Selasa, 24 Juni 2014

Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat

syahadat
Buletin At Tauhid Edisi 8 Tahun X
Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh. Kalimat ini adalah pondasi Islam dimana bangunan Islam dibangun diatasnya. Kalimat ini memiliki makna agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Makna Syahadat Laa ilaaha illallāh
Laa ilaaha illallāh memiliki 2 rukun yaitu an nafyu (peniadaan) dan al itsbat (penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallāh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagiNya. 



Maka, makna Laa ilaaha illallāh adalah laa ma’buda bi haqqin illallāh, yang artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga, tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).



Pemaknaan Laa ilaaha illallāh dengan laa ma’buda illallāh (Tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah), adalah pemaknaan yang keliru, karena realitanya ada banyak sesembahan yang disembah manusia selain Allah. Kalimat ini juga bisa bermakna, semua yang disembah manusia berupa pohon, berhala, orang shalih, dan yang lainnya adalah Allah. Pemaknaan seperti ini adalah kesalahan yang sangat fatal dan bukanlah pemaknaan yang dimaksudkan dari sisi bahasa Arab.
Konsekuensi Syahadat Laa ilaaha illallāh
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan menggantungkan hati kepada Allah semata serta mengingkari dan meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya, karena dia telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallāh




Siapa yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik akbar, yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali dengan taubat. Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon, nabi, wali yang hidup atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini. Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Makna kalimat syahadat ini adalah mengikrarkan dengan lisan dan meyakini dengan hati bahwa Muhammad bin ’Abdillah Al Quraisyi Al Hasyimi adalah hamba Allah dan utusan Allah kepada semua makhluk dari jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56). Tidaklah bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan wahyu yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-Nya (Rasulullah), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS.Al Furqan : 1).



Muhammad adalah Rasul Allah yang tidak boleh didustakan dan hamba Allah yang tidak boleh disembah dan diibadahi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mempunyai hak rububiyyah (sifat ketuhanan-red). Tidak pula bisa memberikan manfaat dan madharat untuk dirinya sendiri dan orang lain tanpa izin dari Allah Ta’ala . (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 54-55).
Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat, kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah dia berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An Najm : 3-4). 



Selain itu, mentaati semua yang beliau perintahkan. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An Nisaa’ : 64).
Kemudian, meninggalkan semua yang beliau larang untuk dikerjakan. Tidaklah beliau melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan bahaya didalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).



Yang terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil), yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR. Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya
Adapun mengucapkan syahadat dengan lisan dan mengingkarinya di dalam hati, ini adalah jalan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 145).
Sebaliknya, jika hanya meyakini dalam hati, tetapi tidak mengucapkannya dan melaksanakan konsekuensinya, maka tidaklah bermanfaat keyakinannya itu. Sebagaimana yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib, dan sebagian besar kaum musyrikin jahiliyyah.




Dan jika sudah diyakini dan diucapkan, tetapi tindakan nyatanya bertentangan dengan ucapannya, maka tidaklah bermanfaat syahadatnya tersebut. Seperti yang banyak terjadi di zaman ini, banyak kaum muslimin yang berdoa kepada orang yang sudah mati di kuburan mereka. Hal ini bertentangan dengan syahadat Laa ilaaha illallāh. Banyak pula yang tidak mau menjadikan petunjuk Rasulullah sebagai jalan hidupnya. Hal ini bertentangan dengan syahadat Muhammad Rasulullah.




Demikianlah, 2 kalimat syahadat ini juga merupakan pondasi ibadah dimana semua ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah diterima suatu ibadah, kecuali jika diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan syahadat Laa ilaaha illallāh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’ dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).



Buletin At Tauhid Edisi 8 Tahun X


Penulis : Ferdiansyah Aryanto, S.T. (Alumni Ma’had Al ’Ilmi Yogyakarta)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar