Buletin At Tauhid Edisi 8 Tahun X
Asyhadu an laa ilaaha illallāh
wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh. Kalimat ini adalah pondasi Islam
dimana bangunan Islam dibangun diatasnya. Kalimat ini memiliki makna
agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Makna Syahadat Laa ilaaha illallāh
Laa ilaaha illallāh memiliki 2 rukun yaitu an nafyu (peniadaan) dan al itsbat (penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallāh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagiNya.
Maka, makna Laa ilaaha illallāh adalah laa ma’buda bi haqqin illallāh,
yang artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak diibadahi
kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga, tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).
Pemaknaan Laa ilaaha illallāh dengan laa ma’buda illallāh
(Tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah), adalah pemaknaan yang
keliru, karena realitanya ada banyak sesembahan yang disembah manusia
selain Allah. Kalimat ini juga bisa bermakna, semua yang disembah
manusia berupa pohon, berhala, orang shalih, dan yang lainnya adalah
Allah. Pemaknaan seperti ini adalah kesalahan yang sangat fatal dan
bukanlah pemaknaan yang dimaksudkan dari sisi bahasa Arab.
Konsekuensi Syahadat Laa ilaaha illallāh
Wajib
bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan
menggantungkan hati kepada Allah semata serta mengingkari dan
meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya, karena dia
telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallāh.
Siapa
yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a
atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah, atau meminta
pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan
pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik
akbar, yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali
dengan taubat. Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon,
nabi, wali yang hidup atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak
terjadi di zaman ini. Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan
dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Makna
kalimat syahadat ini adalah mengikrarkan dengan lisan dan meyakini
dengan hati bahwa Muhammad bin ’Abdillah Al Quraisyi Al Hasyimi adalah
hamba Allah dan utusan Allah kepada semua makhluk dari jin dan manusia.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56). Tidaklah bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan wahyu yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Maha
Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-Nya
(Rasulullah), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS.Al Furqan : 1).
Muhammad adalah Rasul Allah yang tidak boleh didustakan dan hamba Allah yang tidak boleh disembah dan diibadahi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mempunyai hak rububiyyah (sifat
ketuhanan-red). Tidak pula bisa memberikan manfaat dan madharat untuk
dirinya sendiri dan orang lain tanpa izin dari Allah Ta’ala . (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 54-55).
Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat, kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan tidaklah dia berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An Najm : 3-4).
Selain
itu, mentaati semua yang beliau perintahkan. Tidaklah beliau
memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di
dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An Nisaa’ : 64).
Kemudian,
meninggalkan semua yang beliau larang untuk dikerjakan. Tidaklah beliau
melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan bahaya didalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila
aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku
memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang
terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang
beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan bid’ah.
Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil), yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR. Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya
Adapun mengucapkan syahadat dengan lisan dan mengingkarinya di dalam hati, ini adalah jalan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), ”Sesungguhnya
orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah
dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong
pun bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 145).
Sebaliknya,
jika hanya meyakini dalam hati, tetapi tidak mengucapkannya dan
melaksanakan konsekuensinya, maka tidaklah bermanfaat keyakinannya itu.
Sebagaimana yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib, dan sebagian besar
kaum musyrikin jahiliyyah.
Dan
jika sudah diyakini dan diucapkan, tetapi tindakan nyatanya
bertentangan dengan ucapannya, maka tidaklah bermanfaat syahadatnya
tersebut. Seperti yang banyak terjadi di zaman ini, banyak kaum muslimin
yang berdoa kepada orang yang sudah mati di kuburan mereka. Hal ini
bertentangan dengan syahadat Laa ilaaha illallāh.
Banyak pula yang tidak mau menjadikan petunjuk Rasulullah sebagai jalan
hidupnya. Hal ini bertentangan dengan syahadat Muhammad Rasulullah.
Demikianlah,
2 kalimat syahadat ini juga merupakan pondasi ibadah dimana semua
ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah diterima suatu ibadah, kecuali jika
diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan syahadat Laa ilaaha illallāh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’ dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).
Penulis : Ferdiansyah Aryanto, S.T. (Alumni Ma’had Al ’Ilmi Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar