Abu Hurairah z menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan z.[1] Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat[2] terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.
Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah n ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul n mencatat wahyu Allah l. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.[3]
Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah l, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.
Ya Allah l, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.
Usman bin ‘Affan z, sahabat yang mulia
Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf z. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah n.
Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah– z, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah n menyanjung:
أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”[4]
Mudah menangis kala mengingat akhirat[5]. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.
Beliau adalah menantu Rasulullah n yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi n, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah n bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”
Utsman bin ‘Affan z adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Muhammad n, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah l.
Sumur Ar-Rumah… Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah n menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu.[6] Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.
Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah l, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman z infakkan, Rasulullah n bersabda:
مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni[7], pen.)[8]
Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah n mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan z. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.
Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan z, Allah l jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah n bersabda:
وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ
“… Dan ‘Utsman di jannah….” Al-Hadits[9]
Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan z. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.
Fitnah itu akan terjadi
Wafatnya Umar bin Al-Khaththab z[10] adalah awal kemunculan fitnah. Umar z adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman z dalam Shahihain.[11]
Pernahkah terbayang bahwa Utsman z akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah l, Utsman bin Affan z telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah l, Muhammad bin Abdillah n.
Ahmad bin Hanbal t dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar z, beliau berkata:
ذَكَرَ رَسُولُ الله n فِتْنَةً، فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يُقْتَلُ فِيْهَا هَذَا الْمُقَنِّعُ يَوْمَئِذٍ. قَالَ: فَنَظَرْتُ فَإِذَا هُوَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
“Rasulullah n pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”[12]
Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah l tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah l beritahukan kepada Rasul-Nya n, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan z dalam keadaan syahid. Utsman z menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.
Rasulullah n mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman z dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah n.
Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan z
Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan z. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.[13]
Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah l:
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan z di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan z di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman z. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.
Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah l menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman z di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman z dan merusak agama Islam.
Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.[14]
Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan z
Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman z dari sabda Rasulullah n tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan z, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan z. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.
Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.[15]
Syubhat pertama: ‘Utsman z tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.
Utsman bin Affan z memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah n tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.
Dalam perang Badr, Rasulullah n memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah n. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul n kemudian dicela dengan sebab itu?”
Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah n mengikutsertakan Utsman z dalam ghanimah Badr.
Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar c di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar z menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan z–. Dengan segera Ibnu ‘Umar z berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah n –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:
إِنَّ لَكَ أَجْرَ رَجُلٍ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا وَسَهْمَهُ
“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”[16]
Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan z dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).
Syubhat kedua: Utsman z membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah l.
Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan z mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman z ketika sampai pada ayat:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah l telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”
Utsman z menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab z telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”
Bantahan Utsman z ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman z karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi n dan Umar bin Al-Khaththab z sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.
Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah
Masa besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.
Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan z berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan z, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.
Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah l, Utsman z mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.[17]
Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu
Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.
Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan z.
Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan z, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.[18]
Kembali ke Madinah melakukan pengepungan
Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan z. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman z meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.
Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman z untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah n puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan z dipaksa melepas kekhilafahan.
Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah n. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.
Demikiankah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah n, meninggikan kalimat Allah l? Demikiankah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah l? Demikiankah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Demikiankah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.
Pembelaan sahabat
Sejatinya para sahabat berkehendak membela Utsman bin Affan z. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya, g.
Namun Utsman bin Affan z telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah n untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah n saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah z sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman z berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah l, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah z melaksanakan nasihat ‘Utsman z.[19]
Dari Rasulullah n, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah n memanggil Utsman. Beliau n bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan z di hari pengepungan.
Al-Imam Ahmad t dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan z untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:
لَا، إِنَّ رَسُولَ اللهِ عَهِدَ إِلَيَّ عَهْدًا، وَإِنِّي صَابِرٌ نَفْسِي عَلَيْهِ
“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah n telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”[20]
Berkali-kali sahabat Rasulullah n menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah l perintahkan atas mereka.
Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan z, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman z sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah n kepadanya.
Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak tidaklah yang mereka inginkan kecuali menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?
Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul n bersabda:
وَإِنْ سَأَلُوكَ أَنْ تَنْخَلِعَ مِنْ قَمِيْصٍ قَمَّصَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا تَفْعَلْ
“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”[21]
Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan z, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:
“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”[22]
“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”
Syahadah yang Rasulullah n kabarkan itu diraih Utsman bin Affan z
Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman z berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah n, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah n bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dan berpuasa.
Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya g.
Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan z meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.
Setelah permintaan Utsman z yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.
Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan z tetap di atas wasiat Rasul n untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah l pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah n.
Utsman z, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau z membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah l, berjihad menegakkan kalimat Allah l di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau z perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah l, membaca Al-Qur’an.
Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Utsman z pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan z. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
أَمَا وَاللهِ، إِنَّهَا لَأَوَّلُ كَفٍّ خَطَّتِ الْمُفَصَّلَ
“Demi Allah l, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”
Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah l dari lisan Rasulullah n. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah l:
“Maka Allah l akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah n.
Utsman bin ‘Affan z wafat. Terwujudlah sabda Rasulullah n puluhan tahun silam. Ketika itu, beliau n bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:
اثْبُتْ أُحُدٌ، فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”[23]
Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan z bersama Rasulullah n sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah l dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.
Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman z, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “[24]
Nasyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah n bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa Al-Asy’ari z mengatakan bahwa:
أَنَّ النَّبِي أَمَرَهُ أَنْ يُبَشِّرَ عُثْمَانَ بِالْجَنَّة عَلَى بَلْوَى تُصِيْبُهُ
“Rasulullah n memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”[25]
Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan z
Orang-orang yang memberontak Utsman z dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah l. Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah l. Benarlah firman Allah l dalam sebuah hadits Qudsi:
مَنْ عَادَ لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”[26]
Adalah Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib z pada perang Nahrawan tahun 39 H.
‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman z, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman z yang selain mereka.[27]
Wallahu a’lam.
Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah n ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul n mencatat wahyu Allah l. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.[3]
Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah l, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.
Ya Allah l, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.
Usman bin ‘Affan z, sahabat yang mulia
Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf z. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah n.
Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah– z, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah n menyanjung:
أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”[4]
Mudah menangis kala mengingat akhirat[5]. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.
Beliau adalah menantu Rasulullah n yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi n, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah n bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”
Utsman bin ‘Affan z adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Muhammad n, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah l.
Sumur Ar-Rumah… Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah n menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu.[6] Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.
Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah l, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman z infakkan, Rasulullah n bersabda:
مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni[7], pen.)[8]
Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah n mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan z. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.
Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan z, Allah l jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah n bersabda:
وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ
“… Dan ‘Utsman di jannah….” Al-Hadits[9]
Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan z. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.
Fitnah itu akan terjadi
Wafatnya Umar bin Al-Khaththab z[10] adalah awal kemunculan fitnah. Umar z adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman z dalam Shahihain.[11]
Pernahkah terbayang bahwa Utsman z akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah l, Utsman bin Affan z telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah l, Muhammad bin Abdillah n.
Ahmad bin Hanbal t dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar z, beliau berkata:
ذَكَرَ رَسُولُ الله n فِتْنَةً، فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يُقْتَلُ فِيْهَا هَذَا الْمُقَنِّعُ يَوْمَئِذٍ. قَالَ: فَنَظَرْتُ فَإِذَا هُوَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
“Rasulullah n pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”[12]
Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah l tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah l beritahukan kepada Rasul-Nya n, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan z dalam keadaan syahid. Utsman z menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.
Rasulullah n mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman z dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah n.
Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan z
Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan z. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.[13]
Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah l:
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan z di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan z di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman z. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.
Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah l menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman z di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman z dan merusak agama Islam.
Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.[14]
Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan z
Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman z dari sabda Rasulullah n tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan z, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan z. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.
Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.[15]
Syubhat pertama: ‘Utsman z tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.
Utsman bin Affan z memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah n tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.
Dalam perang Badr, Rasulullah n memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah n. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul n kemudian dicela dengan sebab itu?”
Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah n mengikutsertakan Utsman z dalam ghanimah Badr.
Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar c di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar z menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan z–. Dengan segera Ibnu ‘Umar z berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah n –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:
إِنَّ لَكَ أَجْرَ رَجُلٍ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا وَسَهْمَهُ
“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”[16]
Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan z dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).
Syubhat kedua: Utsman z membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah l.
Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan z mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman z ketika sampai pada ayat:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah l telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”
Utsman z menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab z telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”
Bantahan Utsman z ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman z karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi n dan Umar bin Al-Khaththab z sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.
Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah
Masa besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.
Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan z berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan z, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.
Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah l, Utsman z mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.[17]
Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu
Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.
Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan z.
Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan z, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.[18]
Kembali ke Madinah melakukan pengepungan
Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan z. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman z meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.
Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman z untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah n puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan z dipaksa melepas kekhilafahan.
Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah n. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.
Demikiankah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah n, meninggikan kalimat Allah l? Demikiankah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah l? Demikiankah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Demikiankah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.
Pembelaan sahabat
Sejatinya para sahabat berkehendak membela Utsman bin Affan z. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya, g.
Namun Utsman bin Affan z telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah n untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah n saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah z sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman z berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah l, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah z melaksanakan nasihat ‘Utsman z.[19]
Dari Rasulullah n, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah n memanggil Utsman. Beliau n bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan z di hari pengepungan.
Al-Imam Ahmad t dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan z untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:
لَا، إِنَّ رَسُولَ اللهِ عَهِدَ إِلَيَّ عَهْدًا، وَإِنِّي صَابِرٌ نَفْسِي عَلَيْهِ
“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah n telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”[20]
Berkali-kali sahabat Rasulullah n menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah l perintahkan atas mereka.
Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan z, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman z sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah n kepadanya.
Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak tidaklah yang mereka inginkan kecuali menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?
Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul n bersabda:
وَإِنْ سَأَلُوكَ أَنْ تَنْخَلِعَ مِنْ قَمِيْصٍ قَمَّصَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا تَفْعَلْ
“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”[21]
Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan z, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:
- Wasiat Rasulullah n kepada ‘Utsman z untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.
- Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:
“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”[22]
- Utsman yakin bahwa yang dimaukan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
- Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah n sabdakan. Beliau z juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari pengepungan.
- Nasihat Abdullah bin Salam z kepada beliau. Abdullah berkata:
“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”
Syahadah yang Rasulullah n kabarkan itu diraih Utsman bin Affan z
Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman z berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah n, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah n bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dan berpuasa.
Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya g.
Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan z meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.
Setelah permintaan Utsman z yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.
Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan z tetap di atas wasiat Rasul n untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah l pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah n.
Utsman z, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau z membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah l, berjihad menegakkan kalimat Allah l di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau z perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah l, membaca Al-Qur’an.
Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Utsman z pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan z. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
أَمَا وَاللهِ، إِنَّهَا لَأَوَّلُ كَفٍّ خَطَّتِ الْمُفَصَّلَ
“Demi Allah l, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”
Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah l dari lisan Rasulullah n. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah l:
“Maka Allah l akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah n.
Utsman bin ‘Affan z wafat. Terwujudlah sabda Rasulullah n puluhan tahun silam. Ketika itu, beliau n bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:
اثْبُتْ أُحُدٌ، فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”[23]
Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan z bersama Rasulullah n sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah l dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.
Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman z, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “[24]
Nasyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah n bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa Al-Asy’ari z mengatakan bahwa:
أَنَّ النَّبِي أَمَرَهُ أَنْ يُبَشِّرَ عُثْمَانَ بِالْجَنَّة عَلَى بَلْوَى تُصِيْبُهُ
“Rasulullah n memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”[25]
Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan z
Orang-orang yang memberontak Utsman z dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah l. Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah l. Benarlah firman Allah l dalam sebuah hadits Qudsi:
مَنْ عَادَ لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”[26]
Adalah Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib z pada perang Nahrawan tahun 39 H.
‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman z, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman z yang selain mereka.[27]
Wallahu a’lam.
[1] Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam At-Thabaqat (3/81), Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (2/335) dengan sanad shahih dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z.
[2] Pemberontak.
[3] Nama lain dari kota Madinah.
[4] HR. Muslim dalam Ash-Shahih no. 2401.
[5] Ahmad dalam Az-Zuhd (hal. 42) dan At-Tirmidzi dalam As-Sunan (4/553) dengan sanad hasan.
[6] Ahmad (1/74-75), At-Tirmidzi (5/625-627), dishahihkan Ahmad Syakir dalam ta’liq beliau terhadap Al-Musnad.
[7] Demikian diterangkan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
[8] At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 3701.
[9] Abu Dawud dalam As-Sunan no. 4649.
[10] Beliau mendapatkan syahadah sebagaimana dikabarkan Rasulullah n. Beliau dibunuh Abu Lu’lu’ Al-Majusi di tahun 23 H.
[11] Lihat Shahih Al-Bukhari no. 1435 dan Shahih Muslim no. 144.
[12] Al-Musnad (2/115), dan dengan tahqiq Asy-Syaikh Ahmad Syakir pada jilid 8, hal. 171.
[13] Hakikat keberadaannya dapat dilihat pada Kajian Utama: Kontroversi Ibnu Saba Al-Yahudi.
[14] Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayal hal. 5-6, karya Dr. Sa’di Al-Hasyimi dengan beberapa perubahan.
[15] Syubhat-syubhat lainnya dapat dilihat dalam risalah Fitnah Maqtali ‘Utsman (1/68-136), karya Dr. Muhammad bin Abdullah Ghabban, cet. Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 2003 M.
[16] Lihat riwayat-riwayatnya dalam Shahih Al-Bukhari, dengan Fathul Bari (7/54) At-Tirmidzi dalam As-Sunan (5/629).
[17] Kesepakatan-kesepakatan tersebut sengaja tidak dinukilkan mengingat keterbatasan ruang. Selengkapnya lihat Fitnah Maqtal ‘Utsman (1/153-157).
[18] Diriwayatkan Khalifah bin Khayyath dalam At-Tarikh (hal. 168-169) dengan sanad yang hasan.
[19] At-Thabaqat Al-Kubra (3/70), dengan sanad shahih.
[20] Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52).
[21] Al-Humaidi dalam Al-Musnad (1/130), At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
[22] Al-Musnad (1/196) dengan tahqiq Asy-Syaikh Ahmad Syakir, Tarikh Baghdad (14/272).
[23] Shahih Al-Bukhari no. 3675.
[24] Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam At-Thabaqat (3/83-84), Ali bin Al-Ja’d
dalam Al-Musnad (2/908-909) dengan sanad yang hasan.
dalam Al-Musnad (2/908-909) dengan sanad yang hasan.
[25] Al-Bukhari (7/21-22, 43, 52-52) dengan syarah Fathul Bari.
[26] Diriwayatkan Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 6502 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (1/4) dari Abu Hurairah z.
[27] Diringkas dari catatan kaki Muhibbudin Al-Khathib atas kitab Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hal. 241-242.
Sumber: http://asysyariah.com/%E2%80%98utsman-bin-%E2%80%98affan-teladan-keteguhan-memegang-as-sunnah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar