Umar bin Abdul Aziz, itulah dia mukjizat Islam! Sebuah
lembaran putih di antara lembaran-lembaran hitam dinasti Bani Marwan.
[1] Sosok manusia pilihan yang lahir dari perpaduan antara dua unsur
yang amat bertolak belakang!
Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?
Ia terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung keluarga ningrat, pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun.
Sebagai gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan. Hidangan lezat, istana megah, pakaian indah, dan kendaraan mewah. Adapun ibunya bernama Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola hidupnya yang amat bersahaja.
Nah, dari perpaduan dua unsur inilah terlahir sosok Umar bin Abdul Aziz, si Mukjizat Islam. Sungguh, riwayat hidupnya merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Menggambarkan sosok pribadinya, sungguh merupakan suatu hal yang sulit dilakukan.
Memang benar, terhadap suatu sejarah besar, selalu ditemui pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri seorang besar dan pemimpin adil semisal beliau ini.
Sebenarnya, kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah dari sekian banyak kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan kelebihannya, sisi mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan. Ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya, keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? [2]
Akan tetapi, agar pembaca tak terlena karena terlalu asyik mengikuti cerita ini, maka kali ini penulis hanya ingin menitikberatkan pada salah satu faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz. Faktor tersebut bermula dari keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab, yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis mesil kondang menuturkan dalam bukunya Khulafaur Rasul sebagai,
Waktu itu, malam gelap gulita. Kota Madinah telah tertidur lelap. Semua orang sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun, di sana masih ada seseorang yang tetap terjaga karena gelisah diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah seperti itu, sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri.
Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang sempit itu, yang terasa hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta, dan angin dingin yang menusuk tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat dengan seksama. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau yang merintih dalam penderitaan, atau barangkali ada seorang pengelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan rakyatnya yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Diperhitungkan inci demi inci, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.
Orang itu adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama ini mereka panggil dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin Khaththab.
Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringat pun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot.
Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah letih kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkah menuju ke mesjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.
Tiba-tiba, di saat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual di pasar pagi hari nanti.
Si Ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu.
Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu.
“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu.
“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.
Mendengar ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis saking harusnya. Bukan air mata kesedihan, melainnkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.
Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju mesjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah putranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada putranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu.
Di akhir percakapan itu, Amirul Muminin lalu berkata kepada putranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumah tangga, “Pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan memberi berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!”
‘Ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati. Mereka berdua dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan panggilan Ummu ‘Ashim.
Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa berkah itu. [3]
Sosok Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Daulah Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok, berkulit putih, berjambang tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung. Pada wajahnya terdapat bekas tapal kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada bagian kepalanya, karenanya ia disebut Asyaj Bani Umayyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang terluka kepalanya. [4]
Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin ‘Ali al-Baqir pernah ditanya tentang ‘Umar, maka jawabnya, “Dialah orang cerdasnya Bani Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.”
Maimun bin Mihran berkata, “Para ulama di samping ‘Umar tak ubahnya seperti santri.” Imam Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Allah akan membangkitkan di
penghujung tiap abad seorang alim yang akan memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus tahun berikutnya ialah asy-Syafi’i.” [5]
Ketawadhuan Umar bin Abdul Aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin Abdil Malik, ‘Umar mendengar suara gemuruh dan derap kuda. Ia pun bertanya, “Ada apa ini?”
“Ini adalah kendaraan resmi kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Ia sengaja didatangkan kemari agar Anda menungganginya,” jawab seseorang.
“Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia dariku. Kemarikan saja bighalku,” [6] jawab ‘Umar enteng.
Maka, mereka mendekatkan bighalnya dan `Umar pun menungganginya. Tapi tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal ‘Umar dari depan sembari memegang tombak. “Apa-apaan ini? Aku tak perlu pengawal. Aku hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata ‘Umar. [7]
Maimun bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu dengan ‘Umar bin Abdul Aziz, lalu ‘Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, Maimun menyebutkan satu hadits yang amat berkesan hingga ‘Umar menangis sejadi-jadinya, lalu kata Maimun, “Wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku tahu Anda bakal menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang lebih ringan.”
“Wahai Maimun, ini gara-gara kami terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh yang kuketahui, ia bisa melunakkan hati, memperbanyak air mata, dan melemaskan badan,” sanggah ‘Umar.
Al-Ishami mengomentari kisah ini dengan mengatakan, “Dia benar, memang kacang adas memiliki sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia sesungguhnya yang menyebabkan ‘Umar menangis ialah karena hatinya amat takut kepada Allah. Akan tetapi, ia punya alasan untuk menisbatkan sebab tangisnya pada adas, karena pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin menjauhkan dirinya dari sesuatu yang mungkin menimbulkan riya’.” [8]
Mutiara Hikmah ‘Umar bin Abdul Aziz
Begitu terpilih menjadi Khalifah, ‘Umar langsung berpidato di depan rakyatnya. Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan salawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, “Kuwasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah pengganti segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhiratnya pastilah Allah mencukupi baginya perkara dunianya.
Perbaikilah batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki lahiriah kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia datang, karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan.
Sesungguhnya orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada semua, mestinya sadar bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat ini tidak berselisih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantarang Nabi-Nya atau kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham, dan sungguh, demi Allah, aku tak akan memberikan yang batil pada seorang pun, dan tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian ‘Umar mengangkat suaranya keras-keras hingga terdengar semua orang, “Saudara sekalian, siapa yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati, dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, namun jika aku bermaksiat maka janganlah kalian menaatiku!” [9]
Catatan kaki:
[1] Penulis sengaja menyebutnya sebagai Bani Marwan dan bukan Bani Umayyah, agar ungkapan ini tidak mencakup pendiri Daulah Umawiyah yang merupakan seorang sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena sepeninggal Mu’awiyah dan putranya Yazid, tampuk kekuasaan beralih kepada Marwan bin Abdul Hakum dan keturunannya, yang terkenal suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan para khalifahnya gemar berfoya-foya, serta sederetan rapor merah lainnya yang menjadi ciri khas pemerintahan mereka. Jadi, merekalah yang kami maksudkan di sini, pen.
[2] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, oleh Khalid Muhammad Khalid, hlm. 605–608.
[3] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, hlm. 614–617, dengan sedikit penyesuaian.
[4] Lihat: Al-Wafi bil Wafayat: 7/157.
[5] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[6] Bighal adalah hasil perkawinan silang antara keledai jantan dan kuda betina.
[7] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[8] Lihat: Samthun Nujumil Awali, oleh al-Ishami.
[9] Tarikh Dimasyq: 45/358, oleh Ibnu Asakir.
Sumber: Ibunda para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama, Ramadhan 1427 H/ Oktober 2006.
(Dengan pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?
Ia terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung keluarga ningrat, pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun.
Sebagai gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan. Hidangan lezat, istana megah, pakaian indah, dan kendaraan mewah. Adapun ibunya bernama Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola hidupnya yang amat bersahaja.
Nah, dari perpaduan dua unsur inilah terlahir sosok Umar bin Abdul Aziz, si Mukjizat Islam. Sungguh, riwayat hidupnya merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Menggambarkan sosok pribadinya, sungguh merupakan suatu hal yang sulit dilakukan.
Memang benar, terhadap suatu sejarah besar, selalu ditemui pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri seorang besar dan pemimpin adil semisal beliau ini.
Sebenarnya, kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah dari sekian banyak kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan kelebihannya, sisi mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan. Ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya, keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? [2]
Akan tetapi, agar pembaca tak terlena karena terlalu asyik mengikuti cerita ini, maka kali ini penulis hanya ingin menitikberatkan pada salah satu faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz. Faktor tersebut bermula dari keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab, yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis mesil kondang menuturkan dalam bukunya Khulafaur Rasul sebagai,
Waktu itu, malam gelap gulita. Kota Madinah telah tertidur lelap. Semua orang sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun, di sana masih ada seseorang yang tetap terjaga karena gelisah diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah seperti itu, sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri.
Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang sempit itu, yang terasa hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta, dan angin dingin yang menusuk tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat dengan seksama. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau yang merintih dalam penderitaan, atau barangkali ada seorang pengelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan rakyatnya yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Diperhitungkan inci demi inci, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.
Orang itu adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama ini mereka panggil dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin Khaththab.
Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringat pun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot.
Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah letih kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkah menuju ke mesjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.
Tiba-tiba, di saat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual di pasar pagi hari nanti.
Si Ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu.
Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu.
“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu.
“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.
Mendengar ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis saking harusnya. Bukan air mata kesedihan, melainnkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.
Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju mesjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah putranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada putranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu.
Di akhir percakapan itu, Amirul Muminin lalu berkata kepada putranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumah tangga, “Pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan memberi berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!”
‘Ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati. Mereka berdua dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan panggilan Ummu ‘Ashim.
Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa berkah itu. [3]
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman lalu anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, maka Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan
Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur: 21)Sosok Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Daulah Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok, berkulit putih, berjambang tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung. Pada wajahnya terdapat bekas tapal kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada bagian kepalanya, karenanya ia disebut Asyaj Bani Umayyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang terluka kepalanya. [4]
Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin ‘Ali al-Baqir pernah ditanya tentang ‘Umar, maka jawabnya, “Dialah orang cerdasnya Bani Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.”
Maimun bin Mihran berkata, “Para ulama di samping ‘Umar tak ubahnya seperti santri.” Imam Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Allah akan membangkitkan di
penghujung tiap abad seorang alim yang akan memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus tahun berikutnya ialah asy-Syafi’i.” [5]
Ketawadhuan Umar bin Abdul Aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin Abdil Malik, ‘Umar mendengar suara gemuruh dan derap kuda. Ia pun bertanya, “Ada apa ini?”
“Ini adalah kendaraan resmi kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Ia sengaja didatangkan kemari agar Anda menungganginya,” jawab seseorang.
“Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia dariku. Kemarikan saja bighalku,” [6] jawab ‘Umar enteng.
Maka, mereka mendekatkan bighalnya dan `Umar pun menungganginya. Tapi tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal ‘Umar dari depan sembari memegang tombak. “Apa-apaan ini? Aku tak perlu pengawal. Aku hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata ‘Umar. [7]
Maimun bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu dengan ‘Umar bin Abdul Aziz, lalu ‘Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, Maimun menyebutkan satu hadits yang amat berkesan hingga ‘Umar menangis sejadi-jadinya, lalu kata Maimun, “Wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku tahu Anda bakal menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang lebih ringan.”
“Wahai Maimun, ini gara-gara kami terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh yang kuketahui, ia bisa melunakkan hati, memperbanyak air mata, dan melemaskan badan,” sanggah ‘Umar.
Al-Ishami mengomentari kisah ini dengan mengatakan, “Dia benar, memang kacang adas memiliki sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia sesungguhnya yang menyebabkan ‘Umar menangis ialah karena hatinya amat takut kepada Allah. Akan tetapi, ia punya alasan untuk menisbatkan sebab tangisnya pada adas, karena pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin menjauhkan dirinya dari sesuatu yang mungkin menimbulkan riya’.” [8]
Mutiara Hikmah ‘Umar bin Abdul Aziz
Begitu terpilih menjadi Khalifah, ‘Umar langsung berpidato di depan rakyatnya. Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan salawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, “Kuwasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah pengganti segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhiratnya pastilah Allah mencukupi baginya perkara dunianya.
Perbaikilah batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki lahiriah kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia datang, karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan.
Sesungguhnya orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada semua, mestinya sadar bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat ini tidak berselisih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantarang Nabi-Nya atau kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham, dan sungguh, demi Allah, aku tak akan memberikan yang batil pada seorang pun, dan tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian ‘Umar mengangkat suaranya keras-keras hingga terdengar semua orang, “Saudara sekalian, siapa yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati, dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, namun jika aku bermaksiat maka janganlah kalian menaatiku!” [9]
Catatan kaki:
[1] Penulis sengaja menyebutnya sebagai Bani Marwan dan bukan Bani Umayyah, agar ungkapan ini tidak mencakup pendiri Daulah Umawiyah yang merupakan seorang sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena sepeninggal Mu’awiyah dan putranya Yazid, tampuk kekuasaan beralih kepada Marwan bin Abdul Hakum dan keturunannya, yang terkenal suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan para khalifahnya gemar berfoya-foya, serta sederetan rapor merah lainnya yang menjadi ciri khas pemerintahan mereka. Jadi, merekalah yang kami maksudkan di sini, pen.
[2] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, oleh Khalid Muhammad Khalid, hlm. 605–608.
[3] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, hlm. 614–617, dengan sedikit penyesuaian.
[4] Lihat: Al-Wafi bil Wafayat: 7/157.
[5] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[6] Bighal adalah hasil perkawinan silang antara keledai jantan dan kuda betina.
[7] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[8] Lihat: Samthun Nujumil Awali, oleh al-Ishami.
[9] Tarikh Dimasyq: 45/358, oleh Ibnu Asakir.
Sumber: Ibunda para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama, Ramadhan 1427 H/ Oktober 2006.
(Dengan pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar