Thalhah melindungi Rasulullah. Oleh karena itu
seseorang berkata, “Tangan pertama yang membaiat Amirul Mukminin tangannya
lumpuh, oleh karena itu baiatnya tidak sempurna.” Lihat Tarikh Thabari, 4/435,
al-bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, 7/237.
[7] Dikatakan juga bahwa itu adalah bahasa
Thaiy, disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam an-Nihayah, 4/94. Begitu juga اللج bukan bahasa Quraisy bahkan itu bahasa Thaiy,
Ibnul Atsir mengatakan, “kata itu dengan didhammah: pedang dengan bahasa ضي” an-Nihayah, 4/234. Ada
lagi yang berkata bahwa itu juga merupakan pedang dengan bahasa Hudzail dan
beberapa suku dari Yaman. Lihat Lisan al-Arab, 2/354.
[8] Ibnul Arabi, al-‘Awashim min al-Qawashim,
hal 148-149
[9]
Sebab Ali radhiyallahu anhu meminta agar Muawiyah segera berbaiat dan
menuntut para pembunuh Utsman itu kepada Ali. Namun Muawiyah menolak, semoga
Allah meridhai mereka berdua. Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah, 7/256 dan
Tahqiq Mawaqif al-Shahabah Fi al-Fitnah, karya Amhazun, 2/147
[10] Al-Bidayah
wa al-Nihayah, 7/270
[11]
Lihat al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir, 7/268-270. Riwayat-riwayat
ini telah dikumpulkan oleh Dr. Muh. Amhazun pada kitabnya Tahqiq Mawaqif
al-Shahabah Fi al-Fitnah, 2/146-150.
[12]
Lum’ah al-Adillah Fi ‘Aqa’id Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal 115
[13] Al-Shawa’iq
al-Muhriqah, hal 216
[14] Maksudnya adalah pihak yang menuntut darah Utsman dan pihak Ali radhiyallahu anhuma.
Yang menuntut darah Utsman agar segera diselesaikan
bergabung dengan pihak Muawiyah, meskipun demikian mereka tidak melebihkan
Muawiyah di atas Ali radhiyallahu anhum ajma’in.
[15] Majmu’
al-Fatawa, 35/72-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar