Serial ulasan ke-13 terhadap buku "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" dan
penulisnya, Dr. Muhammad At-Tijani. Silakan baca serial ulasannya
secara lengkap di sini: Akhirnya Kutemukan Kebenaran
Kaedah
Ketiga,
Meskipun mereka berselisih, namun tak seorangpun diantara mereka mencela
kualitas keagamaan masing-masing dari mereka. Setiap pihak memandang dirinya
sebagai seorang mujtahid dengan mengakui keutamaan masing-masing dalam agama
Islam dan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Masalah ini
juga telah disepakati oleh para ahlul ilmi melihat riwayat-riwayat yang shahih
bahwa para sahabat saling memuji satu sama lain. Diantaranya apa yang diucapkan
Ali ketika usainnya perang Jamal. Pada waktu itu ia mencari korban dan
menemukan Thalhah bin Ubaidillah telah terbunuh. Ali mengusap debu dari
wajahnya dan berkata, “Semoga rahmat Allah terlimpah atasmu wahai Abu Muhammad.
Saya gemetar melihatmu majdulan[1]
di bawah bintang-bintang langit.” Kemudian ia berkata, “Hanya kepada Allah
aku mengadukan ujra dan bujra[2].”[3]
Ketika Ali
didatangi oleh Ibnu Jarmuz sang pembunuh Zubair yang menenteng pedang Zubair
meminta izin, Ali berkata, “Jangan kalian beri dia izin dan berilah berita
gembira dengan neraka” dalam riwayat lain Ali berkata, “Saya mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: Berilah berita gembira
kepada pembunuh Ibnu Shafiyah dengan neraka!”
Ketika Ali
melihat pedang Zubair ia berkata, “Telah lama masa ketika segala musibah
terangkat dari wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (dengan
pedang itu dari setiap musuh-musuh Islam)”[4]
Seusai
perang Jamal, Ali menghadap ke Aisyah radhiyallahu anhuma dan berkata,
“Bagaimana keadaanmu wahai ibuku?” Aisya menjawab, “Baik” Ali mendoakan,
“Semoga Allah mengampunimu” Aisyah menjawab, “Dan engkau juga”[5]
Disebutkan
oleh at-Thabari bahwa Ali radhiyallahu anhu mendengar dua orang yang
mencela Aisyah radhiyallahu anha. Segera beliau mengutus al-Qa’qa’ bin
Amr dan membawa mereka berdua. Ali berkata, “Penggal leher mereka!” kemudian ia
berkata, “Kami akan berikan mereka hukuman” lalu mereka berdua dicambuk
masing-masing seratus kali dan baju mereka dilepas.[6]
At-Thabari
meriwayatkan dari Muhammad bin Abdullah bin Sawad dan Thalhah bin al-A’lam
tentang persiapan yang dilakukan Ali untuk mengantar Aisyah pulang dari
Bashrah, “Aisyah dipersiapkan segala sesuatu yang pantas untuknya berupa
kendaraan, bekal atau harta. Beliau pulang bersama orang-orang yang selamat
yang dulu ikut berperang bersamanya kecuali orang yang lebih menyukai Bashrah.
Beliau juga dipilihkan empat puluh orang wanita penduduk Bashrah yang
baik-baik” Ali berkata, “Persiapkanlah wahai Muhammad dan bawalah beliau
kembali (ke Madinah)”
Pada hari
diberangkatkannya Aisyah, Ali mendatanginya dan berdiri di hadapannya sedang
manusia berkumpul melihat mereka. Aisyah pun keluar dan berkata, “Wahai anakku,
engkau telah merepotkan dirimu dengan menyiapkan kami bekal, maka janganlah
sekali-kali kalian memusuhi karena adanya ganjalan di hati. Demi
Allah, tidak ada yang terjadi antara saya dengan Ali pada waktu itu kecuali
seperti yang terjadi antar seorang wanita dengan iparnya. Dan beliau dalam
penialianku adalah termasuk orang-orang pilihan” Ali menimpali, “Wahai manusia,
beliau benar. Demi Allah, tidak ada yang terjadi antara saya dengan beliau
melainkan seperti yang disebutkannya. Beliau adalah istri Nabi kalian shallallahu
alaihi wasallam di dunia dan di akhirat.”[7]
Diantara
riwayat yang shahih tantang kejadian ini adalah yang diriwayatkan oleh Ammar radhiyallahu
anhu dimana beliau berada di pasukan Ali pada peristiwa perang Jamal.
Riwayat ini diketengahkan oleh Ath-Thabari dari Malik bin Dinar ia berkata,
“Ammar melempar tombak dengan pelan ke arah Zubair” Zubair pun berkata, “Apakah
kamu hendak membunuh aku?” Ammar menjawab, “Tidak, tapi menghindarlah”[8]
Diriwayatkan
dari Amir bin Hafs, ia berkata, “Ammar melempar tombak dengan pelan ke arah
Zubair pada peristiwa perang Jamal”, Zubair berkata, “Apakah kamu hendak
membunuhku wahai Abul Yaqdhan?” Ammar menjawab, “Tidak wahai Abu Abdillah”[9]
Inilah yang
terjadi antara sahabat radhiyallahu anhum ajmain pada peristiwa perang
Jamal.
Adapun yang
terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma pada perang Shiffin
adalah sebagai berikut,
Riwayat
shahih dari Ali yang diketengahkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari Ishak
bin Rahuyah dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya ia berkata,
pada perang Jamal atau perang Shiffin Ali mendengar seorang laki-laki terlalu
berlebihan dalam mengomentari peristiwa itu, maka Ali berteriak, “Janganlah
berkomentar kecuali yang baik-baik saja, karena mereka adalah kaum yang mengira
bahwa kita membangkang terhadap mereka, namun kita memandang merekalah yang
membangkang terhadap kita, akhirnya kita pun memerangi mereka.”[10]
Dari
Muhammad bin Nasr dengan sanadnya dari Makhul, “Orang-orang yang bergabung di
pihak Ali bertanya kepada Ali tentang kedudukan orang-orang yang dibunuh dari
pihak Muawiyah” Ali menjawab, “Mereka adalah kaum Mukminin”[11]
Dari Abdul
Wahid bin Abu Aun ia berkata, “Ali berjalan sambil bersandar pada Al-Asytar
mencari korban perang Shiffin. Ia menemukan seorang dari Yaman telah terbunuh.
Al-Asytar pun berkata, “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un, seorang
dari Yaman ini berada di pihak Muawiyah, pada tubuhnya melekat tanda bahwa ia
adalah pasukan Muawiyah, bukankah –Demi Allah- anda telah menyaksikannya
sebagai seorang Mukmin?”Ali menjawab, “Sekarang pun dia adalah seorang
Mukmin”.”[12]
Adapun
Muawiyah radhiyallahu anhu –pujiannya kepada Ali radhiyallahu anhu telah
kita tengahkan sebelumnya- begitu pula pengakuan Muawiyah akan keutamaannya
sebagaimana yang terekam pada perbincangan beliau bersama Abu Muslim
al-Khaulani ketika ia mengatakan, “Anda menyelisihi Ali ataukah Anda bersikap
sepertinya?” Muawiyah pun menjawab, “Tidak, demi Allah sungguh saya tahu bahwa
ia lebih utama dari saya dan lebih pantas memegang tampuk kekhilafahan daripada
saya….”[13]
Abu Nuaim
meriwayatkan dalam Hilyatul Auliya bahwa Dhararah bin Dhamrah As-Shada’i
menemui Muawiyah, ia pun berbicara kepada Muawiyah, “Gambarkanlah kepadaku
kepribadian Ali” ia menjawab, “Maukah engkau memaafkanku wahai Amirul Mukminin?”
ia menjawab, “Saya tidak memaafkanmu” Muawiyah menjawab, “Adapun jika itu harus
maka sesungguhnya beliau –Demi Allah- sangat tangguh, kuat, senantiasa
mengucapkan hal-hal yang mulia, menghakimi dengan adil….” Beliau menyebutkan
banyak hal tentang ilmu, keberanian dan kezuhudannya.
Sampai
perkataannya, “Air mata Muawiyah pun menetes hingga membasahi jenggotnya karena
tidak bisa lagi beliau tahan. Beliau menghapus air matanya dengan pakainnya.
Dan semua yang ada disekelilingnya ikut menangis” Muawiyah menutup
perkataannya, “Beginilah Abul Hasan rahimahullah”[14]
Inilah
sebagian riwayat yang dinukil dari para sahabat radhiyallahu anhum ajmain –terkhusus
yang terlibat dalam peperangan- tentang pujian dan pengagungan mereka satu sama
lain serta cinta di antara mereka karena Allah.
Adapun
perselisihan dan peperangan yang terjadi maka itu timbul dari ijtihad
masing-masing mereka dimana mereka memandang ada maslahat untuk umat dan
penegakan agama Allah dan Syariat-Nya. Meskipun demikian, setiap sahabat
bersikap adil kepada yang lainnya. Perbedaan mereka tak membuat mereka saling
mencela dalam agama mereka, tak membuat mereka saling bermusuhan dan menzalimi,
bahkan justru setiap mereka mengakui kemuliaan dan keutamaan lebih dulunya
masuk Islam. Ini –demi Allah- merupakan keutamaan. Karena berlaku adil ketika
sedang bertikai adalah hal yang berat. Hal ini sangat jarang terjadi pada
manusia, kecuali yang derajat keimanan mereka tinggi, dan jiwa mereka disucikan
dari berbagai syahwat layaknya sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang telah Allah pilih –dengan ilmuNya- untuk menemani Nabi-Nya.
Kita memohon
kepada Allah agar melimpahkan kita anugrah untuk mencintai mereka semua dan
beradab yang baik terhadap mereka dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang
Allah firmankan, “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata Wahai
Tuhan kami maafkanlah kami dan saudara-saudara yang telah mendahului kami
beriman. Janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian terhadap
orang-orang yang beriman. Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mahapengasih
mahapenyayang."[15]
Oleh:
Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Al-Intishar Li Ash-Shahbi Wa
Al-Aal Min Iftira'ati As- Samawi Adh-Dhaal. Hal 243-249
[1]
Majdulan: Terkapar dalam keadaan meninggal di atas tanah, al-Nihayah, Ibnu
Atsir, 1/248
[2]
Ujra dan Bujra: Gundah gulana dan kesedihanku, al-Nihayah, Ibnu Atsir, 3/185
[3]
Al-bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, 7/258
[4]
Riwayat-riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah,
7/260.
[5]
Tarikh at-Thabari, 4/534
[6]
Tarikh at-Thabari, 4/540
[7] Ibid,
4/544
[8] Ibid,
4/512
[9] Ibid
[10]
Minhaj As-Sunnah, 5/244-245
[11] Ibid
[12] Ibid
[13]
Siyar A’lam Nubala, 3/140
[14]
Hilyatul Auliya, 1/84-85
[15]
QS. Al-Hasyr: 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar